Share

Bab 2

Author: Liora
Begitu membuka pintu rumah kecil yang begitu familiar, baru kusadari, aku nyaris tak punya barang pribadi yang perlu dikemas.

Kamar yang kutinggali adalah gudang tua di sudut paling ujung rumah ini.

Yang benar-benar milikku hanyalah beberapa potong baju lusuh yang warnanya sudah pudar.

Sementara itu, Penny punya ruang ganti yang luasnya bisa dipakai sebagai ruang tamu, setidaknya tiga kali lebih besar dari kamarku.

Hanya gaun bekas yang sudah Penny tak mau atau sepatu hak tinggi yang sudah patah, baru akan dilempar begitu saja ke gudang sementara ini.

Dulu, aku pernah berkali-kali ribut soal ini dengan Billy, tapi jawabannya selalu sama, “Penny sering dipukul dan dimarahi ayah kandungnya sejak kecil. Baru setelah tinggal di rumah kita, dia bisa hidup lebih enak. Kamu harus mengalah padanya.”

Dan aku pun mengalah selama lima tahun lamanya.

Sambil beres-beres barang ke dalam sebuah kardus usang, aku menerima telepon dari kantor pengelola pemakaman.

“Halo, dengan Bu Lisa? Untuk lahan makam yang kamu lihat beberapa waktu lalu… kalau kamu bersedia membayar uang muka sekarang, kami bisa menahannya untukmu. Kalau nggak, lahan itu akan diberikan pada pendaftar berikutnya.”

Itu makam yang sempat kulihat beberapa waktu lalu.

Sekelilingnya ditanami mawar dan cemara kecil, batu nisannya terbuat dari marmer abu-abu muda dengan gaya minimalis modern.

Tampilannya mirip postingan akun instagram estetika hidup yang bertema ‘kematian yang tetap elegan’.

Waktu itu aku berpikir kalau hidup ini sudah berat, setidaknya kematian harus terlihat indah.

Namun sekarang, semua rencana itu rasanya terlalu mewah.

Aku terdiam beberapa detik dan menjawab, “Nggak perlu lagi, terima kasih.”

Aku tak punya uang untuk itu.

Selama beberapa tahun terakhir, semua pendapatanku ditransfer ke rekening bersama suami. Tapi, Billy selalu merasa aku hanya pura-pura baik dan takut aku menghamburkan uangnya, jadi dia sudah lebih dulu menarik semua dana di sana.

Bahkan untuk biaya pengobatan saja aku sudah tidak sanggup, apalagi untuk membeli makam cantik seperti itu.

Baru saja telepon ditutup, Billy sudah masuk ke rumah dengan langkah tergesa.

Dia melempar tas kerja ke sofa dan berkata dengan nada tak senang, “Makam? Buat apa kamu pesan makam?”

Kupikir dia mungkin mendengar sesuatu, aku pun hendak menjelaskan.

Namun, dia malah menyeringai dingin dan mengernyit, lalu berkata,

“Lisa, kamu tahu nggak? Saat berdiri di kantor tadi, aku merasa sangat memalukan.”

“Penny sampai sesak napas karena nangis, pesta ulang tahunnya juga berantakan. Kamu tahu nggak Ini ulang tahun ke-22 dia!”

“Kenapa sih kamu nggak bisa menerimanya?”

Aku tak bisa menerimanya?

Lalu selama ini, siapa yang selalu dikesampingkan dan diabaikan?

Sejak hari pertama dia pindah ke rumah ini, aku tak pernah lagi merayakan ulang tahunku.

Setiap kali hari ulang tahunku tiba, dia pasti tiba-tiba demam tinggi atau mendadak alergi sampai harus dilarikan ke rumah sakit.

Lalu semua orang meninggalkanku dan sibuk menjaganya.

Sementara ulang tahunku, mereka sama sekali tak mengingatnya. Bahkan sepotong kue pun tak diberikan padaku.

Aku menatap Billy, hidungku terasa asam dan suaraku terdengar bergetar,

“Aku hanya lebih tua satu tahun darinya, tapi kalian bahkan tak rela mengeluarkan uang untuk sekedar membelikanku sepotong kue.”

Billy sempat tampak ragu sejenak, tapi nada bicaranya tetap penuh emosi,

“Bisa nggak kamu jangan selalu perhitungan begini?”

Tepat saat itu, terdengar langkah kaki dari arah pintu.

