“Ibu, kenapa bisa keceplosan begini?” keluh Biyan lemas, di sela-sela tangisnya.
“Ja-jadi ma-maksud Ibu dan Mas Biyan ….”
“Maafkan aku menyembunyikan fakta ini dari kamu, Mel. Tapi itu sudah menjadi masa laluku.”
Lelaki itu bergeser, untuk kemudian berganti bersimpuh di hadapan Melati. Dia memegang kedua kaki istrinya dengan tatapan penuh kekuatiran.
“Jadi Mas Biyan sudah punya istri sebelum aku?” tanya Melati dengan nada naik. Dadanya panas, jantungnya meradang. Ternyata suami dan ibu mertua yang sangat baik ini sudah menipunya?
Melati ingin menangis, tetapi ditahannya sekuat tenaga.
“Bukan, bukan begitu, Mel,” Dewi menyahut. Saat hendak meraih tubuh Melati, istri Biyan itu reflek menolak Dewi dengan tangannya, sehingga tubuh perempuan lima puluh empat tahun itu sedikit oleng.
“Enggak, Mel, bukan begitu. Demi Tuhan, aku belum pernah menikah. Itu adalah kenakalan masa mudaku, kesalahan fatal yang sudah terjadi sekitar tujuh tahun yang lalu.” Biyan berusaha menjelaskan dengan cepat.
Melati menyusut air matanya yang tidak bisa dia tahan lagi. Memandang tajam kepada suaminya. Biyan pun tergagap mendapat perlakuan seperti itu.
“Demi Tuhan, Mel. Aku tidak berbohong, itu yang sebenarnya terjadi. Makanya sangat tidak mungkin kan kalau aku mandul, sebab aku pernah … pernah ….” Biyan menggigit bibir. Tak kuasa untuk meneruskan cerita aibnya sendiri.
Hati Melati berdenyut. Dia mendongak agar air matanya tidak lagi meluncur tanpa permisi. “Berarti ada kemungkinan kalau hasil itu tertukar? Atau aku yang sebenarnya mandul?”
“Tidak, Mel. Kalian semua subur, tidak ada yang mandul,” tukas Dewi cepat.
Melati berdiri. Rahangnya mengeras, sebuah gelombang dalam hatinya terus menerus berdenyut.
“Kalau begitu, ayo kita ke rumah sakit lain, Mas.”
Dewi dan Biyan berpandangan.
“Kali ini biarkan Ibu ikut ya, Mel.”
Melati mengangguk.
Mak Tarwih hanya bisa bengong. Dia sudah membawa nampan berisi tiga gelas teh hangat seperti yang diminta Melati, namun malah ketiga orang itu pergi begitu saja tanpa bicara apa-apa.
Sampai di rumah sakit. Biyan dan Melati segera diperiksa. Beruntung mereka memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk menjalani tes kesuburan, sebab memang baru kemarin mereka melakukannya di tempat lain. Di rumah sakit yang tadi menvonis Biyan mandul.
Satu setengah jam kemudian mereka sudah berada di rumah lagi. Hasil tes untuk Biyan baru akan keluar besok. Sedang Melati sekarang berada di masa subur, dan dokter menyatakan kemungkinan hamil untuk Melati sangat besar jika terjadi pembuahan dalam dua hari ini. Jadi organ reproduksi perempuan itu sama sekali tidak bermasalah.
Biyan terlihat sangat lemas. Meskipun dia tidak lagi menangis, tetapi Melati tahu lelaki itu masih terpukul. Biyan pasti cemas akan hasil pemeriksaan kesuburannya besok.
“Apa aku boleh membolos hari ini, Mel? Rasanya aku enggak karuan banget,” lirih Biyan.
Melati mengangguk. “Mas istirahat saja di rumah, biar aku ke toko sendiri.”
“Ibu juga mau pamit pulang ya, Mel,” ujar Dewi.
“Mau sekalian bareng aku, Bu?”
“Ibu bawa motor kok.”
Melati mengangguk. Dia bersalaman dengan suami dan mertuanya, lalu melajukan mobilnya ke toko. Dia mempunyai dua toko sembako besar peninggalan orang tuanya, yang selama ini diurus berdua dengan Biyan.
Sebenarnya untuk operasional sehari-hari, Melati mempekerjakan Yanuar. Dia dan Biyan hanya sesekali melakukan audit, sehingga jika pun mereka berdua tidak pergi ke toko, bisnis mereka tetap berjalan dengan lancar. Namun Melati memutuskan untuk tetap pergi ke toko, walau hatinya sendiri sebenarnya porak poranda.
Pengakuan Biyan bahwa dia pernah menghamili seorang gadis di masa mudanya, membuat dia gelisah. Siapa gadis itu? Sejauh mana perasaan suaminya kepada gadis itu? Apakah benar hanya kenakalan masa muda? Lagi pula kalau memang begitu, seharusnya dia sudah hamil semenjak awal menikah. Bukankah dia subur?
