Kedua anak laki-laki itu, Aidan dan Bayu, duduk bersila di lantai kamar, tangan mereka masing-masing menggenggam boneka kesayangan Elina.
Mereka mencoba membuat adik kecil mereka tersenyum, namun wajah Elina tetap kosong, tatapannya menerawang menembus langit-langit kamar.
Senyap yang terasa ganjil menyelimuti mereka—sunyi yang seharusnya tak hadir di dunia anak-anak.
Kirana memperhatikan dari ambang pintu. Ia tahu, tidak ada yang lebih mereka inginkan selain melihat senyuman Elina kembali.
Ia melangkah mendekat dan menunduk, mengusap kepala mereka perlahan.
"Butuh waktu bagi Ellie untuk pulih. Kita harus sabar, ya," bisiknya lembut, seperti suara angin sore yang menenangkan.
Aidan mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca tapi mencoba tegar. Bayu menggigit bibir bawahnya, menahan kecewa.
Perlahan, mereka berdiri dan berjalan keluar, meninggalkan kamar dengan langkah yang berat, seperti membawa kesedihan yang tak sanggup mereka mengerti
Kirana mengangguk cepat, nyaris seperti refleks. "Baik. Lagipula, menurutku Ellie juga sebaiknya tetap sekolah di sana. Dia butuh berinteraksi dengan anak-anak lain," ucapnya, berusaha terdengar mantap meski ada nada ragu yang menyelinap di ujung suaranya.Angin dingin dari sela-sela jendela yang belum tertutup rapat menyentuh lehernya, seperti mengingatkannya bahwa segala sesuatu bisa berubah dengan cepat.Membawa Ellie kembali ke lingkungan yang sudah dikenalnya mungkin bisa menjadi langkah awal untuk menyambung kembali sesuatu yang sempat terputus di dalam dirinya.Tapi tetap saja, Kirana melirik Raka, diam-diam berharap akan ada pertanyaan, semacam konfirmasi bahwa ini bukan keputusan sepihak.Namun pria itu hanya menatap lantai beberapa detik, seolah sedang mencari kata di antara kerikil pikirannya, lalu berkata datar, "Silakan. Lakukan saja apa yang menurutmu terbaik. Enggak perlu lapor aku soal itu."Suaranya tidak tinggi, tapi cukup tegas u
Kedua anak laki-laki itu, Aidan dan Bayu, duduk bersila di lantai kamar, tangan mereka masing-masing menggenggam boneka kesayangan Elina.Mereka mencoba membuat adik kecil mereka tersenyum, namun wajah Elina tetap kosong, tatapannya menerawang menembus langit-langit kamar.Senyap yang terasa ganjil menyelimuti mereka—sunyi yang seharusnya tak hadir di dunia anak-anak.Kirana memperhatikan dari ambang pintu. Ia tahu, tidak ada yang lebih mereka inginkan selain melihat senyuman Elina kembali.Ia melangkah mendekat dan menunduk, mengusap kepala mereka perlahan."Butuh waktu bagi Ellie untuk pulih. Kita harus sabar, ya," bisiknya lembut, seperti suara angin sore yang menenangkan.Aidan mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca tapi mencoba tegar. Bayu menggigit bibir bawahnya, menahan kecewa.Perlahan, mereka berdiri dan berjalan keluar, meninggalkan kamar dengan langkah yang berat, seperti membawa kesedihan yang tak sanggup mereka mengerti