Kakakku dan Penny pulang, lalu terdengar suara kakakku yang tak bisa menahan amarahnya lagi,

“Kamu masih berani ungkit soal ulang tahun? Setelah melakukan semua itu, kamu bahkan sudah nggak pantas merayakan ulang tahun!”

Wajah kakak sudah muram, sorot matanya tajam dan galak.

“Penny sampai sesak karena nangis gara-gara kamu, bahkan hampir harus dilarikan ke rumah sakit!”

“Tapi, dia masih rela membelamu dan kamu malah nggak merasa bersalah sedikit pun?”

Penny melangkah maju sambil tersedu, berusaha memaksakan senyum.

“Kak Lisa, nggak apa-apa. Aku nggak menyalahkanmu. Aku hanya mau makan kue krim kacang buatanmu, boleh?”

Melihat itu, kakak langsung menimpali,

“Bukannya itu keahlianmu? Lisa, Penny saja sudah merendah dan mau berdamai denganmu, kamu jangan nggak tahu diri.”

Menatap wajah Penny yang samar-samar menunjukkan raut kemenangan, aku dengan tenang balik bertanya,

“Bukannya kamu alergi kacang? Kenapa sengaja pilih kue krim kacang? Kamu mau menjebakku supaya membuatmu masuk rumah sakit ‘lagi’?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penyesalan Setelah Diriku Tiada   Bab 9

    Belum selesai Penny bicara, Billy benar-benar sudah kehilangan kesabaran dan melepas ikat pinggangnya.Lalu, mengayunkannya dengan keras ke arah Penny.Wajah Penny langsung memerah, jejak sabetan ikat pinggang tampak jelas di kulitnya.Tubuhnya gemetar hebat, bibirnya pucat dan tatapan matanya dipenuhi amarah dan ketidakpuasan. Tapi kini, dia mulai sadar, semua ini sudah di luar kendalinya. Trik berpura-pura lemah lembut tak lagi bisa menyelamatkannya.Penny berhenti melawan. Kini, dia hanya bersandar dengan takut di dekat mereka, berharap mendapat simpati, tapi tak ada satu pun yang peduli padanya.Billy tak memberi kesempatan sedikit pun, dia kembali mengayunkan ikat pinggang itu.Malam itu, seluruh vila dipenuhi suara jeritan Penny. Tak ada yang tahu berapa kali dirinya dipukul.Mereka menghukumnya dengan cara yang dulu pernah mereka pakai padaku.Penny dikurung di ruangan gelap, tanpa makan dan minum, ponselnya juga disita. Bahkan hukuman yang dulu diberikan padaku kini dilipatgand

  • Penyesalan Setelah Diriku Tiada   Bab 8

    Awalnya, Billy tak berniat mengangkat telepon itu, tapi entah kenapa, jarinya malah menekan tombol terima dan langsung mengaktifkan pengeras suara.“Halo, Bu Lisa. Apa kamu masih mempertimbangkan untuk membeli lahan makam yang kamu lihat sebelumnya? Kalau kamu bersedia membayar uang muka sebesar 5%, kami bisa bantu simpan tempat itu untukmu.”“Halo? Bu Lisa?”Begitu mendengar kata ‘makam’, ekspresi Billy langsung berubah, seolah habis ditinju.Dengan suara bergetar, dia berkata, “Ternyata… waktu itu aku nggak salah dengar….”“Hari itu waktu dia minta layanan kremasi, dia juga sedang melihat makam.”Suara Reza ikut tercekat, bibirnya pucat dan dia bergumam, “Jadi, dia benar-benar sedang mempersiapkan akhir hidupnya. Dia nggak jadi beli lahan itu, karena nggak punya uang….”Usai bicara, dia pun terisak.Lalu, Reza merebut ponsel itu dan berteriak pada si penelepon,“Aku beli makamnya! Simpan untukku!”“Kami berutang terlalu banyak padanya. Ini satu-satunya yang bisa kami lakukan untukny

  • Penyesalan Setelah Diriku Tiada   Bab 7

    Saat melihat mereka muncul di depan pintu, Bibi Siti sama sekali tidak tampak terkejut, bahkan nyaris tidak mengangkat kelopak matanya.Emosi Reza sudah berada di ambang batas. Dia langsung maju dan mencengkeram kerah baju Bibi Siti.“Di mana adikku?! Kembalikan adikku padaku!”Billy dengan sigap menariknya menjauh, suaranya terdengar penuh kegelisahan,“Maaf… boleh saya tahu, apakah istriku, Lisa ada di sini? Aku suaminya dan ada beberapa hal yang perlu kami bicarakan langsung.”Bibi Siti tidak menjawab. Dia hanya menatap mereka dengan wajah dingin selama beberapa detik, lalu berbalik dan membawa mereka pergi.Mereka mengikuti Bibi Siti melewati sejumlah lorong sunyi. Dibalik pintu-pintu pendingin yang mereka lewati, udara terasa semakin dingin dan suasana semakin menekan.Sampai akhirnya, sebuah pintu ruang pendingin terbuka perlahan.Satu jenazah yang ditutupi kain putih terbaring diam di sana.Langkah mereka pun terhenti.Di detik itu juga, udara seperti membeku.“Ini… candaan maca

