Share

Bab 7: Seorang Anak

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2025-05-07 21:22:55

Kirana masih berjongkok di hadapan gadis kecil itu, lututnya menempel pada rumput basah yang dinginnya menyusup perlahan ke kulit.

Embusan angin sore menggoyangkan dedaunan di atas kepala mereka, menebarkan aroma tanah yang lembap bercampur samar wangi bunga kamboja dari taman sekitar. Tapi Kirana tak memedulikannya.

Matanya hanya tertuju pada sosok mungil di depannya, seolah dunia menyempit hanya pada satu titik itu.

Di balik bola mata Kirana yang penuh rasa ingin tahu, muncul desakan pertanyaan yang menggema makin keras: Siapa sebenarnya anak ini? Kenapa ia duduk diam seperti tak bertuan, seakan dunia telah meninggalkannya jauh di belakang?

Pertanyaan lain menyelinap diam-diam—apakah gadis kecil ini tidak bisa bicara?

Rasa iba mulai menancap lebih dalam, tak sekadar empati biasa. Kirana mencondongkan tubuhnya sedikit, berusaha agar suaranya tak memecah keheningan yang rapuh, seperti kaca tipis yang bisa pecah oleh bisikan sekalipun.

“Boleh Tante pegang tanganmu?” tanyanya lirih, hampir seperti doa.

Tangannya terulur perlahan, jemarinya terbuka lembut, tanpa paksaan, hanya menawarkan.

Gadis kecil itu menatapnya, sorot matanya tajam namun tak lagi setegas tadi. Ada goyangan ragu di balik bulu matanya yang tebal. Kirana bisa merasakannya—getar ketakutan dan bingung yang melingkupi gadis itu seperti kabut pagi.

Mungkin, hanya karena suara Kirana yang terbungkus kelembutan, gadis itu tidak lagi sepenuhnya menutup diri.

Dan akhirnya, setelah hening yang terasa begitu panjang, tangan mungil itu bergerak. Pelan, sangat pelan. Ujung jarinya menyentuh telapak tangan Kirana, ragu, seolah menyelami ketulusan dari kulit yang hangat itu.

Kirana membalas sentuhan itu dengan sangat hati-hati, seperti memegang serpihan porselen rapuh. Ia bantu gadis itu berdiri, tubuhnya ringan dan rapuh, seperti boneka kain yang terlalu lama ditinggalkan di sudut kamar.

Ia menatap seluruh tubuh mungil itu, tak ingin melewatkan tanda-tanda luka. Tapi tak ada goresan, tak ada memar—setidaknya yang terlihat.

Namun justru dari kedekatan itulah, perih lama yang telah terkubur mulai menggeliat lagi di dada Kirana. Ada aroma lembut dari tubuh kecil itu—seperti susu hangat dan bedak bayi. Keharuman yang sangat akrab, begitu menyentuh, membuat jantung Kirana seakan berhenti berdetak sejenak.

Ia menutup matanya sesaat, mencoba menahan gelombang kenangan yang mendadak menyerbu tanpa ampun.

Andai ia hidup… putriku... mungkin sekarang sebesar ini juga.

Pikiran itu mengguratkan luka di hati Kirana, luka yang belum sepenuhnya sembuh. Tapi ia paksa wajahnya tetap tersenyum. Gadis kecil itu diam menatapnya, tak bersuara, namun tatapannya... seolah memahami.

Ada kedalaman dalam mata kecil itu—terlalu dalam untuk usianya. Seperti cermin sunyi yang memantulkan luka yang sama.

Aku tahu aku nggak boleh bicara sama orang asing, pikir si kecil dalam diam. Tapi wanita ini… cantik. Dan… aku suka caranya menatapku. Aku ingin tetap dekat.

Langkah Mahira mendekat disertai suara gemerisik rerumputan yang terinjak, memecah momen hening itu. “Ya Tuhan, lucu banget si kecil ini,” ucapnya sembari menunduk sedikit, wajahnya berseri. “Cantiknya bisa saingan sama dua jagoan kita.”

Kirana mengangguk kecil, bibirnya melengkung pelan. “Sepertinya dia tersesat. Kita antar ke kantor polisi, ya? Mungkin di sana bisa bantu cari orang tuanya.”

