Kintan—seorang gadis penderita buta wajah—tidak menyadari jika kekasihnya berkhianat. Ketidakmampuan Kintan mengenali wajah orang lain membuat Devan ragu untuk melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan. Ditambah lagi, Talita gencar mendekati Devan dan lambat laun memenangkan hatinya. Suatu hari, Kintan berkunjung ke rumah Devan. Gadis itu bertemu dengan Dejan, kembaran Devan, dan mengira itu adalah kekasihnya. Dejan tidak sampai hati mengatakan bahwa Devan sedang pindah tugas ke Sumatra selama satu tahun. Karena itu, dia berpura-pura menjadi Devan tanpa memberitahu kembarannya tersebut. Bagaimana ujian cinta itu dilewati? Kepada siapa Kintan melabuhkan hati?
Lihat lebih banyak"Mas, kamu yakin mau menikah dengan Kintan?" tanya Talita, seorang asisten cantik dengan bulu mata lentik.
Devan, seorang manager dengan karir gemilang sekaligus atasan Talita itu tampak berpikir sejenak.
"Kurasa begitu. Kintan baik dan pengertian. Dia berusaha memahami pekerjaanku yang harus sering kunjungan lapang seperti sekarang."
Devan bergeser karena Talita duduk di sebelahnya tanpa menyisakan jarak. Aroma parfum vanila mengusik indra penciuman Devan dan membuat debaran jantungnya tidak beraturan.
"Meskipun Kintan penyakitan?"
Talita mengucapkan itu lirih sambil mencondongkan tubuhnya. Bulu kuduk Devan meremang karena dia dapat merasakan embusan napas Talita di telinganya.
"Kintan tidak penyakitan. Dia hanya ... Hanya tidak bisa mengenali wajah orang lain," jawab Devan agak terbata-bata.
"Lalu apa yang bisa Mas Devan harapkan dari perempuan seperti itu?" Talita mulai gusar. "Aku tahu Kintan pintar dan mandiri, tapi coba bayangkan suatu saat nanti dia harus ketemu keluarga besar atau kolega Mas Devan. Pikirkan juga perasaan orang tua. Apa mereka tidak malu punya menantu yang tidak bisa mengenal wajah mertua sendiri?"
Devan meneguk kopi untuk membasahi kerongkongan yang terasa kering. Rasanya pahit, sama seperti pernyataan yang Talita sampaikan. Bagaimanapun, fakta itu memang tidak bisa diabaikan. Istri seorang manajer ternyata tidak bisa membedakan wajah sang suami dengan orang lain. Apa kata dunia?
Adalah prosopagnosia alias buta wajah, kelainan yang diderita Kintan sejak kecil. Menurut dokter, hanya 2% orang di dunia yang mengalami kelainan sistem saraf tersebut. Dia bisa melihat dengan jelas, tetapi tidak mampu mengenali dan membedakan wajah orang lain. Semua wajah tampak samar dan buram seperti gambar usang. Kintan hanya mengenali orang lain lewat suara, gaya berpakaian, atau kebiasaan khusus yang acap kali mereka lakukan.
Ingatan Devan memutar kembali pertemuan pertama mereka. Saat itu, kantor Devan sedang mengadakan acara syukuran dan memesan kue dari Key and Cake, toko roti milik Kintan. Gadis berkulit putih itu tampak kebingungan saat bertanya kepada satpam di lobi gedung. Usut punya usut, ternyata dia ingin menemui penanggung jawab acara. Akan tetapi, satpam hanya menjelaskan ciri-ciri wajah orang tersebut dan Kintan tidak bisa memahaminya.
"Mas, kok malah bengong?" Talita memasang wajah cemberut. Devan berdeham dan memperbaiki posisi duduknya tanpa menjawab pertanyaan sang asisten.
"Malam ini aku numpang menginap, ya? AC kamarku kurang dingin."
Talita menggelung rambut bergelombangnya dengan gerakan gemulai. Wajah Devan memerah saat melihat leher Talita yang jenjang dan bersih.
"Saya buat keluhan ke pihak hotel saja, kalau begitu. Nanti biar diperbaiki sama teknisi."
