Elina masih mencengkeram ujung baju Kirana, seolah menolak kenyataan bahwa pagi telah datang.
Jemarinya yang kecil mencengkeram erat, sementara wajahnya masih terbenam dalam bantal. Kirana tak sanggup melepaskan diri begitu saja, jadi ia menarik kursi ke sisi ranjang dan duduk di sana, menyandarkan tubuh yang letih sembari memandangi wajah polos Elina hingga akhirnya terlelap.
Keesokan paginya, cahaya matahari menyusup melalui celah tirai rumah sakit yang kelabu, menyapu lembut wajah Kirana yang masih tertidur dalam posisi duduk.
Udara pagi terasa sejuk dan sedikit berbau antiseptik. Ia menggeliat pelan dan baru menyadari ada sesuatu yang menyelimuti bahunya—jaket pria, beraroma kayu dan sedikit asap, menggantung rapi di tubuhnya.
Raka.
Ia menoleh perlahan. Ruangan itu tampak sepi. Sunyi. Raka tak ada di mana pun. Keheningan yang menyelimuti terasa berbeda, seperti ada sesuatu yang tertinggal namun tak berwujud.
Ada kekosongan yang men
Zelina menarik napas panjang, dadanya naik turun seakan menahan badai yang menggerogoti isi kepalanya. Ruangan itu dipenuhi aroma kayu tua dan cahaya lampu gantung yang temaram, menebarkan bayangan panjang di dinding.Ia menepis tangan Senja, bukan dengan kasar, melainkan perlahan, seolah hanya ingin mencabut duri tanpa melukai. Namun sorot matanya—mata yang dingin seperti bilah pisau baru diasah—tak menyisakan ruang bagi kelembutan.“Tenang dulu,” ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan, tapi sarat tekanan. “Wajar kalau Kakek dan Bara marah. Apalagi Kirana dulu yang nyembuhin sakit Kakek. Dan Bara, dia selalu berdiri di pihak Kirana. Nggak aneh kalau sekarang dia pasang badan buatnya.”Wajah Senja menegang. Bibirnya mengerucut rapat, seperti sedang menahan kata-kata yang terlalu pahit untuk ditelan. Jemarinya mengetuk meja dengan ritme tak sabar, suaranya akhirnya pecah, tajam dan penuh protes.“Jadi kita mau biari
Udara di ruang kerja itu begitu berat, seolah ada lapisan kabut tak kasat mata yang menggantung di antara tiga orang yang berdiri di dalamnya. Bau kopi yang sudah lama dingin bercampur dengan aroma kayu dari rak buku tua, menambah kesan ruang itu seperti menahan napas.Jarum jam di dinding terdengar jelas, tik... tak... tik... tak, memecah hening, tapi bukannya menenangkan—malah seperti menambah rasa tercekik.Bara berdiri tegak di dekat meja besar, kedua tangannya terkepal di sisi tubuh. Tatapannya menusuk Senja, dingin, nyaris tak berperasaan, seperti bilah baja yang ditempa dari bara kekecewaan. Hanya sedikit gerakan di rahangnya—bergetar menahan amarah yang hampir tak terkendali.Senja, dengan rambut tergerai yang sedikit berantakan karena terlalu sering disentuh, mencoba menahan pandangan Bara. Tapi suaranya, meski dipaksa tegar, terdengar serupa kaca retak yang mudah patah.“Lagi pula,” katanya, berusaha menegakkan b