Tapi baru saja kata-kata itu lepas, lengan Kirana ditarik pelan.

Ia menoleh ke bawah. Mata gadis kecil itu kini membelalak, memerah, dan dalam sekejap berkaca. Ia menggeleng cepat, tubuhnya sedikit gemetar, dan wajah kecilnya menunjukkan ketakutan yang begitu nyata.

Seperti anak burung yang tersesat dari sarangnya, dan takut dikembalikan ke hutan yang tak dikenalnya lagi.

Hati Kirana terhantam. Ada desakan untuk memeluk anak itu saat itu juga, untuk berkata semuanya akan baik-baik saja. Tapi ia juga tahu, membawa seorang anak terlalu lama tanpa laporan bisa jadi bumerang yang menyakitkan.

Ia berada di antara dua pilihan: hukum dan naluri.

Akhirnya Kirana menarik napas pelan dan berkata selembut mungkin, seolah membungkus setiap kata dengan jaminan bahwa semuanya aman.

“Baiklah. Kita nggak usah ke kantor polisi, ya?” Ia kembali berjongkok, kali ini lebih rendah, menyamakan mata. “Tapi… kamu punya nomor telepon orang tuamu? Tante bisa bantu hubungi mereka, biar mereka jemput kamu di sini.”

Gadis itu terdiam. Tak mengangguk, tak menggeleng. Tapi bahunya merosot, seperti kehilangan harapan yang baru saja sempat tumbuh.

Membuat Kirana merasakan iba dan perasaan yang tak dapat dijelaskan?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 19: Rahasia Itu Bernama Aidan dan Bayu

    Kirana terkekeh pelan, nyaris hanya getaran samar dari bibir yang mulai mengendur dari ketegangan. Sorot mata mereka bertemu—sepasang tatapan yang membawa kelegaan, tetapi juga kelelahan yang menempel seperti embun dini hari pada kaca jendela.Malam itu belum sepenuhnya selesai, tapi langkah mereka terus bergerak, seolah menolak berhenti sebelum tiba di titik aman.Rumah itu menyambut mereka tanpa kata—sunyi, sedikit pengap oleh udara malam yang belum sempat berganti, namun tetap terasa seperti pelukan yang akrab.Begitu pintu tertutup, aroma nasi uduk dan lauk dari bungkus kertas cokelat memenuhi ruang makan kecil yang terletak tak jauh dari ruang tamu.Bau khas dari Warung Nyi Darmi—dengan jejak sambal terasi yang kuat dan lengkuas yang menempel di lidah—menjadi pengingat bahwa bahkan dalam kekacauan, ada hal-hal kecil yang tetap setia memberi kenyamanan.Tanpa banyak bicara, Kirana dan kedua anaknya segera menyerbu meja m

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 18: Tangis yang Tak Pernah Jatuh

    Jika bukan karena kehadiran Raka, mungkin Zelina sudah meluapkan emosinya tanpa ampun. Tapi sorot mata pria itu terasa seperti pisau yang membelah udara di ruang tamu—tajam, tenang, dan tak bisa diabaikan.Maka ia menahan diri. Rahangnya sempat mengeras, mata menyala marah, tapi hanya sekejap. Lalu, dengan gerakan teatrikal, ia melepaskan genggamannya dari lengan Elina dan menjatuhkan diri ke lantai seolah tubuhnya tak lagi sanggup menopang beban emosinya.Zelina memandang Elina dengan tatapan penuh luka yang terasa dibuat-buat, seolah ia adalah korban dari drama besar yang tak ia pilih.“Ellie…” suaranya gemetar, seperti helaan napas di tengah kabut pagi, “aku tahu kamu nggak suka aku. Tapi aku sungguh khawatir, Nak. Kenapa kamu harus begini... kejam sekali.”Air mata menggenang di sudut matanya, mempertegas citra seorang wanita yang patah hati. Ia bahkan menunduk sedikit, seakan menyerah pada keadaan, menunggu simpat

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 17: Pelukan yang Tak Diinginkan

