"Maaf, Mbak. Mbak tidak apa-apa, kan?" tanya pria yang bertabrakan denganku. Pria itu menatapku dengan sorot mata cemas. Ah, kenapa aku malah ngelamunin Mas Ilham?Dengan cepat aku menggeleng penuh keyakinan. "Tidak apa-apa, Mas," jawabku. "Maaf, Mas. Bu Darminah-nya ada?" Mumpung ada anggota keluarga dari tuan rumah, lebih baik aku bertanya. Karena aku baru pertama kali ke rumah ini, rasanya sungkan juga jika harus mengetuk pintu di saat banyak tamu seperti ini. Pria yang masih berdiri tegap di hadapanku kembali tersenyum. "Oh, Mami. Ada tuh di dalam. Mbak langsung masuk aja," jawab pria itu sambil memutar badan meneruskan langkahnya yang tertunda. Ternyata dia anak Bu Darminah. Aku pun ikut melangkah maju mendekati pintu yang setengah terbuka. Terlihat dari luar beberapa wanita berpakaian anggun duduk di sofa, sementara itu ada beberapa pria duduk di sofa yang lain. Tampaknya mereka adalah para anak Bu Darminah yang sedang melepas rindu dengan saudara mereka. Aku mengetuk pintu
Telapak tangan Sania terasa panas mengenai pipi. Astaghfirullah ... sebenarnya ada apa ini? "Dulu kamu rebut Ilham dariku, dan sekarang kamu goda lagi suamiku! Sebenarnya mau kamu ini apa? Hah?! Dasar janda gatel!" Suara teriakan Sania terngiang nyaring hingga memekakkan telinga. Wanita ini sangat emosi terlihat dari wajahnya yang merah padam menatap tajam ke arahku. Tapi, kenapa dia menuduhku menggoda suaminya? Padahal aku saja tidak tahu suami Sania itu siapa. "Maaf, Sania. Maksudmu apa? Kenapa kamu datang ke rumahku dan tiba-tiba menuduhku seperti ini?" tanyaku kebingungan. Tahu suaminya saja tidak, bagaimana aku akan menggodanya. Tapi bukan berarti jika aku tahu suaminya, aku akan melakukan yang dituduhkan itu, ya? Aku sadar kalau aku ini janda, tapi ya nggak harus gitu juga. Aku ingin jadi janda bermartabat, karena sedikit banyak aku tahu tentang agama. Jangankan merebut suami orang, dalam bergaul dengan pria lain pun aku berusaha memberi batasan. Sania semakin melebarkan ke
[Mbak Naima, bisa bicara sebentar?] Kubaca pesan singkat dari nomor tak dikenal itu dengan penasaran. Dengan cepat aku membalas pesan singkat itu untuk menanyakan siapakah dia. Baru juga pesan terkirim, SMA balasan sudah masuk lagi di layar handphone. [Aku telepon ya, Mbak?] Bukannya menjawab dia siapa, tapi si pengirim pesan singkat ini memaksa ingin menelepon. Tapi ya sudahlah, akan lebih jelas juga jika bertanya langsung lewat suara. Siapa tahu dia pelanggan yang akan membeli banyak brownies dariku. Ngarepnya sih gitu. [Iya, boleh] Kuketik kalimat itu dan langsung mengirimnya. Beberapa detik kemudian, nomor tak dikenal itu langsung meneleponku. "Mbak Naima baik-baik saja, kan?" tanya suara seorang pria dari seberang telepon. Entah mengapa dari suaranya aku sepertinya sangat kenal. "Kan Ujang? Ini Kang Ujang, kan?" tanyaku untuk memastikan. Aku sering meneleponnya karena meminta diantar-jemput, jadi lumayan paham dengan suara Kang Ujang. "Iya, Mbak. Ini aku," jawabnya mengaku
Ya Allah .... Aku sangat terkejut mendapati Kang Ujang yang entah masuk lewat mana, tapi saat ini ia sudah tergap berdiri di hadapanmu. Pria bertubuh tinggi itu menyeringai penuh misteri. "Mbak Naima nggak usah takut. Aku di sini cuma sebentar saja," ucapnya seraya bergerak melangkah mendekatiku. "Emm ... Mbak Naima sudah lama tidak ada yang menemani, kan? Bagaimana kalau hari ini aku temani?" "Apa?!" Aku sangat terkejut dengan ucapan tukang ojek langganan ini. Langkah Kang Ujang terhenti sesaat. Pria itu kembali mentapku sambil menyeringai. "Sebenarnya aku sudah lama menaruh hati sama kamu, Mbak. Tapi selalu kutahan, karena ingat istriku," ucapnya lagi yang kembali melangkah maju. Kakinya yang panjang membuat langkahnya begitu cepat."Tolong, Kang. Jangan berani berbuat yang aneh-aneh!" Aku semakin takut dengan apa yang akan dilakukan Kang Ujang padaku."Nggak aneh, kok. Cuma mengajak Mbak Naima bersenang-senang." Kang Ujang semakin mrndekatiku, sementara aku semakin menghindar.
