Share

Bab 5: Maybach Misterius

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2025-05-07 21:18:01

Syukurlah, hingga langkah mereka benar-benar menyeberangi ambang gerbang kedatangan bandara yang ramai, tak ada bayangan yang mencurigakan. Kirana menatap sekeliling sekali lagi, memastikan dirinya aman.

Napas yang sejak tadi tertahan akhirnya meluruh pelan, namun ada beban tak kasat mata yang masih mencengkeram dadanya—sebuah kekhawatiran yang belum sepenuhnya reda.

Aidan dan Bayu berjalan di sisi ibunya. Keduanya mengamati gerak-gerik Kirana dengan sorot mata yang dipenuhi rasa ingin tahu, tapi tak satu pun dari mereka membuka suara.

Mereka hanya saling menatap, seperti berbagi pemahaman diam-diam yang hanya bisa dimiliki oleh dua saudara yang tumbuh bersama dalam ketakpastian.

Langkah mereka senyap, menyatu dalam irama yang sama, membiarkan Kirana menggandeng tangan mereka keluar dari hiruk-pikuk bandara menuju pelataran luar yang terbuka.

“Kirana! Aidan! Bayu!”

Sebuah suara perempuan memecah suasana. Jernih, penuh semangat. Kirana serta kedua anaknya spontan menoleh. Dari kejauhan, seorang wanita dengan jas abu-abu muda tampak tergesa melangkah cepat, seolah tak sabar menyingkat jarak.

Wajahnya bersinar di bawah sinar matahari sore yang menyorot miring, membentuk siluet lembut di latar belakang lalu-lalang penumpang.

Senyum Kirana mengembang, kali ini lebih tulus, lebih hangat, seperti aliran teh manis yang menyentuh tenggorokan setelah perjalanan panjang. “Mahira… akhirnya ketemu juga,” ucapnya dengan suara rendah namun penuh emosi.

Mahira Salsabila. Sahabat lama semasa kuliah yang dulu selalu menjadi tempat Kirana bersandar ketika dunia rasanya terlalu berat. Kini, Mahira telah menjelma menjadi sosok dokter keluarga terpandang, meski tetap dengan semangat yang sama: hangat dan membumi.

Meskipun mereka sering bertukar kabar lewat layar ponsel, pertemuan fisik itu terasa seperti air hujan pertama setelah musim kemarau.

Mahira langsung memeluk Kirana erat-erat, seperti ingin memastikan bahwa yang dipeluknya benar-benar sahabatnya sendiri, bukan bayangannya. “Akhirnya kamu pulang juga. Aku kangen banget, tahu!” ucapnya dengan suara sedikit bergetar, menahan ledakan haru.

Kirana tergelak pelan, pelukannya balas erat. “Aku juga, Mahira. Banget.”

Tak lama, Mahira berjongkok, membentangkan tangannya ke arah Aidan dan Bayu yang sejak tadi berdiri terpaku namun tersenyum cerah. Sorot matanya hangat, penuh kasih.

“Anak-anak, kalian kangen sama Tante Mahira, nggak?” tanyanya dengan nada main-main yang membuat kedua anak itu terkikik.

Aidan dan Bayu berlari kecil ke arahnya dan langsung memeluknya bergantian. “Tentu saja, Tante! Kami sampai mimpiin Tante, lho! Tante masih cantik, deh, seperti dulu!” ujar mereka dengan semangat yang meletup-letup.

Mahira tertawa—tawa yang ringan dan melenting, seperti denting lonceng kecil di sore hari. Pipi bulatnya memerah, entah karena terharu atau tersanjung. “Duh, kalian ini… manis banget, sih,” ujarnya sambil mengusap kepala keduanya penuh sayang.

Namun di tengah pertemuan yang manis itu, sorot mata Kirana kembali melayang ke arah pintu bandara. Sebuah kerut halus muncul di antara alisnya. Ada sesuatu di sana—sebuah kecemasan yang belum mau padam.

Suaranya pelan namun mengandung nada tegas saat ia berkata, “Ayo, kita lanjutkan di rumah saja, ya.”

Mahira menanggapi dengan anggukan tenang. Ia mencium pipi Aidan dan Bayu satu per satu, lalu menggandeng mereka menuju parkiran sambil membantu mengangkat koper ke bagasi mobil.

