Langit Dago Atas mulai menggelap, bayangan pohon-pohon pinus di halaman rumah kolonial itu bergetar pelan diterpa angin sore.
Dari balik jendela tinggi dengan tirai renda yang setengah terbuka, cahaya keemasan matahari membentuk siluet Sekar yang berdiri tegak di tengah ruang tamu.
Sorot matanya tajam, tapi lelah; seperti nyala lilin yang mencoba melawan angin.
Raka berdiri berhadapan dengannya, tubuhnya kaku, rahang mengeras. Tak ada satu pun dari mereka yang bergerak untuk duduk, seolah posisi berdiri itu adalah medan tempur terakhir.
Sekar menarik napas dalam, lalu melepaskannya perlahan, mencoba menurunkan nada suaranya. Namun kalimat yang meluncur tetap mengandung bara.
“Lalu bagaimana dengan Zelina?” ucapnya, menahan getir. “Setelah selama ini dia selalu di sisimu... berkorban untuk kita semua... kamu pikir pantas meninggalkannya begitu saja?”
Raka tidak langsung menjawab. Hanya matanya yang berubah, seperti kabut tipis menyelimuti pup
Padahal Zelina sudah merawat Kakek selama bertahun-tahun, pikir Senja geram, dan tak pernah kalah darinya dalam hal apa pun.Tapi perempuan ini, si perusak hubungan orang, malah menuduhku nggak sopan!Nada batinnya penuh bara. Amarah itu seperti kabut panas yang menutup matanya dari kenyataan, membuat setiap kata Kirana terdengar seperti cemoohan yang dibungkus senyum palsu.Tangannya mengepal di pangkuan, gemetar nyaris tak terlihat, namun cukup untuk membuat jari-jarinya kaku.Melihat wajah adiknya yang merona merah dan rahang yang mengeras, Bara hanya bisa menghela napas panjang.Udara sore Bandung yang sejuk seolah tak mampu meredakan ketegangan di ruang keluarga itu. Tanpa berkata apa-apa, ia sempat melirik tajam ke arah Senja—pandangan yang tak memaki, tapi juga tak menyetujui.Lalu, seperti tersentak oleh sesuatu yang lebih mendesak, ia melangkah cepat meninggalkan ambang pintu dan mengejar sosok yang baru saja pergi."Kirana!"
“Ini obat keluarga kami yang paling ampuh untuk luka bakar. Sebagai dokter, tanganmu itu aset utama. Jadi harus dirawat baik-baik,” ujar Bara, suaranya rendah namun mengandung ketegasan lembut, seperti embusan angin sore yang membawa aroma kayu manis dari dapur tua.Ia menyodorkan sebuah botol kecil berisi cairan berwarna kuning keemasan. Aromanya samar, campuran herbal dan sesuatu yang asing namun menenangkan—mungkin warisan rahasia dari generasi yang tak sempat dicatat dalam buku pengobatan manapun.Tangan Bara menyentuh jari-jari Kirana secara tak sengaja saat menyerahkan botol itu, sekelebat panas yang bukan berasal dari luka membuncah sesaat di antara keduanya.Kirana nyaris membuka mulut untuk berterima kasih ketika suara yang memotong udara seperti pecahan kaca terdengar dari arah pintu.“Bara, jangan terlalu baik begitu. Nanti malah bikin orang baper,” kata Senja. Suaranya nyaring, kering, dengan nada yang mengiris, seperti gesekan logam di atas b
