"Naima, ibu seneng banget kamu ke sini," ucap Ibu mertua dengan senyum penuh arti. Sangat-sangat tidak wajar, karena yang selama ini terjadi adalah sebaliknya. Tidak perlu kujelaskan lagi, kan? Karena kalian semua pasti juga sudah pada paham.
Ibu tersenyum ke arahku sambil berkata dengan sangat lembut. "Kenapa baru ke sini sekarang? Padahal ibu sudah kangen banget sama kalian," ucapnya lagi, yang seharusnya aku sangat bahagia ketika mendengarnya,tapi entah mengapa hatiku terasa sangat janggal. Hati nurani yang terdalamku tidak membenarkan perubahan sikap ibu ini.Setelah menyapaku, ibu berjalan menghampiri putranya. "Ilham, maafkan ibu ya, Nak. Karena ibu sudah egois sama kalian, khususnya sama Naima." Ibu mengatakan itu dengan raut wajah sedih penuh penyesalan. Aku sih, masih berfirasat ini hanya drama saja. Pasti ada satu hal yang akan dimintanya dari Mas Ilham lagi, karena aku sudah paham betul bagaimana sikap dan watak ibu mertuaku ini.Ya Allah ... padahal niat awal ke sini adalah untuk menyambung tali silaturahmi, tapi kenapa hatiku malah dipenuhi rasa suudzon?Astaghfirullah ....Aku segera menepis perasaan-perasaan janggal yang terus saja berkecamuk dan menggantinya dengan baik sangka agar hatiku sedikit lebih tenang dan bahagia. Ya, seharusnya aku bahagia karena ibu yang biasanya membenciku kini bersikap baik, sangat baik malah."Naima, kenapa dari tadi kamu diam saja? Kamu masih marah sama ibu??" Wanita itu menghampiriku dengan wajah sendu."Ah, bukan begitu, Bu," jawabku gugup. "Naima tidak pernah marah sama ibu." Cuma kesel aja.Ibu meraih kedua tanganku seraya menangis sesenggukan. "Maafkan Ibu ya, Naima. Ibu sudah banyak berbuat salah sama kamu," ucap Ibu lagi dengan air mata sudah mengalir di kedua pipi. Melihat sikap dan ucapan Ibu saat ini, aku jadi berpikir sepertinya Ibu benar-benar sudah berubah."Enggak, Bu. Nggak ada yang perlu dimaafkan, karena Ibu sama sekali tidak pernah salah sama Naima." Aku berusaha menetralkan keadaan. "Naima sadar, Naima memang banyak kekurangan, jadi wajar kalau Ibu sering marahin Naima." Ups! Kelepasan.Mendengar perkataanku, raut wajah Ibu masih tetap sama. Wanita itu kini malah memelukku dengan penuh kehangatan. Seketika suasana rumah ini terasa seperti sedang merayakan hari raya Idul Fitri, karena kami saling bermaaf-maafan satu sama lain. Ada Ibu dan Bapak, tanpa Nindy, karena sepertinya adik iparku itu sedang tidak ada di rumah.Perasaan lega dan bahagia merasuk ke relung hati, menghangatkan perasaan yang selama ini terasa sepi. Alhamdulillah, aku sangat bersyukur karena akhirnya bisa merasakan kebersamaan ini. Ya, walaupun harus melewati drama perseteruan antara Mas Ilham dengan Ibu. Tapi, akhirnya kami bisa menyambung tali silaturahmi kembali.Waktu terus berlalu. Tidak terasa sudah tiga jam lebih kami melewati malam ini dengan bercengkrama. Ibu tak henti-hentinya memuji wajahku yang katanya saat ini aku terlihat lebih cantik dari yang dulu. Aih! Selain pintar merusak suasana hati, wanita ini ternyata juga sangat jago memenangkan perasaan seseorang. Hanya dengan kalimat itu saja, aku sudah tersipu dibuatnya.Selama tinggal di rumah sendiri, aku memang lebih punya banyak waktu untuk merawat diri. Mas Ilham juga memberikan jatah khusus untukku membeli segala yang kumau. Dan sepertinya benar kata ibu, kalau wajahku kini lebih glowing dari sebelumnya, saat aku masih menjadi babu di