"Kita masih harus lembur, lho, Mas. Presentasi final kita belum selesai. Kalau proyek kita gol, kan, kita juga yang dapat bonus gede," kata Talita sambil mengedipkan sebelah mata.
Memang benar kata orang: kucing tidak akan menolak jika disodori ikan. Bagaimanapun Devan adalah laki-laki normal. Sifatnya yang mantan seorang playboy belum sepenuhnya hilang. Maka ketika Talita berusaha mendekati, Devan juga tengah mati-matian menahan gejolak di hatinya.
"Dia sudah tahu kalau Mas harus pindah tugas ke Jambi selama setahun?" bisik Talita. Dia sengaja menyentuhkan sedikit bibirnya ke telinga Devan hingga pria itu menelan ludah.
"Be-belum ...."
Talita tertawa. "Ngaku aja. Mas itu sebenarnya belum yakin, kan? Buktinya, Mas menyembunyikan fakta itu dari dia."
Devan tidak menjawab, tetapi Talita jelas tahu kelemahannya.
***
Pagi-pagi sekali, Pak Doni sudah sibuk menata barang bawaan Devan ke dalam mobil. Bu Dian juga membawakan berbagai macam bekal makanan. Supaya Devan tidak makan mie instan terus, katanya. Padahal di rumah tugasnya, ada asisten rumah tangga yang mengurus berbagai keperluan Devan.
Devan membeli nomor ponsel baru. Dia sudah membagikan nomor itu kepada kedua orang tuanya. Kata Devan, sinyal dari kartu yang dipakai saat itu kurang bagus selama dipakai di Jambi. Oleh karena itu, selama bertugas di sana, Devan menggunakan dua nomor telepon.
Dejan--saudara kembar Devan--tampak tidak terlalu peduli. Sejak pagi, dia asyik membaca berita di ruang tamu. Dia berlangganan koran digital sejak setahun belakangan. Baginya, membaca berita adalah salah satu amunisi dalam berbisnis. Dia biasa meluangkan waktu satu jam untuk menekuni tablet dan membaca tulisan-tulisan di rubrik ekonomi.
Pukul delapan pagi, Devan dan kedua orang tuanya berangkat ke bandara. Dejan tidak ikut serta karena ada rapat daring dengan klien dari Singapura. Lagipula pergi setahun bukanlah sesuatu yang perlu dibesar-besarkan. Dejan sudah lebih dulu melanglang buana sejak lulus kuliah.
Dejan mencari kegiatan lain sembari menunggu rapat yang dimulai pukul sepuluh. Dia menyiram berbagai macam tanaman hias yang tumbuh subur memenuhi pekarangan. Anggrek warna-warni juga mekar bersamaan. Sejenak Dejan teringat Malia. Mantan pacarnya yang keturunan Belanda itu sangat menyukai anggrek bulan.
Malia adalah cinta pertama sekaligus luka lama. Berbeda dengan Devan yang sejak dahulu sering gonta-ganti pasangan, Dejan cenderung setia dan tidak mudah memulai hubungan. Sayangnya, mereka harus putus karena tidak juga mendapatkan titik temu saat bicara tentang pernikahan. Selain perbedaan agama, Malia juga tidak bisa pindah mengikuti Dejan ke Indonesia.
Lamunan tentang Malia buyar ketika sebuah mobil hitam metalik menepi dan berhenti tepat di depan pagar. Seorang perempuan berjilbab hitam turun dari mobil sambil membawa kotak coklat berhias pita. Untuk sejenak, Dejan seperti tersihir oleh penampilannya yang bersahaja. Bajunya sopan tertutup dan cocok dengan warna kulitnya yang putih bersih.
Gadis itu tersenyum menampakkan deretan giginya yang rapi. Hidungnya seperti perosotan saat dilihat dari samping. Dia melambaikan tangan dan berseru senang ke arah Dejan.
"Assalamu'alaikum, Mas Devan!"
"Wa'alaikumsalam," jawab Dejan pelan.
Satu detik, dua detik, tiga detik ... Dejan merasa familier dengan wajah itu, tetapi dia hanya mematung karena tidak ingat namanya.
