“Siapa Aneta?” selidik Melati.
Biyan diam menundukkan kepala.
“Jawab, Mas.”
Biyan tergugu, isak terdengar satu per satu dengan nada pelan.
“Jangan-jangan Aneta adalah gadis yang telah kamu hamili?” tanya Melati lagi. Tangan perempuan itu sudah terkepal kuat, serasa syarat-syaraf di kepalannya menggetarkan gelombang entah apa.
“Jawab, Mas! Aneta adalah gadis yang telah kamu nodai kan?” Melati menaikkan volume suara.
“I-iya ….” Biyan mengangkat kepala perlahan, memandang Melati dengan matanya yang penuh air. Saat dia hendak meraih tubuh Melati, istrinya itu reflek menghindar. Biyan pun menutup wajah disertai menarik napas dalam. Hatinya tiba-tiba merasa sakit.
“Apa dengan begini, kamu mau menceraikan aku kan, Mel?”
Melati memandang tajam suaminya. Perempuan itu bergeser, lalu duduk di tepian ranjang. Kini mereka telah berhadapan sejajar. Tatapan Melati masih lekat.
“Tolong ceritakan tentang Aneta,” pintanya dengan suara dingin.
Biyan terlihat menelan ludahnya beberapa kali. “Apa kamu beneran mau menceraikan aku, Mel?”
“Jawablah, Mas. Aku yang bertanya duluan, dan aku butuh jawaban, siapa Aneta itu? Jangan mengalihkan pembicaraan.”
“Iya, iya, Mel.” Biyan memandang Melati beberapa saat, kemudian menunduk lagi. Jakunnya terlihat naik turun. “Aneta adalah … adalah pa-pacar aku di kampung dulu. Kami memang sempat pacaran dan kebablasan, tapi waktu Aneta hamil, aku memilih kabur ke kota ini.”
Astafirulloh … Melati segera menghirup oksigen dengan cepat. Dadanya serasa menciut mendengar sepotong cerita itu.
Melati dan Biyan sudah kenal lama sebelum akhirnya menikah, tetapi dia tidak pernah tahu masa lalu Biyan yang ini. Melati begitu percaya bahwa Biyan adalah lelaki baik. Dari bagaimana dia bersikap selama ini, bagaimana dia memperlakukan almarhum orang tuanya dan ibunya sendiri. Namun ternyata, di balik sikap manisnya, Biyan menyimpan masa lalu yang, yah boleh dibilang, memalukan sekaligus mengerikan.
“Apa Aneta itu cinta pertamamu?” cecar Melati. Getir sekali. Bukankah kata orang, cinta pertama tidak bisa mati? Berbagai prasangka muncul begitu saja dalam pikiran Melati.
Biyan menggeleng. “Bukan, bukan, Mel. Dia bukan pacar pertama aku.”
Melati menelan ludah. Entah harus lega atau harus bagaimana? Biyan memang tampan. Kulitnya putih bersih dengan badan tegap dan senyum menawan. Tidak heran jika di masa lalunya dia punya banyak kekasih. Tidak seperti Melati yang berwajah pas-pasan.
“Dia gadis miskin, gadis yatim. A-aku tidak sungguh-sungguh mencintainya kala itu, a-aku ha-hanya memanfaatkan keluguannya.”
Melati menarik napas lagi. Dia memalingkan wajah, mendadak ada sedikit rasa yang entah apa saat melihat Biyan. Ternyata suaminya bekas orang jahat.
“A-aku tadi bermimpi Aneta datang dan mengutuk aku. Apakah ini karma karena aku telah menzalimi gadis yatim, Mel?” cicit Biyan terbata.
“I-itu ha-hanya mim-mimpi, Mas.”
Entah mengapa Melati ikut tergagap. Dia bergegas bangkit, lalu dengan kecepatan kilat, dia masuk ke kamar mandi. Melati merasa perlu mengguyur kepalanya berkali-kali. Dia kecewa, bayangan tentang Biyan sebagai suami sempurna selama ini, memudar begitu saja.
Suasana setelah itu menjadi dingin dan sunyi. Melati enggan membuka suara, sedang Biyan tersudut dengan ketakutannya sendiri. Bayangan-bayangan bahwa setelah ini Melati akan menceraikan dirinya terus menghantui perasaan Biyan.
Pasangan suami istri itu pergi tidur sambil membawa perasaan sedih di hati masing-masing. Tidak ada ucapan selamat tidur atau obrolan manis yang biasa mereka lakukan. Melati bahkan tidur memunggungi suaminya dan tidak ingin disentuh. Biyan terpaksa tidur berteman lelehan air mata lagi.
Pagi hari saat bangun tidur, Biyan tidak menemukan Melati. Lelaki itu duduk bengong sesaat, kemudian dia paksa badannya sendiri untuk bangkit. Ternyata sudah jam delapan lebih. Bahkan Melati sengaja tidak membangunkan dirinya. Biasanya jam segini mereka sudah bersiap pergi ke toko.
Dengan perasaan sedih, Biyan mandi, lalu berganti pakaian. Dia harus kuat, dia punya kewajiban untuk mengurus toko Melati. Meskipun mungkin tidak akan lama lagi, Melati akan menceraikan dirinya. Ah, Tuhan ….
