Kubuka daun pintu, dengan pelan aku melangkah menuju dapur.
Saat langkahku semakin dekat, dekat, dan mendekat dengan dapur. Sayup-sayup aku mendengar seperti ada seseorang yang sedang bercengkrama.
Aku berdiri dibalik tembok untuk menyembunyikan tubuhku.
Dengan perasaan penasaran, ku lihat orang itu.
Mataku menyipit saat melihat Ibu Mertua sedang duduk di kursi meja mekan sambil bercengkrama melalui sambungan telepon.
Padahal hari sudah tengah malam, tapi Ibu Mertua masih menghubungi seseorang.
Apakah ada suatu hal yang sangat penting?
Sayup-sayup aku mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Ibu Mertua. Sangat lirih, tapi masih terdengar jelas di kedua indra pendengaranku.
"Iya, kamu tenang saja. Kamu serahin sama Tante, secepatnya akan Tante buat wanita itu keluar dari rumah ini. Kamu tunggu saja kabar dari tante."
Deg.
Jantungku berdegup lebih kencang saat mendengar ucapan dari mulut Ibu Mertuaku.
Bicara dengan siapa dirinya?
Lalu, wanita siapa yang beliau maksud?
Apakah itu aku?
Ya. Pasti itu aku! Siapa lagi?
Tak ada orang lain selain aku yang tinggal di rumah ini.
"Iya, iya, Sayang. Kamu tenang saja, usaha tante akan berhasil. Impian tante akan segera terwujud, memiliki menantu yang berpendidikan, kamu akan menjadi menantu kesayangan tante," ucap Ibu Mertua dengan girang.
Setelah mendengar kalimat yang baru saja ku dengar, ternyata dugaanku benar. Wanita itu adalah aku.
Tunggu!
Siapa yang dimaksud menantu kesayangan?
Aku tak salah dengar bukan?
Ibu Mertuaku mengatakan kalau dia akan menjadi menantu kesayangannya, itu artinya, Ibu Mertua mempunyai rencana akan menjodohkan kembali Mas Prabu dengan wanita pilihannya.
Lalu siapa perempuan itu?
Apakah dia Sesil? Perempuan yang sempat ingin dijodohkan dengan Mas Prabu, tapi Mas Prabu menolaknya waktu itu?
Ya. Aku yakin, dia adalah Sesil.
Memang, aku tak tahu betul paras Sesil, bertemu pun aku juga tak pernah. Tapi Ibu dan juga Mayang selalu membanding-bandingkan aku dengan Sesil. Mereka selalu menyebut kalau Sesil seorang sarjana dan berparas ayu. Apalagi di dukung oleh latar belakang keluarga ningrat.
Melihat Ibu mertua yang sangat berantusias untuk menghancurkan biduk rumah tanggaku, membuat rasa hormat yang masih tersisa, musnah seketika.
Aku kembali memasang baik-baik kedua telingaku guna mendengarkan Ibu Mertua.
"Kamu tenang aja, Sayang. Besok pagi-pagi akan Tante jemput bareng Prabu. Kita jalankan rencana kita,"ucap Ibu Mertua dengan yakin.
Aku tenggelam dalam pikiranku.
Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus keluar dari rumah ini dan meminta cerai dari Mas Prabu? Jika itu ku lakukan, itu artinya aku kalah sebelum perang. Lebih baik aku bertahan dulu, toh aku belum berusaha membujuk Mas Prabu, untuk mengajaknya kembali periksa ke dokter kandungan.
'Biarlah ku pasrahkan semuanya pada Tuhan, entah bagaimana kelak takdir Tuhan. Yang terpenting kujalani saja apa yang ada di depan mata.'
"Syifa, apa yang kamu lakukan disini? Kamu nguping?"
Aku terlonjak kaget mendengar bentakan Ibu Mertuaku yang sudah berdiri di hadapanku.
'Si*l, kenapa aku tak menyadari kedatangan Ibu Mertua,' rutukku dalam hati.
"Syifa mau makan, Bu. Lapar!" ucapku berusaha setenang mungkin.
"Kamu nguping?"
Aku tersenyum sungging.
"Siapa yang nguping? Nggak penting juga!" Aku mengibaskan tanganku dan berlalu dari hadapan Ibu.
"Dasar menantu nggak punya sopan-santun! Awas kamu, ya!"
Tak kupedulikan ucapan wanita paruh baya itu. Ia terus menghardik ku dengan berbagai umpatan. Entahlah, mungkin hatinya sudah membatu.
