"Mas aku hamil," ucapku saat Mas Prabu baru saja pulang dari tempatnya bekerja.
Mas Prabu menatapku dengan raut wajah yang sangat sulit untuk di artikan.
Kumainkan kesepuluh jemariku untuk menahan rasa takut dan gugup.
"Kamu hamil, Fa?" tanya Mas Prabu dengan kedua netranya terus menatapku. Aku mengangguk dengan perasaan takut. Kutundukkan kepalaku.
Bukan karena aku tak senang akan kehamilan ini. Sungguh, aku begitu bahagia saat mengetahui kalau aku telah mengandung. Yang kutakutkan adalah Mas Prabu tak akan menerima anak ini. Karena suamiku sempat menyetujui usul yang diberikan oleh Ibu mertua agar aku menunda untuk memiliki momongan terlebih dahulu.
"Kamu serius?"
"Iya, Mas," lirihku tanpa menatapnya. Rasa takut begitu mencekam.
"Alhamdulillah, terima kasih, Sayang." Mas Prabu tiba-tiba memelukku.
Aku terkesiap saat mendengar ucapan syukur yang keluar dari bibir lelaki yang saat ini menjadi suamiku.
Rasa takut dan gugup akhirnya sirna sudah. Aku kira ia akan marah saat mendengar kabar kehamilanku. Ternyata diluar dugaan, ia terlihat begitu antusis.
"Jangan kenceng-kenceng, Mas. Dadaku rasanya sesak," protesku saat suamiku semakin mengeratkan pelukannya. Mas Prabu mengendurkan pelukannya, di dorongnya tubuhku dengan perlahan. Pandangan kami saling bertemu. Senyum bahagia terlukis dengan jelas di bibir Mas Prabu.
"Habisnya kamu sudah memberikan kejutan yang begitu istimewa. Terima kasih, Sayang." Mas Prabu mencium setiap inchi kulit wajahku tanpa sedikitpun ada yang terlewat. Ia menarik tubuhku ke dalam dekapannya, ku tenggelamkan kepalaku di dada bidang milik lelaki yang saat ini menjadi suamiku.
Tiada hentinya hati ini mengucapkan rasa syukur. Senyum terus terlukis di bibirku. Seketika bayangan Ibu Mertua berkelana di dalam pikiranku, hingga dalam sekejap senyum di bibir kian memudar.
"Mas," lirihku. Mas Prabu kembali mengendurkan pelukannya.
"Ada apa, Sayang? Kedua tangan nya memegang bahuku. Pandangan kami saling bertemu.
"Bagaimana dengan ibu?"
Mas Prabu mengerutkan keningnya. Kedua netranya menatapku dengan alis yang saling bertautan.
"Kenapa dengan Ibu?"
"Mas kan tahu sendiri, kalau ibu belum menginginkan keturunan dari kita," ucapku dengan bibir mengerucut kedepan. Lelaki itu malah mengulas senyum.
"Kok malah senyum?"
"Kamu tenang saja ya. Soal Ibu, biar suamimu yang tampan ini yang mengurusnya," ucapnya sambil menarik turunkan kedua alisnya.
"Apa sebaiknya Ibu nggak usah dikasih tahu dulu, Mas? Takutnya ibu akan mencelakai ku dan janinku."
"Astagfirullah. Jangan berpikiran buruk begitu. Nggak baik. Kita harus berprasangka baik. Nggak boleh suudzon." Aku mengerucutkan bibirku. Kualihkan pandanganku.
"Syifa, kan, hanya berjaga-jaga, Mas! Bagaimana jika ibu berusaha mencelakai calon anak kita. Memberikan jamu peluntur janin tanpa sepengetahuanku misalnya!"
"Astagfirullah, jangan berburuk sangka dulu, Sayang. Nggak mungkin Ibu akan berbuat seperti itu kepada calon cucunya."
Aku membuang nafas kasar. Mas Prabu sama sekali tak mengerti apa isi hatiku. Ibu mertua begitu membenciku. Ada kemungkinan juga kan beliau akan mencelakai ku karena telah melanggar perintahnya.
"Tapi aku takut, Mas!"
Mas Prabu menangkup wajahku. Kedua sudut bibir itu tak hentinya mengulas senyum.
"Nggak boleh berprasangka buruk. Apalagi sama ibuku. Ibuku juga menjadi ibu kamu kan, dan akan menjadi nenek untuk calon anak kita...."