“Biyan, akhirnya kamu bangun juga.”
Dewi sudah ada di ruang makan. Ibunya itu memang sering muncul di pagi hari, terkadang membawakan sarapan. Mereka masih tinggal dalam satu kompleks, hanya berbeda blok.
“Ibu masakin rolade ay—“
“Melati mana, Bu?” potong Biyan, setelah dia mengedarkan pandangan tetapi tidak menemukan sosok sang istri.
“Enggak tau, Bi, tadi Ibu ke sini hanya ada Mak Tarwih,” tutur Dewi. “Kalian baik-baik aja kan?”
“Entahlah, Bu. Kemarin sore aku mimpi Aneta, dia datang dan mengutukku, apa mungkin karena aku sudah menyia-nyiakan janin di rahim Aneta waktu itu, sehingga sekarang aku mandul?”
“Enggak, Bi, Ibu yakin diagnosa itu salah. Hasil yang benar baru hari ini kita dapat, dan itu pasti akan menunjukkan kalau kamu subur. Kamu dan Melati akan segera punya anak untuk meneruskan garis keturunan keluarga kita,” oceh Dewi.
“Aku sudah cerita soal Aneta ke Melati, dan sepertinya istriku sudah jijik sama aku, Bu,” ceplos Biyan. Dia bukan sengaja ingin mengadu, tetapi dia merasa perlu mengutarakan sesak yang dia rasa. Hanya kepada ibunya lelaki itu bebas bicara.
“Jangan sembarangan kamu ngomong, Bi. Melati itu baik, dan kalian saling mencintai. Ibu yakin kalian bisa melewati masalah ini.”
Biyan menelan salivanya.
“Itu kan sebelum Melati tau kalau aku adalah laki-laki yang brengsek. Nyatanya, sejak kemarin Melati sudah enggak mau aku sentuh, enggak mau ngomong. Mungkin benar Melati jijik sama aku, tapi aku bisa terima.”
Secara bersamaan, tanpa dikomando, Biyan dan Dewi menghela serta menghembuskan napas bersama. Napas yang sama-sama berat.
“Enggak, Bi. Mungkin Melati hanya syok aja, kasih dia waktu.”
Biyan mengedikkan bahu.
“Aku harus tau diri dan enggak boleh egois, Bu,” kata Biyan lagi. “Kalau ternyata aku mandul, Melati berhak mencari lelaki yang—“
Ucapan Biyan terhenti ketika melihat Dewi ambruk ke lantai sembari memegang dadanya. Tarikan napas Dewi terlihat sangat berat. Muncul satu per satu dengan susah payah.
“Bu, Ibu! Ibu!” teriak Biyan spontan.
Mak Tarwih muncul dari belakang, kemudian disusul Melati yang datang entah dari mana.
“Mas, Ibu kenapa?” seru Melati panik. Dia pun segera berjongkok memegang bahu mertuanya.
“Mel, Ibu mohon … jangan ceraikan Biyan ….” Terbata-bata Dewi berkata disela-sela napasnya yang berat.
“Ibu …!”
Teriakan Biyan membahana saat tiba-tiba kepala Dewi terkulai lemas di lengannya.
Malam kian larut.Biyan menggigil kedinginan. Tadi gerimis sempat mendera bumi beberapa menit, tetapi sudah cukup untuk membuat bajunya basah. Perutnya sudah lapar lagi, sebab dia terlalu banyak menggunakan tenaga. Berjalan cepat tanpa henti sedari tadi. Lelaki itu membuka dompetnya, tinggal uang receh, mungkin tidak sampai seratus ribu.Dia tidak terlalu sering membawa uang tunai. Lagi pula semua kebutuhannya selama ini sudah disediakan Melati. Biyan hanya mengantongi uang untuk membayar parkir. ATM yang dia pegang ini sudah tidak bisa digunakan, pasti Melati telah memblokirnya. Sedang ATM yang lain dipegang Aneta.‘Ah, di mana Aneta sekarang berada?’ keluh Biyan dalam hati. ‘Tega banget ninggalin aku begini. Padahal semua ini adalah rancangannya. Aku dan Ibu sudah berkorban untuk mewujudkan impiannya, akhirnya malah begini.’Biyan melenguh, dia teringat nasib ibunya. ‘Semoga Melati tidak tega menghukum Ibu
Dewi tetap bersikukuh pada pendiriannya, bahwa dia tidak tahu menahu soal sertifikat dan perhiasan yang dituduhkan oleh Melati. Di depan polisi dia terus bersumpah tentang hal yang sama.Ibu kandung Biyan itu menangis meraung-raung saat seorang polwan membawanya untuk dikurung. Dewi memang terpaksa menghuni sel sebab dikuatirkan berpotensi kabur, seperti terlapor lainnya. Yaitu Aneta dan Biyan.Pulang dari kantor polisi, Melati bersama Yanuar pergi ke rumah Bu Ana alias Mbok Yul.Perempuan yang sedang makan bakso di teras rumah bersama anaknya itu terkejut bukan main melihat kedatangan mereka.“Halo, Bu Ana, masih ingat saya enggak?” sapa Melati dengan suara dibuat meledek. “Kalau saya masih ingat loh sama Bu Ana, meski sekarang bajunya bagus dan agak gemukan sedikit ya. Bu Ana, eh apa harus kupanggil Mbok Yul?”Ana dan Keisya, anaknya, saling melirik. Raut wajah mereka sama sekali tidak bisa disembunyikan lagi. Luar biasa m
