Suara serak muazin saat mengumandangkan azan Subuh membangunkan Kintan dari tidur lelap. Gadis itu mengucek matanya beberapa kali kemudian bangun dan mengikat rambut. Matanya memicing karena sorot cahaya dari ponsel terlalu terang. Jam di layar menunjukkan pukul setengah lima pagi."Bangun, Mas."Kintan mengirim pesan itu ke nomor Dejan kemudian menaruh ponsel di nakas. Dia duduk sebentar di tepian ranjang sambil melamun. Setelah kesadarannya benar-benar terkumpul, dia baru menjejakkan kaki ke lantai dan melangkah menuju kamar mandi.Segarnya air wudu membasuh wajah, menyapu sisa-sisa kantuk yang masih bergelayut di pucuk mata. Kintan melaksanakan salat dan membaca Al-Qur'an setelahnya. Itu adalah rutinitas pagi yang sedang dia disiplinkan sejak enam bulan belakangan.Sejak rutin salat Subuh di awal waktu, Kintan merasa hajat hidupnya dipermudah. Hatinya lebih tenang, emosinya tidak mudah tersulut, dan usaha kuenya juga berkembang pesat. Bangun lebih pagi juga secara tidak langsung me
Grup WhatsApp keluarga besar Kintan mendadak heboh. Salah seorang anggota grup mengirimkan sebuah foto yang diduga adalah Kintan bersama seorang laki-laki. Gambarnya tampak pecah, seperti diambil dari jarak yang cukup jauh atau dipotong dari foto lain yang skalanya lebih besar.Di gambar itu, Kintan mengenakan setelan olahraga yang dipakai saat CFD. Punggungnya merapat pada dinding taman sedangkan kepalanya bersandar di bahu laki-laki yang sedang bersamanya."Udah lama enggak lihat asupan bergizi," komentar salah seorang keponakan Kintan. Dia membubuhkan emoji kepala dengan mata berbentuk hati."Blur aja tetep cakep. Pusing!" balas keponakan Kintan yang lain."Masyaa Allah, cakep amat jodoh orang," timpal yang lain."Mamaa, orang-orang udah punya ayang. Aku kapan dibolehin pacaran?"Makin ramai lah grup itu hingga semua anggota keluarga Kintan disebut-sebut. Kata mereka, Kintan sangat beruntung mendapatkan calon suami seperti Devan.Mereka semua, terutama kaum hawa, adalah pengagum De
Harapan itu berbanding lurus dengan kesempatan. Makin sering ia datang, maka harapan-harapan akan kian membuncah. Orang yang tadinya hendak berputus asa bisa kembali bersemangat saat diberi kesempatan. Begitu pun dengan Kintan.Awalnya gadis itu sangat ketakutan saat Pak Surya meminta Devan untuk datang. Belum-belum, pikirannya sudah kalut karena diterpa kekhawatiran yang dia ciptakan sendiri."Bagaimana kalau Mas Devan menolak bertemu?""Bagaimana kalau Mas Devan datang, tetapi Ayah telanjur marah?""Bagaimana jika salah seorang atau keduanya ingin hubungan mereka berakhir?"Dan bagaimana-bagaimana lainnya. Kintan lelah karena pertanyaan itu terus menyerang meski dia sudah berusaha tenang. Tatapan tajam dari ayah dan ibunya terasa tidak bersahabat.Harapannya terbit saat Devan menyambut baik permintaan ayahnya. Seolah-olah hubungan mereka memang masih punya masa depan. Rencana lamaran yang sempat tertunda itu, Kintan perlahan yakin, suatu saat nanti akan benar-benar bisa terlaksana.
