Syukurlah, hingga langkah mereka benar-benar menyeberangi ambang gerbang kedatangan bandara yang ramai, tak ada bayangan yang mencurigakan. Kirana menatap sekeliling sekali lagi, memastikan dirinya aman.
Napas yang sejak tadi tertahan akhirnya meluruh pelan, namun ada beban tak kasat mata yang masih mencengkeram dadanya—sebuah kekhawatiran yang belum sepenuhnya reda.
Aidan dan Bayu berjalan di sisi ibunya. Keduanya mengamati gerak-gerik Kirana dengan sorot mata yang dipenuhi rasa ingin tahu, tapi tak satu pun dari mereka membuka suara.
Mereka hanya saling menatap, seperti berbagi pemahaman diam-diam yang hanya bisa dimiliki oleh dua saudara yang tumbuh bersama dalam ketakpastian.
Langkah mereka senyap, menyatu dalam irama yang sama, membiarkan Kirana menggandeng tangan mereka keluar dari hiruk-pikuk bandara menuju pelataran luar yang terbuka.
“Kirana! Aidan! Bayu!”
Sebuah suara perempuan memecah suasana. Jernih, penuh semangat. Kirana serta kedua anaknya spontan menoleh. Dari kejauhan, seorang wanita dengan jas abu-abu muda tampak tergesa melangkah cepat, seolah tak sabar menyingkat jarak.
Wajahnya bersinar di bawah sinar matahari sore yang menyorot miring, membentuk siluet lembut di latar belakang lalu-lalang penumpang.
Senyum Kirana mengembang, kali ini lebih tulus, lebih hangat, seperti aliran teh manis yang menyentuh tenggorokan setelah perjalanan panjang. “Mahira… akhirnya ketemu juga,” ucapnya dengan suara rendah namun penuh emosi.
Mahira Salsabila. Sahabat lama semasa kuliah yang dulu selalu menjadi tempat Kirana bersandar ketika dunia rasanya terlalu berat. Kini, Mahira telah menjelma menjadi sosok dokter keluarga terpandang, meski tetap dengan semangat yang sama: hangat dan membumi.
Meskipun mereka sering bertukar kabar lewat layar ponsel, pertemuan fisik itu terasa seperti air hujan pertama setelah musim kemarau.
Mahira langsung memeluk Kirana erat-erat, seperti ingin memastikan bahwa yang dipeluknya benar-benar sahabatnya sendiri, bukan bayangannya. “Akhirnya kamu pulang juga. Aku kangen banget, tahu!” ucapnya dengan suara sedikit bergetar, menahan ledakan haru.
Kirana tergelak pelan, pelukannya balas erat. “Aku juga, Mahira. Banget.”
Tak lama, Mahira berjongkok, membentangkan tangannya ke arah Aidan dan Bayu yang sejak tadi berdiri terpaku namun tersenyum cerah. Sorot matanya hangat, penuh kasih.
“Anak-anak, kalian kangen sama Tante Mahira, nggak?” tanyanya dengan nada main-main yang membuat kedua anak itu terkikik.
Aidan dan Bayu berlari kecil ke arahnya dan langsung memeluknya bergantian. “Tentu saja, Tante! Kami sampai mimpiin Tante, lho! Tante masih cantik, deh, seperti dulu!” ujar mereka dengan semangat yang meletup-letup.
Mahira tertawa—tawa yang ringan dan melenting, seperti denting lonceng kecil di sore hari. Pipi bulatnya memerah, entah karena terharu atau tersanjung. “Duh, kalian ini… manis banget, sih,” ujarnya sambil mengusap kepala keduanya penuh sayang.
Namun di tengah pertemuan yang manis itu, sorot mata Kirana kembali melayang ke arah pintu bandara. Sebuah kerut halus muncul di antara alisnya. Ada sesuatu di sana—sebuah kecemasan yang belum mau padam.
Suaranya pelan namun mengandung nada tegas saat ia berkata, “Ayo, kita lanjutkan di rumah saja, ya.”
Mahira menanggapi dengan anggukan tenang. Ia mencium pipi Aidan dan Bayu satu per satu, lalu menggandeng mereka menuju parkiran sambil membantu mengangkat koper ke bagasi mobil.