Tatapan laki-laki itu akhirnya jatuh pada Kirana. Ada yang berubah dalam sorot matanya—bukan hanya rasa kagum, tapi juga semacam ketenangan yang pelan-pelan tumbuh.Ia menyaksikan bagaimana Elina, dengan sentuhan keibuan yang tak dibuat-buat, menatap Kirana seolah dunia miliknya menggantung pada sosok perempuan itu.Kirana, tanpa ia sadari, tersenyum tipis. Napasnya mengalir lega. Dalam hatinya, ia bersyukur Elina berhasil menjawab pertanyaan yang sempat menggantung di udara tadi—pertanyaan yang tak sanggup ia jawab sendiri.Setelah menyerahkan kedua bocah itu ke pangkuan waktu sekolah mereka, Kirana menatap mereka sesaat, seolah ingin merekam gerak-gerik kecil yang mungkin akan ia rindukan nanti.Ia berjongkok, merapikan krah seragam anak sulung, dan membisikkan sesuatu di telinganya. Anak itu mengangguk sambil tersenyum malu, lalu berlari mengejar adiknya.“Terima kasih sudah menjaga mereka,” ucap Kirana tulus pada Elina. Suaranya nyaris tenggela
“Paham, Bu. Terima kasih atas nasihatnya,” balas Zelina. Suaranya terdengar tenang, tapi ada getar halus di ujungnya—seperti riak air yang tak terlihat, menyimpan pusaran dalam.Sekar mengangguk, pelan dan mantap, seperti seseorang yang baru saja meletakkan beban dari pundaknya.“Dalam waktu dekat, aku akan ajak orang tuamu bicara soal tanggal pernikahan,” ujarnya, sambil menatap mata Zelina yang kini lebih teduh.“Jangan khawatir. Justru semakin kamu tegang, semakin sulit hasilnya. Biarkan semuanya mengalir.”Zelina mengangguk, senyumnya tipis tapi tulus. Ada rona lega yang menjalar di wajahnya, seperti langit senja yang pelan-pelan cerah setelah seharian mendung.Tatapannya menyiratkan harapan baru, meski tak diucapkan secara gamblang.Malam menjelang dengan angin Setiabudi yang sejuk menyusup lewat sela-sela dedaunan. Di gerbang taman kanak-kanak yang mulai lengang, Kirana berdiri dengan mantel tipis dan tas kecil tergantung di bahu.
Kirana menatap Elina lama, seolah ingin merekam wajah mungil itu dalam-dalam ke dalam ingatannya. Ia tahu, keputusannya akan mengubah segalanya.Dengan berat hati, ia akhirnya mengangguk pelan. Gerakan kecil yang seolah tak berarti itu membuat senyum mengembang di wajah Elina—senyum manis yang seperti baru mekar setelah lama layu.Di luar, angin Dago masih membawa sisa dingin malam. Aroma daun basah dan embun yang menempel di pepohonan menyatu dengan kabut tipis yang menggantung rendah, menciptakan lanskap pagi yang hening dan dingin.Di balik kaca mobil yang mulai menghangat oleh sinar matahari, Sekar duduk dalam diam. Matanya tertuju lurus ke jalan, tapi pikirannya menyimpang jauh—ke suara-suara yang tak diucapkan, ke bayangan yang terus menghantuinya sejak semalam.Saat mobilnya berhenti di lampu merah dekat Simpang Dago, ia akhirnya meraih ponsel. Jemarinya menari cepat, memanggil satu nama yang kini terasa seperti pintu yang harus dibuka meski enggan
Setelah bayang-bayang Sekar menghilang di balik pintu gerbang, Raka memejamkan mata sejenak. Udara pagi yang lembap mengusap wajahnya, namun tak cukup untuk meredam gelombang panas yang masih berdenyut di dadanya.Ia menarik napas panjang, seperti hendak menyaring emosi yang menumpuk, lalu melangkah kembali masuk ke dalam rumah.Di ruang tamu, suasana perlahan mencair. Tangis Elina sudah mereda, meskipun sisa-sisanya masih tertinggal: pipi yang bengkak, mata yang sembab, dan suara napasnya yang berat, seperti masih menyimpan sesak yang belum selesai.Ia duduk di pangkuan Kirana, terayun lembut dalam pelukan yang menenangkan.Begitu melihat Raka kembali masuk, Elina sontak bangkit. Kakinya yang kecil berlari tergesa dan memeluk erat kaki ayahnya.Gerakan spontan itu membuat Raka sedikit terkejut. Ia menunduk perlahan, menatap gadis mungil yang memeluknya erat seakan takut jika ia akan pergi.Wajah Elina memerah di sekitar mata dan ujung hidun