Astaga. Kirana lagi.
Bayangan siluet perempuan itu muncul sekilas di layar, diapit liputan media yang mengangkat kisah "romantis" Raka Pradana yang penuh perhatian.
Rambut hitam lurus yang tergerai dengan elegan, dagu lancip, senyum tipis yang nyaris identik, bahkan cara ia berdiri—semuanya memanggil kembali satu nama yang menghantui Zelina sejak malam jamuan itu.
Seketika wajah Zelina mengeras. Rahangnya menegang, dan pandangannya menusuk layar monitor seperti ingin menembusnya.
Sementara itu, bisik-bisik penuh antusiasme mulai menjalar seperti asap rokok di ruang kantor yang penuh aroma kopi basi dan parfum menyesakkan.
“Katanya dulu Pak Pradana ogah nikah sama Bu Pratama, tapi ternyata diam-diam perhatian banget, ya!”
“Iya, dia ganteng, terus peduli. Kayaknya romantis banget kalau udah cinta. Aduh, pengen banget punya pacar kayak gitu!”
Gumaman itu menjalar cepat dari satu meja ke meja lain, berputar d
Denting gelas dan tawa samar terdengar bercampur di udara malam yang hangat, memantul lembut di dinding bar yang remang, di mana lampu gantung berkerlap-kerlip menggantung seperti bintang yang sengaja dipasang lebih rendah.Aroma alkohol, parfum mahal, dan kulit sintetis dari sofa menyatu dalam udara yang terasa penuh, namun tidak menyesakkan.Beberapa langkah dari meja tempat Yuda dan teman-temannya berkumpul, Mahira berdiri dengan angkuh ringan di balik senyumnya yang jenaka.Sepasang mata cokelat tajamnya menyapu satu per satu wajah pria di sana, sebelum akhirnya berhenti pada Yuda.“Wah, kalian cukup oke juga,” ucap Mahira, mengangkat sebelah alis dan menyandarkan tubuh pada kursi tinggi.“Masih single semua, kan?”Nada suaranya ringan tapi menggoda, seperti uap anggur yang menguar perlahan dari gelas kristal.Seorang pria bertubuh ramping dengan rambut sedikit acak menjawab, senyumnya santai. “Kalau
Kirana mengikuti langkah Mahira seperti mengikuti arus sungai yang tak sempat dipertanyakan—ia tak berpikir, hanya melangkah.Mahira tampak begitu percaya diri, seolah klub malam itu bagian dari tubuhnya sendiri. Begitu pintu kaca berbingkai emas terbuka, dentuman bass menyambut mereka seperti riuh napas dari makhluk hidup yang tak sabar ingin menyentuh mereka.Seorang pegawai dengan jas hitam rapi dan senyum profesional langsung menghampiri, lalu mengantar mereka ke bilik kecil di tepi lantai dansa.Sofa berbahan beludru merah darah, dinding berpanel kayu gelap, dan aroma alkohol bercampur parfum mewah melingkupi mereka seperti kabut malam yang padat.Lampu sorot berwarna ungu dan biru menari-nari di atas kerumunan. Pria dan wanita berpakaian mencolok bergerak bebas, seolah gravitasi telah memberi mereka izin untuk melupakan beban.Kirana menelan udara yang pekat dengan suara, cahaya, dan rasa asing—namun justru di dalam kekacauan itul