"Syifa tahu, Mas. Syifa kan hanya berjaga-jaga. Syifa nggak mau calon anak Syifa kenapa-napa," sela ku memotong ucapan suamiku. Nada suaraku meninggi satu oktaf.
Ditariknya kepalaku untuk bersandar ke dada bidangnya. Dielusnya dengan lembut pucuk kepalaku.
"Iya, Mas juga tahu. Mas juga nggak mau kalau anak kita dalam bahaya. Kamu nggak usah memikirkan soal ibu. Biar itu yang menjadi urusanku," ucapnya menenangkan ku dengan terus mengelus pucuk kepalaku.
"Ya sudah. Tapi, jika nanti ibu tetap tidak bisa menerima anak kita, Mas harus janji akan tetap menerimanya. Mas nggak boleh ikut-ikutan membenciku, apalagi menolak kehadiran malaikat kecil kita," ucapku sambil mendongakkan kepalaku untuk melihat wajah tampan suamiku.
"Kamu ngomong apa sih, Sayang. Nggak mungkin kalau Mas akan menyia-nyiakan anak istri hanya karena itu!"
Hati ini terasa sedikit tenang saat mendengar jawaban Mas Prabu. Emosi yang sempat menyerang jiwa ini, redam seketika.
"Ya siapa tahu."
"Udah. Jangan membahas soal ibu lagi. Nanti jadinya malah berantem. Sekarang kita periksa ya."
"Sekarang? Mas kan baru pulang kerja. Apa nggak capek?"
"Iya, sekarang. Mas sudah tidak sabar untuk melihat calon anak kita. Nggak ada kata capek buat kamu dan calon anak kita!"
Aku mengulas senyum.
Alhamdulillah Tuhan telah memberikan sosok suami yang begitu penyayang.
Aku segera bersiap-siap untuk segera pergi ke dokter kandungan.
Setelah kurasa penampilanku terlihat begitu tak memalukan, aku segera menghampiri Mas Prabu yang telah menungguku di teras. Mudah-mudahan saja ibu belum pulang dari acara arisannya.
"Ayo, Mas!"
"Duh cantiknya bumil yang satu ini!" ucap Mas Prabu sambil mencolek dagu ku.
"Udah deh, Mas. Jangan merayu gitu. Yok kita berangkat!"
Mas Prabu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan disampingku.
"Silahkan bumil cantik," ucap Mas Prabu sambil membukakan pintu mobil untukku.
"Udah deh, Mas. Jangan gitu. Merajuk aku nanti!" ancamku pura-pura marah. Ia hanya mengulas senyum sambil menutup dengan pelan pintu mobil.
"Kita pergi ke rumah sakit atau kemana, nih!"
"Ke klinik Dokter Rita saja, Mas. Kalau ke rumah sakit takutnya antri panjang. Takutnya keburu malam."
"Siap Bu Bos!"
Aku tersenyum melihat tingkah Mas Prabu. Disepanjang jalan kami saling bercanda dan membayangkan bagaimana kehidupan kami kelak yang akan dikelilingi oleh anak dan cucu.
Tiga puluh menit berlalu, Mas Prabu memasuki kawasan klinik pribadi Dokter Rita, dokter kandungan yang akan kujadikan tempat untuk memeriksakan kandunganku.
Kami berjalan menuju meja resepsionis. Segera kudaftarkan namaku.
Syukurlah aku mendapatkan nomor lima. Itu artinya tinggal menunggu satu orang lagi.
"Ibu Syifa Khairun Nisa," panggil perempuan yang memakai baju setelan warna hijau, sama seperti baju yang dikenakan resepsionis.
Aku segera beranjak dari tepat dudukku, pun, juga Mas Prabu. Jantung ini semakin berdebar saat kaki ini melangkah menuju ruangan Dokter Rita. Ini kehamilan pertamaku, jadi ada rasa sedikit takut.
"Selamat sore, Dok," sapaku saat berdiri diambang pintu.
"Selamat sore. Silahkan masuk!"
Aku segera duduk diseberang Dokter berhijab yang terlihat sangat ramah itu, pun, juga Mas Prabu, ia duduk tepat disampingku.
"Ada yang bisa dibantu?" tanya Dokter Rita dengan ramah. Senyuman tak pernah pudar dari bibir sang dokter.
"Eh, iya, Dok. Ini saya mau periksa, saya sudah telat dua minggu."
"Jadi sudah telat dua minggu ya, Bu?"
