Kirana masih berjongkok di hadapan gadis kecil itu, lututnya menempel pada rumput basah yang dinginnya menyusup perlahan ke kulit.
Embusan angin sore menggoyangkan dedaunan di atas kepala mereka, menebarkan aroma tanah yang lembap bercampur samar wangi bunga kamboja dari taman sekitar. Tapi Kirana tak memedulikannya.
Matanya hanya tertuju pada sosok mungil di depannya, seolah dunia menyempit hanya pada satu titik itu.
Di balik bola mata Kirana yang penuh rasa ingin tahu, muncul desakan pertanyaan yang menggema makin keras: Siapa sebenarnya anak ini? Kenapa ia duduk diam seperti tak bertuan, seakan dunia telah meninggalkannya jauh di belakang?
Pertanyaan lain menyelinap diam-diam—apakah gadis kecil ini tidak bisa bicara?
Rasa iba mulai menancap lebih dalam, tak sekadar empati biasa. Kirana mencondongkan tubuhnya sedikit, berusaha agar suaranya tak memecah keheningan yang rapuh, seperti kaca tipis yang bisa pecah oleh bisikan sekalipun.
“Boleh Tante pegang tanganmu?” tanyanya lirih, hampir seperti doa.
Tangannya terulur perlahan, jemarinya terbuka lembut, tanpa paksaan, hanya menawarkan.
Gadis kecil itu menatapnya, sorot matanya tajam namun tak lagi setegas tadi. Ada goyangan ragu di balik bulu matanya yang tebal. Kirana bisa merasakannya—getar ketakutan dan bingung yang melingkupi gadis itu seperti kabut pagi.
Mungkin, hanya karena suara Kirana yang terbungkus kelembutan, gadis itu tidak lagi sepenuhnya menutup diri.
Dan akhirnya, setelah hening yang terasa begitu panjang, tangan mungil itu bergerak. Pelan, sangat pelan. Ujung jarinya menyentuh telapak tangan Kirana, ragu, seolah menyelami ketulusan dari kulit yang hangat itu.
Kirana membalas sentuhan itu dengan sangat hati-hati, seperti memegang serpihan porselen rapuh. Ia bantu gadis itu berdiri, tubuhnya ringan dan rapuh, seperti boneka kain yang terlalu lama ditinggalkan di sudut kamar.
Ia menatap seluruh tubuh mungil itu, tak ingin melewatkan tanda-tanda luka. Tapi tak ada goresan, tak ada memar—setidaknya yang terlihat.
Namun justru dari kedekatan itulah, perih lama yang telah terkubur mulai menggeliat lagi di dada Kirana. Ada aroma lembut dari tubuh kecil itu—seperti susu hangat dan bedak bayi. Keharuman yang sangat akrab, begitu menyentuh, membuat jantung Kirana seakan berhenti berdetak sejenak.
Ia menutup matanya sesaat, mencoba menahan gelombang kenangan yang mendadak menyerbu tanpa ampun.
Andai ia hidup… putriku... mungkin sekarang sebesar ini juga.
Pikiran itu mengguratkan luka di hati Kirana, luka yang belum sepenuhnya sembuh. Tapi ia paksa wajahnya tetap tersenyum. Gadis kecil itu diam menatapnya, tak bersuara, namun tatapannya... seolah memahami.
Ada kedalaman dalam mata kecil itu—terlalu dalam untuk usianya. Seperti cermin sunyi yang memantulkan luka yang sama.
Aku tahu aku nggak boleh bicara sama orang asing, pikir si kecil dalam diam. Tapi wanita ini… cantik. Dan… aku suka caranya menatapku. Aku ingin tetap dekat.
Langkah Mahira mendekat disertai suara gemerisik rerumputan yang terinjak, memecah momen hening itu. “Ya Tuhan, lucu banget si kecil ini,” ucapnya sembari menunduk sedikit, wajahnya berseri. “Cantiknya bisa saingan sama dua jagoan kita.”
Kirana mengangguk kecil, bibirnya melengkung pelan. “Sepertinya dia tersesat. Kita antar ke kantor polisi, ya? Mungkin di sana bisa bantu cari orang tuanya.”
