LOGINSekitar satu jam kemudian, mobil Mahira melambat saat memasuki gerbang perumahan Durwest Garden, kawasan hunian eksklusif yang bersembunyi di sudut tenang pinggiran Bandung. Suasana di dalamnya seolah meluruhkan hiruk-pikuk kota.
Jalanan berlapis aspal mulus membentang di antara deretan rumah megah dengan fasad elegan. Pepohonan flamboyan berbaris rapi di tepi jalan, daunnya menari lembut diterpa angin sore.
Semilir udara yang sejuk membawa aroma tanah basah dan bunga kamboja yang bermekaran di taman-taman kecil setiap rumah.
Salah satu rumah di deretan itu kini menjadi tujuan Mahira dan Kirana—rumah yang Mahira bantu carikan untuk Kirana dan anak-anaknya.
Sebuah rumah dua lantai dengan pagar kayu warna krem dan halaman depan yang ditumbuhi tanaman pucuk merah serta semak-semak lavender yang menebarkan keharuman samar.
Begitu mobil berhenti, Kirana membuka pintu dan melangkah keluar. Sepatunya menyentuh kerikil putih yang menghampar di pelataran, dan ia mengangkat wajah, membiarkan angin menyentuh pipinya yang pucat.
Matanya menelusuri suasana sekitar, menyapu rumah-rumah bertembok hangat dan jendela-jendela besar yang mencerminkan cahaya temaram.
“Lingkungannya nyaman... Aku suka suasananya,” katanya pelan, suaranya seperti embun pagi yang mengendap di dedaunan.
Mahira menyambutnya dengan anggukan bangga.
“Pemilik rumah ini pindah ke pusat kota. Pas banget buat disewa. Dan yang paling penting...” Ia menunjuk ke arah rumah di ujung jalan, “aku tinggal cuma dua rumah dari sini. Kapan-kapan kita bisa ngopi di beranda, nunggu matahari terbenam bareng.”
Kirana tersenyum, senyum kecil yang lebih banyak menyimpan syukur daripada kata-kata. Ia menoleh ke arah Mahira dan mengangguk pelan. “Terima kasih… benar-benar, Mahira.”
Setelah menurunkan koper-koper dan menata barang-barang seadanya ke dalam rumah yang masih kosong namun terasa menjanjikan, Mahira mengajak mereka pergi makan malam.
Langit telah berubah jingga, meleleh ke ungu tua saat mereka meluncur ke sebuah restoran yang terletak tak jauh dari kawasan itu. Lampu-lampu jalan mulai menyala, membentuk barisan cahaya yang berpendar lembut.
Namun belum sempat Mahira mematikan mesin di area parkir restoran, sebuah bayangan kecil melesat dari sudut gelap halaman. Tubuh mungil itu melompat keluar begitu tiba-tiba, seolah dilempar dari kegelapan.
Mahira reflek menginjak rem. Ban depan berdecit tajam, dan mobil terhenti hanya beberapa sentimeter dari tubuh anak itu.
Jantung Kirana seperti digenggam paksa, menghentak keras di dalam dada. Ia menoleh cepat ke kursi belakang—Aidan dan Bayu duduk terpaku, mata mereka melebar dalam ketakutan. Kirana buru-buru membuka pintu dan turun, langkahnya cepat namun tetap waspada.
Di tanah berdebu, seorang gadis kecil duduk terdiam. Usianya tak lebih dari lima tahun. Gaun merah muda yang dikenakannya tampak lusuh di bagian bawah, namun kontras dengan kulitnya yang seputih susu.
Rambut hitamnya dikepang dua dengan rapi, dan di pelukannya, sebuah boneka kelinci berbulu krem tampak seperti satu-satunya tempat berlindung.
Matanya besar dan jernih, tapi sorotnya memantulkan ketakutan yang membekukan. Ia tidak menangis, tidak berteriak—hanya diam, seolah sedang menunggu dunia memastikan nasibnya.
Kirana mendekat perlahan, kakinya menyisir tanah berpasir dengan hati-hati. Ia berjongkok, menjaga jarak agar tak mengintimidasi.
“Sayang, kamu nggak apa-apa? Sakit di mana?” tanyanya, suaranya seperti bisikan yang ingin memeluk.
Anak itu menggeleng, perlahan. Kepalanya nyaris tidak bergerak, namun pelukannya pada boneka itu mengencang. Lengan-lengannya mungil bergetar, bibirnya tertutup rapat.
