Aku menoleh ke arah suara yang tak jauh dari posisiku "Sayang, yang sakit mana?" Aku membantu Daffa untuk berdiri."Daffa, jagoan uncle nggak apa kan?" tanya Kak Farid."Daffa nggak apa, Bunda, Uncle, Ayah. Daffa tadi penasaran kenapa Bunda ad-" Aku langsung membungkam ucapan Daffa dengan menyuapkan jeruk yang berada di tanganku. Tadinya aku sedang menyiapkan buah untuk Hilda tapi penasaran dengan obrolan Kakak dan Bang Akram. "Manis ya, Kak?""Manis, Bun. Mau lagi," aman Daffa tak melanjutkan kalimatnya. "Ini, sekalian kamu bagi sama Hilda ya!" pintaku pada Daffa. "Siap, Bunda. Terus bunda mau lanjut mengin-" "Daffa, buruan. Adikmu sedang menunggu," ah ... beginilah jadinya kalau ketahuan sama anak jelas polos dan jujur. Aku melihat Bang Akram dan Kak Daffa yang sudah terbahak. "Kalian, nggak lucu!" Aku berjalan duduk di sofa tempat mereka ngobrol tadi. Mereka menyusul duduk di dekatku. Belum lama duduk sudah terdengar bunyi ponsel Bang Akram. Aku melirik kearah Kak Farid."Bang,
Di ponselku tertera notifikasi pesan masuk yang dikirim aku sendiri dari hp suamiku. Debaran jantung berdetak lebih kencang, aku beranjak mencuci muka terlebih dahulu untuk mengurangi kegugupanku. Aku memencet nomor yang sudah aku kasih nama 'Indah Maduku' nama yang pas kan? "Assalamualaikum, Dek. Ini Nomor Fitri, Kakak barumu," aku menyapa terlebih dan mengenalkan bahwa nomor ini adalah Kakak madunya. "Wa'alaikumussallam, Mba Fitri, nanti aku save nomornya. Apa kabarnya, Mba. Aku telpon Mas Akram kok nggak diangkat ya?""Kebetulan sekali kamu menanyakan itu, Dek. Bisakah kita ketemu hari ini. Nanti jam 10.30 pas menjelang makan siang aku tunggu di kafe dekat rumahmu," ucapku sangat lembut. "Boleh deh, memang Mba Fitri tau tempat saya tinggal?""Daerah situ tempatku nongkrong bareng teman-teman dulu semasa kuliah, aku tunggu di Kafe Syakir ya. InsyaAllah pukul 10.30 aku sudah disana. Ini lagi siap-siap,""Ya, Mba. Aku tunggu di sana. Apakah Mba Fitri bawa anak-anak?""Tidak, biar m
Aku tersenyum kepada pelayan "Terimakasih, Mba," "Maaf, Bu? Apakah masih ada yang kurang?""Sudah cukup, Terimakasih,""Sama-sama, Ibu. Semoga puas dengan hidangan kami," ucap pelayan ramah. "Silahkan dimakan, Dek. Mumpung masih anget, nanti kita lanjutkan lagi obrolannya," bukankah tak baik berdebat dihadapan makanan?Selesai makan jam menujukan pukul 11, mereka meminta pelayan untuk membereskan meja. "Bagaimana kamu sepakat dengan pernyataan tadi? Aku tak akan mengusik kamu saat bersama suamimu. Dan kamu jangan mengusikku saat Bang Akram sedang bersama keluargaku. Tidak telpon atau wa jika tidak urgent, kalau kamu mau hubunganmu dengan Bang Akram langgeng, bukan karena aku mengancam, tapi aku hanya mengingatkan, beliau orang yang paling nggak suka di usik dan merasa tidak dipercaya,""Tapi, Mba. Kalau aku tak menghubungi nanti Mas Akram tidak mengingatku bagaimana?" ucapan Indah lebih mirip anak kecil."Kamu tidak percaya diri sekali, padahal dulu kamu yang meragukan aku. Kenapa
"Indah, kakak madumu ini menikah sudah lebih dari 10 tahun jadi sebelum kamu hadir tentunya aku bisa menyimpan. Kalau sekarang jatahku jelas berkurang banyak jadi boro-boro menyimpan. Yang penting kebutuhan anak-anakku tercukupi. Kamu kan tau sendiri anakku tiga," ucap Fitri menerangkan dengan logika agar tak timbul salah paham. "Maaf, Mba. Aku sudah berprasangka. Tolong jangan minta Mas Akram untuk menceraikan aku,""Baiklah aku pulang dulu, tak enak juga dengan temanku menunggu di depan. Kamu langsung pulang?""Kesini sama teman?""Temanku pemilik kafe ini, dulu aku sering kesini sebelum ketemu dengan suamiku, ayo apa kamu masih betah disini?""Aku mau pulang juga, terimakasih traktirannya,""Indah, terimakasih kamu sudah menyepakati permintaanku," aku memeluk maduku. Ada perasaan aneh di dada entah apa aku sendiri tak bisa mengartikan. Sesak, tenggorokan tercekat, ah ... adik maduku. Kami beriringan berjalan keluar. "Indah, kamu duluan saja. Aku mau pamit sama temanku," Indah men
