Aidan menyeringai, nada suaranya seperti sengaja diatur agar terdengar ringan namun menusuk, “Masa Ibu takut? Nanti kami nggak bisa lihat Ibu jadi panutan kalau Ibu segitu pemalunya…”Kirana memandangi ketiga anaknya dengan alis sedikit terangkat. Sejenak ia diam—tatapan matanya seolah sedang menimbang antara harga diri dan ketakutan.Napasnya mengembus pelan, nyaris tak terdengar. Lalu, dengan gerakan lambat tapi pasti, ia mengangguk. “Ya sudah… Ibu ikut.”Senyuman licik Aidan dan Bayu langsung mekar. Mahira menggenggam tangan ibunya, menggiringnya seperti seorang pemandu berpengalaman.Mereka bertiga menuntun Kirana ke arah bangunan yang dari luar sudah tampak menantang: rumah hantu itu berdiri sunyi, dihiasi lampu-lampu kuning pudar dan suara angin buatan yang mendesir dari sela-sela jendela pecah.Dari kejauhan, Raka berdiri bersandar pada tiang bambu dengan mata yang tak pernah lepas dari keluarga kecil itu.Wajahnya serius, seperti men
Sementara itu, keresahan di dada Raka belum juga reda. Percakapan dengan Jaka barusan hanya menegaskan satu hal—waktu mereka semakin sempit.Elina tak bisa terus dibiarkan menunggu dalam diam. Kirana harus tahu. Harus.Ia menatap layar ponselnya dengan tatapan nyaris putus asa. Jemarinya berulang kali menyentuh ikon panggilan, tapi jawaban yang datang tetap sama—hampa."Tidak dijawab." Kalimat itu berkali-kali menari di layar, seperti sindiran dingin yang menusuk ke dada.Wajah Raka mengeras. Rahangnya mengatup, matanya gelap. Ia sempat berharap, sekecil apa pun, bahwa Kirana mungkin masih menyisakan empati.Tapi harapan itu menguap seperti embun di tengah terik siang. Kirana—atau lebih tepatnya Elina—telah memblokirnya.Bukan sekadar penolakan, tapi seolah-olah ia benar-benar tak ingin ada jejak Raka lagi dalam hidupnya.“Gimana?” Jaka bertanya pelan. Wajahnya penuh kehati-hatian, tapi tatapan mata Raka sudah menjawab sebelum kata-ka
Tanpa keraguan, Kirana mengangguk pelan. “Boleh. Nanti Ibu atur jadwal lesnya setelah kalian cukup istirahat, ya.”Bayu, yang sedari tadi duduk bersandar di dekat ibunya, langsung menengadah dan menggamit lengannya dengan manja.“Tapi boleh nggak Ibu juga ambil cuti sebentar?” tanyanya, mata bulatnya memohon penuh harap. “Kita udah lama banget nggak jalan-jalan bareng. Yuk ajak kami main! Kita pengen banget ke Taman Semesta. Bibi Mahira bilang tempatnya seru banget, Bu!”Nada suaranya seperti angin kecil yang mengetuk-ngetuk pintu hati Kirana, mengajak masuk ke ruang-ruang yang sudah lama ditinggalkannya—tempat di mana tawa dan kebersamaan bukan hanya kenangan, tapi kenyataan yang hidup.Kirana sempat terdiam. Ia mengembuskan napas, lalu memandangi wajah dua anaknya yang kini duduk bersebelahan, menatapnya penuh harap.Di balik binar mata itu, Kirana bisa membaca lebih dari sekadar keinginan bermain. Ada kekhawatiran tersembunyi—sebuah usaha kecil
“Gimana hasilnya?” Suara Raka terdengar serak, mengambang di antara denting halus hujan yang mulai turun membasahi kaca jendela kafe tempat mereka duduk.Tangannya menggenggam cangkir kopi yang mulai mendingin, seolah berusaha menahan sesuatu yang tak kasat mata.Jaka menggeleng pelan, matanya menatap ke luar jendela yang berkabut. “Ellie benar-benar menutup diri. Dia nggak mau bicara sama siapa pun. Bahkan aku... aku pun dia tolak, Rak. Rasanya ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang dia simpan rapat-rapat. Kita nggak bisa paksa dia bicara sebelum kita tahu luka yang dia sembunyikan.”Raka mengerutkan kening. Rahangnya menegang, seolah menahan ingatan yang tiba-tiba menyeruak dari balik lapisan pikirannya.Jaka belum menyadari perubahan itu. Ia melanjutkan, suaranya kini lebih rendah tapi tajam. “Ada kejadian nggak, akhir-akhir ini? Sesuatu yang bisa memicu... ledakan emosi?”Raka diam. Ruang antara mereka terasa mengerut, mendadak sesak. Dalam
Begitu kendaraan Raka melintasi gerbang besi rumah di Lembang yang dikelilingi kabut tipis sore hari, Elina lebih dulu melesat masuk, langkahnya cepat namun lesu, seperti sedang melarikan diri dari sesuatu yang tak bisa didefinisikan.Suara pintu kamar dibantingnya menggetarkan keheningan rumah, menyisakan gema pendek yang menggantung di udara.Raka menghela napas panjang, pelan, berat. Ia menatap lorong menuju kamar Elina sejenak, lalu menunduk sambil menyisir rambut ke belakang dengan tangannya.Ia mengenal pola ini. Elina memang kerap meledak tanpa aba-aba, seperti badai kecil yang datang tanpa angin.Tapi kali ini... ada sesuatu yang berbeda. Bukan sekadar ledakan. Ini lebih sunyi. Lebih menusuk.Namun, tanggung jawab di kantor pusat Bandung menunggu, seperti tali tambang yang terus menariknya ke realitas lain.Setelah memastikan Elina terkunci di ruang pribadinya, Raka memanggil Cempaka—perempuan paruh baya yang telah lama menjadi penja
Tanpa menoleh, Kirana melangkah pergi. Gemerisik langkahnya menyatu dengan desir angin pagi yang dingin, meninggalkan Raka dan Elina berdiri dalam sunyi yang menyesakkan.Tak ada pamit. Tak ada penjelasan. Hanya bayangan punggung yang menjauh, seperti gema terakhir dari seseorang yang tak berniat kembali.Wajah Raka mengeras. Ia berdiri kaku, seolah tengah menahan badai yang bergulung-gulung dalam dada.Udara terasa berat, seperti menjelang hujan lebat—panas, lembap, penuh ketegangan yang tak terlihat namun nyata.Sementara itu, Elina tetap diam di sampingnya, tubuh kecilnya kaku seperti patung. Tapi lalu, seakan sebuah benang halus dalam dirinya terputus, ia terisak keras, suara tangisnya pecah seperti gelas jatuh di lantai keramik.Tanpa aba-aba, ia melepaskan genggaman tangan ayahnya dan mulai berlari—mengejar mobil yang kini hanya tinggal siluet di ujung jalan.Ia tidak tahu kenapa. Tidak sepenuhnya mengerti apa yang mendorongnya. Tapi h