Riza semula mengira hanya Bara yang memanggilnya untuk membahas masalah pengiriman pasokan obat herbal, namun ternyata ia salah besar. Begitu melangkah masuk ke rumah keluarga Baskoro, hawa dingin langsung menelannya.Arga, kepala keluarga yang terkenal berwibawa sekaligus keras, sudah lebih dulu menunggunya. Bayangan tubuh renta itu memang telah dimakan usia, tapi tatapannya masih menyala, sanggup melumpuhkan siapa pun yang berdiri di hadapannya.Kehadirannya membuat jantung Riza seakan jatuh ke perut, seperti seseorang yang berdiri di tepi jurang tanpa pegangan.Langkah Riza terasa berat, tapi kepala pelayan mengantarnya tanpa banyak bicara menuju ruang tamu. Di ruangan itu, aroma kayu tua bercampur wangi kopi yang telah lama dingin, seolah menyimpan percakapan yang pernah tertinggal.Cahaya sore menyusup lewat tirai tipis, memantul di lantai kayu yang licin mengilap, menciptakan bayangan lembut namun menekan.Udara di sana berbeda. Lebih padat,
Kirana menarik napas panjang, dada terasa sesak seolah ada beban yang menahan.Lalu, dengan suara yang lebih tenang dari hatinya, ia akhirnya berani berkata, “Terus terang, sebelum ke sini saya sudah menghubungi Tuan Riza. Tapi dia membuat seolah-olah hal ini sulit diurus. Saya sempat mengira itu perintah Anda. Itu sebabnya saya datang langsung.”Kata-kata itu jatuh pelan, namun memantul keras di ruangan makan keluarga Baskoro.Bara, yang duduk di seberangnya, langsung menegakkan tubuh. Keningnya berkerut, matanya menyipit, seakan mencoba menafsirkan maksud di balik kalimat Kirana. Tatapan penuh tanya itu membuat Kirana yakin: Bara memang tidak tahu apa-apa.Di sampingnya, Arga Baskoro—dengan tubuh renta yang ditopang tongkat kayu berukir—menatap lurus pada Kirana. Ekspresinya kaku, matanya dingin, namun ada bara yang menyala di balik sorotannya.Kirana tahu, keluarga Baskoro selalu menepati janji. Selama ini, pasokan herbal
Panggilan telepon itu pecah di telinga Wiratama, meninggalkan gema getir yang menancap dalam, seperti serpihan kaca bening berserakan di atas lantai marmer dingin. Retaknya tak bisa dipungut lagi, apalagi disatukan.Jari-jarinya masih menggenggam ponsel, namun terasa beku, seolah darah enggan mengalir. Ia menarik napas panjang, dada naik turun dengan berat. Bibirnya mencoba melukis senyum tipis, tapi matanya tetap kosong, tak tersentuh.“Halo, Pak Tegar...” ucapnya akhirnya, nada ceria terdengar kaku, seperti senar gitar yang dipetik terlalu kencang.Namun sebelum kalimat itu sempat berakar, suara dari seberang menyambar, cepat, terburu-buru, menusuk.“Oh, Dr. Nugraha! Maaf ya, kami sedang rapat. Nanti kita bicara lagi. Saya tutup dulu.”Klik.Sambungan terputus, dan sunyi menjelma beban. Hanya desis pendingin ruangan di laboratorium yang berisik, seolah sengaja menekankan kesepian yang mengeras di udara.Wirat
Suara printer tua masih sesekali mencicit, terdengar seperti keluhan mesin yang enggan menua, berpadu dengan dengung monoton AC yang meniupkan hawa dingin ke seisi ruangan.Di balik kaca jendela yang berembun, langit Bandung menggantung berat, kelabu pekat, seolah mencerminkan dada Kirana yang sejak berhari-hari lalu dicekik resah.Ia menurunkan ponsel perlahan dari telinganya, gerakan itu lambat, nyaris lesu. Wajahnya, yang dulu selalu tegas, kini tampak lebih tirus, garis lelah tergurat jelas di bawah mata. Sebuah sketsa kegelisahan, begitu rapuh namun juga keras kepala.“Kita nggak dapat apa-apa?” tanya Wiratama. Suaranya pelan, hati-hati, tapi tetap saja terdengar seperti seutas harapan yang sudah ia tahu akan dipatahkan. Ia duduk di kursi seberang, tubuh condong sedikit ke depan, mencoba menangkap raut Kirana yang tak mudah dibaca.Kirana hanya mengangguk, gerakannya sekilas saja. Pandangannya kosong, jatuh ke arah tumpukan berkas pengaju