Aku didiagnosis menderita lupus eritematosus sistemik stadium berat dan akan meninggal tiga hari lagi. Setelah 188 kali telepon permintaan tolongku ditolak suamiku, aku membawa hasil pemeriksaan dan melangkah masuk ke kantor pelayanan perawatan akhir hayat. “Halo, tolong bantu jadwalkan proses kremasiku dan ajukan juga bantuan subsidi dari pemerintah.” Sepuluh menit kemudian, mereka datang. Belum sempat aku bicara, suamiku yang seorang pengacara langsung menamparku tanpa ekspresi. “Demi merebut perhatian dari Penny, kamu pura-pura sakit parah?” Kakakku yang seorang dokter merebut hasil pemeriksaanku, lalu membuka dan menatapku, sambil mencibir, “Lupus? Kalau mau pura-pura sakit, setidaknya yang masuk akal. Penyakit seperti ini hanya diderita satu dari sejuta orang.” Aku menahan rasa sakit di tubuhku, lalu kembali ke meja petugas dan menyerahkan formulir, serta hasil medis lagi. Melihat ruam berbentuk kupu-kupu di pergelangan tanganku, petugas itu tampak iba. “Aku sudah nggak punya keluarga lagi.” “Aku ingin mendaftar layanan kremasi tiga hari lagi, lokasinya bebas. Aku hanya berharap kematianku nggak menjadi beban bagi siapapun.”
Voir plusBelum selesai Penny bicara, Billy benar-benar sudah kehilangan kesabaran dan melepas ikat pinggangnya.Lalu, mengayunkannya dengan keras ke arah Penny.Wajah Penny langsung memerah, jejak sabetan ikat pinggang tampak jelas di kulitnya.Tubuhnya gemetar hebat, bibirnya pucat dan tatapan matanya dipenuhi amarah dan ketidakpuasan. Tapi kini, dia mulai sadar, semua ini sudah di luar kendalinya. Trik berpura-pura lemah lembut tak lagi bisa menyelamatkannya.Penny berhenti melawan. Kini, dia hanya bersandar dengan takut di dekat mereka, berharap mendapat simpati, tapi tak ada satu pun yang peduli padanya.Billy tak memberi kesempatan sedikit pun, dia kembali mengayunkan ikat pinggang itu.Malam itu, seluruh vila dipenuhi suara jeritan Penny. Tak ada yang tahu berapa kali dirinya dipukul.Mereka menghukumnya dengan cara yang dulu pernah mereka pakai padaku.Penny dikurung di ruangan gelap, tanpa makan dan minum, ponselnya juga disita. Bahkan hukuman yang dulu diberikan padaku kini dilipatgand
Awalnya, Billy tak berniat mengangkat telepon itu, tapi entah kenapa, jarinya malah menekan tombol terima dan langsung mengaktifkan pengeras suara.“Halo, Bu Lisa. Apa kamu masih mempertimbangkan untuk membeli lahan makam yang kamu lihat sebelumnya? Kalau kamu bersedia membayar uang muka sebesar 5%, kami bisa bantu simpan tempat itu untukmu.”“Halo? Bu Lisa?”Begitu mendengar kata ‘makam’, ekspresi Billy langsung berubah, seolah habis ditinju.Dengan suara bergetar, dia berkata, “Ternyata… waktu itu aku nggak salah dengar….”“Hari itu waktu dia minta layanan kremasi, dia juga sedang melihat makam.”Suara Reza ikut tercekat, bibirnya pucat dan dia bergumam, “Jadi, dia benar-benar sedang mempersiapkan akhir hidupnya. Dia nggak jadi beli lahan itu, karena nggak punya uang….”Usai bicara, dia pun terisak.Lalu, Reza merebut ponsel itu dan berteriak pada si penelepon,“Aku beli makamnya! Simpan untukku!”“Kami berutang terlalu banyak padanya. Ini satu-satunya yang bisa kami lakukan untukny
