Share

Bab 4

Author: Liora
Baru saja melangkah keluar dari halaman rumah, Reza menyusul dan mengeluarkan beberapa lembar uang yang sudah lecek dari saku celananya.

“300 dolar, cukup untuk makan dan tempat tinggalmu selama beberapa hari. Nanti kalau kamu sudah tenang, pulang saja dan minta maaf. Semuanya akan baik-baik saja.”

300 dolar.

Di mata Penny, itu mungkin bahkan tak cukup untuk sekali nongki sore.

Tak lama kemudian, Penny juga ikut menyusul. Dengan lembut, dia mengambil uang dari tangan kakakku dan tersenyum padaku,

“Kak Lisa, kita ini keluarga. Mereka hanya terlalu emosi, mana mungkin benar-benar mengusirmu? Kalau nggak ada uang, kamu bakal kelaparan dan pasti juga akan pulang sendiri, ‘kan?”

Mendengar itu, kakak langsung menyimpan kembali uangnya.

Akhirnya, dengan tubuh yang lemah, aku menyeret langkahku meninggalkan komplek perumahan elit itu. Dengan sisa uang hasil kerja paruh waktu, aku menyewa kamar di penginapan murah pinggiran kota.

Malam itu, aku meringkuk sendirian di ranjang sempit sebuah penginapan, memeluk diri sendiri hingga tertidur.

Sebelum kehadiran Penny, aku pernah menjadi orang yang sangat disayangi oleh Billy dan kakak.

Kami sama-sama yatim piatu sejak kecil dan saling mengandalkan untuk bertahan hidup.

Mereka tujuh tahun lebih tua dariku.

Saat masih kecil, kakak dan Billy sibuk bekerja dan tak sempat mengurusku. Jadi, aku dititipkan di rumah orang lain.

Sebelum berangkat, Reza sempat berjongkok dan mencium pipiku, lalu tersenyum berkata,

“Lisa sayang, tunggu urusan kakak selesai, kakak bakal menjemputmu pulang.”

Aku percaya, tapi ternyata harus menunggu sampai tujuh tahun.

Saat mereka akhirnya muncul kembali di hari ulang tahun legalku, mereka datang bersama seorang gadis lain.

Dia adalah putri dari atasan Billy. Setelah orang tuanya meninggal, mereka membawanya pulang dan mengangkatnya jadi adik angkat.

Sejak kecil, aku menyukai Billy. Dia pun berjanji akan menikahiku. Demi membuatku merasa aman, dia bahkan langsung mengajak diriku yang waktu itu baru memenuhi batas usia legal untuk membuat surat nikah.

Saat itu, aku sama sekali tidak cemburu, malah menganggap gadis itu sebagai adik kandung sendiri.

Sampai suatu hari, di hari ulang tahunku, tiba-tiba dia menjerit bilang kalau ada jarum di dalam roknya yang melukainya. Lalu, dia lari ke pelukan Billy sambil menangis,

“Kakak, jangan salahkan Kak Lisa… dia pasti nggak sengaja. Kalau aku bisa lebih baik sedikit lagi, mungkin dia akan menerimaku.”

Seketika, kalimat itu langsung memberiku cap sebagai pelaku.

Aku marah dan bertanya padanya kenapa memfitnahku?

Namun, dia malah tersenyum mengejek, lalu menarik tanganku dan menempelkannya ke dadanya, lalu dia pun menjerit dan menjatuhkan diri dari tangga.

Dan kebetulan, mereka pun tiba di rumah.

Sejak hari itu, aku bukan lagi orang yang disayangi.

Uang hasil kerja paruh waktuku dituduh sebagai uang jajan yang kuambil diam-diam. Tanpa banyak tanya, Billy langsung membekukan semua rekeningku.

Kami kuliah di kampus yang sama. Aku diintimidasi dan dihina oleh teman-teman Penny. Penny hanya perlu menangis pelan dan aku akan dianggap sebagai pelaku perundungan.

Sejak itu, Billy mulai menerapkan hukuman keluarga. Dilarang keluar kamar, tidak minum dan makan selama tiga hari tiga malam.