Kepala Melati berdenyut-denyut saat menginjakkan kaki di toko. Dengan hati dibesar-besarkan, Melati tetap berusaha melakukan rutinitas kewajibannya. Mengecek pembukuan yang sudah dilakuan Yanuar dan pekerjaan-pekerjaan lain.
Sore hari Melati pulang ke rumah dengan badan terasa sangat loyo daripada biasanya. Pikiran memang selalu menyerap tenaga lebih banyak dibanding aktifitas fisik.
“Mak buatkan teh, Mbak?” Mak Tarwih menyambut.
Tatapan perempuan renta yang sudah lama mengabdi pada keluarga Melati itu, menyiratkan kesedihan. Telinganya sudah mendengar kejadian yang menimpa Melati dan Biyan.
Melati menggeleng. “Aku udah ngopi dua gelas di toko, Mak. Mas Biyan mana?”
“Mas Biyan dari tadi mengurung diri di kamar, Mbak. Mak dengar dia menangis terus, bahkan sampai belum makan. Mak udah berusaha membujuk, tapi Mas Biyan tetap enggak mau keluar.”
Melati menghela napas. Dia sampai lupa, hari ini mereka sama sekali tidak berkomunikasi. Padahal biasanya mereka saling bertukar kabar sesekali jika tidak bersama.
“Mbak Melati yang sabar ya,” kata Mak Tarwih sembari mengelus pundak Melati. Perempuan itu sudah bekerja di keluarga Melati sedari Melati masih bersekolah. Mak Tarwih bahkan lebih seperti ibu dibanding almarhumah ibu kandung Melati sendiri, sebab sehari-hari Melati berada dalam pengasuhan perempuan itu.
Melati tidak merespon. Dia bergegas menuju ke kamar, dan mendapati suaminya tertidur dengan wajah penuh bekas-bekas air mata. Hidung lelaki itu memerah, kelopak matanya yang menutup terlihat bengkak.
Tangan Melati bergerak, ingin menyentuh wajah Biyan. Namun tinggal beberapa senti dari pipi sang suami, Melati menarik kembali tangannya. Bisa saja Biyan baru tertidur setelah kelelahan menangis sedari tadi. Lebih baik dia membiarkan beberapa saat. Nanti sebelum mahrib dia akan bangunkan suaminya.
Melati pergi ke kamar mandi. Baru saja dia hendak menutup pintu, terdengar Biyan berteriak-teriak.
“Maafkan aku, maafkan aku. Jangan kutuk aku, Aneta. Jangan! Maafkan aku. Aneta! Aneta!”
Melati sontak mendapatkan sang suami.
“Mas, Mas ….” Melati mengguncang tubuh Biyan.
Sedang di luar kamar, Mak Tarwih memanggil namanya dengan nada cemas.
“Enggak pa-pa, Mak. Mas Biyan hanya mengigau!” Dengan terpaksa Melati berteriak, agar Mak Tarwih berhenti mengetuk pintu dan memanggil-manggil.
Mendengar teriakan Melati, Biyan menjadi sadar. Lelaki itu terduduk kaget dan terengah-engah. Sorot matanya ketakutan melihat Melati.
“Aku mimpi Aneta.” Tangan Biyan mencengkeram Melati dengan erat.
Malam kian larut.Biyan menggigil kedinginan. Tadi gerimis sempat mendera bumi beberapa menit, tetapi sudah cukup untuk membuat bajunya basah. Perutnya sudah lapar lagi, sebab dia terlalu banyak menggunakan tenaga. Berjalan cepat tanpa henti sedari tadi. Lelaki itu membuka dompetnya, tinggal uang receh, mungkin tidak sampai seratus ribu.Dia tidak terlalu sering membawa uang tunai. Lagi pula semua kebutuhannya selama ini sudah disediakan Melati. Biyan hanya mengantongi uang untuk membayar parkir. ATM yang dia pegang ini sudah tidak bisa digunakan, pasti Melati telah memblokirnya. Sedang ATM yang lain dipegang Aneta.‘Ah, di mana Aneta sekarang berada?’ keluh Biyan dalam hati. ‘Tega banget ninggalin aku begini. Padahal semua ini adalah rancangannya. Aku dan Ibu sudah berkorban untuk mewujudkan impiannya, akhirnya malah begini.’Biyan melenguh, dia teringat nasib ibunya. ‘Semoga Melati tidak tega menghukum Ibu
Dewi tetap bersikukuh pada pendiriannya, bahwa dia tidak tahu menahu soal sertifikat dan perhiasan yang dituduhkan oleh Melati. Di depan polisi dia terus bersumpah tentang hal yang sama.Ibu kandung Biyan itu menangis meraung-raung saat seorang polwan membawanya untuk dikurung. Dewi memang terpaksa menghuni sel sebab dikuatirkan berpotensi kabur, seperti terlapor lainnya. Yaitu Aneta dan Biyan.Pulang dari kantor polisi, Melati bersama Yanuar pergi ke rumah Bu Ana alias Mbok Yul.Perempuan yang sedang makan bakso di teras rumah bersama anaknya itu terkejut bukan main melihat kedatangan mereka.“Halo, Bu Ana, masih ingat saya enggak?” sapa Melati dengan suara dibuat meledek. “Kalau saya masih ingat loh sama Bu Ana, meski sekarang bajunya bagus dan agak gemukan sedikit ya. Bu Ana, eh apa harus kupanggil Mbok Yul?”Ana dan Keisya, anaknya, saling melirik. Raut wajah mereka sama sekali tidak bisa disembunyikan lagi. Luar biasa m