Aku mengangguk.
"Ada keluhan yang dirasakan?"
"Tidak, Dok."
"Kira-kira kapan Hari Pertama Haid Terakhir Ibu Syifa?"
"Maksudnya gimana, Dok? Maaf baru pertama kali hamil. Jadi nggak tahu, Hari Pertama waktu haid atau hari terakhir haid saya?" tanyaku dengan malu-malu.
Mas Prabu tertawa kecil saat pertanyaan itu kulontarkan.
"Aduh," keluh Mas Prabu saat kakinya berhasil kuinjak. Salah sendiri ada orang bertanya kok diketawain. Mas Prabu menoleh kearahku. Aku langsung melotot kearahnya yang membuat ia langsung nyengir kuda.
Akhirnya dokter tersebut menjelaskan hal yang tadi ku pertanyakan.
"Kita USG dulu, ya, Bu!"
"Iya, Dok, silahkan. Saya sudah tidak sabar lihat wajah anak saya. Kira-kira mirip saya atau bundanya," ucap Mas Prabu dengan antusias. Aku beranjak dan berjalan menuju brankar, kurebahkan tubuhku.
Dokter yang mendengar ucapan suamiku sepertinya tak bisa menahan senyum.
"Kalau usia baru beberapa Minggu belum kelihatan wajahnya Pak," jelas Dokter Rita sambil berjalan mendekatiku.
"Oh, gitu, ya, Dok. Saya kira bisa langsung lihat wajahnya." Dokter Rita mengangguk.
Mas Prabu menggeser kursinya supaya bisa melihat layar monitor. Sedangkan dokter Rita mulai mengoleskan gel tepat diatas perutku setelah kusingkap sedikit baju yang kupakai. Tak lama kemudian dokter cantik itu menempelkan tranducer diatas perutku dengan sedikit menekannya.
"Ini Pak bentuk anak bapak dirahim bundanya," jelas dokter Rita sambil menggerakkan alat yang bernama tranducer diatas perutku.
Jantungku berdetak lebih kencang. Ternyata dirahimku benar-benar ada makhluk yang telah dititipkan Tuhan untukku.
"Cewek atau cowok, Dok?"
Aku langsung melotot kearah Mas Prabu. Mas Prabu nyengir kuda.
Baru juga hamil muda. Mana mungkin kelihatan.
"Belum kelihatan, Pak. Jika kandungan sudah berusia lima bulan pasti sudah terlihat jelas nantinya."
"Oh, jadi belum nampak?" jawab suamiku sambil tangan menggaruk kepala yang tak gatal.
Dokter Rita menggelengkan kepalanya.
Akhirnya dokter tersebut menjelaskan kondisi kandunganku. Hati ini terasa begitu lega, saat dokter mengatakan kalau kandunganku dalam keadaan baik-baik saja.
Setelah selesai, aku segera beranjak dari pembaringanku dan duduk kembali di tempat duduk semula, pun, juga Mas Prabu.
Terlihat Dokter Rita membawa selembar foto, mungkin itu adalah hasil USG tadi.
"Kalau dihitung dari Hari Pertama Haid Terakhir, usia kandungan Ibu sudah enam Minggu."
"Enam Minggu, Dok?" tanga Mas Prabu tiba-tiba yang membuatku tersentak kaget.
Dokter Rita menganggukkan kepalanya.
"Iya, Pak, dan ini HPL ibu Syifa," ucap dokter Rita dengan memperlihatkan hasil USG. Kedua netraku menangkap barisan angka yang mana disebutkan sebagai HPL ku. Tanggal disaat aku akan bertemu buah hatiku. Uh, rasanya tidak sabar sekali.
"Ini saya resepkan vitamin dan juga penguat kandungan. Ibu bisa menebusnya di apotek manapun," jelasnya dengan senyuman terus tercetak jelas di bibirnya.
Akhirnya kami berpamitan untuk undur diri. Setelah memastikan tak ada yang perlu ditanyakan dariku ataupun dari mas Prabu.
"Mas!" teriakku saat langkahku jauh tertinggal.