Karena aku yang tak meladeni ucapannya, Ibu berlalu pergi. Pastinya dengan mulut yang terus mengeluarkan kata-kata yang sangat tak pantas dilontarkan dari perempuan yang notabenenya seorang mertua kepada menantu.
Aku bernafas lega.
**********
Langkah kaki ini terhenti saat mendengar suara deru mobil memasuki halaman rumah.
"Siapa yang bertamu dilarut malam seperti ini?" gumamku sambil berjalan menuju ruang tamu. Kusingkap sedikit gorden jendela.
1 detik.
2 detik.
3 detik.
Mataku mendelik saat melihat siapa yang keluar dari mobil Alphard itu.
"Astagfirullah, Mayang." Ku elus dadaku. Aku tak menyangka Mayang bisa seperti itu. Untung saja Ibu dan juga Mas Prabu tak melihat. Jika mereka melihatnya, mungkin Mayang akan dihajar habis-habisan.
Bagaimana tidak, Mayang keluar dengan memakai pakaian yang sangat tak pantas digunakan. Baju yang sangat kekurangan bahan. Mengenakan kaos singlet dengan belahan dada yang begitu rendah, ditambah rok yang bahkan tak mampu menutupi setengah dari pahanya.
Kedua bola mataku serasa ingin melompat dari tempatnya, kala melihat seorang lelaki menghampiri Mayang. Bukan, bukan karena itu. Tapi lelaki itu dengan berani memegang b*k*ng dan area sensitif lainnya. Apalagi Mayang terlihat pasrah menerima perlakuan yang cenderung melecehkan itu.
Aku yang hidup sebatang kara, tak seliar dan seberani itu. Bahkan, Mas Prabu adalah pacar pertamaku.
Segera kutarik handle pintu kebawah, dan kubuka daun pintu.
"Ehhmmm."
Kedua insan itu langsung menoleh kearahku secara bersamaan. Mayang terlihat membisikkan sesuatu di telinga lelaki itu, dan dibalas senyuman dan juga anggukan.
"Kenapa liat-liat!" bentak Mayang setelah lelaki itu telah pergi.
Kututup hidungku saat aroma alkohol menusuk Indra penciumanku.
"Kamu mabok, Mayang?"
"Minggir!"
Aku segera bergeser sebelum Mayang menabrak tubuhku. Mayang berjalan melewatiku.
Kugelengkan kepalaku. Aku tersenyum miris. Ternyata putri yang dibanggakan karena akan menjadi seorang sarjana dan berpendidikan telah terjerumus kedalam pergaulan yang kelam.
Kulihat langkah Mayang tak bisa berjalan dengan tegak. Mungkin karena efek alkohol membuatnya berjalan secara sempoyongan.
Aku menarik napas panjang.
Apakah Ibu dan juga Mas Prabu mengetahui pergaulan Mayang? Kurasa mereka tak tahu, karena aku masih ingat, kalau Mayang berpamitan untuk bermalam di rumah Zumna, teman sekampusnya.
Aku segera melangkah menuju kamarku.
*******
Kusandarkan kepalaku di kepala ranjang. Ingin memejamkan mata, tapi kedua netra ini tak kunjung terpejam. Mengalami masalah yang begitu pelik, membuatku dada ini terasa sesak.
Berkali-kali kucoba menghembuskan napas berat, berharap sesak di dada sedikit berkurang.
Aku tak boleh lemah.
Aku harus kuat demi buah hatiku.
Aku memikirkan langkah apa yang harus ku tempuh selanjutnya jika kenyataan terburuk akan terjadi denganku.
Setidaknya aku harus sudah menyiapkan diri, jika sewaktu-waktu aku akan terusir dari rumah ini, dan bercerai dengan Mas Prabu.
'Pokoknya aku harus segera mencari pekerjaan. Jika sewaktu-waktu aku tercampakkan dari rumah ini, setidaknya hidupku dan juga anakku tak akan terlunta-lunta di pinggir jalan' batinku menyemangati diri sendiri.
Kuambil benda pipih berukuran lima inchi di atas nakas. Kubuka aplikasi dunia biru.
Ku scroll berkali-kali, hingga jemariku berhenti pada akun seseorang yang mengirimkan postingan di salah satu group yang aku ikuti.
Ya, aku memang gabung di salah satu group, dimana group tersebut digunakan sebagai wadah bagi penulis untuk mempromosikan karya tulisnya. Tapi sayang sekali, aku hanya sebagai penikmat karya tulis mereka.
Entah kenapa, tiba-tiba diri ini ingin sekali mencoba mencari peruntungan di dunia tulis. Toh, sedari kecil aku senang sekali menulis. Ya, meskipun waktu itu aku hanya menulis diatas kertas.
