Wiratama mengangguk pelan, sorot matanya menatap Kirana dengan penuh pertimbangan sebelum akhirnya berkata, suaranya nyaris seperti bisikan, “Sebenarnya, semua ini aku dengar dari kamu juga, dulu. Tapi... kamu pernah dengar soal keluarga Baskoro?”
Kirana diam sejenak. Alisnya perlahan bertaut, mencoba menangkap makna di balik nama yang begitu familiar di telinganya, tapi entah kenapa seakan mengambang dalam kabut ingatan.
“Baskoro...” gumamnya, setengah berpikir. Nama itu membawa bayangan samar, seperti fragmen cerita masa lalu yang belum utuh.
Wiratama melanjutkan dengan nada lebih pelan namun mantap, seolah sedang membuka kembali bab yang sudah lama tertutup.
“Dulu, mereka itu raja obat-obatan di Bandung. Nama keluarga Baskoro selalu disebut dengan penuh hormat—terutama Pak Baskoro yang tua. Figur kuat. Karismatik. Tapi belakangan, kabarnya dia jatuh sakit. Parah. Mereka udah keliling ke dokter-dokter top, dari Bandun
Nada suara dan tatapan tajam itu—Kirana mengenalnya dengan baik. Ia mengingatnya, seperti gurat bekas luka yang tak pernah benar-benar sembuh.Suatu bentuk penghukuman diam-diam yang dulu kerap ia terima dari kepala pelayan di rumah keluarga pasien.Sinis, penuh kecurigaan, dan selalu mengandung penilaian sebelum pertanyaan.Namun kali ini berbeda. Yang berbicara bukan pelayan, melainkan bagian dari keluarga pasien. Itu membuat Kirana menarik napas pelan, menelan sedikit kekesalan yang sempat naik ke permukaan.Ia memilih diam, menyembunyikan ketidaksenangan di balik wajah profesional yang telah lama ia latih.Untungnya, seorang pria muda dengan sikap tenang dan senyum ramah segera mengambil alih suasana yang mulai tegang."Maafkan kami, ya," ucapnya, lembut tapi jelas. Sorot matanya jujur, sedikit letih.“Kondisi Kakek belakangan ini memang memburuk. Kami sudah coba segala cara—dokter dari dalam negeri, bahkan yang
Jantung Kirana seperti dihantam gelombang petir tanpa aba-aba. Dentumnya menggema sampai ke ujung jemari, menggetarkan tulang rusuk, saat tatapan mereka bersinggungan dalam kesunyian ruang tamu yang terlalu lapang itu.Udara mendadak terasa lebih berat. Aroma bunga sedap malam di pojok ruangan, yang tadinya samar, kini menusuk, menguatkan sensasi malam itu—malam yang sudah lama ia kubur dalam-dalam di tumpukan ingatan.Namun kini, kenangan itu menyeruak begitu liar. Cahaya lampu gantung kristal yang menggantung di atas kepalanya terasa terlalu terang, membakar sisi wajahnya yang mulai memanas.Ia menunduk cepat, seolah pandangan itu bisa melucuti dirinya hingga telanjang perasaan. Jemarinya mencengkeram rok di pangkuan, menahan getar yang mulai menjalar.Di balik bulu matanya yang menunduk, matanya berusaha mengabaikan bayang pria itu—bayang yang terlalu akrab dan menyakitkan untuk ditatap kembali.Kirana menarik napas panjang, mencoba