POV Prabu.***Kata syukur tak hentinya kupanjatkan, hari ini acara ijab Qabul telah usai. Ya, satu bulan setelah aku melamar Sesil, kami segera menentukan tanggal berapa pernikahan akan kami adakan. Dan pilihan kami jatuh pada hari ini. Hubungan ini kami bangun dengan awal yang baik, dengan berharap Tuhan pun juga memberikan kebahagiaan dan kebaikan dalam rumah tangga kami. ****Satu tahun telah berlalu, usia pernikahan kami sudah satu tahun. Selama ini Sesil sudah menjadi sosok istri yang begitu hormat dan patuh padaku. Menjadi sosok istri yang kuidamkan. Jilbab selalu membingkai wajahnya dan menutupi mahkotanya, aku suka.Namun sayangnya, di usia satu tahun pernikahan Tuhan tak kunjung menitipkan keturunan untukku di rahim Sesil. Tapi itu tak mengapa. Kami pun juga tak pernah mempermasalahkan soal itu. Bahkan kami pun tak pernah membicarakan soal hal sensitif itu.
POV Prabu.*Satu Tahun Kemudian****Satu tahun telah berlalu. Selama itu pula aku terus mencoba mendekati Sesil. Namun siapa sangka, dia menjadi sosok perempuan yang mampu menjaga marwahnya sebagai seorang perempuan. Bahkan saat aku berkunjung ke rumah nya pun aku hanya disuruh duduk di teras rumah. Ia sama sekali tak mempersilahkan aku masuk ke dalam rumah.Sikapnya yang seperti itu mampu membuatku semakin mengagumi sosok akan dirinya. Ia pun juga menjadi perempuan yang pekerja keras. Usaha yang telah dibangun selama satu tahun olehnya kini mulai menampakkan hasilnya. Setahu aku, ia tak pernah patah semangat. Beberapa bulan merintis usaha toko roti selalu mengalami kerugian. Kalau pun tak rugi, hanya sekedar balik modal.Kini aku semakin percaya, kalau usaha tak akan pernah mengkhianati hasil. Kini Sesil telah memilih tinggal di rumah yang ia sewa. Ia sudah tak mau lagi tinggal di rumahku. Tak enak, be
POV Sesil***Suara ponsel berdering, namun bukan ponsel milikku. Ternyata ponsel Rina lah yang berdering. Beberapa detik kemudian benda pipih itu ia dekatkan di telinga kanannya."Halo, Bu," ucap Rina dengan seseorang yang ada di seberang telepon.Hening."Sudah di rumah?" Dengan nada yang terdengar sedikit kaget, Rina kembali berucap.Hening."Iya. Sebentar. Tadi dia nggak bilang mau datang ke rumah, makanya aku janjian sama Sesil."Hening."Baiklah, aku segera pulang, Bu." Terlihat Rina menjauhkan kembali ponsel dari telinganya. "Sil, maaf ya aku pulang dulu. Temen aku tiba-tiba sudah nyampek rumah. Padahal dia tidak bilang apa pun kalau mau datang ke rumah," ucap Rina sembari memasukkan ponselnya ke dalam tasnya."Ok, nggak apa-apa," jawabku."Nggak usah. Biar aku yang bayar. Kan aku yang ajak kamu ketemuan," ucapku sembari mendorong tangan Rina yang men
Pov Prabu****Dua Minggu kemudian*Pagi yang begitu cerah. Para kerabat dekat silih berganti berdatangan untuk menghadiri acara pernikahan Mayang. Ada rasa haru di dalam kalbu. Aku berjalan menuju di mana Mayang berada.Aku melangkah pelan. Saat aku sudah berada di ambang pintu kamar Mayang. Ternyata di sana ada Ibu dan Mayang yang sedang saling berpelukan. "Sudah siap, May?" ucapanku membuat pelukan itu terurai. Mereka berdua menoleh ke arahku secara serentak. Bahkan terlihat mereka berdua masing-masing menyeka sudut matanya. "Keluarga Ricko sudah tiba," ucapku. Mayang dan Ibu saling berpandangan. Terlihat Ibu meraih tangan Mayang dan sedikit meremasnya, seolah-olah seperti memberi kekuatan. "Ayo kita ke depan," ucap Ibu yang dibalas anggukan oleh Mayang. "Dada Mayang berdebar, Bu.""Ah, kamu seperti gadis yang baru pertama kali menikah