Hembusan angin sore menyapu rambut mereka saat kendaraan mulai bergerak, meninggalkan suara bandara yang perlahan meredup di kejauhan.

Sementara itu, hampir bersamaan, seorang pria bertubuh tegap dengan setelan jas hitam yang rapi melangkah keluar dari terminal. Wajahnya tajam, rahangnya mengeras, dan mata elangnya menyapu gerbang seperti sedang berburu sesuatu yang lebih dari sekadar kabar.

“Batalkan semua jadwal perjalanan ke luar negeri,” ucapnya, suaranya dingin namun tak menyisakan ruang untuk bantahan.

Zayyan Mahesa, sang asisten yang selalu hadir seperti bayangan, mengangguk cepat. “Baik, Pak Raka. Kami juga sudah memperluas pencarian untuk Nona Elina. Dia masih kecil. Kemungkinan besar, dia tidak pergi jauh. Kami akan menemukannya.”

Nama Elina membuat rahang Raka mengencang lebih dalam. Tak ada yang lebih penting dari gadis kecil itu—buah hatinya, pusat orbit kehidupannya. Seluruh dunia bisa menunggu, tapi Elina tidak.

Tanpa menanggapi lagi, ia masuk ke dalam mobil Maybach hitam yang menunggu tak jauh dari trotoar. Pintu tertutup senyap, dan suara mesin menyala pelan sebelum melaju menjauh, membawa serta bayangan pria yang kini hanya punya satu tujuan: menemukan Elina.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 238: Saat Kita Masih Utuh

    Kirana memperlakukan Elina layaknya bagian dari jiwanya yang pernah hilang. Ada sesuatu di mata gadis kecil itu yang mengingatkan Kirana pada masa lalu yang tak pernah benar-benar sembuh.Ia merawat Elina bukan hanya karena belas kasih, tapi juga sebagai semacam penebusan atas kehilangan yang tak pernah ia beri nama.Hari-hari berlalu dalam ritme yang baru, lebih hangat. Aidan dan Bayu, dua anak laki-laki yang biasanya tak mudah akrab dengan orang asing, lambat laun mulai menerima kehadiran Elina seperti adik yang sudah lama mereka tunggu.Di rumah, mereka suka bermain bersama, menggambar di lantai ruang tengah, tertawa sampai lupa waktu.Di taman kanak-kanak, mereka seperti pengawal kecil, berdiri di kiri-kanan Elina, melindungi dari keributan anak-anak lain yang kadang terlalu riuh.Dan Elina? Gadis kecil itu tampak bahagia, dengan senyum yang tak pernah betah bersembunyi terlalu lama.Ada kilau di matanya, seolah tempat baru ini perlahan-

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 237: Bayangan di Balik Jendela

    "Udah malam, Pak Pradana. Mending Bapak pulang dulu. Terima kasih ya, udah repot-repot jemput anak-anak hari ini."Suara Kirana terdengar tenang, tapi ada getaran halus yang tersembunyi di ujung kalimatnya. Raka menatapnya sejenak, seolah ingin mengatakan sesuatu, namun bibirnya hanya bergerak sedikit sebelum ia akhirnya mengangguk pelan.Langkahnya berat saat berbalik, seperti ada beban tak kasat mata yang menggantung di punggungnya.Angin malam menyambutnya ketika ia keluar dari rumah itu. Suara serangga yang bersahutan di halaman hanya menambah kegelisahan yang sejak tadi mengendap di dadanya.Jalanan sudah sepi, lampu-lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan ke aspal basah, membuat bayangan pepohonan tampak meliuk pelan, nyaris seperti menari di atas genangan.Dalam perjalanan pulang, pikirannya tidak bisa diam. Ada sesuatu yang mencengkeram, mencubit dari dalam.Bukan rasa bersalah, bukan pula amarah. Lebih seperti… kehilangan.