Bukan hanya kaget tapi lebih tepatnya malu. Malu dengan posisi masih di pangkuan suaminya."Kak Farid!" Aku berusaha berdiri namun masih ditahan sama Bang Akram. "Bang, lepasin. Aku malu sama Kakak," Akram menahan istrinya bukan tanpa alasan. Untuk menutup asetnya yang sudah mengembang. Nanti ketika sudah kembali ke bentuk semula akan diijinkan istrinya pindah. "Jangan bergerak, tunggu sebentar saja," aku paham dengan kondisi suamiku. Aku merasakan dibawah sana mulai mengecil aku baru bangkit. "Kalian ya, nggak ada malu-malu nya bermesraan dihadapan Kakak," seloroh Kak Farid sangat paham dengan kebiasaan mereka yang selalu menempel jika bersama. Sampai dia bingung situasi macam apa yang mereka ciptakan. Setelah penghianatan suaminya Fitri masih menempel seperti itu. "Kak, biar nggak panas lihat kita bermesraan aku jodohkan dengan temanku ya, itu loh yang dulu sering kesini. Dia masih menjomblo menunggu Kakak melamarnya. Dia sudah tau kalau Kakak ipar sudah nggak ada, jadi semakin
"Sayang, ini pilihan yang sangat sulit. Tapi tentunya aku harus memilih, dan aku yakin kamu lebih bijak dariku. Aku memilih tanggung jawab utamaku saat ini yaitu bersama Indah dan Lulu," mendengar jawaban dari Bang Akram serasa tersengat listrik di bagian ulu hatiku, astaghfirullah jadi dia akan mengabaikan anakku. Aku tarik nafas panjang untuk mengatur emosiku, "Baiklah, aku jadi tau posisi anak-anakku di hatimu. Tak usah memanggilku sayang jika berujung seperti ini, tapi tak apa, semoga harimu menyenangkan diatas penderitaan anak-anakmu," ucapku sembari tersenyum menunjukkan ketegaranku. Aku yang plin plan atau suamiku? Aku tentunya, sudah tau laki-laki seperti itu masih juga diperjuangkan. "Baiklah, silahkan pergi sekarang saja. Tak usah pamit dengan anak-anak mereka baik-baik saja, banyak yang menyayangi mereka. Kamu pamit justru membuat mereka mengingat luka," "Jangan seperti ini, Sayang. Aku jadi ragu untuk melangkah, lantas siapa yang akan mengantar kamu ke dokter?""Memang
Kacau lah rencana kita bersenang-senang, kenapa mesti bertemu mereka padahal disini cukup jauh dengan rumah mereka."Syifa, sini sama Ayah,""Syifa sama Uncle saja, Yah. Ayah sudah sama anak yang lain," Bang Akram mendekati Syifa dengan tangan masih menggenggam Lulu."Dengerin ayah bicara, Sayang. Ayah sama Lulu karena dia adik kecil yang kasihan tidak punya ayah, lucu kan Lulu. Coba sini kenalan,""Iya, Ayah. Syifa sudah paham, ayah kasihan sama Lulu karena tidak punya ayah. Tapi ayah sudah membuat Syifa dan adik-adik tidak mendapatkan kasih sayang seperti Lulu. Lucu kan? Lulu sekarang punya Ayah, sedangkan kami kehilangan Ayah. Kaya orang-orang bilang, aku pernah mendengar ibu-ibu bicara gini. 'Jeng suamiku menikah lagi alasannya menolong janda, tapi malah sekarang menelantarkan aku menjadi janda' haha ... lucu kan? Orang dewasa ternyata punya banyak cara. Katanya sayang, katanya cinta," air mata Syifa bercucuran, aku tak percaya kata-kata seperti itu keluar dari mulut anak gadisku.
"Astaghfirullah, Indah. Aku tidak mengerti dengan ucapan kamu. Kamu begitu pedulinya dengan ucapan tetangga. Berhentilah bersikap konyol, Indah. Hidupmu tidak akan bahagia jika caramu menjalaninya seperti ini," "Mas, aku tidak peduli. Mau motor baru tapi tidak dengan menjual mobil kamu. Aku nggak mau di hina terus menerus oleh tetanggaku. Aku bosan hidup dalam kekurangan, Mas!" Akram semakin mengepalkan tangannya. Ia sangat kesusahan mengontrol emosinya jika berurusan dengan Indah, tapi percuma juga berdebat dengan Indah yang pemikirannya selalu egois, selalu mementingkan apa kata orang lain. Akram keluar dari kamarnya membiarkan istrinya meraung dengan tangis pilunya, berjalan gontai dan tiduran di sofa usang milik mertuanya. Akram sangat malu dengan tetangganya, bersama Fitri tak pernah sekalipun bertengkar konyol seperti ini. Dia meratapi penyesalan poligami dengan cara salah, imbasnya sangat banyak. Syifa gadis cerdas, penurut sudah mendapat bentakan darinya. Netra Akram tak sang