Aneta baru menginjak semester dua, saat mendengar ada program magang di sebuah toko grosir yang lumayan besar. Terdesak kebutuhan ekonomi, gadis itu pun ikut mendaftar. Dia dipanggil untuk mengikuti tes tidak lama setelah memasukkan lamaran.Tes tidak begitu sulit, hanya ilmu logika dasar dan hitungan matematika sederhana. Tengah dia mengerjakan tes, melintaslah seorang perempuan yang dia kenal. Dia adalah Melati, kakak tingkat di kampusnya, yang sedang menjadi gunjingan. Minggu kemarin perempuan itu melabrak pacarnya yang ternyata punya kekasih lain, setelah perempuan itu habis-habisan memberi banyak uang dan benda kepada si pacar.“Hm … katanya dia kaya, kenapa ikut daftar kerja di sini?” batin Aneta mencibir.Cibiran Aneta menjadi mentah ketika akhirnya dia tahu bahwa Melati bekerja di toko itu bukan sebagai karyawan magang, melainkan karena dia merupakan anak si empunya toko. Yang berarti adalah ahli waris, pemilik toko masa depan.
“Loh, ini siapa, Nur? Kenapa mereka dibawa ke sini?” bisik Melati pada Nuri. Tak urung perempuan itu berdiri, bersikap menyambut dua orang yang berjalan di belakang keponakan Mak Tarwih tersebut.“Bu Melati, ini Pak RT tempat Bu Dewi tinggal, dan beliau istrinya. Tadi sebelum saya menggeledah rumah Bu Dewi saya minta bantuan beliau berdua untuk menjadi saksi, takut nanti saya diteriakin maling kan bahaya,” sahut Nuri seraya mengeluarkan tawa kecil.Gadis itu memang diperintah oleh Melati untuk pergi ke rumah Dewi, mencari sertifikat dan perhiasan yang hilang. Melati curiga jika barang-barang tersebut telah disimpan di sana, meskipun saat Dewi diinterogasi, Dewi bersumpah-sumpah tidak menyimpannya.“Oh, terus gimana? Nemu?” Melati tersenyum sumringah. Dalam hatinya memuji kecerdasan Nuri.Gadis itu menggeleng. “Enggak ada, Bu.”“Udah kamu cari di semua ruang?” nada suara Melati
Melati susah payah duduk di sandaran tempat tidurnya. Makanan yang Nuri bawakan hanya bisa masuk ke tenggorokannya sekitar tiga suap saja. Mau dipaksakan juga tetap tidak bisa. Yang ada justru perutnya bergolak, seperti meninju-ninju untuk memaksa makanan itu keluar lagi.“Saya buatkan jus apel saja ya, Bu?” usul Nuri.Dia benar-benar tidak tega melihat Melati begini. Seumur hidupnya, dia belum pernah kenal dengan lelaki, jadi dia tidak begitu tahu bagaimana rasa sakit yang ditanggung majikannya.Melati menggeleng. “Nanti aja, Nur, tunggu sebentar lagi ya. Saya perlu menenangkan diri dulu.”“Baik, Bu. Saya keluar dulu kalau begitu.”Nuri keluar membawa bubur nasi yang masih tampak utuh, hanya sedikit koyak pada pinggir-pinggir piring saja.Begitu pintu ditutup, Melati menangis lagi. Hatinya begitu hancur. Sebelum Nuri masuk tadi, dia baru saja menerima pesan dari Yanuar. Ternyata buku nikahnya palsu.
Nuri menemukan Melati tengah menangis terisak-isak di atas bantalnya sendiri.“Bu, untung sekali Ibu sudah pulang, selisih dari sedikit menit, yah mungkin malah cuma beberapa detik saja pas Ibu masuk kamar, Bu Dewi datang,” bisik Nuri sembari merapikan selimut yang dipakai Melati.Perempuan yang tengah menahan tangis itu tidak menjawab. Dia memandang Nuri sekilas, lalu menenggelamkan kepalanya lebih dalam kepada bantalnya yang empuk.“Ibu tenanglah, saya akan bantu Ibu untuk membuat mereka bertiga kapok,” Nuri bicara lagi. Tangan kecilnya dengan berani mengusap rambut majikannya. Hati Nuri menjadi sangat trenyuh, mengingat Melati sebenarnya sudah sebatang kara. Mak Tarwih sempat bercerita beberapa perkara mengenai hidup dari anak satu-satunya almarhum Bapak Ruli ini.“Nur, kamu tau enggak kalau ternyata—““Mel, kamu udah baikan?”Sapaan Dewi yang dibarengi ketukan jarinya di pintu k