Reza hanya menatapku dingin.

Karena sering kelaparan, daya tahan tubuhku menurun drastis. Aku jadi sering lemas dan tidak bertenaga.

Hingga akhirnya, aku memberanikan diri minta tolong, obat yang diberikan justru diganti dengan vitamin. Bahkan hak kue ulang tahunku pun diambil dariku.

Suatu malam, aku terbangun karena rasa sakit. Tiba-tiba, aku sangat merindukan bibi di keluarga asuh tempatku tinggal dulu.

Bubur gandum yang dia buat sangat sederhana, tapi rasanya kini mustahil untuk bisa kumakan lagi.

Usiaku tinggal dua hari lagi.

Aku mengambil bubur gandum yang hampir kadaluwarsa dari pusat bantuan di supermarket.

Pada saat bersamaan, aku menerima pesan dari Billy, [Bagaimana keadaan kakimu? Kami masih peduli padamu. Penny sudah bawakan obat untukmu. Dia terus berusaha memperbaiki hubungan denganmu. Tolong jangan sakiti hatinya lagi, ya?]

Lima menit kemudian.

Baru saja aku menyeduh bubur gandum, Penny datang dan langsung menumpahkan isi mangkuk ke lantai.

“Lisa, kamu pikir aku benaran mau berdamai denganmu? Jangan mimpi! Obatnya sudah kubuang!”

Raut wajahnya berubah drastis, penuh keangkuhan dan nada suaranya terdengar penuh kebencian,

“Kamu nggak lihat berita? Petugas yang membantumu urus dokumen itu sudah diberhentikan karena dilaporkan.”

“Mereka tahu kamu nggak punya uang dan menunggu mereka menanggung biayanya, ini membuat mereka naik darah.”

Aku menahan amarah dan bertanya, “Kenapa kamu melakukan ini?”

Dia mencibir, “Karena aku membencimu!”

“Emangnya sakit sudah sangat hebat? Semua orang harus mengurusmu? Kalau mau mati, mati diam-diam saja. Jangan biarkan orang lain tahu!”

Aku justru sangat tenang, “Penny, aku nggak pernah menyakitimu. Kenapa kamu begitu membenciku?”

Dia tertawa merendahkan.

“Kamu memang nggak pernah melakukan apa-apa, tapi kamu menghalangi jalanku.”

“Aku ini orang yang menumpang hidup, nggak mau diusir, tapi juga mau banyak uang dan cinta. Jadi, harus pakai sedikit trik.”

“Masih ingat jarum di rok itu? Aku yang menaruh itu.”

“Aku juga yang sengaja jatuh dari tangga.”

“Obat yang kuminum juga obat yang bisa membuat gejala alergi palsu.”

“Aku mau menjebakmu, jadi harus ambil resiko.”

“Dan hasilnya aku menang, ‘kan?”

Aku gemetar karena marah, “Penny, kamu licik sekali.”

Tiba-tiba, dia melangkah maju dan menamparku keras sampai aku terjatuh.

“Lisa, kamu sudah mau mati sebentar lagi. Simpan tenagamu untuk hidup dua hari lagi. Setelah kamu mati, aku bakal jadi nyonya satu-satunya di rumah, punya dua kakak yang menyayangiku seperti suami.”

Sebelum pergi, dia masih sempat menendangku dua kali, seolah memastikan ancaman terakhirnya benar-benar musnah.

Dia tak tahu, aku sudah memasang kamera tersembunyi di pojok ruangan.

Aku terbaring di lantai, perlahan bangkit dan duduk, lalu membuka ponsel dan melihat berita online tentang staf kantor pelayanan perawatan akhir hayat yang diberhentikan.

Komentar netizen penuh hujatan, bilang aku hanya pura-pura sakit dan cari perhatian.

Aku membuat grup kecil berisi aku, Billy dan Reza. Lalu mengirimkan video itu ke dalam grup.

Lalu aku mengubah rekaman itu menjadi lampiran email, mengirimkannya secara massal ke semua teman dan rekan kerja yang kukenal.