Aku mencoba googling berbagai macam aplikasi. Tapi, aku merasa cocok dengan dua aplikasi berwarna merah jambu dan hijau itu. Akhirnya, aku semakin mencari tahu seluk beluk dari kedua aplikasi tersebut.
Aku sudah bertekad, akan mencoba mendaftarkan diri sebagai seorang penulis di dua platform kepenulisan tersebut. Barang kali, menjadi penulis bisa kujadikan profesi.
Apalagi melihat para author yang sudah mempunyai beribu followers, membuatku semakin merasa tertantang.
Barang kali aku bisa seberuntung mereka, mempunyai beribu followers dengan pendapatan puluhan juta.
Bermimpi boleh, kan?
Hati ini terasa sedikit tenang, saat aku sudah memilik jalan keluar dari salah satu masalah yang membebani hati dan juga fikiran ini.
Rasa ngantuk tiba-tiba mendera. Kuletakkan kembali ponsel tersebut, dan kubaringkan tubuhku. Kutarik selimut putih nan tebal itu untuk menutupi tubuhku sebatas dada.
Tiba-tiba rasa kantuk tak bisa tertahan, hingga lambat laun, kedua netra ini benar-benar terpejam.
Brak! Brak! Brak! Tubuhku menggeliat, mataku mengerjap saat mendengar ketukan pintu. Lebih tepatnya gedoran. Kuregangkan otot-otot tubuhku. "Syifa, bangun kamu! Dasar menantu pemalas!" "Iya, Bu. Sebentar!" jawabku dengan malas. Kedua netraku membelalak saat melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Pantas saja Ibu mengganggu tidurku, pasti ia mencari sarapan yang biasanya sudah terhidang dengan rapi di meja makan. Memang, setelah shalat subuh aku merebahkan tubuh ku lagi. Eh, malah ketiduran. Kusingkap selimut yang menghangatkan tubuhku disaat aku terlelap, aku beringsut dari ranjang. Dengan langkah gontai, dan mulut yang berkali-kali menguap, aku berjalan untuk membuka pintu. Ibu mertua tak hentinya menggedor-gedor daun pintu. Kuputar anak kun
Dua minggu sudah Mas Prabu mendiamkan ku, selama itu pula, ia tak pernah sekamar denganku. Bahkan, menanyakan soal kehamilanku pun tak pernah. Mungkin ia benar-benar yakin dengan pendapatnya, kalau janin ini bukan darah dagingnya. Sudah berkali-kali pula aku mencoba mengajak Mas Prabu untuk periksa kembali ke dokter kandungan, tapi, lagi-lagi ia tak pernah menuruti keinginanku. Satu atap tapi tak pernah saling menyapa, begitulah suasana setiap hari di rumah ini. Aku selalu berpura-pura terlihat baik-baik saja, walaupun sesak terasa di dalam dada. Kupesan taksi online untuk mengantarkan aku pulang. Ya, aku sedang berbelanja sayur di super market yang jaraknya rumayan jauh dari rumah. Butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai disini. ******* "Assalamualaikum," ucapku saat aku sudah berada di depan pintu. Tak ada jawaban,
Jujur, tak ada lagi air mata yang keluar. Air mata ini terlalu berharga untuk menangisi seorang pengkhianat. Cukup aku yang tahu betapa sakitnya hati ini. Mereka, para penghianat tak perlu tahu betapa sakit dan pedihnya luka yang mereka torehkan. Satu jam sudah kubaringkan tubuhku, selama itu pula kutenangkan diriku. Hingga mampu mengurangi sesak di dalam kalbu. Aku beringsut dari ranjang, berdiri di depan cermin. Kuamati wajahku. "Oke, Mas, akan kubalas rasa sakit yang telah kau torehkan. Kau telah mengkhianati cinta suci ini. Lihatlah, begitu dahsyatnya luka yang kau ciptakan, hingga mampu mengikis namamu yang sempat bertahta di hatiku. Rasa cinta yang sempat tumbuh subur, kini telah berganti benci. Benci yang teramat sangat," ucapku di depan kaca, seakan-akan sedang berbicara dengan target utamaku. Berbagai rencana sudah kususun dengan sempurna. Kurakit bom sedemikian rupa. Hingga ti