Kondisi Arga memang tidak sederhana. Begitu rumitnya hingga beberapa dokter spesialis ternama di Bandung pun sempat kebingungan, saling bertukar pendapat namun tetap tak bisa menyusun satu kesimpulan yang pasti.Ada semacam kabut tebal yang menutupi jalan menuju diagnosis yang utuh.Wiratama—dokter senior yang dikenal luas di kalangan medis—perlu waktu berjam-jam hanya untuk mengurai lapisan demi lapisan hasil pemeriksaan, menjelaskan dengan hati-hati setiap kemungkinan kepada keluarga.Bahkan suaranya sempat menurun ketika membahas prognosis—seakan memilih kata-kata pun harus dengan ketelitian seorang perajin perhiasan.Menjelang senja, sekitar pukul enam sore, Kirana baru saja menyelesaikan giliran terakhirnya di klinik.Dengan langkah cepat namun tetap anggun, ia menuju kawasan elit Menteng, tempat kediaman keluarga Baskoro berada.Jalanan mulai sepi, lampu-lampu jalan menyala redup, menciptakan bayangan panjang di troto
Wiratama mengangguk pelan, sorot matanya menatap Kirana dengan penuh pertimbangan sebelum akhirnya berkata, suaranya nyaris seperti bisikan, “Sebenarnya, semua ini aku dengar dari kamu juga, dulu. Tapi... kamu pernah dengar soal keluarga Baskoro?”Kirana diam sejenak. Alisnya perlahan bertaut, mencoba menangkap makna di balik nama yang begitu familiar di telinganya, tapi entah kenapa seakan mengambang dalam kabut ingatan.“Baskoro...” gumamnya, setengah berpikir. Nama itu membawa bayangan samar, seperti fragmen cerita masa lalu yang belum utuh.Wiratama melanjutkan dengan nada lebih pelan namun mantap, seolah sedang membuka kembali bab yang sudah lama tertutup.“Dulu, mereka itu raja obat-obatan di Bandung. Nama keluarga Baskoro selalu disebut dengan penuh hormat—terutama Pak Baskoro yang tua. Figur kuat. Karismatik. Tapi belakangan, kabarnya dia jatuh sakit. Parah. Mereka udah keliling ke dokter-dokter top, dari Bandun
Kirana menggertakkan gigi pelan sambil mengembuskan napas panjang. Hawa panas dari luar ruangan merambat masuk lewat celah jendela yang tak sempurna tertutup, menambah gerah dalam benaknya yang sudah penuh sesak oleh kekesalan.Ia duduk di ujung sofa, membungkuk ke depan dengan ponsel di tangan, nadanya tetap terkendali meski wajahnya mengeras.“Kami bisa revisi penawarannya. Bagaimana kalau kami naikkan setengah poin dari sebelumnya? Kita bisa bahas opsi yang masuk akal—pasti ada jalan tengah—”Namun suara di seberang memotong tajam, seperti pisau yang memutus benang tipis kesabaran.“Itu masih terlalu kecil. Setidaknya tiga poin kalau mau dibahas lagi.”Nada suara itu dingin dan tegas, tak menyisakan celah untuk negosiasi. Kirana terdiam sejenak. Matanya menyipit, rahangnya menegang.Tanpa kata tambahan, ia menutup telepon, jari-jarinya gemetar halus, bukan karena ragu, tapi karena marah yang mulai memba
Di kantor pusat Pradana Group yang bergaya modern minimalis dengan dominasi kaca dan baja, matahari sore menyusup malu-malu melalui jendela besar di belakang meja kerja Raka.Ruangan itu senyap, hanya denting lembut dari jam dinding yang terdengar seperti ketukan waktu yang enggan melaju.Pintu terbuka perlahan.“Tuan Pradana, saya sudah mendapatkan informasi tentang pria yang bersama Nona Alesha tadi malam,” ujar Zayyan, langkahnya mantap namun sorot matanya menyiratkan kehati-hatian.Ia berdiri tegak di hadapan atasannya, tubuhnya nyaris tak bergerak, seolah takut menambah ketegangan di udara.Raka menutup laptopnya dengan cepat, seakan tak sabar ingin mengoyak kabut misteri yang menyesaki pikirannya.Nada suaranya berubah, agak serak, ada semburat cemas yang tidak biasa. “Siapa dia?”Pikirannya melayang pada sosok Kirana semalam—berdiri di bawah lampu jalan bersama pria asing yang belum pernah ia lihat.Bayangan itu menyesak