Kalau Raka bisa sekejam ini hanya karena mencurigai aku, bagaimana kalau aku benar-benar mengaku?Apa yang akan dia lakukan padaku nanti?Pikiran itu menggelegak di kepala Zelina, membuat jantungnya berpacu tak karuan. Panik mencengkeramnya lebih erat daripada tangan Raka di lehernya.Udara malam di Dago Atas yang biasanya sejuk, malam itu seolah membeku bersama napas Zelina yang makin tipis.Dinding-dinding rumah yang berdiri angkuh di atas perbukitan menjadi saksi ketegangan yang menggumpal pekat di ruang tamu itu.Cahaya lampu yang temaram memantulkan kilat kemarahan di mata Raka, dan wajah Zelina sudah membiru, seperti bunga yang layu karena direnggut dari tanahnya.Zayyan menerobos masuk, napasnya memburu. Ia terhenti di ambang pintu saat melihat pemandangan di depannya—Zelina tergencet oleh kemarahan lelaki itu, lehernya dicekik hingga wajahnya tak lagi menunjukkan kehidupan.Tanpa berpikir panjang, ia melesat ke depan.“
“Lihat sendiri saja!” suara Kirana terdengar tajam, sebelum telepon ditutup dengan bunyi klik yang dingin dan final.Raka menatap layar ponselnya, kosong sejenak. Nada suara Kirana barusan... ada sesuatu yang tak biasa di dalamnya—campuran amarah, gugup, dan kepedihan yang menempel seperti kabut tipis.Tanpa pikir panjang, ia bergegas. Mobilnya menderu melintasi jalanan menanjak menuju Lembang, meninggalkan denyut kota yang lambat-lambat larut dalam cahaya senja.Rumah Kirana berdiri anggun di antara pohon-pohon pinus, aroma tanah basah dan kayu pinus memenuhi udara.Rumah itu tenang, tapi malam ini keheningannya seolah menyimpan sesuatu yang retak.Di ruang tamu yang remang dengan lampu kuning temaram, Kirana duduk kaku di ujung sofa rotan. Di sampingnya, Elina kecil, tubuh mungilnya menyusut dalam balutan kaus lusuh dan celana pendek, menatap lantai tanpa suara.Di sudut ruangan, kipas angin berdengung pelan, berputar seperti enggan.
“Kemarin, Ayah dan Ibu sempat bawa Ellie keluar,” suara Raka nyaris tenggelam di antara desah napasnya yang berat.“Tapi mereka nggak bilang mau ke mana. Jujur aja, sikap mereka agak… aneh. Tapi aku tahu, mereka cinta banget sama Ellie. Mereka nggak mungkin nyakitin dia.”Mata Kirana menajam, mencoba membaca raut wajah Raka yang mulai diliputi resah.“Satu-satunya orang lain yang sempat ketemu Ellie sejak tadi malam,” lanjut Raka dengan suara pelan tapi tegas, “cuma Zelina.”Tangan Raka mengepal, buku-bukunya memutih. Suara yang tadi terdengar rapuh, kini berubah menjadi serpihan amarah yang nyaris meledak.“Ellie nggak pernah cocok sama dia. Tapi aku nggak nyangka... dia bisa sejahat itu.”“Jadi... siapa sebenarnya?” desak Kirana, nyaris berbisik. Ada kilatan takut dan penasaran yang bersaing di matanya, menunggu jawaban yang mungkin tak ingin ia dengar.Wajah Raka berubah kelam, seperti langit yang menahan hujan petir. Ia memalingka
Tatapan Zelina yang awalnya membeku dalam ketakutan kini berpendar perlahan—ada sesuatu yang mengendap dari balik pupilnya.Bukan lagi ketakutan mentah seperti sebelumnya, melainkan amarah tipis yang merayap seperti kabut dingin di pagi hari.Seperti air kolam yang keruh di dasar, dendam itu menetap diam-diam, tak menggelegak, tapi nyata.Sialan… Kenapa semuanya jadi seperti ini? gerutu Raka dalam hati, matanya menatap kosong pada dinding yang tak berkata apa-apa.Ia tahu segalanya kini berantakan. Dan penyebabnya? Anak kecil sialan itu! Gadis kecil menyebalkan itu—Elina.Seharusnya dia sudah bereskan pagi tadi. Tapi sekarang semuanya terlanjur.Sementara itu, Kirana menyingkirkan pikiran-pikiran mengganggu yang berkeliaran di benaknya. Ia berjalan ke dapur dengan langkah yang tak tergesa, namun penuh tujuan.Dapur itu hangat, lampunya temaram kekuningan, memantulkan cahaya lembut di atas permukaan meja kayu yang sudah ia ber