    “Kalau kamu belum siap cerita, nggak apa-apa. Tapi tolong, janji satu hal… jangan kabur lagi, ya?”Suara itu lirih tapi jelas, seperti buih ombak yang pelan-pelan menyentuh karang—lembut, namun menyimpan kekuatan di dalamnya.Raka menoleh ke depan, menyembunyikan gelombang perasaan yang baru saja terbit dari tatapan mata yang ia sembunyikan di balik kaca mobil yang mulai berembun.“Zayyan,” ucapnya setelah jeda singkat, nada suaranya kini lebih tegas, “minta rekaman CCTV dari restoran itu. Segera.”Masih ada bara yang menyala. Ia belum menyerah.“Siap, Pak Pradana,” jawab Zayyan, pelan. Suaranya dalam, nyaris berat sebelah. Ia tahu, perintah ini hanya akan menyayat luka yang belum sempat mengering.Dua puluh menit kemudian, mobil meluncur pelan melewati gerbang besi hitam yang mengarah ke sebuah rumah bergaya tropis modern.Dindingnya dihiasi tumbuhan rambat yang ditata rapi, dan halaman depannya asri, seolah menyambut siapa pun yang

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 16: Pahlawan Kecil di Malam Panjang

    Kirana mengembuskan napas panjang, seperti baru saja melepaskan beban besar dari dadanya. Dalam satu gerakan refleks, ia meraih kedua anaknya dan memeluk mereka erat.Helaan napasnya nyaris terdengar seperti isakan kecil, namun ia menahan diri.Aroma khas rambut anak-anaknya—sedikit keringat yang bercampur wangi sabun mandi—membanjiri indranya, menghadirkan rasa aman yang selama beberapa jam terakhir terasa begitu jauh.“Ya Tuhan... syukurlah Ibu punya kalian.” Suaranya serak namun hangat. Tangannya meremas pelan bahu Aidan dan Bayu.“Kalian penyelamat Ibu hari ini.”Aidan dan Bayu hanya menanggapi dengan senyum malu-malu. Ada binar tipis di mata mereka, seperti sedang menikmati peran sebagai pahlawan dalam cerita petualangan yang selama ini hanya mereka saksikan lewat layar.Meskipun detak jantung mereka masih belum sepenuhnya normal, perasaan bangga perlahan menenangkan tubuh kecil mereka.“Terus, kita langsung pulang, Bu?” tanya Aidan, suaranya sedikit bergetar namun mencoba terden

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 15: Rahasia yang Tak Pernah Padam

    Berapa lama Mahira bisa bertahan?Pertanyaan itu bergema dalam kepala Kirana, berulang-ulang, seperti detak jam yang berdetak terlalu keras di ruangan sepi.Angin sore menyapu rambutnya yang setengah terikat, menambah dingin di tengkuk yang sudah basah keringat. Sementara hiruk-pikuk di jalan depan restoran itu seolah tak peduli pada kekacauan kecil yang sedang menggumpal dalam dada Kirana.Kalau penyamaran mereka terbongkar…Ia menelan ludah, tapi kerongkongannya terasa kering.Apa yang harus ia lakukan?Ia mencoba merangkai rencana di kepalanya, tapi pikirannya seperti terbenam dalam kabut tebal—segala kemungkinan muncul, tumpang tindih, lalu lenyap sebelum sempat ia tangkap.Tiba-tiba ia tertawa. Hambar. Palsu. Suara itu nyaris tak terdengar, tenggelam dalam bising kendaraan dan percakapan orang-orang yang lalu-lalang.Apa sebenarnya yang ia takutkan?Kalaupun bertemu lagi…Kalaupun benar-benar berdiri di depan Raka hari ini...Besar kemungkinan laki-laki itu hanya akan menatapnya

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 14: Dering yang Membongkar Segalanya

    Raka kembali menatap Mahira. Sorot matanya berubah—tak lagi hanya penasaran, tapi kini dihiasi curiga yang mulai menyala terang, seperti cahaya lampu baca yang sengaja dinaikkan satu tingkat.Mahira bisa merasakannya. Udara di antara mereka mendadak padat, seperti ada sesuatu yang mengambang, menekan dadanya. Ia menggeser duduk sedikit, tapi rasa tidak nyaman itu tak ikut menjauh.Dan tak butuh waktu lama hingga firasat buruknya berwujud nyata.Raka, dengan gerakan yang nyaris tak bersuara, meraih ponsel dari tangan Zayyan. Ia membuka layar, matanya menyipit sejenak seolah mencari sesuatu yang spesifik. Lalu, dengan jari yang tenang namun tegas, ia menekan sebuah nama di layar.Suasana di meja sempat hening. Lalu suara nyaring dering ponsel terdengar—dari arah Mahira. Dari dalam saku roknya.Deg.Seolah ada sesuatu yang meledak kecil di dadanya. Jantung Mahira terpukul dentuman panik. Ia hampir saja melompat dari duduknya, tapi buru-buru menenangkan diri. Ia menarik napas, menekannya