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 236: Bayangan di Meja Makan

    Keheningan turun pelan-pelan seperti kabut tipis yang menyusup masuk dari celah jendela. Ruang makan itu—berdinding abu lembut dan lampu gantung berpendar kekuningan—mendadak terasa terlalu luas, terlalu sunyi.Suara garpu yang bersentuhan dengan piring menjadi satu-satunya tanda bahwa waktu masih berjalan. Tak satu pun dari mereka berbicara, bahkan napas pun ditahan seolah suara bisa menyakiti.Elina, duduk di ujung meja dengan punggung tegak namun mata kosong, ikut terbawa suasana. Sorot matanya memantul dari wajah Raka yang tegang ke dua adik laki-lakinya yang menunduk dalam diam.Ia belum paham seluruhnya, tapi perasaan berat itu menular—seperti mendung yang menyelimuti hatinya sendiri.Bibirnya yang mungil terkatup rapat, dan sejenak, ia terlihat jauh lebih dewasa dari usianya.Raka, yang duduk di kursi kepala meja, sempat mencoba menyisipkan humor ringan—tentang kucing yang ia temui di parkiran kantor, atau tentang betapa konyolnya bosnya ter

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 235: Pertanyaan Bayu

    Malam itu, ruang makan kecil yang disinari cahaya kuning lampu gantung berubah senyap. Aroma hangat sup ayam masih melayang-layang di udara, namun tak ada satu pun yang tampak benar-benar menikmati hidangan di hadapan mereka.Raka sempat tertegun, napasnya tertahan sejenak sebelum ia menarik senyum seadanya—senyum tipis yang terlalu tergesa untuk bisa terlihat tulus.“Nggak kok… cuma pengin tahu aja. Sedikit rasa penasaran, itu aja,” ujarnya pelan, seperti berjalan di atas kaca tipis.Aidan memandangnya tajam, lama, dengan sorot mata yang tak lagi ramah. Ada sesuatu yang retak di balik tatapan itu—mungkin kemarahan, atau luka lama yang menganga.Ia kemudian membuang muka, rahangnya mengeras.“Sejak kami lahir, kami belum pernah lihat wajah ayah kami,” ucapnya, dingin dan tegas, setiap katanya seperti lemparan batu ke dalam danau yang tenang.“Dia ninggalin Ibu dan kami. Buatku, dia pengecut. Aku nggak suka dia.”Suaranya tak tinggi, t

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 234: Tatapan Aidan

    Setelah memesan makanan sesuai selera dua bocah laki-laki di hadapannya, Raka menyandarkan punggung ke sandaran kursi, berusaha mencari celah dalam keheningan.Restoran itu sebenarnya cukup ramai, dengan suara gelas beradu dan tawa pelan dari meja-meja lain, tapi di meja mereka, hanya bunyi logam sendok menyentuh piring yang mendominasi.Pelayan datang membawa nampan, uap tipis mengepul dari sepiring nasi hangat dan lauk yang menggoda.Raka memberi isyarat ringan dengan tangannya. Makanan diletakkan perlahan di hadapan Aidan dan Bayu.Aroma gurih menguar, mengisi udara di sekitar mereka.“Terima kasih, Pak Pradana,” ujar Aidan. Suaranya datar, terukur, namun tetap sopan.“Ah, jangan sungkan,” sahut Raka sambil tersenyum tipis, meski bibirnya terasa kaku. Ia mengangguk kecil, seperti orang yang terbiasa bersikap formal tapi asing dengan interaksi seperti ini.Jelas terlihat: ia tidak terbiasa duduk berhadapan dengan anak-anak, apalagi

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 233: Cahaya di Jendela Lembang

    Aidan memandangi wajah Raka dengan sorot mata tajam, nyaris menusuk, seakan ingin menyibak lapisan demi lapisan jawaban dari balik ketenangan ayahnya."Ibu ke mana? Kenapa bukan Ibu yang jemput?" tanyanya, suara datarnya menyimpan nada tak percaya.Dari sebelahnya, Elina ikut mengarahkan pandang ke ayah mereka, tidak menyela, tapi menanti. Udara di halaman sekolah sore itu terasa menggantung, seolah ikut menahan napas.“Ia masih kerja di lembaga riset,” jawab Raka, suaranya lembut namun tetap mantap, “mungkin pulangnya agak malam. Aku datang duluan supaya bisa ajak kalian makan malam.”Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan senyum tipis yang nyaris tak kentara, “Lagipula, pasti kalian sudah lapar, kan? Yuk, ikut aku.”Bayu, yang sejak tadi menahan rasa laparnya dengan menggigit bibir, menoleh ke Aidan, berharap saudaranya segera menyetujui.Namun melihat Aidan masih terpaku, ia ikut bungkam, menyembunyikan semangatnya di balik tatapan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status