Hembusan angin sore menyapu rambut mereka saat kendaraan mulai bergerak, meninggalkan suara bandara yang perlahan meredup di kejauhan.
Sementara itu, hampir bersamaan, seorang pria bertubuh tegap dengan setelan jas hitam yang rapi melangkah keluar dari terminal. Wajahnya tajam, rahangnya mengeras, dan mata elangnya menyapu gerbang seperti sedang berburu sesuatu yang lebih dari sekadar kabar.
“Batalkan semua jadwal perjalanan ke luar negeri,” ucapnya, suaranya dingin namun tak menyisakan ruang untuk bantahan.
Zayyan Mahesa, sang asisten yang selalu hadir seperti bayangan, mengangguk cepat. “Baik, Pak Raka. Kami juga sudah memperluas pencarian untuk Nona Elina. Dia masih kecil. Kemungkinan besar, dia tidak pergi jauh. Kami akan menemukannya.”
Nama Elina membuat rahang Raka mengencang lebih dalam. Tak ada yang lebih penting dari gadis kecil itu—buah hatinya, pusat orbit kehidupannya. Seluruh dunia bisa menunggu, tapi Elina tidak.
Tanpa menanggapi lagi, ia masuk ke dalam mobil Maybach hitam yang menunggu tak jauh dari trotoar. Pintu tertutup senyap, dan suara mesin menyala pelan sebelum melaju menjauh, membawa serta bayangan pria yang kini hanya punya satu tujuan: menemukan Elina.
Elina menggigit bibir bawahnya. Ada sesuatu di sorot matanya yang membuat udara di sekitar mereka seakan menegang: campuran resah, bingung, dan marah yang tak terucap. Tatapannya menancap pada sosok ayahnya, seolah hendak memaksa lelaki itu menoleh.Di belakang sorot mata itu, ia juga tak henti melirik kaki Nona Alesha yang berlumur pasir dan sedikit darah, belum juga dibersihkan.“Ayah… kaki Nona Alesha…” suaranya serak, nyaris tercekat oleh cemas.Raka berdiri kaku, sosoknya bagai patung di tengah bentangan pasir yang perlahan mulai dingin ditiup angin sore. Pandangannya terpaku pada luka itu, pada pergelangan kaki Kirana yang berkilat samar terkena sinar jingga matahari.Ia tidak bersuara, tidak bergerak, hanya membiarkan kebisuan menjawab.Ketika Elina akhirnya memanggil namanya lebih keras, Raka tersentak. Tatapannya berpindah, dari luka di kaki itu ke wajah Kirana yang duduk di pasir dengan rambut tergerai, sebagian
Langkah mereka berderap pelan di atas pasir yang mulai dingin diterpa angin senja. Aidan dan Bayu, dua bocah kembar yang tak pernah lepas dari sisi ibunya, menggenggam erat tangan Kirana.Jemari mungil mereka seakan berusaha menyalurkan kekuatan, seolah ingin menjadi penopang bagi perempuan yang tengah digelayuti resah.Hanya suara gesekan kaki di atas pasir yang terdengar, berbaur dengan debur ombak jauh di ujung pulau. Sunyi itu terasa asing—hening yang tidak menenangkan, justru menambah berat dada mereka. Biasanya, ada tawa, ada obrolan, ada suara ibu mereka yang hangat.Kini, semua menguap, meninggalkan kesunyian yang menekan.“Bu…” Bayu akhirnya memberanikan diri, suaranya lirih, ragu, seperti takut menambah luka yang tak terlihat. “Kita nggak ajak Ellie lagi?”Kirana tersentak, seakan baru terbangun dari lamunan panjang. Kata-kata itu menghantam kesadarannya. Dalam kegelisahan, ia memang meninggalkan Elina
