Begitu pintu ruang privat terbuka, hawa ruangan langsung terasa berganti. Udara pengap bercampur aroma alkohol dan parfum mahal menyambut Raka, yang melangkah keluar dengan aura kaku seperti batu yang baru saja keluar dari es.
Tatapan matanya menyapu lantai—tempat beberapa pria masih terkapar, mengerang pelan sambil memegangi bagian tubuh yang memar. Wajah mereka kusut, sebagian masih mabuk, sebagian lain mulai sadar bahwa malam mereka tak akan berakhir menyenangkan.
Tanpa ampun, mata Raka menajam. Ada bara dalam tatapannya, nyaris seperti binatang buas yang tak lagi tertarik pada pertunjukan. Ia menoleh ke Zayyan yang berdiri tak jauh, tegap dan diam seperti patung penjaga kuil.
“Putuskan tangan mana pun yang mereka pakai untuk menyentuhnya,” ucap Raka, suaranya tenang tapi menyimpan kekejaman dingin.
Zayyan menunduk, tidak sekadar patuh tapi seolah ikut merasakan marah yang menggelegak. “Siap, Tuan,” bisiknya.
Tanpa
Kondisi Arga memang tidak sederhana. Begitu rumitnya hingga beberapa dokter spesialis ternama di Bandung pun sempat kebingungan, saling bertukar pendapat namun tetap tak bisa menyusun satu kesimpulan yang pasti.Ada semacam kabut tebal yang menutupi jalan menuju diagnosis yang utuh.Wiratama—dokter senior yang dikenal luas di kalangan medis—perlu waktu berjam-jam hanya untuk mengurai lapisan demi lapisan hasil pemeriksaan, menjelaskan dengan hati-hati setiap kemungkinan kepada keluarga.Bahkan suaranya sempat menurun ketika membahas prognosis—seakan memilih kata-kata pun harus dengan ketelitian seorang perajin perhiasan.Menjelang senja, sekitar pukul enam sore, Kirana baru saja menyelesaikan giliran terakhirnya di klinik.Dengan langkah cepat namun tetap anggun, ia menuju kawasan elit Menteng, tempat kediaman keluarga Baskoro berada.Jalanan mulai sepi, lampu-lampu jalan menyala redup, menciptakan bayangan panjang di troto
Wiratama mengangguk pelan, sorot matanya menatap Kirana dengan penuh pertimbangan sebelum akhirnya berkata, suaranya nyaris seperti bisikan, “Sebenarnya, semua ini aku dengar dari kamu juga, dulu. Tapi... kamu pernah dengar soal keluarga Baskoro?”Kirana diam sejenak. Alisnya perlahan bertaut, mencoba menangkap makna di balik nama yang begitu familiar di telinganya, tapi entah kenapa seakan mengambang dalam kabut ingatan.“Baskoro...” gumamnya, setengah berpikir. Nama itu membawa bayangan samar, seperti fragmen cerita masa lalu yang belum utuh.Wiratama melanjutkan dengan nada lebih pelan namun mantap, seolah sedang membuka kembali bab yang sudah lama tertutup.“Dulu, mereka itu raja obat-obatan di Bandung. Nama keluarga Baskoro selalu disebut dengan penuh hormat—terutama Pak Baskoro yang tua. Figur kuat. Karismatik. Tapi belakangan, kabarnya dia jatuh sakit. Parah. Mereka udah keliling ke dokter-dokter top, dari Bandun
