Naima, wanita berkerudung berwajah ayu itu mampu menghipnotis hati dan pikiranku. Aku yang sudah kembali bekerja di Negeri Sakura ini terus saja teringat wajahnya. Awal pertemuan yang tak terduga saat ia mengantarkan jualannya ke rumah. Aku tak sengaja menabraknya karena saking terburu-buru mengambil sesuatu di dalam mobil. Ia tersenyum padaku yang membuat jantungku berdegup kencang. Sebelumnya aku tidak tahu tentang statusnya dan bagaimana dia dibesarkan, setelah pertemuan pertama pun kuanggap catatan hatiku hanya rasa suka yang wajar, tetapi karena kejadian yang tak sengaja malah menuntunku untuk lebih mengenalnya. Saat siang hari, aku tak sengaja lewat di depan satu rumah ketika aku sedang berjalan santai mengitari komplek. Aneh memang, karena tidak ada orang yang berolahraga di siang bolong. Entah mengapa saat itu aku ingin, dan langsung keluar rumah tanpa berpikir dua kali. Mungkin karena suntuk selalu menghabiskan waktu di rumah, membuatku ingin menghabiskan hari ini untuk ja
"Ini dengan Mas Hakim?" Suara lembut seorang wanita menanyakan namaku lewat sambungan telepon. Aku tahu dia adalah Salma, teman Naima yang ingin dikenalkannya padaku.Aku pun memenuhi keinginan Naima untuk berteman dengan Salma. Pada awalnya kami hanya berbalas pesan, karena aku hanya sekadar membalas dan menjawab apa yang ia tanyakan. Dari pengakuan Salma, ia mengaku sudah memiliki kekasih, bahkan mereka sudah berencana menikah. Namun, karena meras tidak enak hati dengan Naima, Salma pun tetap mengikuti saran temannya itu. Ia memberikan nomornya padaku, dan menerima nomorku dari Naima.Salma mulai menghubungiku dan menanyakan pendapatku tentang Naima. Sebenarnya aku segan untuk berbagi cerita tentang perasaanku, tetapi Salma selalu mendesak dan mengatakan akan membantuku jika aku memiki perasaan pada Naima. Dari situlah aku mulai berterus terang pada wanita yang belum begitu kukenal, tetapi entah mengapa aku sangat mempercayainya.Salma terdengar sangat bahagia dengan pengakuanku,
"Baiklah, Mas. Aku Terima lamaranmu. Aku bersedia menjadi istrimu."Setelah hampir satu bulan aku meminta waktu pada Mas Hakim, akhirnya aku memutuskan pilihanku. Bukan waktu yang sedikit untuk menunggu, dan itu membuat hatiku semakin yakin bahwa dia adalah pria yang benar-benar tulus. "Kamu serius, Naima?" Wajah Mas Hakim terlihat tak percaya. "Alhamdulillah, ya Allah. Kalau begitu aku ... eh, Mas. Mas akan menyiapkan semua keperluan pernikahan secepat mungkin." Mengetahui perubahan sikap pria yang akan menjadi suamiku ini membuatku merasa lucu, gemas. Ada getaran yang lama tak kurasakan kembali muncul. Rasa yang dulu hadir saat Mas Ilham menggodaku. Astaghfirullah, Naima ... sadar! "Iya, Mas." Aku kembali menjawab dengan mengangguk. Di kejauhan, ternyata ada seseorang yang memperhatikan kami. Dia adalah Malik, teman yang sudah menghancurkan rumah tanggaku dulu. Pria itu berdiri sambil bersandar dinding ruangan, menatap tajam ke arahku yang duduk di depan kantin bersama Mas Hakim.
