Share

Fitnah Keji

Mas Prabu menatap ibu. "Bagaimana, Bu?" 

"Sebelumnya Ibu ingin bertanya dulu. Apa kamu nggak Kb waktu Ibu memintamu untuk menunda momongan?" 

"Mas Prabu tidak mengizinkan Syifa untuk ikut KB, Bu. Takutnya, kalau Syifa KB, itu akan mempengaruhi hormon tubuh. Jika kelak akan program momongan bisa susah mendapatkannya, Bu." Ibu mertua mendelik.

"Jadi kalian memang sengaja tak melakukan perintah Ibu?" tanya Ibu dengan geram.

"Bukan gitu, Bu. Mas Prabu menggunakan kontrasepsi," jawabku dengan jujur.

"Lah, jika Prabu saja menggunakan kontrasepsi mana mungkin kamu bisa hamil Syifa? Nggak ada kasus bisa kebobolan jika lelaki pakai pengaman!" ucapnya dengan mata terus melotot kearahku.

"Iya, Syifa tahu, Bu. Apa Ibu tak mengingat kapan Ibu mengatakan keinginan Ibu itu? Waktu itu pernikahan kami sudah berjalan empat hari, Bu. Sebelum itu, kami tak pernah menggunakan apa pun. Karena, memang kami ingin segera memiliki momongan. Dan waktu itu memang hari dimana tubuhku lagi subur-suburnya, jadi kemungkinan besar aku akan hamil, Bu." Nada suaraku meninggi satu oktaf. 

Ibu menggeleng dengan cepat.

"Tidak bisa, Syifa. Tak akan mungkin kamu hamil secepat itu. Apalagi kamu hanya melakukannya hanya beberapa kali tanpa menggunakan pengaman. Apalagi usia kandunganmu sudah enam minggu, sedangkan usia pernikahanmu baru empat minggu. Kecuali..."

Mas Prabu langsung menatapku. Terlihat dari sorot matanya memancarkan suatu kemarahan dan kebencian. Ternyata benar dugaanku, ibu akan memperkeruh suasana. Tak mungkin jika ibu tak tahu bagaimana hitungan usia kehamilan.

"Kecuali apa, Bu?" sela ku memotong ucapan Ibu.

"Kecuali kamu sudah hamil duluan."

Deg.

Jantung ini terasa berhenti berdetak. Kali ini tubuhku terasa lemas bagaikan tubuh tak bertulang.

Aku menatap Ibu dengan raut wajah memohon. "Bu, ku mohon, berikan penjelasan pada Mas Prabu. Tolong jangan memperkeruh suasana, Bu. Ibu pernah melahirkan dua kali, jadi tak mungkin jika Ibu tak tahu cara menghitung usia kehamilan."

"Justru karena ibu sudah melahirkan dua kali, makanya ibu bisa mengatakan itu."

Kutatap Mas Prabu dengan pandangan nanar.

"Mas, percayalah kalau janin ini memang darah dagingmu," ucapku dengan suara parau. Aku menahan tangis, agar air mata tidak keluar dari persembunyiannya.

"Ibu saja mengatakan itu. Lalu apa yang membuat ku harus percaya denganmu, Syifa? Justru aku lebih percaya apa yang diucapkan oleh ibu. Ibu jauh lebih berpengalaman dari pada kamu!" 

Tes.

Seketika butiran bening terjatuh dari sarangnya. Sudah kutahan sekuat tenaga, tapi air mata luruh begitu saja. Hati ini terasa begitu sakit. Perih bagaikan tersayat sembilu. Suamiku, ayah dari janin yang ku kandung meragukan kehamilanku.

Ku kumpulkan tenagaku. Kuhela nafas panjang. Kutenangkan diriku setenang mungkin. Kali ini aku tak boleh emosi agar masalah ini, kesalah pahaman ini segera menemui titik terang.

Aku berdiri. "Lebih baik kita ke dokter yang lain, Mas, agar kamu percaya denganku, ayo!" Aku menarik pergelangan tangan Mas Prabu. 

Ia menghentakkan tangannya. Kutatap wajah suamiku. Kentara sekali emosi sedang merajai nya. 

"Ku mohon, kali ini ikuti permintaan ku, Mas." Aku menghiba.

Mas Prabu berdecak dengan kesal lalu berdiri.

"Tak perlu kamu periksa lagi, Syifa. Prabu, duduk!" Mas Prabu terlihat mengikuti perintah Ibu. Aku melipat kening.

"Apa maksud Ibu? Syifa hanya ingin Mas Prabu tahu bagaimana cara menghitung usia kehamilan, Bu. Barang kali jika Mas Prabu mendapatkan penjelasa dari dokter lain, Mas Prabu tak akan meragukan darah dagingnya." Aku berucap dengan tenang meskipun ingin sekali kucabik mulut itu. Amarah ini telah merajai.

Mas Prabu menundukkan dengan kedua tangan menangkup di kepalanya. Sesekali ia meremas rambutnya dengan kasar. Terlihat sekali kalau ia seperti dirundung masalah yang begitu pelik.

