Kirana mulai merasa tak nyaman. Udara sore yang semula hangat kini terasa menekan dadanya, seperti ada sesuatu yang tak kasat mata menggantung di antara mereka.
“Pak Pradana,” ucapnya pelan tapi tegas, “apakah masih ada urusan lain? Kalau tidak, saya ingin mengantar mereka pulang sekarang.”
Suara Kirana terdengar datar, tapi sorot matanya tak menyembunyikan kelelahan. Anak-anak langsung menoleh ke arah Raka dengan rasa ingin tahu yang tak bisa mereka sembunyikan.
Aidan mengangkat alis, Bayu menyipitkan mata penuh tanya.
Raka tersenyum tipis. “Tunggu sebentar. Saya ada sesuatu untuk Elina di mobil.”
Tanpa menjelaskan lebih lanjut, ia melangkah santai ke arah kendaraan hitam yang terparkir tak jauh dari situ, bayangan tubuhnya memanjang ditelan cahaya matahari yang mulai turun.
Kirana mengikuti gerakannya dengan tatapan curiga. Sudah hampir seminggu Elina tinggal bersamanya, dan selama ini, anak itu tak tamp
Di balik lapisan tulle gaunnya yang berkilau samar diterpa lampu gantung kristal, tangan Zelina terkepal erat.Jemarinya menekan telapak sekuat tenaga, nyaris membentuk jejak lunak di kulit putihnya yang halus.Senyum palsu masih menggantung di bibir, tapi matanya tak bisa menyembunyikan percik cemburu dan rasa tak terima yang menggelegak dalam diam.Nanti… kita lihat siapa yang menang, Kirana, batinnya membara.***Sementara itu, di tengah hiruk-pikuk rumah keluarga Baskoro yang megah dan dipenuhi kehangatan para tamu, Arga hanya sempat berdiri beberapa menit sebelum akhirnya harus duduk.Usianya tak lagi muda, dan tubuhnya tak lagi sekuat dulu, tapi pancaran wibawa pria itu masih kuat terpancar dari tatapannya yang lembut dan suara yang penuh keyakinan.Bara, yang tak pernah jauh dari sisi sang kakek, segera meluncur dengan kursi roda yang sudah dipoles mengkilap.Ia mencondongkan tubuh sedikit, berbicara pela
Meski langkahnya tak tergesa, kehadiran Kirana menyedot perhatian seketika, seolah udara di ruangan sempit bergeser hanya untuknya.Rambut hitam legamnya diikat rapi ke belakang, memperlihatkan lekuk leher jenjang yang menambah anggun siluet tubuhnya.Cahaya lampu gantung menyentuh lembut pipinya, memantulkan semburat hangat dari riasan tipis yang nyaris tak terlihat namun menonjolkan kecantikan alaminya.Senyumnya melengkung tenang, dengan mata yang berkilau—bukan seperti bintang, tapi seperti permukaan danau yang menyimpan sesuatu di bawahnya.Dalam balutan gaun satin berwarna biru yang membingkai tubuhnya tanpa cela, Kirana melangkah bagai gema sunyi di tengah pesta yang riuh.Bisik-bisik segera menyusul.“Siapa dia?”“Dari keluarga mana?”“Cantik sekali... tapi aku belum pernah lihat sebelumnya.”Tapi Kirana tetap tenang. Ia hanya melirik sekeliling sekali, cukup untuk menaka
Zelina sudah mendengar kabar soal pesta ulang tahun itu, yang katanya akan digelar cukup besar di rumah keluarga Baskoro.Sebagai salah satu lingkaran dalam keluarga Pradana, ia nyaris tak mungkin absen. Sudah bisa ditebak, kehadirannya bukan sekadar diharapkan, melainkan dianggap pasti.Maka ia hanya mengangguk ringan sambil menjawab, “Iya, aku datang. Emangnya kenapa?”Senja memicingkan mata sambil menyandarkan tubuh ke kursi, lalu menatap Zelina dengan senyum penuh makna.“Eh... Raka bakal datang bareng kamu, kan? Semua orang tahu kalian berdua itu pasangan!”Pertanyaan itu menampar seperti angin dingin yang menyusup dari sela-sela jendela. Gerak tubuh Zelina seketika kaku, meski ia berusaha tetap tenang.Ia tahu, Raka pasti akan hadir. Tapi soal datang bersama... ia tidak yakin. Akhir-akhir ini, keberadaan mereka lebih mirip dua planet yang berputar pada poros masing-masing, hanya sesekali berpapasan dalam orbit y
