Langkah rombongan itu pelan namun mantap, menyusuri halaman luas tempat resepsi digelar. Pijar lampu taman yang temaram menari di permukaan kolam kecil, menciptakan kilau berpendar di wajah-wajah yang datang dengan senyum.
Di antara mereka, Sekar berdiri anggun, mengenakan kebaya berwarna senja yang menonjolkan ketegasan sikap sekaligus menyembunyikan pikirannya.
Di sisi kirinya, Zelina menunduk sedikit saat menyapa para orang tua, suaranya halus, nyaris berbisik, menciptakan kesan manis yang disengaja.
Mata mereka, tanpa aba-aba, serempak beralih ke satu arah: Sekar menatap Kirana.
Kirana menyambutnya dengan senyum kecil yang tertahan, seakan menaruh jarak tanpa bersikap tidak sopan.
Ia tahu senyum itu bukanlah benteng yang kuat, namun cukup untuk menyamarkan kegugupannya.
Zelina mengamati situasi, lalu memilih tetap tenang. Ia hanya berjalan pelan di antara mereka, membiarkan percakapan mengalir tanpa merasa perlu ikut menimpali, tapi sese
Sinar lampu gantung kristal memantulkan kilau halus di permukaan meja-meja makan, menciptakan suasana hangat namun penuh gengsi di ruangan itu.Musik lembut mengalun dari sudut aula, mengiringi denting gelas dan gumam obrolan para tamu. Tapi bagi Raka, semua itu hanya latar yang memburam.Fokusnya hanya satu: Kirana. Lebih tepatnya, Kirana dan Lukman.Raka tak bicara sepatah kata pun, namun sorot matanya tak pernah lepas dari mereka. Setiap kali tawa Kirana pecah karena celetukan Lukman, otot rahangnya mengencang, seperti berusaha menahan sesuatu yang hendak meledak.Bara, yang sedari tadi berdiri di dekatnya, menyadari perubahan halus itu. Ia melangkah sedikit lebih dekat, seolah hanya ingin melihat pemandangan di seberang, padahal matanya mencuri pandang pada ekspresi Raka.“Raka, kamu kenal dekat sama Dokter Alesha, ya?” tanyanya dengan nada ringan, nyaris seperti basa-basi.Butuh beberapa detik sebelum Raka menjawab. “K
Si pria berkemeja batik mahal itu sempat terdiam, mungkin menyadari bahwa senyum dan gayanya tak cukup menembus benteng tenang yang dipancarkan Kirana.Namun ia cepat-cepat menarik kembali senyum ramahnya, seperti mencoba menyelamatkan suasana.“Wah, saya kira Anda dari keluarga bangsawan,” katanya dengan tawa kecil yang diselipi harapan. “Melihat dari sikap dan penampilan Anda... anggun sekali. Apa saya boleh berkenalan? Mungkin kita bisa jadi teman.”Kirana mengangkat wajah sedikit, tersenyum lembut. Ada nada halus tapi tegas dalam suaranya saat menjawab, “Maaf ya, akhir-akhir ini aku memang sedang tidak terlalu mood untuk hal-hal seperti itu.”Senyumnya tak memudar, tapi ia menjaga jarak dengan elegan. Meski penolakan itu dibungkus dengan sopan santun, pria itu tetap tampak kecewa.Bahunya turun sedikit saat ia mengangguk pelan, lalu berbalik dan berjalan menjauh, langkahnya berat namun tertahan.Tak ad