Tapi baru saja kata-kata itu lepas, lengan Kirana ditarik pelan.
Ia menoleh ke bawah. Mata gadis kecil itu kini membelalak, memerah, dan dalam sekejap berkaca. Ia menggeleng cepat, tubuhnya sedikit gemetar, dan wajah kecilnya menunjukkan ketakutan yang begitu nyata.
Seperti anak burung yang tersesat dari sarangnya, dan takut dikembalikan ke hutan yang tak dikenalnya lagi.
Hati Kirana terhantam. Ada desakan untuk memeluk anak itu saat itu juga, untuk berkata semuanya akan baik-baik saja. Tapi ia juga tahu, membawa seorang anak terlalu lama tanpa laporan bisa jadi bumerang yang menyakitkan.
Ia berada di antara dua pilihan: hukum dan naluri.
Akhirnya Kirana menarik napas pelan dan berkata selembut mungkin, seolah membungkus setiap kata dengan jaminan bahwa semuanya aman.
“Baiklah. Kita nggak usah ke kantor polisi, ya?” Ia kembali berjongkok, kali ini lebih rendah, menyamakan mata. “Tapi… kamu punya nomor telepon orang tuamu? Tante bisa bantu hubungi mereka, biar mereka jemput kamu di sini.”
Gadis itu terdiam. Tak mengangguk, tak menggeleng. Tapi bahunya merosot, seperti kehilangan harapan yang baru saja sempat tumbuh.
Membuat Kirana merasakan iba dan perasaan yang tak dapat dijelaskan?
Kirana memperlakukan Elina layaknya bagian dari jiwanya yang pernah hilang. Ada sesuatu di mata gadis kecil itu yang mengingatkan Kirana pada masa lalu yang tak pernah benar-benar sembuh.Ia merawat Elina bukan hanya karena belas kasih, tapi juga sebagai semacam penebusan atas kehilangan yang tak pernah ia beri nama.Hari-hari berlalu dalam ritme yang baru, lebih hangat. Aidan dan Bayu, dua anak laki-laki yang biasanya tak mudah akrab dengan orang asing, lambat laun mulai menerima kehadiran Elina seperti adik yang sudah lama mereka tunggu.Di rumah, mereka suka bermain bersama, menggambar di lantai ruang tengah, tertawa sampai lupa waktu.Di taman kanak-kanak, mereka seperti pengawal kecil, berdiri di kiri-kanan Elina, melindungi dari keributan anak-anak lain yang kadang terlalu riuh.Dan Elina? Gadis kecil itu tampak bahagia, dengan senyum yang tak pernah betah bersembunyi terlalu lama.Ada kilau di matanya, seolah tempat baru ini perlahan-
"Udah malam, Pak Pradana. Mending Bapak pulang dulu. Terima kasih ya, udah repot-repot jemput anak-anak hari ini."Suara Kirana terdengar tenang, tapi ada getaran halus yang tersembunyi di ujung kalimatnya. Raka menatapnya sejenak, seolah ingin mengatakan sesuatu, namun bibirnya hanya bergerak sedikit sebelum ia akhirnya mengangguk pelan.Langkahnya berat saat berbalik, seperti ada beban tak kasat mata yang menggantung di punggungnya.Angin malam menyambutnya ketika ia keluar dari rumah itu. Suara serangga yang bersahutan di halaman hanya menambah kegelisahan yang sejak tadi mengendap di dadanya.Jalanan sudah sepi, lampu-lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan ke aspal basah, membuat bayangan pepohonan tampak meliuk pelan, nyaris seperti menari di atas genangan.Dalam perjalanan pulang, pikirannya tidak bisa diam. Ada sesuatu yang mencengkeram, mencubit dari dalam.Bukan rasa bersalah, bukan pula amarah. Lebih seperti… kehilangan.
