Share

07 - Sikap Aneh Ibu

"Naima, ibu seneng banget kamu ke sini," ucap Ibu mertua dengan senyum penuh arti. Sangat-sangat tidak wajar, karena yang selama ini terjadi adalah sebaliknya. Tidak perlu kujelaskan lagi, kan? Karena kalian semua pasti juga sudah pada paham.

Ibu tersenyum ke arahku sambil berkata dengan sangat lembut. "Kenapa baru ke sini sekarang? Padahal ibu sudah kangen banget sama kalian," ucapnya lagi, yang seharusnya aku sangat bahagia ketika mendengarnya,tapi entah mengapa hatiku terasa sangat janggal. Hati nurani yang terdalamku tidak membenarkan perubahan sikap ibu ini.

Setelah menyapaku, ibu berjalan menghampiri putranya. "Ilham, maafkan ibu ya, Nak. Karena ibu sudah egois sama kalian, khususnya sama Naima." Ibu mengatakan itu dengan raut wajah sedih penuh penyesalan. Aku sih, masih berfirasat ini hanya drama saja. Pasti ada satu hal yang akan dimintanya dari Mas Ilham lagi, karena aku sudah paham betul bagaimana sikap dan watak ibu mertuaku ini.

Ya Allah ... padahal niat awal ke sini adalah untuk menyambung tali silaturahmi, tapi kenapa hatiku malah dipenuhi rasa suudzon?

Astaghfirullah ....

Aku segera menepis perasaan-perasaan janggal yang terus saja berkecamuk dan menggantinya dengan baik sangka agar hatiku sedikit lebih tenang dan bahagia. Ya, seharusnya aku bahagia karena ibu yang biasanya membenciku kini bersikap baik, sangat baik malah.

"Naima, kenapa dari tadi kamu diam saja? Kamu masih marah sama ibu??" Wanita itu menghampiriku dengan wajah sendu.

"Ah, bukan begitu, Bu," jawabku gugup. "Naima tidak pernah marah sama ibu." Cuma kesel aja.

Ibu meraih kedua tanganku seraya menangis sesenggukan. "Maafkan Ibu ya, Naima. Ibu sudah banyak berbuat salah sama kamu," ucap Ibu lagi dengan air mata sudah mengalir di kedua pipi. Melihat sikap dan ucapan Ibu saat ini, aku jadi berpikir sepertinya Ibu benar-benar sudah berubah.

"Enggak, Bu. Nggak ada yang perlu dimaafkan, karena Ibu sama sekali tidak pernah salah sama Naima." Aku berusaha menetralkan keadaan. "Naima sadar, Naima memang banyak kekurangan, jadi wajar kalau Ibu sering marahin Naima." Ups! Kelepasan.

Mendengar perkataanku, raut wajah Ibu masih tetap sama. Wanita itu kini malah memelukku dengan penuh kehangatan. Seketika suasana rumah ini terasa seperti sedang merayakan hari raya Idul Fitri, karena kami saling bermaaf-maafan satu sama lain. Ada Ibu dan Bapak, tanpa Nindy, karena sepertinya adik iparku itu sedang tidak ada di rumah.

Perasaan lega dan bahagia merasuk ke relung hati, menghangatkan perasaan yang selama ini terasa sepi. Alhamdulillah, aku sangat bersyukur karena akhirnya bisa merasakan kebersamaan ini. Ya, walaupun harus melewati drama perseteruan antara Mas Ilham dengan Ibu. Tapi, akhirnya kami bisa menyambung tali silaturahmi kembali.

Waktu terus berlalu. Tidak terasa sudah tiga jam lebih kami melewati malam ini dengan bercengkrama. Ibu tak henti-hentinya memuji wajahku yang katanya saat ini aku terlihat lebih cantik dari yang dulu. Aih! Selain pintar merusak suasana hati, wanita ini ternyata juga sangat jago memenangkan perasaan seseorang. Hanya dengan kalimat itu saja, aku sudah tersipu dibuatnya.

Selama tinggal di rumah sendiri, aku memang lebih punya banyak waktu untuk merawat diri. Mas Ilham juga memberikan jatah khusus untukku membeli segala yang kumau. Dan sepertinya benar kata ibu, kalau wajahku kini lebih glowing dari sebelumnya, saat aku masih menjadi babu di rumahnya. Mudah-mudahan saja Mas Ilham tidak berniat kembali tinggal di rumah ini lagi. Jahat banget, aku.

Tepat pukul sepuluh malam Mas Ilham mengajakku pamit pulang. Sebenarnya ibu meminta kami untuk menginap saja, tapi Mas Ilham bersikeras mengajak pulang karena besok di kantor ada meeting penting yang tidak bisa dtinggalkan. Akan lebih cepat jika berangkat dari rumah, karena jarak rumah dengan kantor memang sangat dekat.

Dengan berat hati, ibu dan bapak akhirnya mengizinkan kami kembali. Setelah berpamitan, kami berdua langsung pulang karena suasana sudah lumayan sepi dan kami semakin takut kemalaman di jalan.

***

Kling!

Satu notifikasi pesan singkat masuk di gawai pipihku. Nomor tidak dikenal, karena memang nomor yang masuk adalah nomor baru.

[Assalamu'alaikum, Naima. Apa kabar?]

Dengan cepat aku mengetikkan sesuatu.

[Maaf, dengan siapa?]

Begitulah aku bertanya pada si pengirim pesan. Dan baru beberapa detik pesan singkat itu dibaca, si pengirim kembali membalas pesanku.

[Jangan bilang kamu tidak menyimpan nomorku. Aku Malik, Naima. Temanmu di panti asuhan dulu]

Malik?

Malik si resek yang suka menoyor kepalaku?

Aku dengannya memang sudah sangat lama tidak bertemu dan berkabar. Tapi, kenapa dia bilang tidak menyimpan nomornya? Bahkan sebelum ini aku tidak pernah berhubungan dengannya. Ada-ada saja.

Beberapa detik kemudian Malik kembali mengirim pesan.

[Naima, bisakah kita bertemu?]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status