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 13: Bayang Dingin di Balik Pintu

    Mahira otomatis menegakkan tubuh, meski dadanya sesak oleh degup jantung yang seolah memukul-mukul dari dalam. Ia menarik napas perlahan, berusaha menciptakan ilusi ketenangan. Padahal, tubuhnya nyaris gemetar.Langkah sepatu kulit terdengar menjejak lantai marmer yang mengilap, memantulkan cahaya lampu gantung di langit-langit restoran mewah itu. Dari balik pintu yang terbuka, muncul sosok tinggi bersetelan jas gelap.Gerakannya tenang tapi penuh kendali, nyaris seperti siluet dari mimpi buruk yang datang tanpa aba-aba.Raka Pradana. Aura dinginnya menyebar cepat, seperti kabut yang menyerbu masuk ke dalam ruangan.Kini, hanya ada dua orang dewasa yang saling menatap dalam ketegangan yang mengental di udara. Sementara di sudut ruangan, duduk seorang gadis kecil bersandar di sofa empuk berlapis beludru biru gelap.Elina. Dengan kedua tangan bersedekap dan alis berkerut, ekspresinya memperjelas kemarahannya—bukan karena Raka, tapi karena Kirana yang pergi tanpa sepatah kata pun.Begitu

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 12: Genggaman yang Tak Ingin Lepas

    Mahira, yang sedari tadi hanya menjadi pendengar diam, perlahan meletakkan sendoknya ke tepi piring. Gemerincing halus terdengar saat logam itu menyentuh keramik, mengisi jeda percakapan yang tiba-tiba menggantung di udara.Ia menatap gadis kecil itu lekat-lekat, matanya menyipit, seolah mencoba menerjemahkan sesuatu yang tak terucap.“Itu... kebetulan banget, nggak sih?” bisiknya, nyaris seperti gumaman. Nadanya limbung—antara ragu yang menggantung dan harapan yang nyaris menyentuh permukaan.Sebagai sahabat yang tahu persis alur naik-turun hidup Kirana selama enam tahun terakhir, Mahira bukan hanya mendengar cerita—ia menyaksikan sendiri luka yang menganga, malam-malam panjang yang tak berujung, dan cara Kirana belajar tersenyum lagi dari kepingan yang berserakan.Ia tahu kapan Kirana menangis tanpa suara, kapan tawa itu hanya penutup rapuh. Dan sekarang, gadis kecil ini…Kalau anak itu benar berusia enam tahun, maka... dia lahir tak lama setelah perceraian itu.Mahira menarik napas

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 11: Terkejut

    Warung Nyi Darmi—meski dari luar hanya tampak seperti warung sederhana di sudut jalan yang sering terlewat pandang di Bandung Selatan—menyimpan aura eksklusivitas yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata.Dindingnya dari bata merah yang dibiarkan terekspos, menyambut pengunjung dengan nuansa hangat dan bersahaja, tapi begitu melangkah masuk, dunia seolah berubah.Aroma rempah-rempah yang menggoda langsung menyergap indera penciuman—ada jejak lengkuas yang membara, wangi serai yang menyelinap halus, dan samar-samar asap dari ikan bakar yang baru diangkat dari panggangan arang.Interiornya unik: memadukan kelembutan nuansa Jawa kuno dengan sentuhan elegan yang sederhana. Meja-meja jati tua dibatasi oleh sekat-sekat berukir motif bunga kamboja, sementara cahaya temaram dari lampu gantung berbahan anyaman bambu menciptakan bayangan yang menari di dinding.Langit-langit bangunan dibiarkan terbuka sebagian, memperlihatkan langit malam yang jernih.Cahaya bulan menetes perlahan ke dal

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status