Keheningan turun pelan-pelan seperti kabut tipis yang menyusup masuk dari celah jendela. Ruang makan itu—berdinding abu lembut dan lampu gantung berpendar kekuningan—mendadak terasa terlalu luas, terlalu sunyi.Suara garpu yang bersentuhan dengan piring menjadi satu-satunya tanda bahwa waktu masih berjalan. Tak satu pun dari mereka berbicara, bahkan napas pun ditahan seolah suara bisa menyakiti.Elina, duduk di ujung meja dengan punggung tegak namun mata kosong, ikut terbawa suasana. Sorot matanya memantul dari wajah Raka yang tegang ke dua adik laki-lakinya yang menunduk dalam diam.Ia belum paham seluruhnya, tapi perasaan berat itu menular—seperti mendung yang menyelimuti hatinya sendiri.Bibirnya yang mungil terkatup rapat, dan sejenak, ia terlihat jauh lebih dewasa dari usianya.Raka, yang duduk di kursi kepala meja, sempat mencoba menyisipkan humor ringan—tentang kucing yang ia temui di parkiran kantor, atau tentang betapa konyolnya bosnya ter
Malam itu, ruang makan kecil yang disinari cahaya kuning lampu gantung berubah senyap. Aroma hangat sup ayam masih melayang-layang di udara, namun tak ada satu pun yang tampak benar-benar menikmati hidangan di hadapan mereka.Raka sempat tertegun, napasnya tertahan sejenak sebelum ia menarik senyum seadanya—senyum tipis yang terlalu tergesa untuk bisa terlihat tulus.“Nggak kok… cuma pengin tahu aja. Sedikit rasa penasaran, itu aja,” ujarnya pelan, seperti berjalan di atas kaca tipis.Aidan memandangnya tajam, lama, dengan sorot mata yang tak lagi ramah. Ada sesuatu yang retak di balik tatapan itu—mungkin kemarahan, atau luka lama yang menganga.Ia kemudian membuang muka, rahangnya mengeras.“Sejak kami lahir, kami belum pernah lihat wajah ayah kami,” ucapnya, dingin dan tegas, setiap katanya seperti lemparan batu ke dalam danau yang tenang.“Dia ninggalin Ibu dan kami. Buatku, dia pengecut. Aku nggak suka dia.”Suaranya tak tinggi, t
Setelah memesan makanan sesuai selera dua bocah laki-laki di hadapannya, Raka menyandarkan punggung ke sandaran kursi, berusaha mencari celah dalam keheningan.Restoran itu sebenarnya cukup ramai, dengan suara gelas beradu dan tawa pelan dari meja-meja lain, tapi di meja mereka, hanya bunyi logam sendok menyentuh piring yang mendominasi.Pelayan datang membawa nampan, uap tipis mengepul dari sepiring nasi hangat dan lauk yang menggoda.Raka memberi isyarat ringan dengan tangannya. Makanan diletakkan perlahan di hadapan Aidan dan Bayu.Aroma gurih menguar, mengisi udara di sekitar mereka.“Terima kasih, Pak Pradana,” ujar Aidan. Suaranya datar, terukur, namun tetap sopan.“Ah, jangan sungkan,” sahut Raka sambil tersenyum tipis, meski bibirnya terasa kaku. Ia mengangguk kecil, seperti orang yang terbiasa bersikap formal tapi asing dengan interaksi seperti ini.Jelas terlihat: ia tidak terbiasa duduk berhadapan dengan anak-anak, apalagi
Aidan memandangi wajah Raka dengan sorot mata tajam, nyaris menusuk, seakan ingin menyibak lapisan demi lapisan jawaban dari balik ketenangan ayahnya."Ibu ke mana? Kenapa bukan Ibu yang jemput?" tanyanya, suara datarnya menyimpan nada tak percaya.Dari sebelahnya, Elina ikut mengarahkan pandang ke ayah mereka, tidak menyela, tapi menanti. Udara di halaman sekolah sore itu terasa menggantung, seolah ikut menahan napas.“Ia masih kerja di lembaga riset,” jawab Raka, suaranya lembut namun tetap mantap, “mungkin pulangnya agak malam. Aku datang duluan supaya bisa ajak kalian makan malam.”Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan senyum tipis yang nyaris tak kentara, “Lagipula, pasti kalian sudah lapar, kan? Yuk, ikut aku.”Bayu, yang sejak tadi menahan rasa laparnya dengan menggigit bibir, menoleh ke Aidan, berharap saudaranya segera menyetujui.Namun melihat Aidan masih terpaku, ia ikut bungkam, menyembunyikan semangatnya di balik tatapan