"Mas Hakim siapa, Bu?" "Itu lho, pemuda yang tadi nolongin sampean, Mbak Naima. Dia anaknya Bu Darminah, yang dari luar negeri itu," jelas Bu Tuti padaku. Benarkah? Mungkin karena tadi keadaanku dalam kekalutan, sehingga membuatku tidak memperhatikan wajahnya."Apa dia sudah pulang?" Aku lupa belum berterima kasih padanya, karena sudah menolongku. Bu Tuti mengangguk pelan. "Iya, sudah. Tadi pas aku ke sini, Mas Hakim langsung pamit pulang," jawabnya. "Bu, apa Kang Ujang benar-benar sudah dibawa ke kantor polisi?" Aku masih sangat takut jika hal beberapa menit yang lalu terjadi lagi. Ya Allah ... selalu lindungi hamba. "Katanya sudah, Mbak. Tapi aku nggak tahu pastinya. Mbak Naima tenang aja, karena untuk hari ini aku akan menemani sampean," jelas Bu Tuti lagi yang membuatku sedikit lega.***Seminggu berlalu. Keadaan mentalku sudah semakin membaik. Aku sudah mulai melakukan aktivitasku seperti biasa lagi. Semua berkata pertolongan Bu Tuti yang berprofesi sebagai guru. Tetangga s
Sania begitu terlihat serius dengan ucapannya. Meskipun aku adalah korban, tetapi aku tidak ikut campur dalam pemenjaraan Kang Ujang. Menurut Bu Tuti dan Bu Siti, semua urusan itu sudah ditangani sepenuhnya oleh Mas Hakim. Anak Bu Darminah yang telah menolongku. Lalu, bagaimana caraku menolong Sania? "Naima, tolonglah aku," pinta Sania lagi terdengar memelas. Cintanya pada Kang Ujang tampak sangat besar, sehingga membuatnya sanggup menerima kesalahan sang suami. "Entahlah ... aku tidak tahu apakah bisa menolongmu atau tidak.""Kumohon, Nai. Maafkanlah Kang Ujang, bebaskan dia dari penjara. Aku janji akan langsung mengajaknya pindah dari sini." Sania mengatakan itu kembali dengan wajah penuh harap, yang membuatku bersimpati padanya. "Jangan mau, Nai. Bagaimanapun, pria mesum itu harus menerima hukuman setimpal," bisik Bu Siti tepat di telingaku. Mengingat kelakuan Kang Ujang, tampaknya Bu Siti masih belum terima.Tapi aku tidak bisa menutup mata dengan apa yang ada di hadapanmu saat
"Naima? Kamu Naima, kan?" Seorang wanita paruh baya terhenyak saat melihatku turun dari mobil. Wanita itu adalah Bu Halimah, ibu panti yang telah membesarkanku sejak kecil. Aku memang durhaka padanya. Sudah dirawat sedari kecil, tetapi setelah menikah dengan Mas Ilham aku tidak pernah berkunjung ke sini. "Iya, Bu. Maafkan Naima nggak pernah main ke sini." Kupeluk tubuh Bu Halimah yang terlihat sudah rapuh karena memang usianya sudah tidak lagi muda. "Ya Allah, Naima. Ibu kangen banget sama kamu." Bulir bening mulai menetes membasahi pipi. "Kenapa kamu nggak pernah ke sini? Ibu kehilangan kontakmu juga, jadi ibu nggak bisa menghubungimu." Ucapan Bu Halimah membuatku merasa sangat berdosa. "Maafkan Naima, Bu. Aku memang anak yang tidak tahu malu. Di saat bahagia, aku melupakan keluargaku yang sebenarnya. Dan kini, saat dalam masalah, aku baru mencari mereka lagi. "Sudah, sudah. Yang penting sekarang Ibu bisa lihat kamu lagi. Ibu sudah sangat senang." Bu Halimah tersenyum bahagia. "
Hari pertamaku kembali tinggal di panti. Pagi-pagi sekali Bu Halimah sudah menyiapkan sarapan dibantu dengan tiga wanita pengurus lain, yang aku tidak mengenalnya. Mereka bukan pengurus waktu aku tinggal di sini dulu. Aku menghampiri Bu Halimah yang sedang duduk sambil memotong sayur. Aku ingin membantu-bantu dan menyampaikan niat ingin buka usaha brownies di sini. Dengan menerima pesanan dari luar seperti yang kulakukan sebelumnya. "Sini, Nai." Bu Halimah menyambutku dengan senyuman.Beliau mengenalkanku pada tiga perempuan yang sedang memasak dengannya. Ada Bu Ida yang jika kulihat wajahnya mirip Bu Ratih, mantan mertuaku. Ada Bu Kasih, wanita berkulit putih yang ternyata di sini tinggal bersama suaminya. Dan satu lagi Mbak Salma, wanita manis yang kutaksir usianya kurang lebih denganku. Bisa jadi malah lebih muda dariku, jika dilihat dari wajahnya yang bersih terawat.Menurut cerita Bu Halimah, Mbak Salma adalah anak salah satu donatur tetap panti yang ingin mencari pengalaman d