Dari nol sampai seratus, berapa persen kemungkinan kita mencintai pasangan saudara sendiri? Lalu dari sekian persen tersebut, kira-kira berapa persentase perasaannya berbalas? Hingga jika perasaan itu berbalas pun, seberapa jauh peluangnya melaju ke jenjang pernikahan?Dejan sedang menghitung kemungkinan-kemungkinan itu. Awalnya terdengar gila dan tidak realistis. Sejak mereka masih sekolah, tidak sekali pun mereka menyukai orang yang sama. Setidaknya menurut Dejan begitu. Bahkan tipe perempuan idaman mereka berdua amat jauh berbeda.Kintan istimewa. Dejan tahu itu. Namun, dia baru benar-benar menyadari keistimewaan Kintan saat semuanya sudah telanjur jauh. Kintan bisa membuat selera mereka yang berbeda itu bertemu. Dejan telanjur menghayati peran. Hanya menunggu waktu saja, kedok permainannya akan terbongkar.Kata orang, hanya butuh tiga detik untuk jatuh cinta. Dejan tidak tahu kapan tiga detik itu tepatnya terjadi. Yang dia tahu, dirinya sudah menjadi sosok kekasih bagi Kintan. Dev
Kintan bukan tidak merasa aneh dengan perubahan sikap kekasihnya. Dia pikir, waktu setahun itu sudah cukup untuk mengenal Devan. Namun, ternyata tidak sama sekali. Devan-nya selalu melakukan sesuatu yang membuatnya takjub setiap hari.Kadang dia menduga jika sosok Devan yang tengah bersamanya saat itu sebenarnya adalah orang lain. Namun, dia tidak punya bukti akurat. Selain itu, meski beberapa hal terlihat mencurigakan, sikap laki-laki itu masih baik dan penuh kasih sayang.Manusia berubah seiring berjalannya waktu dan bertambahnya pengalaman. Itulah yang dipercayai Kintan. Jika Devan sempat bersikap emosional, barangkali memang dia sedang lelah bekerja saja. Selebihnya, watak asli Devan memang begitu adanya.Tak jarang, rindu Kintan menggebu-gebu meski mereka baru saja bertemu. Dia pernah bertanya kepada Dinda, apakah hal demikian memang wajar adanya. Dan jawaban Dinda, seperti biasa, selalu menenangkan."Tan, rindu kamu itu berbeda dengan rindu kebanyakan orang." Begitu katanya."Be
Dinda sudah belasan tahun bersahabat dengan Kintan. Baik buruknya, susah senangnya, hampir dia tahu semua.Kintan menganggap Dinda selayaknya saudara sendiri karena posisinya di rumah sebagai anak tunggal. Dinda pun tidak keberatan. Meski perjodohan Kintan dengan kakak kandungnya pernah gagal, sedikit pun tidak berpengaruh terhadap hubungan baik keduanya.Setiap kali Kintan didekati oleh laki-laki, Dinda akan maju sebagai penilai pertama. Jika Dinda bilang tidak, Kintan akan berpikir ulang untuk menjalin hubungan.Sejauh itu, perkiraan Dinda tidak pernah meleset. Laki-laki yang mendapat kartu merah dari Dinda pada akhirnya sering ketahuan belangnya.Dinda ingat betul hari itu. Kintan datang ke salonnya setelah mengantar pesanan kue dari sebuah perusahaan konstruksi di Jakarta Pusat.Wajah Kintan berseri-seri dan pipinya bersemu kemerahan. Dinda sudah hafal. Jika Kintan seperti itu, obrolan mereka tidak akan jauh-jauh dari soal cinta.Kintan dengan malu-malu menyebutkan nama Devan. Kon
"Mas, pagi ini aku dapat jawaban dari Pak Wishnu Wardana!" seru Kintan dari ujung telepon.Gadis itu menelepon dari toko kue. Layar laptopnya masih menyala, menampilkan sebuah email yang dikirim Livia beberapa menit sebelumnya.Di email itu, tersemat surat perjanjian kerja sama dengan kop perusahaan yang menaungi cabang usaha Pak Wishnu. Mereka menyatakan siap menggelontorkan dana untuk membuka cabang pertama Key and Cake di lokasi rest area yang sedang mereka bangun.Langit terlihat berkali-kali lebih cerah. Awan tipis berarak pelan, mengikuti tiupan angin yang membawanya ke selatan. Dari jendela kaca di ruang kerjanya, Kintan menyaksikan pemandangan itu dengan hati berbunga-bunga."Selamat, ya. Kamu benar-benar hebat! Jadi, apa yang kira-kira bisa aku bantu?"Dejan turut senang mendengarnya. Dia bisa merasakan waktu kembali ke masa lalu, memutar kenangan saat Dejan mendapatkan investor pertama. Saat itu, dunia rasanya ada di genggaman. Di hadapan, ada jalan terjal yang menghadang. A
Selepas Subuh, Dejan sudah memanaskan mesin mobil dan berdandan rapi. Dia mengusulkan acara family gathering untuk karyawan Key and Cake. Hal itu dilakukan dalam rangka syukuran karena mereka mendapatkan investor dan sebentar lagi akan membuka cabang pertama.Kintan menyambut usul itu dengan antusias. Kebetulan memang sudah lama sekali mereka tidak mengadakan acara piknik bersama. Karena momennya tepat, acara itu menjadi sesuatu yang dinanti-nantikan oleh seluruh karyawan toko.Dejan berangkat dari rumah sebelum pukul enam. Dia hanya bilang ada agenda akhir pekan kepada Bu Dian. Meski begitu, Pak Doni seperti sudah bisa menerka. Pasca Dejan mengaku, mereka memang tidak banyak bicara. Dia hanya berusaha memahami jalan pikiran anaknya."Saya akui, keputusan ini memang salah, Pa. Walaupun posisi saya terdesak saat itu, tidak seharusnya saya berbohong kepada Kintan." Begitu kata Dejan setelah mengakui perbuatannya kepada Pak Doni."Siapa saja yang tahu soal ini? Devan gimana?"Dejan mengg