Hidupku hanya tersisa satu hari lagi.

Aku telah membuka kedok asli Penny di depan Billy dan Reza.

Setelah mematikan ponsel, aku mengangkat koper dan pergi dari penginapan.

Pergi dari Kota Baran untuk selamanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penyesalan Setelah Diriku Tiada   Bab 9

    Belum selesai Penny bicara, Billy benar-benar sudah kehilangan kesabaran dan melepas ikat pinggangnya.Lalu, mengayunkannya dengan keras ke arah Penny.Wajah Penny langsung memerah, jejak sabetan ikat pinggang tampak jelas di kulitnya.Tubuhnya gemetar hebat, bibirnya pucat dan tatapan matanya dipenuhi amarah dan ketidakpuasan. Tapi kini, dia mulai sadar, semua ini sudah di luar kendalinya. Trik berpura-pura lemah lembut tak lagi bisa menyelamatkannya.Penny berhenti melawan. Kini, dia hanya bersandar dengan takut di dekat mereka, berharap mendapat simpati, tapi tak ada satu pun yang peduli padanya.Billy tak memberi kesempatan sedikit pun, dia kembali mengayunkan ikat pinggang itu.Malam itu, seluruh vila dipenuhi suara jeritan Penny. Tak ada yang tahu berapa kali dirinya dipukul.Mereka menghukumnya dengan cara yang dulu pernah mereka pakai padaku.Penny dikurung di ruangan gelap, tanpa makan dan minum, ponselnya juga disita. Bahkan hukuman yang dulu diberikan padaku kini dilipatgand

  • Penyesalan Setelah Diriku Tiada   Bab 8

    Awalnya, Billy tak berniat mengangkat telepon itu, tapi entah kenapa, jarinya malah menekan tombol terima dan langsung mengaktifkan pengeras suara.“Halo, Bu Lisa. Apa kamu masih mempertimbangkan untuk membeli lahan makam yang kamu lihat sebelumnya? Kalau kamu bersedia membayar uang muka sebesar 5%, kami bisa bantu simpan tempat itu untukmu.”“Halo? Bu Lisa?”Begitu mendengar kata ‘makam’, ekspresi Billy langsung berubah, seolah habis ditinju.Dengan suara bergetar, dia berkata, “Ternyata… waktu itu aku nggak salah dengar….”“Hari itu waktu dia minta layanan kremasi, dia juga sedang melihat makam.”Suara Reza ikut tercekat, bibirnya pucat dan dia bergumam, “Jadi, dia benar-benar sedang mempersiapkan akhir hidupnya. Dia nggak jadi beli lahan itu, karena nggak punya uang….”Usai bicara, dia pun terisak.Lalu, Reza merebut ponsel itu dan berteriak pada si penelepon,“Aku beli makamnya! Simpan untukku!”“Kami berutang terlalu banyak padanya. Ini satu-satunya yang bisa kami lakukan untukny

  • Penyesalan Setelah Diriku Tiada   Bab 7

    Saat melihat mereka muncul di depan pintu, Bibi Siti sama sekali tidak tampak terkejut, bahkan nyaris tidak mengangkat kelopak matanya.Emosi Reza sudah berada di ambang batas. Dia langsung maju dan mencengkeram kerah baju Bibi Siti.“Di mana adikku?! Kembalikan adikku padaku!”Billy dengan sigap menariknya menjauh, suaranya terdengar penuh kegelisahan,“Maaf… boleh saya tahu, apakah istriku, Lisa ada di sini? Aku suaminya dan ada beberapa hal yang perlu kami bicarakan langsung.”Bibi Siti tidak menjawab. Dia hanya menatap mereka dengan wajah dingin selama beberapa detik, lalu berbalik dan membawa mereka pergi.Mereka mengikuti Bibi Siti melewati sejumlah lorong sunyi. Dibalik pintu-pintu pendingin yang mereka lewati, udara terasa semakin dingin dan suasana semakin menekan.Sampai akhirnya, sebuah pintu ruang pendingin terbuka perlahan.Satu jenazah yang ditutupi kain putih terbaring diam di sana.Langkah mereka pun terhenti.Di detik itu juga, udara seperti membeku.“Ini… candaan maca