Kirana termenung sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. Matanya menatap Wiratama dengan sorot lembut yang baru muncul setelah sekian lama tenggelam dalam kesibukan.Hatinya mengendur. Mungkin benar, ia terlalu keras—pada dirinya sendiri, juga pada orang lain.“Terima kasih sudah mengingatkan. Kalau begitu, mari kita istirahat lebih awal hari ini,” ucapnya, suaranya tenang tapi hangat, seolah baru sadar bahwa beban tak harus selalu dipikul sendiri.Matahari masih menggantung rendah ketika seluruh tim di institut mulai berkemas. Suasana kantor yang tadinya dipenuhi suara keyboard dan aroma kopi instan kini berubah menjadi derak kursi yang ditarik dan langkah-langkah ringan menuju pintu keluar.Kirana langsung meluncur ke taman kanak-kanak. Mobilnya melaju perlahan di bawah cahaya senja yang keemasan, menggores bayangan panjang di sepanjang trotoar.Namun, ada yang mengganjal. Percakapan tadi pagi dengan Zelina masih membekas sep
“Aku nggak butuh dua foto itu untuk membuktikan betapa Raka mencintaiku. Selama enam tahun terakhir, hanya aku yang dia sayang! Kalau bukan karena kamu, yang menikah dengannya pasti aku!”Nada suara Zelina nyaring, tajam seperti kaca pecah. Ia berdiri di sisi meja dengan tubuh condong ke depan, wajahnya dipenuhi amarah yang ditahan.Sinar matahari sore menyelinap masuk lewat jendela kafe, memantul di cangkir kopi yang belum disentuh.Kirana tidak menjawab. Matanya menatap kosong ke arah taman kecil di luar jendela, tempat beberapa anak bermain tanpa beban.Hatinya berdesir pelan. Ucapan Zelina memang benar, dan memori itu—betapapun ingin ia lupakan—masih membekas kuat.Enam tahun lalu, Raka pernah berkata dengan mantap bahwa satu-satunya perempuan yang ingin ia nikahi adalah Zelina.“Kamu datang di antara aku dan Raka. Karena kamu, kami kehilangan waktu yang seharusnya jadi milik kami.”Suara Zelina
Begitu suara dari seberang telepon berhenti, Sekar hanya bisa terdiam. Napasnya tertahan sejenak, seperti ada sesuatu yang mengganjal di dadanya.Kata-kata Raka tadi masih bergema, dingin dan jelas: ia tak menginginkan pertunangan itu. Sekar meremas jemarinya perlahan, mencoba menenangkan kegelisahan yang menari di hatinya."Zelina, maaf kamu harus mengalami ini," ucapnya dengan nada lembut namun berat, seolah ingin menyelimuti luka dengan kain sutra.Zelina tak langsung menjawab. Ia menegakkan bahunya, lalu mengangkat wajahnya dengan senyum yang nyaris tak menyentuh matanya.“Tidak apa-apa, Bu. Demi Raka, saya rela menjalani semua ini.”Sekar tersenyum, namun senyum itu terasa getir. “Tenang saja. Bagiku, kamu tetap calon menantuku. Berita itu bisa kita abaikan. Lagi pula, orang-orang mengira perempuan di foto itu adalah kamu.”Zelina mengangguk sopan, kembali mengucap terima kasih dengan suara datar. Percakapan pun
Udara malam terasa lengket di kulit, menyisakan bau tanah basah dan wangi samar bunga kenanga dari taman kecil di depan rumah.Angin berembus pelan, membuat daun-daun mangga saling bergesekan, seolah ikut menyaksikan adegan perpisahan di beranda.Wiratama berdiri tegak di dekat mobilnya, sorot matanya tenang, tapi ada ketidakpastian yang tersembunyi di balik senyumnya.Ia menangkap sesuatu di raut wajah Kirana, sesuatu yang belum ingin ia bongkar malam itu.“Sudah malam,” ucapnya lembut, sambil menyelipkan tangan ke dalam saku celana, “aku pamit dulu ya. Sampai ketemu besok.”Kirana mengangguk, napasnya terhela panjang seperti angin yang akhirnya bisa melepas beban dari dadanya.Senyumnya hadir perlahan, sedikit canggung, namun cukup untuk menyampaikan rasa terima kasih tanpa kata.Begitu lampu mobil Wiratama menghilang di tikungan, Kirana menggandeng tangan Aidan dan Bayu.Telapak mungil mereka terasa h