rumahnya. Mudah-mudahan saja Mas Ilham tidak berniat kembali tinggal di rumah ini lagi. Jahat banget, aku.Tepat pukul sepuluh malam Mas Ilham mengajakku pamit pulang. Sebenarnya ibu meminta kami untuk menginap saja, tapi Mas Ilham bersikeras mengajak pulang karena besok di kantor ada meeting penting yang tidak bisa dtinggalkan. Akan lebih cepat jika berangkat dari rumah, karena jarak rumah dengan kantor memang sangat dekat.Dengan berat hati, ibu dan bapak akhirnya mengizinkan kami kembali. Setelah berpamitan, kami berdua langsung pulang karena suasana sudah lumayan sepi dan kami semakin takut kemalaman di jalan.***Kling!Satu notifikasi pesan singkat masuk di gawai pipihku. Nomor tidak dikenal, karena memang nomor yang masuk adalah nomor baru.[Assalamu'alaikum, Naima. Apa kabar?]Dengan cepat aku mengetikkan sesuatu.[Maaf, dengan siapa?]Begitulah aku bertanya pada si pengirim pesan. Dan baru beberapa detik pesan singkat itu dibaca, si pengirim kembali membalas pesanku.[Jangan bilang kamu tidak menyimpan nomorku. Aku Malik, Naima. Temanmu di panti asuhan dulu]Malik?Malik si resek yang suka menoyor kepalaku?Aku dengannya memang sudah sangat lama tidak bertemu dan berkabar. Tapi, kenapa dia bilang tidak menyimpan nomornya? Bahkan sebelum ini aku tidak pernah berhubungan dengannya. Ada-ada saja.Beberapa detik kemudian Malik kembali mengirim pesan.[Naima, bisakah kita bertemu?]POV Author"Jadi, kamu suaminya Naima??" Ratih, mantan mertua Naima itu sangat terkejut. Dia begitu kagum melihat pria yang berdiri di hadapannya. Dalam pikirannya, ia tak pernah mebayangkan bahwa menantu yang disia-siakannya sekarang mendapat suami super sempurna.Ratih tahu jika Hakim adalah pria kaya, tetapi ia sama sekalian tidak tahu jika pria itu juga masih sangat muda dan tampan. Bagaimana mungkin, seorang janda rendahan dipersunting pria istimewa ini?Namun, rasa kagum itu tak mungkin ia tampakkan. Tidak mungkin ia memuji Hakim sementara hatinya begitu membenci Naima. "Iya, saya suami dari Naima." Hakim menjawab dengan kalimat penuh penekanan. Sementara tu, hatinya masih menerka-nerka siapa dia orang wanita yang sedang merundung istrinya. Perdebatan pun terjadi, hingga Hakim akhirnya tahu bahwa wanita itu adalah ibu dari Ilham, mantan suami Naima. Dan wanita muda yang berdiri di sampingnya adalah Melissa, istri kedua Ilham saat ini. "Dari mana kamu tahu tentang Ilham? Pasti
"Apa aku nggak salah dengar, Dek?" Aku begitu terkejut mendengar pengakuan dari Naima. Bagaimana mungkin pria yang sudah merugikan perusahaanku adalah mantan dari istriku sendiri.Apa mungkin ... pria itu sengaja melakukan ini padaku? Karena dia tahu aku adalah suami mantan istrinya? Ah, entahlah .... "Mas, kamu jangan marah ya? Aku nggak pernah berniat merahasiakan ini." Naima kembali berucap dengan mata nanar menatapku. Bagaimana mungkin aku akan marah padanya, sementara dia adalah kucing manis yang selalu diam di rumah. Maksudku, dia adalah istri sempurna bagiku terlepas dari sikap buruk mantan suaminya. Dengan penuh cinta aku membelai bahunya. "Siapa yang marah, Dek? Mas nggak marah kok. Cuman agak kaget aja." "Iya, Mas. Aku juga baru tahu kalau perusahaan tempat Mas Ilham bekerja jadi partner kerjamu waktu dia datang ke sini," terang Naima lagu dengan penuh kesungguhan. "Iya, Dek. Mas paham." Aku kembali menyahut. "Tapi, apa kamu tahu bagaimana sifat asli mantan suamimu itu?