Aku berlalu meninggalkan Sesil, baru beberapa langkah, tiba-tiba kedua netraku melihat seseorang yang sedang berdiri mengawasi kami. "Mau kamu apain calon menantuku?" taya Ibu Mertua dengan penuh penekanan di kalimat calon menantu. Kuputar bola mataku dengan malas. Ibu mertua menghampiri Sesil yang sedang berdiri. "Kamu nggak diapa-apain sama dia, kan?" tanya Ibu mertua dengan melirik sinis ke arahku. Sesil menggeleng. "Kalau dia menyakitimu, bilang sama Tante!" "Iya, Tante," jawabnya dengan nada dibuat semanja mungkin. "Bagaimana, Bu? Apa ada yang terluka dengan calon menantu kesayangannya?" ucapku dengan nada mengejek. Ibu mertua mencebikkan mulutnya. "Pergi kamu!" Segera kuputar tubuhku. "Hey, tunggu!" "Ada apa lagi, Bu?" "Besok pagi ada acara kumpul-ku
Tiba-tiba bayangan saat melihat suamiku yang sedang bercumbu dengan wanita lain melintasi otakku, hingga membuatku berkali-kali mengerjapkan mata. Kuusap wajahku dengan kedua telapak tanganku secara kasar. Kuhela napas panjang dan kukeluarkan dengan kasar. Berharap kewarasan otakku segera datang. Aku mendengkus kesal. Saat Mas Prabu sedang berjalan, Sesil langsung memeluk lengan lelaki yang masih bergelar suamiku itu dari arah belakang. Perih, dan sesak. Itulah yang kurasakan saat ini, melihat Mas Prabu bermesraan dengan wanita lain, di depan mataku. Apalagi senyum merekah tercetak dengan jelas di bibir lelaki yang masih sah menjadi suamiku. Apakah aku cemburu? Tidak! Ku tegaskan, aku tidak cemburu, walau setitik! Jujur, sedikitpun sudah tak ada rasa cinta untuk Mas Prabu. Bahkan, namanya yang sempat bertahta di
Adzan subuh berkumandang, membangunkan ku dari tidur lelapku. Kurenggangkan otot-otot di tubuhku. Ah, rasanya tubuh ini terasa lebih segar. Kusingkap selimut tebal dari atas tubuhku lalu beringsut dari ranjang. Dengan langkah semangat, aku berjalan menuju kamar mandi. Kusambar handuk dari tempatnya. Tetes demi tetes butiran air terjatuh ke tubuh. Hingga akhirnya, tetesan air itu mampu membasahi seluruh tubuhku, berharap, tak ada bekas sentuhan yang tertinggal dari lelaki durj*na itu. Tak butuh waktu lama untuk kuselesaikan ritual mandiku. Segera kulaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim, dua rakaat shalat subuh. ***** Brak! Brak! "Syifa, bangun kamu!" Brak! "Ck, Ibu ganggu orang la
Akhirnya acara arisan tak bisa berjalan dengan lancar, alias, dibubarkan. Aku tersenyum dalam hati. Padahal ini belum ada apa-apanya. Gimana kalau seluruh tetangga pada tahu? "Tante istirahat dulu, ya. Kepala Tante pusing sekali!" pamit Ibu lalu berjalan meninggalkan aku dan Sesil. Sepeninggal Ibu, Sesil langsung menatapku tajam. "Kamu bisa menjelaskannya?" tanya Sesil sambil berjalan ke arahku. "Apa yang perlu dijelaskan?" jawabku enteng sambil kusandarkan tubuhku di sofa. "Ternyata kamu pandai juga bersandiwara, ya! Tadi banyak orang, sok-sok'an pasang wajah sedih. Nah, sekarang kamu terlihat biasa saja!" "Ck, orang seperti kamu dan Ibu itu harus diimbangi. Kalian memainkan sandiwara, apa aku juga salah jika mengikuti?" jawabku lalu beranjak. Saat aku mulai melangkah tiba-tiba ...
DreeeettttDreeeettttDreeeetttt"Siapa, sih!" gerutuku saat ponsel yang di atas meja bergetar. Kulihat dengan ekor mataku, ternyata nomor Sesil yang menghubungiku.Kuambil ponsel tersebut lalu kuangkat telfonnya."Halo ... ada apa?" tanyaku langsung ke pokok permasalahan."Ibu masuk rumah sakit, Mas!" jawab Sesil yang membuatku langsung mencampakkan lembaran kertas yang ada di tanganku."Kok bisa? Ibu kenapa? Bukannya tadi ada acara arisan?""Iya, Mas. Tapi Ibu sakit, langsung kubawa ke rumah sakit.""Kamu bersama Syifa?""Tidak, Mas. Tadi kuajak Syifa, tapi ia nggak mau! Katanya sibuk! Aku disuruh mengurus Ibu sendirian!" ucapnya yang seketika m