Elina selama ini tinggal di rumah Bu Kirana, di kamar yang menghadap ke halaman belakang, di mana pohon belimbing sering merontokkan daunnya di pagi hari.Meski tinggal di bawah atap yang sama, ia hampir tak pernah bertatap muka dengan Pak Pradana. Mereka seperti dua garis yang berjalan sejajar, tak pernah bersilangan.“Saya khawatir mereka akan makin jauh karena kurangnya komunikasi,” gumam Kirana, matanya menatap kosong ke arah jendela yang berembun tipis.Raka hanya menggeleng pelan, tak ada kata yang lolos dari mulutnya. Ia lebih memilih diam, membiarkan pikirannya berputar sendiri.Udara dalam ruangan mobil terasa berat, seolah dipenuhi pikiran-pikiran yang tak terucap.Aidan dan Bayu masih menyimpan jarak. Meskipun hari ini Raka sudah mengikuti langkah mereka sejak matahari terbit, membelikan es krim favorit dan sebuah action figure edisi terbatas, dingin yang membeku di mata mereka belum sepenuhnya mencair.Ada sedikit sen
Kirana mulai merasa tak nyaman. Udara sore yang semula hangat kini terasa menekan dadanya, seperti ada sesuatu yang tak kasat mata menggantung di antara mereka.“Pak Pradana,” ucapnya pelan tapi tegas, “apakah masih ada urusan lain? Kalau tidak, saya ingin mengantar mereka pulang sekarang.”Suara Kirana terdengar datar, tapi sorot matanya tak menyembunyikan kelelahan. Anak-anak langsung menoleh ke arah Raka dengan rasa ingin tahu yang tak bisa mereka sembunyikan.Aidan mengangkat alis, Bayu menyipitkan mata penuh tanya.Raka tersenyum tipis. “Tunggu sebentar. Saya ada sesuatu untuk Elina di mobil.”Tanpa menjelaskan lebih lanjut, ia melangkah santai ke arah kendaraan hitam yang terparkir tak jauh dari situ, bayangan tubuhnya memanjang ditelan cahaya matahari yang mulai turun.Kirana mengikuti gerakannya dengan tatapan curiga. Sudah hampir seminggu Elina tinggal bersamanya, dan selama ini, anak itu tak tamp
Dan kini, Elina bicara lagi… saat bersama Kirana.Bukan sekadar kebetulan. Dua momen yang membuat Elina bersuara, keduanya terjadi saat Kirana ada di sisinya.Ada sesuatu yang tak terlihat, yang mengalir di antara mereka. Bukan udara, bukan pula kata, tapi mungkin… ikatan.Ikatan yang tak bisa dijelaskan hanya dengan logika, namun bisa dirasakan. Raka tak berkata apa-apa, tapi sorot matanya memudar, seperti langit yang perlahan kehilangan warna senja.Ia berjongkok setinggi Elina, menatap anak itu seakan mencoba mengingat bentuk suara yang pernah ia rindukan.“Ellie, kamu senang tadi main sama pausnya?”Elina mengangkat wajah, tersenyum kecil. Lesung pipinya muncul singkat, seperti seberkas cahaya yang menyelinap di balik tirai.Ia mengangguk. Diam.Raka tersenyum, tapi tipis. Ada sesuatu di balik senyum itu—kecewa yang tak ingin diumbar. Ia masih mencoba, suaranya lebih pelan dan penuh harap.