Sekar, yang sudah terbiasa membaca bahasa tubuh anaknya, langsung tahu maksud Raka saat pandangan pemuda itu melayang gelisah ke arah kerumunan.Ia menyentuh lengan putranya dengan kelembutan khas seorang ibu, lalu membisikkan nasihat dalam senyum hangat yang menyiratkan kepastian.“Di sana ada beberapa sesepuh yang selama ini kerja sama sama keluarga kita. Mestinya kamu nyapa mereka.”Raka menoleh ke arah yang ditunjuk ibunya.Di antara gemerlap lampu gantung yang menggantung megah dari langit-langit balai pertemuan, ia melihat beberapa pria dan wanita paruh baya berdiri dalam lingkaran obrolan—tertawa kecil sambil memegang gelas berisi wine merah tua yang terlihat mewah di bawah cahaya hangat ruangan.Ia sempat menarik napas dalam, seolah mempertimbangkan sesuatu. Tatapan matanya ragu, tapi akhirnya ia mengangguk pelan, menyerah pada keharusan yang tak bisa ia hindari.Sekar pun menoleh ke belakang, matanya mengarah pada
Arga mengangkat tangannya setengah, seperti gerakan seseorang yang ingin menepis angin, bukan tuduhan.Nada suaranya tetap ringan, namun tak kehilangan ketulusan.“Ah, jangan bilang seperti itu, dong,” ujarnya sambil menatap lembut ke arah Zelina. “Meskipun saya cuma bisa rebahan, saya tahu kok, semua yang kamu lakukan selama ini. Kamu udah berkeliling, cari dokter ke mana-mana demi saya, kan?”Tatapan Arga hangat, seperti cahaya lampu senja yang menyentuh lembut permukaan air. Di balik matanya yang mulai menua, ada penghargaan yang tak bisa ditakar kata.Zelina membalas pandangannya, dan di matanya tampak genangan air yang berkilau tertahan.“Tapi… semuanya nggak berhasil, Paman,” bisiknya pelan, seperti angin malam menyusup lewat celah jendela.Suaranya nyaris tenggelam di antara riuh tamu, namun bagi Arga, kata-kata itu terasa paling lantang.Arga hanya tersenyum, perlahan dan tenang, sepe
Langkah rombongan itu pelan namun mantap, menyusuri halaman luas tempat resepsi digelar. Pijar lampu taman yang temaram menari di permukaan kolam kecil, menciptakan kilau berpendar di wajah-wajah yang datang dengan senyum.Di antara mereka, Sekar berdiri anggun, mengenakan kebaya berwarna senja yang menonjolkan ketegasan sikap sekaligus menyembunyikan pikirannya.Di sisi kirinya, Zelina menunduk sedikit saat menyapa para orang tua, suaranya halus, nyaris berbisik, menciptakan kesan manis yang disengaja.Mata mereka, tanpa aba-aba, serempak beralih ke satu arah: Sekar menatap Kirana.Kirana menyambutnya dengan senyum kecil yang tertahan, seakan menaruh jarak tanpa bersikap tidak sopan.Ia tahu senyum itu bukanlah benteng yang kuat, namun cukup untuk menyamarkan kegugupannya.Zelina mengamati situasi, lalu memilih tetap tenang. Ia hanya berjalan pelan di antara mereka, membiarkan percakapan mengalir tanpa merasa perlu ikut menimpali, tapi sese
Di balik lapisan tulle gaunnya yang berkilau samar diterpa lampu gantung kristal, tangan Zelina terkepal erat.Jemarinya menekan telapak sekuat tenaga, nyaris membentuk jejak lunak di kulit putihnya yang halus.Senyum palsu masih menggantung di bibir, tapi matanya tak bisa menyembunyikan percik cemburu dan rasa tak terima yang menggelegak dalam diam.Nanti… kita lihat siapa yang menang, Kirana, batinnya membara.***Sementara itu, di tengah hiruk-pikuk rumah keluarga Baskoro yang megah dan dipenuhi kehangatan para tamu, Arga hanya sempat berdiri beberapa menit sebelum akhirnya harus duduk.Usianya tak lagi muda, dan tubuhnya tak lagi sekuat dulu, tapi pancaran wibawa pria itu masih kuat terpancar dari tatapannya yang lembut dan suara yang penuh keyakinan.Bara, yang tak pernah jauh dari sisi sang kakek, segera meluncur dengan kursi roda yang sudah dipoles mengkilap.Ia mencondongkan tubuh sedikit, berbicara pela