Saat melihat mereka muncul di depan pintu, Bibi Siti sama sekali tidak tampak terkejut, bahkan nyaris tidak mengangkat kelopak matanya.Emosi Reza sudah berada di ambang batas. Dia langsung maju dan mencengkeram kerah baju Bibi Siti.“Di mana adikku?! Kembalikan adikku padaku!”Billy dengan sigap menariknya menjauh, suaranya terdengar penuh kegelisahan,“Maaf… boleh saya tahu, apakah istriku, Lisa ada di sini? Aku suaminya dan ada beberapa hal yang perlu kami bicarakan langsung.”Bibi Siti tidak menjawab. Dia hanya menatap mereka dengan wajah dingin selama beberapa detik, lalu berbalik dan membawa mereka pergi.Mereka mengikuti Bibi Siti melewati sejumlah lorong sunyi. Dibalik pintu-pintu pendingin yang mereka lewati, udara terasa semakin dingin dan suasana semakin menekan.Sampai akhirnya, sebuah pintu ruang pendingin terbuka perlahan.Satu jenazah yang ditutupi kain putih terbaring diam di sana.Langkah mereka pun terhenti.Di detik itu juga, udara seperti membeku.“Ini… candaan maca
Billy tampaknya sangat kekeh soal ‘makan kue’, nada suaranya lembut dan juga membujuk, “Penny, coba sedikit saja, nggak apa-apa kok. Kalau benar-benar nggak enak badan, aku dan Reza ada di sini, kami bisa mengantarmu ke rumah sakit.”Senyuman Penny tampak agak kaku.Namun, demi menutupi kegugupannya, dia tetap berusaha menampilkan wajah ‘anak baik’ seperti biasa.Dia mengambil sendok kecil dan mulai mencicipi satu per satu kue di depannya, seperti sedang menyelesaikan sebuah tugas.Setelah selesai, dia memegangi perut dan berkata pelan, “Aku agak nggak enak badan, mau istirahat ke lantai atas dulu.”Dia pun berbalik menuju lantai atas.Aku diam-diam melayang mengikuti di belakangnya.Begitu masuk kamar, dia langsung menutup pintu dan dengan gerakan gugup membongkar laci dan koper, nyaris mengacak-acak seluruh ruangan.Lalu, terdengar suara pintu dibuka perlahan dari belakang.“Penny, kamu lagi cari apa?”Penny reflek menoleh. Begitu melihat Billy dan Reza berdiri di ambang pintu, waja
Saat kuliah dulu, karena percaya pada fitnah Penny yang menuduhku membeli narkoba, Billy dan kakak menghentikan uang sakuku. Akibatnya, aku sering makan tidak teratur, kadang kenyang, kadang kelaparan.Agar tidak pingsan di kelas, aku bekerja paruh waktu di kantin kampus demi bisa makan beberapa suap nasi hangat.Bibi Siti, salah satu staf kantin sangat perhatian padaku. Dia sering diam-diam menambahkan beberapa potong daging ke piringku.Dia punya seorang putri yang usianya satu tahun lebih muda dariku. Sayangnya, putrinya bunuh diri karena lama menjadi korban perundungan.Akhirnya, Bibi Siti pun menerima sejumlah uang kompensasi dan kemudian meninggalkan kampus.Aku mencari rumah kecilnya di pinggiran kota berdasarkan alamat yang pernah dia berikan padaku.Saat pintu terbuka, aku bertanya dengan suara lirih,“Bibi, setelah aku meninggal nanti, bolehkan bibi membantuku menelepon krematorium?”Mata Bibi Siti langsung berkaca-kaca.Dia mengambil sebotol foundation, sedikit lipstik dan s
Baru saja melangkah keluar dari halaman rumah, Reza menyusul dan mengeluarkan beberapa lembar uang yang sudah lecek dari saku celananya.“300 dolar, cukup untuk makan dan tempat tinggalmu selama beberapa hari. Nanti kalau kamu sudah tenang, pulang saja dan minta maaf. Semuanya akan baik-baik saja.”300 dolar.Di mata Penny, itu mungkin bahkan tak cukup untuk sekali nongki sore.Tak lama kemudian, Penny juga ikut menyusul. Dengan lembut, dia mengambil uang dari tangan kakakku dan tersenyum padaku, “Kak Lisa, kita ini keluarga. Mereka hanya terlalu emosi, mana mungkin benar-benar mengusirmu? Kalau nggak ada uang, kamu bakal kelaparan dan pasti juga akan pulang sendiri, ‘kan?”Mendengar itu, kakak langsung menyimpan kembali uangnya.Akhirnya, dengan tubuh yang lemah, aku menyeret langkahku meninggalkan komplek perumahan elit itu. Dengan sisa uang hasil kerja paruh waktu, aku menyewa kamar di penginapan murah pinggiran kota.Malam itu, aku meringkuk sendirian di ranjang sempit sebuah peng
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Commentaires