  • Penyesalan Setelah Diriku Tiada   Bab 6

    Billy tampaknya sangat kekeh soal ‘makan kue’, nada suaranya lembut dan juga membujuk, “Penny, coba sedikit saja, nggak apa-apa kok. Kalau benar-benar nggak enak badan, aku dan Reza ada di sini, kami bisa mengantarmu ke rumah sakit.”Senyuman Penny tampak agak kaku.Namun, demi menutupi kegugupannya, dia tetap berusaha menampilkan wajah ‘anak baik’ seperti biasa.Dia mengambil sendok kecil dan mulai mencicipi satu per satu kue di depannya, seperti sedang menyelesaikan sebuah tugas.Setelah selesai, dia memegangi perut dan berkata pelan, “Aku agak nggak enak badan, mau istirahat ke lantai atas dulu.”Dia pun berbalik menuju lantai atas.Aku diam-diam melayang mengikuti di belakangnya.Begitu masuk kamar, dia langsung menutup pintu dan dengan gerakan gugup membongkar laci dan koper, nyaris mengacak-acak seluruh ruangan.Lalu, terdengar suara pintu dibuka perlahan dari belakang.“Penny, kamu lagi cari apa?”Penny reflek menoleh. Begitu melihat Billy dan Reza berdiri di ambang pintu, waja

  • Penyesalan Setelah Diriku Tiada   Bab 5

    Saat kuliah dulu, karena percaya pada fitnah Penny yang menuduhku membeli narkoba, Billy dan kakak menghentikan uang sakuku. Akibatnya, aku sering makan tidak teratur, kadang kenyang, kadang kelaparan.Agar tidak pingsan di kelas, aku bekerja paruh waktu di kantin kampus demi bisa makan beberapa suap nasi hangat.Bibi Siti, salah satu staf kantin sangat perhatian padaku. Dia sering diam-diam menambahkan beberapa potong daging ke piringku.Dia punya seorang putri yang usianya satu tahun lebih muda dariku. Sayangnya, putrinya bunuh diri karena lama menjadi korban perundungan.Akhirnya, Bibi Siti pun menerima sejumlah uang kompensasi dan kemudian meninggalkan kampus.Aku mencari rumah kecilnya di pinggiran kota berdasarkan alamat yang pernah dia berikan padaku.Saat pintu terbuka, aku bertanya dengan suara lirih,“Bibi, setelah aku meninggal nanti, bolehkan bibi membantuku menelepon krematorium?”Mata Bibi Siti langsung berkaca-kaca.Dia mengambil sebotol foundation, sedikit lipstik dan s

  • Penyesalan Setelah Diriku Tiada   Bab 4

    Baru saja melangkah keluar dari halaman rumah, Reza menyusul dan mengeluarkan beberapa lembar uang yang sudah lecek dari saku celananya.“300 dolar, cukup untuk makan dan tempat tinggalmu selama beberapa hari. Nanti kalau kamu sudah tenang, pulang saja dan minta maaf. Semuanya akan baik-baik saja.”300 dolar.Di mata Penny, itu mungkin bahkan tak cukup untuk sekali nongki sore.Tak lama kemudian, Penny juga ikut menyusul. Dengan lembut, dia mengambil uang dari tangan kakakku dan tersenyum padaku, “Kak Lisa, kita ini keluarga. Mereka hanya terlalu emosi, mana mungkin benar-benar mengusirmu? Kalau nggak ada uang, kamu bakal kelaparan dan pasti juga akan pulang sendiri, ‘kan?”Mendengar itu, kakak langsung menyimpan kembali uangnya.Akhirnya, dengan tubuh yang lemah, aku menyeret langkahku meninggalkan komplek perumahan elit itu. Dengan sisa uang hasil kerja paruh waktu, aku menyewa kamar di penginapan murah pinggiran kota.Malam itu, aku meringkuk sendirian di ranjang sempit sebuah peng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status