  • Penyesalan Setelah Diriku Tiada   Bab 6

    Billy tampaknya sangat kekeh soal ‘makan kue’, nada suaranya lembut dan juga membujuk, “Penny, coba sedikit saja, nggak apa-apa kok. Kalau benar-benar nggak enak badan, aku dan Reza ada di sini, kami bisa mengantarmu ke rumah sakit.”Senyuman Penny tampak agak kaku.Namun, demi menutupi kegugupannya, dia tetap berusaha menampilkan wajah ‘anak baik’ seperti biasa.Dia mengambil sendok kecil dan mulai mencicipi satu per satu kue di depannya, seperti sedang menyelesaikan sebuah tugas.Setelah selesai, dia memegangi perut dan berkata pelan, “Aku agak nggak enak badan, mau istirahat ke lantai atas dulu.”Dia pun berbalik menuju lantai atas.Aku diam-diam melayang mengikuti di belakangnya.Begitu masuk kamar, dia langsung menutup pintu dan dengan gerakan gugup membongkar laci dan koper, nyaris mengacak-acak seluruh ruangan.Lalu, terdengar suara pintu dibuka perlahan dari belakang.“Penny, kamu lagi cari apa?”Penny reflek menoleh. Begitu melihat Billy dan Reza berdiri di ambang pintu, waja

  • Penyesalan Setelah Diriku Tiada   Bab 5

    Saat kuliah dulu, karena percaya pada fitnah Penny yang menuduhku membeli narkoba, Billy dan kakak menghentikan uang sakuku. Akibatnya, aku sering makan tidak teratur, kadang kenyang, kadang kelaparan.Agar tidak pingsan di kelas, aku bekerja paruh waktu di kantin kampus demi bisa makan beberapa suap nasi hangat.Bibi Siti, salah satu staf kantin sangat perhatian padaku. Dia sering diam-diam menambahkan beberapa potong daging ke piringku.Dia punya seorang putri yang usianya satu tahun lebih muda dariku. Sayangnya, putrinya bunuh diri karena lama menjadi korban perundungan.Akhirnya, Bibi Siti pun menerima sejumlah uang kompensasi dan kemudian meninggalkan kampus.Aku mencari rumah kecilnya di pinggiran kota berdasarkan alamat yang pernah dia berikan padaku.Saat pintu terbuka, aku bertanya dengan suara lirih,“Bibi, setelah aku meninggal nanti, bolehkan bibi membantuku menelepon krematorium?”Mata Bibi Siti langsung berkaca-kaca.Dia mengambil sebotol foundation, sedikit lipstik dan s

  • Penyesalan Setelah Diriku Tiada   Bab 4

    Baru saja melangkah keluar dari halaman rumah, Reza menyusul dan mengeluarkan beberapa lembar uang yang sudah lecek dari saku celananya.“300 dolar, cukup untuk makan dan tempat tinggalmu selama beberapa hari. Nanti kalau kamu sudah tenang, pulang saja dan minta maaf. Semuanya akan baik-baik saja.”300 dolar.Di mata Penny, itu mungkin bahkan tak cukup untuk sekali nongki sore.Tak lama kemudian, Penny juga ikut menyusul. Dengan lembut, dia mengambil uang dari tangan kakakku dan tersenyum padaku, “Kak Lisa, kita ini keluarga. Mereka hanya terlalu emosi, mana mungkin benar-benar mengusirmu? Kalau nggak ada uang, kamu bakal kelaparan dan pasti juga akan pulang sendiri, ‘kan?”Mendengar itu, kakak langsung menyimpan kembali uangnya.Akhirnya, dengan tubuh yang lemah, aku menyeret langkahku meninggalkan komplek perumahan elit itu. Dengan sisa uang hasil kerja paruh waktu, aku menyewa kamar di penginapan murah pinggiran kota.Malam itu, aku meringkuk sendirian di ranjang sempit sebuah peng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status