Kirana menggertakkan gigi pelan sambil mengembuskan napas panjang. Hawa panas dari luar ruangan merambat masuk lewat celah jendela yang tak sempurna tertutup, menambah gerah dalam benaknya yang sudah penuh sesak oleh kekesalan.Ia duduk di ujung sofa, membungkuk ke depan dengan ponsel di tangan, nadanya tetap terkendali meski wajahnya mengeras.“Kami bisa revisi penawarannya. Bagaimana kalau kami naikkan setengah poin dari sebelumnya? Kita bisa bahas opsi yang masuk akal—pasti ada jalan tengah—”Namun suara di seberang memotong tajam, seperti pisau yang memutus benang tipis kesabaran.“Itu masih terlalu kecil. Setidaknya tiga poin kalau mau dibahas lagi.”Nada suara itu dingin dan tegas, tak menyisakan celah untuk negosiasi. Kirana terdiam sejenak. Matanya menyipit, rahangnya menegang.Tanpa kata tambahan, ia menutup telepon, jari-jarinya gemetar halus, bukan karena ragu, tapi karena marah yang mulai memba
Di kantor pusat Pradana Group yang bergaya modern minimalis dengan dominasi kaca dan baja, matahari sore menyusup malu-malu melalui jendela besar di belakang meja kerja Raka.Ruangan itu senyap, hanya denting lembut dari jam dinding yang terdengar seperti ketukan waktu yang enggan melaju.Pintu terbuka perlahan.“Tuan Pradana, saya sudah mendapatkan informasi tentang pria yang bersama Nona Alesha tadi malam,” ujar Zayyan, langkahnya mantap namun sorot matanya menyiratkan kehati-hatian.Ia berdiri tegak di hadapan atasannya, tubuhnya nyaris tak bergerak, seolah takut menambah ketegangan di udara.Raka menutup laptopnya dengan cepat, seakan tak sabar ingin mengoyak kabut misteri yang menyesaki pikirannya.Nada suaranya berubah, agak serak, ada semburat cemas yang tidak biasa. “Siapa dia?”Pikirannya melayang pada sosok Kirana semalam—berdiri di bawah lampu jalan bersama pria asing yang belum pernah ia lihat.Bayangan itu menyesak
Zelina menyipitkan mata, alisnya mengerut tajam seperti garis luka yang tak sembuh. Suaranya mengeras, menusuk udara di antara mereka seperti pisau yang baru diasah.“Apa pun alasan Anda,” ucapnya dengan nada yang lebih dingin dari pendingin ruangan di kafe itu, “itu harga kami sekarang. Kalau pihak Anda merasa tidak cocok, kami tidak keberatan membatalkan kerja sama ini.”Nada suara itu menggantung sesaat, mengisi ruang di antara meja-meja yang mulai sepi, seolah pelanggan lain tahu bahwa suasana di meja itu sedang bergolak.Kirana mengangguk sekali, kecil tapi tegas, seperti seseorang yang sudah tahu akhir dari cerita ini sebelum kisahnya dimulai.“Kalau begitu,” katanya pelan tapi tajam, “anggap saja pembicaraan ini hanya membuang waktu. Kami tidak nyaman bekerja sama dengan perusahaan yang tidak menepati janji.”Ia lalu berdiri, gerakannya tenang namun sarat makna. Kursinya menggeser pelan, menyis
Ia tak mau mengakuinya, tapi perubahan dalam diri Kirana begitu mencolok, seperti musim yang datang tanpa aba-aba—diam-diam namun membawa suhu yang berbeda.Enam tahun lalu, Kirana adalah gadis yang nyaris tak pernah bicara kecuali perlu, dengan sorot mata yang kerap memilih diam daripada menantang.Tapi kini, bahkan sebelum ia berkata sepatah kata pun, atmosfer dalam ruangan sudah berubah. Ketika ia duduk dengan punggung tegak dan wajah tanpa cela, seolah udara ikut menyesuaikan diri—lebih padat, lebih berhati-hati.Zelina memperhatikannya dari seberang meja, seolah menimbang bayangan masa lalu dengan perempuan yang kini duduk anggun di hadapannya.Ia tahu dirinya tidak banyak berubah—setidaknya ia ingin percaya begitu. Tapi pria yang selama ini nyaris ia anggap miliknya kini justru terasa seperti bayangan yang semakin menjauh setiap kali ia mencoba mendekat.Ada rasa perih yang mengendap, ditambah kecemburuan yang berdesir seper