Kirana menghela napas kecil. Hatinya mencelos melihat getar tubuh kecil itu. Ia menyodorkan tangan, tapi berhenti saat gadis itu menggeliat mundur, tubuhnya meringkuk seperti daun yang menggulung terkena hujan dingin.
Ia menarik tangannya kembali dan menatap lembut. “Nggak apa-apa… Tante cuma mau bantu kamu berdiri.”
Gadis itu tetap diam, matanya tak lepas dari wajah Kirana, seperti sedang menakar apakah wanita itu aman atau ancaman.
Kirana melirik ke sekitar. Area parkir cukup sepi, hanya ada beberapa mobil, dan restoran tampak belum terlalu ramai. Tidak ada tanda-tanda orang yang tampak kehilangan anak.
“Orang tuamu di mana, Sayang? Kamu sendirian, ya?” tanyanya lagi, kali ini lebih lembut, nyaris seperti doa.
Gadis itu hanya menggeleng. Tak ada suara. Hanya gerakan halus dan tatapan menunduk yang menebarkan kesedihan.
Beberapa detik kemudian, Mahira dan anak-anak Kirana ikut turun dan menghampiri. Aidan berdiri di sisi kiri ibunya, Bayu di kanan. Mereka menatap dengan mata penasaran yang belum tercemar rasa takut orang dewasa.
“Dia nggak ngomong, Bu?” bisik Bayu, mencoba tidak terdengar oleh gadis itu.
“Kayaknya dia takut, deh,” balas Aidan pelan, sambil menatap gadis itu tanpa berkedip. “Tapi... dia imut banget.”
“Jangan-jangan dia bisu,” gumam Bayu lirih, matanya tetap melekat pada boneka yang dipeluk erat.
“Kamu nggak kayak ibu-ibu deh. Biasanya kan yang panik soal beginian justru ibunya,” Mahira menggoda sambil menepuk ringan bahu Kirana. Senyum nakalnya muncul, seolah ingin menguji reaksi sahabatnya.Kirana hanya terkekeh, tawa kecilnya seperti angin tipis yang menenangkan. Dari sudut mata, ia melirik Bara yang tengah sibuk mengganti pakaian bayi. Gerakannya kaku, tapi penuh kehati-hatian, seperti sedang memegang kaca rapuh.Sesekali ia mengernyit, kebingungan dengan kancing mungil yang seakan enggan masuk ke lubang. Kirana menahan senyum, enggan membuatnya makin gugup.Begitu selesai, Mahira cepat mengangkat ponselnya. Klik! Satu momen berharga terekam: Bara dengan mata berbinar menatap bayinya yang kini berbalut baju hangat. Ada kebanggaan dan kebahagiaan di wajah itu, meski pipinya tampak sedikit lelah.Mahira lalu duduk di samping Kirana, tubuhnya terjatuh ke sofa seakan ditarik gravitasi rindu. “Tadi malam aku mimpi ketemu dewi, Kir
Tak lama setelah Mahira melangkah masuk ke lorong rumah sakit, sebuah suara pecah dari balik pintu ruang bersalin. Tangisan bayi, nyaring sekaligus rapuh, bergema dan memantul di dinding putih. Getarnya menembus dada semua orang yang menunggu.Sesaat, waktu serasa berhenti.Hening menjerat.Lalu, seperti air yang tiba-tiba menemukan jalan keluar, wajah-wajah di lorong itu merekah. Senyum lebar, mata berkaca-kaca, doa yang terucap terbata.“Syukurlah! Semoga Kirana dan bayi-bayinya sehat,” bisik Sekar, suaranya lirih, seolah takut menyinggung udara.Bara, dengan tawa yang nyaris tak bisa ia kendalikan, menepuk bahu Raka. “Selamat, Raka. Sekarang kau resmi punya sepasang anak kembar lagi!”Raka tak menjawab. Bibirnya gemetar, matanya berkabut. Senyum yang ia bawa terasa begitu jujur, tulus, penuh syukur, seakan dunia telah mengganjar semua lelahnya.Anak-anaknya, yang sejak tadi duduk gelisah, meledak dalam sorak
Di sepanjang perjalanan pulang dari rumah sakit, Kirana hanya duduk terpaku di kursi penumpang. Pandangannya kosong, seakan menembus kaca jendela mobil, namun tidak benar-benar melihat apa pun di luar sana.Bandung sore itu dipenuhi riuh kendaraan, suara klakson bersahutan, pedagang kaki lima sibuk menutup lapak, tapi semua itu terasa jauh baginya. Jemari halusnya meremas cincin perak di tangan kiri, menggenggamnya erat seakan cincin itu satu-satunya jangkar yang masih bisa ia pegang.“Ibu, Marsha sudah mati. Sekarang engkau bisa beristirahat dengan tenang.”Kata-kata itu hanya terucap lirih dalam hati, tapi terasa berat, menyesak, bercampur antara lega dan pilu.***Seminggu kemudian, langit Bandung begitu jernih. Awan tipis berarak, sinar matahari menimpa pucuk pohon mahoni tua yang menaungi lahan luas di TPU Cikutra. Kirana berdiri di sana, menatap tanah yang baru digali.Ia memilih lahan paling lapang, sekitar delapan puluh m
“Masih berani membela diri, Marsha? Beberapa hari lalu aku memang tak bisa berbuat apa-apa padamu. Tapi sekarang, aku punya cukup bukti bahwa kamu menggunakan Yosef untuk meracuni Ibu! Polisi sudah dalam perjalanan, jadi tunggu saja kehancuranmu!”Suara Kirana menggema di ruang keluarga yang besar namun pengap. Kata-katanya tegas, namun di balik ketegasan itu ada bara yang menggelegak, penuh kebencian yang menekan dadanya sejak lama.Raka, dengan wajah tanpa ekspresi, mengangkat ponselnya dan menekan tombol rekam. Jari-jarinya mantap, sorot matanya tajam, seolah ingin memastikan setiap detik pertukaran kata ini tercatat sebagai bukti yang tak terbantahkan.Yuliana, berdiri tak jauh di sisi ibunya, membeku. Bibirnya sempat terbuka hendak berkata, tapi tak satu pun suara keluar. Aku bisa melihat bagaimana matanya bergetar, seolah duniannya yang rapuh akan runtuh detik itu juga.Yosef, si anak lelaki yang kini sudah tumbuh remaja, menunduk, mengu
Kirana meraba cincin di jarinya seperti orang yang memeriksa bahwa sebuah janji masih melekat. Logam dingin itu menimbulkan bunyi hampir tak terdengar ketika ia menggoyangkannya, lalu jari-jarinya menutup rapat seolah ingin memendam getaran yang muncul dari dalam.Matanya menatap kosong sejenak ke jendela mobil, melihat siluet kota yang basah oleh gerimis, lalu kembali pada Raka dengan garis kening yang mengeras. Suaranya rendah, tetapi tiap kata berisi pembakaran:“Aku sudah dewasa sekarang, Bu. Aku punya suami dan anak. Jangan khawatir. Aku tak akan lagi jadi orang yang diinjak-injak. Aku akan menuntut pembalasan untuk Ibu. Aku janji.”Di antara kata-kata itu ada sesuatu yang tidak bisa disusun oleh logika: kepercayaan yang dibangun dari rasa sakit. Ketika ia menyebut nama Marsha, bibirnya mengeras lebih pasti.“Ayo kita datangi Marsha sekarang juga. Aku tak percaya dia akan berani tetap membisu dan pura-pura tak bersalah.” Ia me
Raka menarik tabung itu dengan jarinya yang gemetar, suara gesekan tutup kecil berbunyi halus di ruang keluarga yang masih diselimuti kabut pagi Bandung. Cahaya lembut masuk lewat tirai, memecah butiran air yang menempel di jendela menjadi titik-titik perak.Di ruangan itu tercium aroma tanah basah dan minyak kayu dari meja tua, kombinasi yang membuat suasana terasa akrab dan rahasia.“Seharusnya ada secarik kertas di dalamnya. Mungkin semua jawabannya tertulis di sana,” gumam Raka, suaranya nyaris tenggelam oleh denting kecil saat ia mengangkat tabung. Tangannya berhenti beberapa detik, menimbang-nimbang; ekspresinya menegang karena harap yang tak pasti.Saat ia membuka, kilau biru memantul secepat kilat. Ada lubang kecil di dasar tabung, dan sebuah cincin meluncur seperti benda hidup. Panca, yang sejak tadi berdiri di samping meja, sigap, menangkup cincin itu sebelum ia sempat jatuh dan memantul hingga menggelinding ke lantai.Ia menatap ben