Kerang pilihan Elina tampak berkilau di bawah cahaya sore, warnanya memantul lembut—campuran jingga muda dan mutiara yang seolah menyimpan cahaya dari laut tempat ia ditemukan.Jemarinya yang mungil dengan hati-hati mengikat rantai biru sederhana pada cangkang itu, dan seketika kerang tersebut berubah. Pesonanya tak lagi hanya sekadar indah; ada kehangatan yang menyelinap, seperti bisikan rahasia yang hanya terbuka bagi mereka yang benar-benar memperhatikannya.Kirana, duduk tak jauh darinya, mengamati dengan senyum tipis. Ia bisa membayangkan betapa manisnya gantungan kunci itu jika menghiasi tas kecil Elina.Dalam benaknya, tampak jelas sosok gadis kecil itu melompat-lompat riang di jalan berpasir Pulau Tidung, tas mungil di bahunya bergoyang ringan, kerang biru bergemerincing setiap langkahnya, seolah dunia ikut berkilau bersama keceriaannya.Namun senyum di wajah Kirana perlahan pudar ketika Elina mendongak. Sepasang mata bulat bening menatapnya
Elina menempelkan kerang itu lebih dekat ke telinganya. Cahaya sore memantul di matanya yang membesar, berkilau seperti dua permata yang baru saja menemukan sinarnya.Kedua tangannya mendekap cangkang itu dengan hati-hati, seolah sedang memeluk rahasia besar yang hanya menunggu saatnya untuk diungkapkan.Tubuh mungilnya sedikit condong ke depan, bahunya menegang, telinganya menempel rapat pada kerang. Ia tampak larut dalam keheningan, seakan lautan yang terbentang di depannya telah pindah ke dalam ruang sempit cangkang itu.Beberapa detik kemudian, bibirnya merekah, senyum meledak begitu saja, dan wajahnya bersinar seperti matahari sore yang menembus celah awan."Iya! Aku dengar!" serunya lantang, suaranya melengking penuh kemenangan. Ada nada keyakinan di sana, seperti seorang penjelajah kecil yang baru saja menemukan benua baru.Kirana terdiam. Tadinya ia hanya bercanda, ingin bermain-main dengan imajinasi Elina yang sering meletup tak terkendali
Tak jauh dari kapal, wajah laut yang semula tenang bergetar lembut. Riak kecil menjalar seperti bisikan rahasia, lalu tiba-tiba pecah oleh lompatan gesit sekawanan lumba-lumba. Tubuh mereka berkilau ditimpa cahaya matahari sore, seakan ada perhiasan hidup menari di permukaan air.Beberapa saat mereka menghilang, menyelam ke dalam biru yang dalam, hanya untuk muncul kembali, kali ini lebih dekat. Anak-anak yang berdiri di dek sontak bersorak, tangan mungil mereka terangkat tinggi, melambai penuh semangat.“Halo! Kami di sini! Main yuk!” seru mereka, tawa mereka terbawa angin laut yang asin dan segar.Kirana berdiri agak jauh, memperhatikan wajah-wajah kecil itu. Senyum lembut merekah di bibirnya, matanya berbinar melihat keluguan mereka yang begitu murni.Dan seakan mengerti panggilan polos itu, kawanan lumba-lumba semakin mendekat, meluncur dengan gerakan anggun, berputar di air laksana penari yang tak pernah lelah.Anak-anak merapat ke
Elina merapatkan tubuh mungilnya, memeluk lutut seolah dunia bisa runtuh kapan saja. Matanya membelalak, masih memantulkan sisa bayangan gelap dari kedalaman laut. Napasnya tersengal, seperti baru saja berlari menghindari sesuatu yang tak terlihat.“Aku tadi takut banget, Bu Alesha... Kukira Ibu kenapa-kenapa...” Suaranya pecah, tercekat, menyisakan getaran cemas yang menolak padam.Kirana menunduk, berjongkok di sisi Elina. Tangannya—hangat dan penuh kelembutan—mendarat di pipi putrinya, mengusap pelan, seakan bisa menyapu jauh kegelisahan yang menempel di sana. Senyum samar mengembang di bibirnya, meski tubuhnya sendiri masih menyimpan lelah.“Maaf ya, sayang... bikin kamu khawatir,” ucapnya pelan, seperti doa yang disembunyikan di antara desah napas. “Tapi Ibu baik-baik saja, kok. Instruktur selamnya jaga Ibu dengan sangat baik.”Langkah tergesa terdengar di dek kayu yang masih basah oleh percikan laut. R