POV Prabu.***Acara berjalan sesuai yang kami harapkan, hingga mendapatkan keputusan pernikahan akan diadakan dua minggu lagi dan kedua belah calon mempelai memutuskan untuk mengadakan acara sederhana saja. Yaitu hanya sekedar acara ijab Qabul dan syukuran yang dihadiri kerabat dekat saja.Hati ini terasa lega saat ternyata Ricko serius dengan apa yang diucapkannya. Serius kalau ia benar-benar ingin mempersunting Mayang. Satu yang akan selalu kuingat akan janjinya 'Penggal kepala saya jika Mayang kembali pulang dalam keadaan menangis!'Ternyata ada sosok lelaki yang begitu berani. Mudah-mudahan saja kelak ia tak akan pernah mengecewakan Mayang, apalagi hingga membuatnya menangis agar aku tak susah payah untuk memenggal kepalanya."Kak Sesiiiilll ...." Teriakan Mayang menyadarkan lamunanku. Terlihat Mayang berlari ke arah Sesil lalu menghamburk
POV Prabu.***Mobil kembali melesat membelah jalan raya yang terbilang lumayan ramai. Tanpa sadar senyum di bibir kembali merekah kala mengingat wajah cantik yang terbingkai oleh hijab. Debaran aneh terasa di dalam dada. Debaran yang tak pernah kurasa, kala wanita itu masih sah menjadi milikku.Apakah aku jatuh cinta? Atau hanya sekedar mengagumi perubahan dari penampilannya?Sesaat kuusap wajahku, berharap bayang-bayang wajah Sesil tak lagi menari-nari di pelupuk mataku. Kembali aku fokus membelah jalan raya.Tak berselang lama aku telah sampai di tempat tujuanku. Kuparkir kendaraan roda empatku di tempat biasanya. Bergegas kubuka pintu mobil.Pintu kuketuk dengan diiringi salam.Satu kali.Dua kali.Tak berselang lama daun pintu terbuka, hingga terlihatlah sosok perempuan yang pernah bert
POV Prabu.*Keesokan hari****Jam sudah menunjukkan pukul 04.30. Setelah kulaksanakan dua rakaat shalat subuh, kurebahkan kembali tubuhku. Namun tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Dan tak berselang lama, suara Ibu memanggil namaku. Bergegas aku bangkit dan berjalan membuka daun pintu. "Ada apa, Bu?" tanyaku saat pintu sudah terbuka. "Barusan Sesil mengatakan, kalau orang tua Riko akan ke rumah besok pukul tujuh malam.""Malam ya, Bu? Jadi besok Prabu bisa bekerja terlebih dahulu," jawabku dan Ibu mengangguk. "Oh ya, Bu. Bentar." Aku kembali berjalan, menuju meja yang terletak di samping ranjang. Kubuka laci paling atas, kuambil amplop coklat di sana. Kubawa amplop itu dan kembali menemui Ibu. "Ini, Bu, uang untuk persiapan lamaran Mayang. Cukup acara lamaran seperti pada umumnya saja, uang ini pasti cukup," ucapku sembari menyerahk
Pov prabu.***Saat aku sedang berbincang dengan Sesil, ponselku berdering. Kuambil benda pipih itu, dan nama Ibu terpampang sebagai pemanggilnya, bergegas kuangkat."Halo, Bu ....""Kamu dimana? Cepetan pulang ya. Sekarang!" jawab Ibu dari seberang telepon."Pulang? Sekarang?""Iya. Ada hal yang sangat penting," jawab Ibu yang membuatku penasaran. Padahal sebelum kutinggal semua baik-baik saja."Penting? Soal apa, Bu?" jawabku."Nanti saja sampai di rumah. Sekarang pulang lah!""Baiklah, Bu. Prabu pulang sekarang!" Panggilan telepon dari Ibu kumatikan, dan kumasukkan kembali benda pipih itu ke dalam saku.Kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan.
"Ada apa, Mas?" tanyaku saat aku menoleh dan mendapati Mas Prabu berdiri di belakangku."Yuk aku antarkan pulang. Sedari tadi nunggu taksi nggak datang-datang, kan?""Nggak usah, Mas. Ini aku mau pesan taksi online.""Nggak boleh nolak niat baik seseorang.""Tapi ....""Tapi kenapa?" ucap Mas Prabu.Akhirnya kuceritakan semua permasalahan yang terjadi padaku. Soal kematian Mama dan Papa. Soal semua harta yang telah diambil oleh pemiliknya secara paksa."Tinggalah di rumahku itu.""Nggak usah, Mas. Biar kucari kontrakan saja untuk sementara waktu.""Baiklah. Yuk aku temani." Tanpa menunggu jawabanku, Mas Prabu bergegas melangkah meninggalkanku. Tubuh lelaki