Aku terperangah. "Mas, Mas serius ini rumah kita?"Pria yang beridiri di hadapanku itu mengangguk sambil tersenyum simpul. "Iya, Sayang. Setelah resmi menikah, mari kita tinggal di sini." "Tapi, ini jauh banget dari rumah Mami dan dari panti?" tanyaku untuk mempertimbangkan. "Kamu tidak suka?" Mas Hakim malah balik bertanya. "Aku sudah tahu bagaimana kisah rumah tanggamu dulu. Tentang mertua dan ipar yang sudah menyakitimu. Karena itu, aku ingin membawamu jauh dari semua itu. Agar kita bisa membina rumah tangga kita sendiri. Tanpa gangguan dari siapa pun." "Benarkah? Apa Mas juga tahu tentang penyebab perceraianku dulu?"Mas Hakim kembali mengangguk. "Iya, aku sudah tahu semuanya.""Tahu dari siapa, Mas? Apa mungkin Bu Halimah yang bercerita?""Oh, bukan .... Aku tahu semua ini dari temanmu, Malik," jawab Mas Hakim yang membuatku tertegun. "Malik?""Iya, beberapa hari setelah kamu memberiku jawaban, Malik datang menemuiku di kantor. Dia menceritakan semua yang diketahuinya, termas
Wajah saya memang pasaran, Mas. Bukan Mas Aja yang bilang gitu, banyak temen saya yang bilang saya mirip kakak dia. Bahkan, ada juga yang bilang wajah saya mirip neneknya." Aku menjawab pertanyaan dari Mas Ardi, kekasih Mbak Salma dengan apa adanya. Yah ... memang begitulah yang terjadi. Wajahku cukup pasaran, sehingga banyak yang mengklaim mirip dengan seseorang. "Tapi beneran ini, Mbak. Saya nggak bohong. Bukan hanya sedikit, tapi beneran mirip pake banget!" Pria itu masih saja bersikeras. "Makanya saya mau tahu nama ibu Mbak Naima, barangkali Mbak Naima adalah anak dari Bude saya yang beberapa tahun lalu hilang.""Apa?!" Pernyataan Mas Ardi membuatku terhenyak. Apa mungkin yang dikatakan pria ini kenyataan. Aku anak budenya?Ah, tapi tidak mungkin. Sudah dua puluh tahun lebih aku ditinggal di panti. Seandainya benar, pasti mereka sudah menemukan keberadaanku. Mas Ardi mengangguk penuh keyakinan. "Iya, Mbak. Bude saya kehilangan anaknya sudah hampir dua puluh tahun," jawabnya lagi
"Mas! Jangan aneh-aneh, ya? Katanya mau salat dzuhur jama'ah? Aku sudah wudhu ini, lho."Dengan cepat aku berlari menjauh dari tempat Mas Hakim berdiri. Kulihat pria itu malah menyeringai puas. "Aku mau ambil baju, Dek. Itu di dalam koper belakangmu.""Kenapa nggak bilang dari awal, Mas. Kan aku bisa ambilkan," balasku langsung seraya menarik koper yang ditunjuk Mas Hakim dan menyerahkannya dengan cepat. "Tadi di kamar mandi Mas udah manggil kamu lho, Dek ... tapi nggak nyahut. Jadi Mas keluar aja.""Yasudah, cepetan gantinya. Nanti keburu waktu dzuhur lewat. Tadi katanya mau jamaah.""Baik, Tuan Putri." Mas Hakim berlalu dari hadapanku sambil tersenyum manis.Dengan Mas Hakim, semoga aku bisa merasakan ketenangan tanpa gangguan pihak lain. Khususnya ibu mertua seperti yang kualami dulu saat berumah tangga dengan Mas Ilham. Ah ... aku jadi ingat mantan suamiku itu lagi kan. Sebenarnya pria yang kulihat tadi benaran Mas Ilham atau bukan, ya? Jika benar, kenapa dia tiba-tiba muncul l
Huek!" "Mbak Naima, kenapa?!" Intan bergerak cepat mendekatiku. "Ah, entahlah ... kecium bau mie ayam ini rasanya perutku mual." Dengan cepat kusodorkan kantongan yang kupegang pada adik iparku itu. "Kenapa sih, Mbak? Ini baunya enak banget tau! Masih panas gini, enaknya langsung dimakan," celetuk Intan dan langsung menuangkan seporsi mie ayam pada mangkuk di atas meja, yang otomatis bau dari makanan itu semakin menyeruak menusuk hidung. "Huek!!! Bau banget Intan!" Setengah berlari aku menjauh dan bergegas masuk kamar mandi. Rasanya semua isi perutku akan keluar. Berkali-kali aku berusaha membuang rasa mengganjal di dalam perut dan tenggorokan akibat bau menyengat itu, tetapi nihil. Hanya keringat dingin yang bercucuran membasahi dahi hingga ke leher, yang membuat kerudung yang kupakai jadi basah. Kenapa tiba-tiba rasanya seperti mabuk perjalanan? Padahal sedari pagi keadaanku baik-baik saja. "Sayang," panggil Mas Hakim dari luar pintu kamar mandi. "Kamu kenapa? Sakit??" Suamik
"Sayang, kamu yakin mau periksa ke dokter?" Mas Hakim tiba-tiba memelukku dari belakang. Aku yang sedang merias diri di depan cermin sampai terkejut karena tak menyadari kehadirannya. "Mas ...." Kutoleh ke arah pria itu. Ia terlihat begitu antusias."Bagaimana? Kamu yakin mau periksa sekarang?" "Iya, Mas." Meskipun ada sedikit keraguan, tetapi aku ingin membuktikan pada diriku sendiri bahwa kesuburanku baik-baik saja. Mengingat hasil kemandulan yang kupalsukan dulu, membuatku ingin membuktikannya. "Baiklah," sahut Mas Hakim lagi dengan senyum mengembang di wajahnya. Setelah Selesai bersiap, kami langsung berangkat menuju salah satu klinik dokter kandungan. Masuk di ruangan depan, kami disambut hangat oleh dua perawat berjilbab dan mengarahkan kami untuk mendaftar, kemudian mempersilakan kami duduk di kursi antrian. Cukup lama kami menunggu karena wanita hamil yang mendaftar lumayan banyak. Dengan antusias, Mas Hakim terus saja menggenggam tanganku dan berkali-kali menenangkan.