"Mas, kok, malah bengong!" Matanya yang bulat seperti boneka terus berkedip setiap kali dia berbicara.
Air yang keluar dari selang sudah luber entah ke mana. Dejan terpaku seolah-olah waktu sedang berhenti berputar. Senyum gadis itu tidak juga luntur meski Dejan seperti orang gagu karena tidak ada satu pun kata yang keluar dari bibirnya.
"Mas Devan enggak mau mempersilakan aku masuk, nih?" kata gadis itu lagi.
Dejan tergagap menjawab, "Kin ... Tan?"
Ya, dia baru ingat kalau sosok yang berdiri di hadapannya saat itu adalah Kintan! Dejan pernah melihat fotonya di kamar Devan saat hendak meminjam headset. Itulah kali pertama mereka bertatap muka.
Ternyata aslinya lebih cantik daripada di foto. Masalahnya, gadis itu menyangka dirinya adalah Devan. Karena Devan sudah berangkat ke Jambi, apakah Dejan harus berpura-pura menjadi kembarannya?
Sebuah rumah minimalis di pinggiran Singapore sudah menunjukkan geliat aktivitas sejak pagi. Setelah salat Subuh, penghuninya bergegas ke dapur sambil bersenandung riang. Tangannya terampil menyiapkan beberapa bahan serta alat masak. Di Indonesia ataupun negara lain sama saja, masak dan membuat kue adalah kegemarannya.Aroma kombinasi keju, coklat, dan kopi menggelitik indra penciuman hingga membuat sang suami penasaran untuk menghampiri sumbernya. Ia keluar dari kamar setelah selesai mengenakan setelan jas. Di dapur, ada pemandangan yang selalu membuatnya bahagia dan bersyukur setiap hari. Seorang perempuan cantik mengenakan celemek sedang sibuk menata tiramisu dalam piring-piring kecil."Istriku rajin sekali."Merasa disanjung, sang istri tersenyum lebar sambil mengangkat salah satu piring, memamerkan hasil karyanya."Mau ada tamu, Sayang?"Perempuan yang tak lain adalah Kintan itu mengiakan. "Dinda bilang sedang mengidam kue buatanku.""Oh, ya? Dia liburan ke sini?"Kintan mengangg
Di antara lalu lalang penumpang di terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, Dejan mengunci pandangannya pada seorang gadis yang sedang menggeret sebuah koper besar. Gadis itu tampak kerepotan menjinjing tas yang sepertinya penuh dengan oleh-oleh serta merapikan anak rambut yang menyembul di balik pashmina. Untuk sesaat, Dejan melupakan tujuannya pulang ke Indonesia. Gadis itu, wajah itu, mengingatkannya akan kenangan manis setahun silam.Dejan berjalan mendekat, memastikan bahwa wajah itu bukan sekadar ilusi dan matanya masih berfungsi dengan normal. Semakin jarak mereka terpangkas, Dejan dapat merasakan jantungnya berdetak lebih kencang."Mau saya bantu?" Akhirnya keluar suara dari bibirnya.Gadis yang mengenakan sweater putih itu menoleh. Dia memeriksa lelaki berjas hitam di hadapannya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Alisnya berkerut, merasa tidak asing dengan sosok di hadapannya, tetapi tidak ingat siapa pastinya."Mau saya bantu bawakan tasnya sebentar? Sepertinya kamu kerepotan,"
Kintan menikmati akhir pekan dengan berjalan-jalan di Rue de I'Abreuvoir. Jalanan terkenal di kawasan Montmartre, Paris itu tampak menawan dengan pemandangan bunga wisteria yang bermekaran. Matahari musim panas bersinar cerah, membuat rumah warna-warni di sepanjang jalan lebih semarak."Kintan, Carrot, let's take a selfie!" ajak Yujin dengan aksen Korea yang medok.Ajakan itu pun disambut antusias. Carrot, gadis tinggi semampai asal Thailand, buru-buru mengeluarkan ponsel dan mengarahkan kamera depan ke wajah mereka.Berbagai macam gaya seperti peace, manyun, mengedipkan sebelah mata, dan lainnya mulai memenuhi galeri Carrot. Untuk urusan dokumentasi, gadis itu memang paling bisa diandalkan. Tangannya yang panjang membuat jangkauan tampilan foto selfie mereka lebih luas.Mereka berkenalan di hari pertama sekolah memasak dimulai. Sebagai sesama orang Asia di antara murid Eropa dan Amerika, kedekatan mereka terjalin begitu saja lewat obrolan dan makanan. Kepada mereka jugalah Kintan akh