Apa yang terjadi?"Maaf, Pak Haris. Apa maksud Bapak?" Aku sangat terkejut dengan file yang sedang kupegang.Pemuda yang usianya kurasa masih di bawahku itu tersenyum simpul. "Itu adalah rekapan dari semua biaya proyek yang sedang kita garap. Lihatlah lagi dengan teliti. Di sini tidak terlihat adanya kecurangan atau penggelapan dana yang dilakukan Saudara Ilham yang notabene adalah karyawan saya. Jadi, saya harap Anda menarik kembali ucapan dan tuduhan Bapak pada Saudara Ilham!""Apa??" Aku sangat terkejut. Bisa-bisanya Ilham memanipulasi lagi data yang sudah kami dapat sehingga membuatnya terbebas dari kesalahan. Aku sangat marah hingga tak sengaja aku berdiri seketika dan menarik kerah karyawan licik itu. "Jangan kamu pikir setelah membuat file baru kamu akan aman, hah! Aku punya bukti bahwa semua ini sudah kamu rencanakan dari awal. Dasar manusia licik!" "Tenang, Pak. Tenang ...." Romi berusaha menarik lenganku, tetapi tanganku sangat kuat mencengkeram kerah Ilham, membuat pria
Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap. Sesuai rencana, aku dan Romi akan ke perusahaan tempat Ilham bekerja. Di mana perusahaan itu saat ini sedang bekerja sama dengan kami.Aku sangat berharap proyek yang kami garap ini berakhir dengan hasil yang memuaskan. Sayang seribu kali sayang, bukannya untung aku malah buntung. Karena keserakahan satu orang membuat hasil yang akan kami dapat sangat tidak sesuai. Bidang perusahaan yang sedang kurintis adalah tentang properti. Di mana aku bekerja sama dengan berbagai perusahaan kontraktor untuk membangun perumahan yang siap huni. Dengan penuh harap aku memulai kerja sama dengan perusahaan besar yang cukup terkenal milik seorang pemuda bernama Haris. Awalnya, proyek terlihat berjalan dengan baik. Aku juga sering memantau langsung ke lapangan. Akan tetapi, karena kesibukan dan aku selalu ingin menemani Naima di rumah, itu menjadikanku tidak bisa mengontrol langsung proyek yang sedang berjalan. Hanya Romi yang kutugaskan sesekali untuk mengontrol
Aku begitu terkejut mendapati kabar dari sekretarisku. Pikiranku yang panas karena Intan seketika terasa semakin mau pecah. Bagaimana mungkin, file penting tentang proyek baru kami dicuri oleh seseorang. Untung saja kami memasang beberapa CCTV di berbagai titik di perusahaan, sehingga membuat Romi, sekretaris sekaligus orang kepercayaanku bisa dengan cepat melacak dan menemukan pencurinya. "Bapak harus segera ke kantor. Ini saya sudah mengkonfirmasi pencurinya. Jika Bapak mau, kita bisa melaporkan hal ini langsung ke kantor polisi," ucap Romi memberikan saran. Ia juga begitu geram dengan ulah Ilham.Sudahlah menggunakan uang proyek yang sedang berjalan, kini malah mencuri data penting yang kami simpan. Aku sudah bisa memastikan motif pria itu melakukan hal ini, tetapi aku juga ingin mendengar pengakuannya sendiri nanti. "Baiklah, nanti kita bicarakan di kantor. Ini saya masih di rumah ibu. Saya mau antar istri pulang dulu, baru setelah itu langsung ke kantor. Kamu tunggu saja di san
"Intan, ada apa? Kenapa kamu menangis?" Aku memeluk tubuh adik ipar dengan penuh kekhawatiran. Padahal di ruang tamu saat ini, kekasihnya sedang melamar, tetapi kenapa dia malah menangis di sini? "Ada apa, Intan? Kenapa kamu menangis?" Sekali lagi aku bertanya. Hubunganku dengan Intan terbilang cukup dekat. Selain karena umur kami yang tidak terlalu jauh, Intan adalah wanita supel yang selalu bisa membuatku tersenyum.Gadis itu masih belum mau menjawab. Dia malah kembali membenamkan wajah ke bantal, hingga suara tangis histeris terdengar."Ada apa ini?" Tiba-tiba pintu terbuka. Mas Hakim sudah Berdiri tegap di ambang pintu. Mungkin suamiku mendengar tangisan adiknya, sehingga membuatnya bergegas untuk memastikan. "Dek, ada apa ini? Kenapa Intan menangis?" tanyanya padaku yang langsung kutanggapi dengan gelengan kepala. "Aku juga nggak tahu, Mas. Tadi pas aku masuk, Intan sudah nangis begini."Mas Hakim bergerak mendekati adiknya. "Kamu kenapa, Intan? Di luar sana, kekasihmu seda