"Prabu, bukankah sebelumnya ibu mengatakan bagaimana watak asli perempuanmu itu? Sebelum kamu menikahinya, ibu pernah melihatnya di hotel bersama seorang lelaki paruh baya. Bahkan terlihat mesra sekali, seperti sepasang kekasih yang dilanda asmara. Ibu yakin, dia lah ayah kandung dari janin yang saat ini dikandung oleh istrimu." Ibu melirikku.

Aku mendelik kearah ibu. "Bu, fitnah murahan macam apa yang kini ibu ciptakan?" 

Aku berganti menatap Mas Prabu. "Mas, Ibu bohong. Jangankan pergi ke hotel berasama lelaki lain. Berhubungan melalu pesan pun aku tak pernah." Aku menatap Mas Prabu dengan pandangan sayu.

"Mas ... percayalah denganku!" Aku menghiba.

Mas Prabu tak mengindahkan ucapanku. Melirik ke arahku pun sepertinya enggan dilakukannya.

"Apa iya Ibu pernah mengatakannya?"

Ibu mengangguk cepat. Mas Prabu menghembuskan nafas berat. "Makanya itu sebenarnya alasan Ibu tak menyukai wanita pilihanmu. Tapi sayang sekali, mungkin kamu sudah diguna-guna sama tuh perempuan. Makanya nggak mau nurut sama ibu," cicit Ibu dengan melirik sinis kearahku.

Ibu menutupi wajahnya dengan kedua telapa tangannya. "Ya Tuhan, kesalahan apa yang telah kulakukan, hingga anak lelaki ku satu-satunya mendapatkan cobaan yang begitu berat." Ibu kembali pura-pura terisak. Bahunya dibuat terguncang.

'Astagfirllah, dosa apa yang ku lakukan, hingga Engkau memberiku mertua yang begitu kejam.'

Mas Prabu beranjak dan langsung bersimpuh di kaki Ibu. Aku mendelik menatap pandangan di depan mataku. "Maafkan Prabu, Bu. Maafkan Prabu yang telah melawan perintah Ibu. Sekarang Prabu merasakan akibatnya karena melawan Ibu."

Ibu tersenyum sinis kearahku. Tangannya mengusap lembut kepala anak lelakinya yang ada di pangkuannya.

"Sudah, semua nggak perlu disesali."

Cih!

Sok bijak sekali!

Mas Prabu mendongak manatap lekat wajah Ibu.

"Lalu sekarang apa yang harus Prabu lakukan, Bu? Katakan pada Prabu. Prabu tak ingin menyesal untuk kedua kalinya."

Deg.

Lagi-lagi ucapan Mas Prabu membuat tubuh ini tersentak kaget. Apa maksud Mas Prabu mengatakan itu? Apa Mas Prabu telah menyesal menikah denganku?

Tubuhku mematung. Ingin mengeluarkan sepatah kata pun tenggorokan terasa begitu tercekat.

Aku berjalan mendekati Mas Prabu. Ku tatap sepasang ibu dan anak itu dengan pandangan nanar.

"Kenapa Ibu terus memfitnahku?" ujarku dengan lemas. Rasanya tubuh ini sudah tak bertenaga. Mas Prabu beranjak.

Kami berdiri saling berhadapan. Pandangan kami saling beradu. Terlihat sorot matanya hanya memancarkan suatu kemarahan. Sudah tak kutemukan benih cinta itu di manik mata lelaki yang telah membersamaiku selama ini.

Telunjuk Mas Prabu mengarah kewajahku. "Jangan pernah katakan kalau Ibu memfitnah mu, Syifa! Aku telah dibutakan oleh wanita sepertimu! Aku menyesal tak pernah mendengarkan perkataan Ibu. Kau sering keluar sewaktu aku kerja, kau menyiksa Ibuku, kau menyuruh Ibu ku mengerjakan seluruh pekerjaan rumah. Kau memang manusia tak berhati!" hardik Mas Prabu dengan dada naik turun.

"Semua itu bohong, Mas! Itu fitnah. Ibu ingin membuatmu membenciku, Mas! Ibu menginginkan perpisahan di pernikahan ki ...."

Plak!

Belum sampai bibir ini selesai berbicara, tamparan dari tangan kekar itu mendarat di pipiku.

Sakit? Tentu saja!

Perih? Itu pasti!

Tapi sakit itu tak ada artinya apa-apa, dibandingkan dengan sakitnya saat Mas Prabu meragukan kalau janin ini bukan darah dagingnya.

"Kamu menamparku, Mas?" ucapku dengan suara parau. Semakin lama pandanganku semakin kabur, kala air mata itu memenuhi kelopak mata ini. Kuusap sudut mataku sebelum butiran bening itu terjatuh dari sarangnya.

"Ceraikan saja istri tak tahu diri itu, Prabu! Ibu akan menggantikannya dengan wanita yang jauh lebih baik dari pada dia." Ibu Mertua tak hentinya menghasut suamiku.

"Arrgggghhh." Mas Prabu berteriak seraya berjalan menjauhiku yang sedang berdiri mematung.

"Akan kubuat Prabu segera menceraikan mu!" bisik Ibu Mertua di telinga kananku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status