Aneta baru menginjak semester dua, saat mendengar ada program magang di sebuah toko grosir yang lumayan besar. Terdesak kebutuhan ekonomi, gadis itu pun ikut mendaftar. Dia dipanggil untuk mengikuti tes tidak lama setelah memasukkan lamaran.Tes tidak begitu sulit, hanya ilmu logika dasar dan hitungan matematika sederhana. Tengah dia mengerjakan tes, melintaslah seorang perempuan yang dia kenal. Dia adalah Melati, kakak tingkat di kampusnya, yang sedang menjadi gunjingan. Minggu kemarin perempuan itu melabrak pacarnya yang ternyata punya kekasih lain, setelah perempuan itu habis-habisan memberi banyak uang dan benda kepada si pacar.“Hm … katanya dia kaya, kenapa ikut daftar kerja di sini?” batin Aneta mencibir.Cibiran Aneta menjadi mentah ketika akhirnya dia tahu bahwa Melati bekerja di toko itu bukan sebagai karyawan magang, melainkan karena dia merupakan anak si empunya toko. Yang berarti adalah ahli waris, pemilik toko masa depan.
“Loh, ini siapa, Nur? Kenapa mereka dibawa ke sini?” bisik Melati pada Nuri. Tak urung perempuan itu berdiri, bersikap menyambut dua orang yang berjalan di belakang keponakan Mak Tarwih tersebut.“Bu Melati, ini Pak RT tempat Bu Dewi tinggal, dan beliau istrinya. Tadi sebelum saya menggeledah rumah Bu Dewi saya minta bantuan beliau berdua untuk menjadi saksi, takut nanti saya diteriakin maling kan bahaya,” sahut Nuri seraya mengeluarkan tawa kecil.Gadis itu memang diperintah oleh Melati untuk pergi ke rumah Dewi, mencari sertifikat dan perhiasan yang hilang. Melati curiga jika barang-barang tersebut telah disimpan di sana, meskipun saat Dewi diinterogasi, Dewi bersumpah-sumpah tidak menyimpannya.“Oh, terus gimana? Nemu?” Melati tersenyum sumringah. Dalam hatinya memuji kecerdasan Nuri.Gadis itu menggeleng. “Enggak ada, Bu.”“Udah kamu cari di semua ruang?” nada suara Melati
Melati susah payah duduk di sandaran tempat tidurnya. Makanan yang Nuri bawakan hanya bisa masuk ke tenggorokannya sekitar tiga suap saja. Mau dipaksakan juga tetap tidak bisa. Yang ada justru perutnya bergolak, seperti meninju-ninju untuk memaksa makanan itu keluar lagi.“Saya buatkan jus apel saja ya, Bu?” usul Nuri.Dia benar-benar tidak tega melihat Melati begini. Seumur hidupnya, dia belum pernah kenal dengan lelaki, jadi dia tidak begitu tahu bagaimana rasa sakit yang ditanggung majikannya.Melati menggeleng. “Nanti aja, Nur, tunggu sebentar lagi ya. Saya perlu menenangkan diri dulu.”“Baik, Bu. Saya keluar dulu kalau begitu.”Nuri keluar membawa bubur nasi yang masih tampak utuh, hanya sedikit koyak pada pinggir-pinggir piring saja.Begitu pintu ditutup, Melati menangis lagi. Hatinya begitu hancur. Sebelum Nuri masuk tadi, dia baru saja menerima pesan dari Yanuar. Ternyata buku nikahnya palsu.
Nuri menemukan Melati tengah menangis terisak-isak di atas bantalnya sendiri.“Bu, untung sekali Ibu sudah pulang, selisih dari sedikit menit, yah mungkin malah cuma beberapa detik saja pas Ibu masuk kamar, Bu Dewi datang,” bisik Nuri sembari merapikan selimut yang dipakai Melati.Perempuan yang tengah menahan tangis itu tidak menjawab. Dia memandang Nuri sekilas, lalu menenggelamkan kepalanya lebih dalam kepada bantalnya yang empuk.“Ibu tenanglah, saya akan bantu Ibu untuk membuat mereka bertiga kapok,” Nuri bicara lagi. Tangan kecilnya dengan berani mengusap rambut majikannya. Hati Nuri menjadi sangat trenyuh, mengingat Melati sebenarnya sudah sebatang kara. Mak Tarwih sempat bercerita beberapa perkara mengenai hidup dari anak satu-satunya almarhum Bapak Ruli ini.“Nur, kamu tau enggak kalau ternyata—““Mel, kamu udah baikan?”Sapaan Dewi yang dibarengi ketukan jarinya di pintu k