Pernikahan Devan dan Talita awalnya terasa begitu indah. Mereka menggelar resepsi mewah dan mampu mengundang penyanyi favorit Talita sebagai bintang tamu. Bulan madunya pun tidak main-main, paket perjalanan ke lima negara Eropa selama 10 hari. Semua tampak baik-baik saja hingga kemudian badai menerpa di usia pernikahan yang masih seumur jagung.Pernikahan yang semula terasa manis dan indah, berubah menjadi hari-hari penuh pertengkaran. Curiga, cemburu, dan miskomunikasi adalah makanan sehari-hari. Rumah yang masih dalam cicilan itu menjadi saksi bisu terbongkarnya kebusukan Talita satu demi satu.Di usia kehamilan Talita yang menginjak 7 bulan, Devan harus menjalani serangkaian proses pemeriksaan di kantor. Divisi keuangan melaporkan adanya tindak penggelapan uang proyek pada audit tahunan. Tersangkanya adalah Talita selama mereka bertugas di Jambi.Perusahaan ditaksir mengalami kerugian hingga 200 juta rupiah. Tim Legal awalnya ingin melaporkan kasus tersebut ke polisi, tetapi Devan
"Besok aku akan bicara dengan Om dan Tante, Bu. Nggak usah takut, kita nggak salah. Dzolim sekali kalau mereka menuntut warisan sementara Ayah memiliki istri dan anak yang masih hidup!" ucap Kintan tegas.Kintan geram sebab kerabatnya sudah kelewat batas. Warisan yang ditinggalkan Pak Surya memang cukup banyak, meliputi tabungan, rumah, tanah, dan toko kue. Namun, bukan berarti mereka bisa meminta seenaknya. Itu tidak sesuai dengan hukum perdata maupun hukum Islam."Tadi Ibu sudah berusaha menyampaikan pendapat, tapi mereka masih kekeh. Om Yudi merasa berhak mendapatkan bagi hasil toko kue karena dulu ikut menyumbang material. Tante Ira juga merasa berhak dapat warisan tanah karena pembagian dari kakek kamu dulu tidak sama banyak. Ibu sudah capek, Tan.""Mana bisa begitu? Kalau niat awalnya bantu ya bantu. Urusan pembagian warisan dari Kakek juga bukan tanggung jawab kita. Udah, pokoknya Ibu istirahat ya, jangan mikirin hal-hal nggak penting kayak gitu. Sekarang aku yang akan pasang b
Dinda menemui Kintan dan Bu Ranti. Dia harus menjelaskan perihal chef kiriman Dejan sebelum mereka salah paham. Lagi pula, tambahan bantuan itu juga sangat berarti di tengah sibuknya persiapan acara doa bersama. "Jadi, maksud kamu, Mas Dejan sengaja mengirim chef pribadi ke sini untuk menyiapkan konsumsi selama tiga hari ke depan?" Kintan mengulang informasi yang didengarnya. Dinda mengangguk mengiakan. "Kintan, Tante, sebelumnya aku minta maaf kalau terkesan lancang. Tolong jangan menolak dan menyalahartikan niat baiknya. Dejan benar-benar tulus ingin membantu." Dinda menunduk dalam. Dia siap dengan segala konsekuensi yang mungkin akan diterima. "Tapi buat apa, Din?" Intonasi Kintan meninggi. "Aku nggak pernah minta! Bayar chef pribadi itu mahal, apalagi sampai tiga hari. Terus aku harus diam menikmati semua bantuannya dan berpikir dia nggak punya niat tersembunyi? Mana bisa begitu!" "Kintan, pelankan suaramu, Nak. Ada banyak kerabat di luar," tegur Bu Ranti. Dia pun sebenarn
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen