Share

Bab 6: Sambutan

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2025-05-07 21:20:23

Sekitar satu jam kemudian, mobil Mahira melambat saat memasuki gerbang perumahan Durwest Garden, kawasan hunian eksklusif yang bersembunyi di sudut tenang pinggiran Bandung. Suasana di dalamnya seolah meluruhkan hiruk-pikuk kota.

Jalanan berlapis aspal mulus membentang di antara deretan rumah megah dengan fasad elegan. Pepohonan flamboyan berbaris rapi di tepi jalan, daunnya menari lembut diterpa angin sore.

Semilir udara yang sejuk membawa aroma tanah basah dan bunga kamboja yang bermekaran di taman-taman kecil setiap rumah.

Salah satu rumah di deretan itu kini menjadi tujuan Mahira dan Kirana—rumah yang Mahira bantu carikan untuk Kirana dan anak-anaknya.

Sebuah rumah dua lantai dengan pagar kayu warna krem dan halaman depan yang ditumbuhi tanaman pucuk merah serta semak-semak lavender yang menebarkan keharuman samar.

Begitu mobil berhenti, Kirana membuka pintu dan melangkah keluar. Sepatunya menyentuh kerikil putih yang menghampar di pelataran, dan ia mengangkat wajah, membiarkan angin menyentuh pipinya yang pucat.

Matanya menelusuri suasana sekitar, menyapu rumah-rumah bertembok hangat dan jendela-jendela besar yang mencerminkan cahaya temaram.

“Lingkungannya nyaman... Aku suka suasananya,” katanya pelan, suaranya seperti embun pagi yang mengendap di dedaunan.

Mahira menyambutnya dengan anggukan bangga.

“Pemilik rumah ini pindah ke pusat kota. Pas banget buat disewa. Dan yang paling penting...” Ia menunjuk ke arah rumah di ujung jalan, “aku tinggal cuma dua rumah dari sini. Kapan-kapan kita bisa ngopi di beranda, nunggu matahari terbenam bareng.”

Kirana tersenyum, senyum kecil yang lebih banyak menyimpan syukur daripada kata-kata. Ia menoleh ke arah Mahira dan mengangguk pelan. “Terima kasih… benar-benar, Mahira.”

Setelah menurunkan koper-koper dan menata barang-barang seadanya ke dalam rumah yang masih kosong namun terasa menjanjikan, Mahira mengajak mereka pergi makan malam.

Langit telah berubah jingga, meleleh ke ungu tua saat mereka meluncur ke sebuah restoran yang terletak tak jauh dari kawasan itu. Lampu-lampu jalan mulai menyala, membentuk barisan cahaya yang berpendar lembut.

Namun belum sempat Mahira mematikan mesin di area parkir restoran, sebuah bayangan kecil melesat dari sudut gelap halaman. Tubuh mungil itu melompat keluar begitu tiba-tiba, seolah dilempar dari kegelapan.

Mahira reflek menginjak rem. Ban depan berdecit tajam, dan mobil terhenti hanya beberapa sentimeter dari tubuh anak itu.

Jantung Kirana seperti digenggam paksa, menghentak keras di dalam dada. Ia menoleh cepat ke kursi belakang—Aidan dan Bayu duduk terpaku, mata mereka melebar dalam ketakutan. Kirana buru-buru membuka pintu dan turun, langkahnya cepat namun tetap waspada.

Di tanah berdebu, seorang gadis kecil duduk terdiam. Usianya tak lebih dari lima tahun. Gaun merah muda yang dikenakannya tampak lusuh di bagian bawah, namun kontras dengan kulitnya yang seputih susu.

Rambut hitamnya dikepang dua dengan rapi, dan di pelukannya, sebuah boneka kelinci berbulu krem tampak seperti satu-satunya tempat berlindung.

Matanya besar dan jernih, tapi sorotnya memantulkan ketakutan yang membekukan. Ia tidak menangis, tidak berteriak—hanya diam, seolah sedang menunggu dunia memastikan nasibnya.

Kirana mendekat perlahan, kakinya menyisir tanah berpasir dengan hati-hati. Ia berjongkok, menjaga jarak agar tak mengintimidasi.

“Sayang, kamu nggak apa-apa? Sakit di mana?” tanyanya, suaranya seperti bisikan yang ingin memeluk.

Anak itu menggeleng, perlahan. Kepalanya nyaris tidak bergerak, namun pelukannya pada boneka itu mengencang. Lengan-lengannya mungil bergetar, bibirnya tertutup rapat.

Kirana menghela napas kecil. Hatinya mencelos melihat getar tubuh kecil itu. Ia menyodorkan tangan, tapi berhenti saat gadis itu menggeliat mundur, tubuhnya meringkuk seperti daun yang menggulung terkena hujan dingin.

Ia menarik tangannya kembali dan menatap lembut. “Nggak apa-apa… Tante cuma mau bantu kamu berdiri.”

Gadis itu tetap diam, matanya tak lepas dari wajah Kirana, seperti sedang menakar apakah wanita itu aman atau ancaman.

Kirana melirik ke sekitar. Area parkir cukup sepi, hanya ada beberapa mobil, dan restoran tampak belum terlalu ramai. Tidak ada tanda-tanda orang yang tampak kehilangan anak.

“Orang tuamu di mana, Sayang? Kamu sendirian, ya?” tanyanya lagi, kali ini lebih lembut, nyaris seperti doa.

Gadis itu hanya menggeleng. Tak ada suara. Hanya gerakan halus dan tatapan menunduk yang menebarkan kesedihan.

Beberapa detik kemudian, Mahira dan anak-anak Kirana ikut turun dan menghampiri. Aidan berdiri di sisi kiri ibunya, Bayu di kanan. Mereka menatap dengan mata penasaran yang belum tercemar rasa takut orang dewasa.

“Dia nggak ngomong, Bu?” bisik Bayu, mencoba tidak terdengar oleh gadis itu.

“Kayaknya dia takut, deh,” balas Aidan pelan, sambil menatap gadis itu tanpa berkedip. “Tapi... dia imut banget.”

“Jangan-jangan dia bisu,” gumam Bayu lirih, matanya tetap melekat pada boneka yang dipeluk erat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 238: Saat Kita Masih Utuh

    Kirana memperlakukan Elina layaknya bagian dari jiwanya yang pernah hilang. Ada sesuatu di mata gadis kecil itu yang mengingatkan Kirana pada masa lalu yang tak pernah benar-benar sembuh.Ia merawat Elina bukan hanya karena belas kasih, tapi juga sebagai semacam penebusan atas kehilangan yang tak pernah ia beri nama.Hari-hari berlalu dalam ritme yang baru, lebih hangat. Aidan dan Bayu, dua anak laki-laki yang biasanya tak mudah akrab dengan orang asing, lambat laun mulai menerima kehadiran Elina seperti adik yang sudah lama mereka tunggu.Di rumah, mereka suka bermain bersama, menggambar di lantai ruang tengah, tertawa sampai lupa waktu.Di taman kanak-kanak, mereka seperti pengawal kecil, berdiri di kiri-kanan Elina, melindungi dari keributan anak-anak lain yang kadang terlalu riuh.Dan Elina? Gadis kecil itu tampak bahagia, dengan senyum yang tak pernah betah bersembunyi terlalu lama.Ada kilau di matanya, seolah tempat baru ini perlahan-

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 237: Bayangan di Balik Jendela

    "Udah malam, Pak Pradana. Mending Bapak pulang dulu. Terima kasih ya, udah repot-repot jemput anak-anak hari ini."Suara Kirana terdengar tenang, tapi ada getaran halus yang tersembunyi di ujung kalimatnya. Raka menatapnya sejenak, seolah ingin mengatakan sesuatu, namun bibirnya hanya bergerak sedikit sebelum ia akhirnya mengangguk pelan.Langkahnya berat saat berbalik, seperti ada beban tak kasat mata yang menggantung di punggungnya.Angin malam menyambutnya ketika ia keluar dari rumah itu. Suara serangga yang bersahutan di halaman hanya menambah kegelisahan yang sejak tadi mengendap di dadanya.Jalanan sudah sepi, lampu-lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan ke aspal basah, membuat bayangan pepohonan tampak meliuk pelan, nyaris seperti menari di atas genangan.Dalam perjalanan pulang, pikirannya tidak bisa diam. Ada sesuatu yang mencengkeram, mencubit dari dalam.Bukan rasa bersalah, bukan pula amarah. Lebih seperti… kehilangan.

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 236: Bayangan di Meja Makan

    Keheningan turun pelan-pelan seperti kabut tipis yang menyusup masuk dari celah jendela. Ruang makan itu—berdinding abu lembut dan lampu gantung berpendar kekuningan—mendadak terasa terlalu luas, terlalu sunyi.Suara garpu yang bersentuhan dengan piring menjadi satu-satunya tanda bahwa waktu masih berjalan. Tak satu pun dari mereka berbicara, bahkan napas pun ditahan seolah suara bisa menyakiti.Elina, duduk di ujung meja dengan punggung tegak namun mata kosong, ikut terbawa suasana. Sorot matanya memantul dari wajah Raka yang tegang ke dua adik laki-lakinya yang menunduk dalam diam.Ia belum paham seluruhnya, tapi perasaan berat itu menular—seperti mendung yang menyelimuti hatinya sendiri.Bibirnya yang mungil terkatup rapat, dan sejenak, ia terlihat jauh lebih dewasa dari usianya.Raka, yang duduk di kursi kepala meja, sempat mencoba menyisipkan humor ringan—tentang kucing yang ia temui di parkiran kantor, atau tentang betapa konyolnya bosnya ter

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 235: Pertanyaan Bayu

    Malam itu, ruang makan kecil yang disinari cahaya kuning lampu gantung berubah senyap. Aroma hangat sup ayam masih melayang-layang di udara, namun tak ada satu pun yang tampak benar-benar menikmati hidangan di hadapan mereka.Raka sempat tertegun, napasnya tertahan sejenak sebelum ia menarik senyum seadanya—senyum tipis yang terlalu tergesa untuk bisa terlihat tulus.“Nggak kok… cuma pengin tahu aja. Sedikit rasa penasaran, itu aja,” ujarnya pelan, seperti berjalan di atas kaca tipis.Aidan memandangnya tajam, lama, dengan sorot mata yang tak lagi ramah. Ada sesuatu yang retak di balik tatapan itu—mungkin kemarahan, atau luka lama yang menganga.Ia kemudian membuang muka, rahangnya mengeras.“Sejak kami lahir, kami belum pernah lihat wajah ayah kami,” ucapnya, dingin dan tegas, setiap katanya seperti lemparan batu ke dalam danau yang tenang.“Dia ninggalin Ibu dan kami. Buatku, dia pengecut. Aku nggak suka dia.”Suaranya tak tinggi, t

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 234: Tatapan Aidan

    Setelah memesan makanan sesuai selera dua bocah laki-laki di hadapannya, Raka menyandarkan punggung ke sandaran kursi, berusaha mencari celah dalam keheningan.Restoran itu sebenarnya cukup ramai, dengan suara gelas beradu dan tawa pelan dari meja-meja lain, tapi di meja mereka, hanya bunyi logam sendok menyentuh piring yang mendominasi.Pelayan datang membawa nampan, uap tipis mengepul dari sepiring nasi hangat dan lauk yang menggoda.Raka memberi isyarat ringan dengan tangannya. Makanan diletakkan perlahan di hadapan Aidan dan Bayu.Aroma gurih menguar, mengisi udara di sekitar mereka.“Terima kasih, Pak Pradana,” ujar Aidan. Suaranya datar, terukur, namun tetap sopan.“Ah, jangan sungkan,” sahut Raka sambil tersenyum tipis, meski bibirnya terasa kaku. Ia mengangguk kecil, seperti orang yang terbiasa bersikap formal tapi asing dengan interaksi seperti ini.Jelas terlihat: ia tidak terbiasa duduk berhadapan dengan anak-anak, apalagi

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 233: Cahaya di Jendela Lembang

    Aidan memandangi wajah Raka dengan sorot mata tajam, nyaris menusuk, seakan ingin menyibak lapisan demi lapisan jawaban dari balik ketenangan ayahnya."Ibu ke mana? Kenapa bukan Ibu yang jemput?" tanyanya, suara datarnya menyimpan nada tak percaya.Dari sebelahnya, Elina ikut mengarahkan pandang ke ayah mereka, tidak menyela, tapi menanti. Udara di halaman sekolah sore itu terasa menggantung, seolah ikut menahan napas.“Ia masih kerja di lembaga riset,” jawab Raka, suaranya lembut namun tetap mantap, “mungkin pulangnya agak malam. Aku datang duluan supaya bisa ajak kalian makan malam.”Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan senyum tipis yang nyaris tak kentara, “Lagipula, pasti kalian sudah lapar, kan? Yuk, ikut aku.”Bayu, yang sejak tadi menahan rasa laparnya dengan menggigit bibir, menoleh ke Aidan, berharap saudaranya segera menyetujui.Namun melihat Aidan masih terpaku, ia ikut bungkam, menyembunyikan semangatnya di balik tatapan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status