Evelyn meremas ponsel dengan kuat setelah membaca pesan yang dikirim oleh Marissa.
[ Hati-hati, Mbak. Jangan berbangga diri dulu. Jangan sampai kamu akan dicampakkan untuk yang kedua kalinya. ]Perempuan itu segera mematikan ponsel setelah mengirim pesan balasan itu. Dia tidak mau tau bagaimana perasaan Marissa saat membacanya. Yang pasti saat ini dia hanya menginginkan ketenangan.Sedangkan Marissa mengumpat ketika membaca balasan pesan dari Evelyn, niat hati ingin menjatuhkan mental perempuan cantik itu, malah dia sendiri yang kena mental karena balasan perempuan itu." Mami, kenapa? " tanya gadis kecil nan lugu itu ketika melihat sang Mama yang sedang mengumpat penuh emosi." Nggak apa-apa, Sayang. Chika mau kerumah Papi, nggak? " tanya Marissa pada gadis kecilnya. Chika mengangguk antusias dengan senyum lebar." Mauuu ... " Marissa terkekeh melihat ekspresi girang yang ditunjukkan sang anak." Yaudah, Chika siap-siap dulu, ya? Mami juga mau siap-siap dulu. " Chika mengangguk dan langsung berlari ke kamar." Mbak! Siapin Chika, saya mau siap-siap dulu. "" Baik, buk. "Marissa segera berlalu ke kamar, dan bersiap-siap.-----------------Bian sedang duduk diruang tengah seorang diri, menyandarkan badan sambil memejamkan mata. Ponselnya berdering, Bian segera merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel dari sana. Dia mendesah pelan saat melihat nama siapa yang tertera disana." Halo ... Ada apa? " tanya Bian." Kok nanya ada apa, sih? Emang nggak boleh aku telfon kamu lagi? " rajuk Marissa diseberang sana.Bian lagi-lagi mendesah, dia yang sedang dalam masalah dengan Evelyn harus menghadapi tingkah manja Marissa yang sejak dulu tak pernah berubah, wanita itu selalu ingin dimengerti tanpa ingin memahami orang lain." Ckk ... Plis lah, Ris! Aku sedang sakit kepala, jadi jangan bertele-tele. Katakan! Ada apa menghubungiku? " ucap Bian dengan geram." Kenapa kamu mendadak sakit kepala, Mas? Menyesal karena sudah menceraikan istrimu, itu? " tembak Marissa.Bian hanya diam, tak berniat menjawab sedikitpun perkataan Marissa yang memang benar adanya itu. Baru saja beberapa jam lalu dia mengucap talak pada sang istri, namun sekarang ribuan penyesalan menghinggapi dadanya." Aku benar, kan, Mas? Kamu menyesal? Kamu masih mencintainya? Dan lebih memilih dia dibanding aku dan Chika? Kamu masih ingat permintaan Chika yang ingin kita kembali, kan? Atau kamu akan mengurungkan rencana itu karena akan kembali pada Evelyn? Jawab, Mas! " Marissa terus saja mencecar lelaki yang berstatus sebagai ayah dari anaknya itu." Marissa! Kenapa kamu tidak pernah berubah? Kenapa selalu saja seperti ini? Jika kamu terus bersikap semaumu seperti ini, kemungkinan ucapan kamu akan jadi kenyataan. Aku akan mengurungkan niat untuk kembali padamu! " bentak Bian. Marissa tertegun mendengar ucapan mantan suaminya yang penuh emosi itu.Sedang Bian sendiri menghembuskan nafas kasar demi mengontrol emosinya yang sempat meledak karena ulah mantan istrinya itu." Ma-maaf kan aku, Ris. Aku benar-benar sedang banyak pikiran, " Bian meminta maaf pada Marissa setelah emosinya mereda." Tak apa! Aku paham! Kalau begitu aku minta maaf, karena sudah mengganggumu. Padahal aku hanya ingin mengabari jika aku dan Chika akan kesana, Chika meminta bertemu denganmu, " sahut Marissa dengan suara yang dibuat sesedih mungkin." Hufftt ... Maaf karena sudah membuatmu bersedih. Yasudah, kalau begitu aku tunggu disini. Aku tak sabar ingin bertemu Chika. " ucap Bian yang membuat senyum dibibir Marissa terkembang sempurna." Apa kamu yakin? Aku dan Chika tak akan mengganggu? Sebaiknya kamu istirahat saja dulu, bertemu Chika bisa besok-besok saja, " ucap Marissa." Ah, tidak! Kedatangan kalian tak akan mengganggu. Chika akan jadi penghiburku dikala banyak pikiran seperti ini, kalau begitu aku tunggu disini, ya? " sahut Bian.Dia segera mematikan ponsel dan memilih untuk menyegarkan diri terlebih dahulu. Pintu depan sengaja ia tutup saja tanpa dikunci. Takutnya nanti Marissa dan Chika tiba tapi dia masih mandi, terlebih selama ini Bian memang tak pernah memperkerjakan pembantu.Mobil Marissa tiba dihalaman rumah minimalis milik Bian, dia segera mengajak turun Chika begitu mesin mobil ia matikan. Kemudian mengetuk pintu dan memanggil Bian. Namun tak ada sahutan dari dalam, Marissa heran, padahal mobil Bian ada diluar.Marissa kembali mencoba memanggil, namun nihil. Karena penasaran, dia mencoba membuka pintu dan ternyata tidak dikunci. Marissa mengajak Chika untuk masuk begitu saja.Bian baru saja selesai mandi dan dilanjutkan berkemas, setelah selesai dia segera membuka pintu kamar. Dia kaget begitu melihat Marissa dan Chika yang sudah duduk disofa ruang tengahnya." Papiiii ... " teriak Chika yang langsung menghambur memeluk kaki Bian." Anak cantiknya Papi. Gimana sekolahnya tadi? " tanya Bian seraya mengangkat sang anak dalam gendongan dan membawanya ikut duduk disofa bersama Marissa." Seru, Pi! Chika udah punya banyak teman, loh! " sahut Chika dengan riang." Oh, ya? Pintar dong anak Papi! " puji Bian sambil mengecup pipi chubby itu." Hehehe ... Iyalah! Anak siapa dulu? " canda Chika sambil terkekeh." Papi ... Bunda Elyn, mana? Chika kangen Bunda juga, loh! " katanya seraya melongok mencari keberadaan orang yang ditanya.Bian salah tingkah mendengar pertanyaan Chika. Ia bingung bagaimana cara menjelaskan pada sang anak, jika dia yang sudah menyebabkan Evelyn pergi dari rumah." Bunda lagi balik kampung, Sayang! " Melihat Bian yang tak kunjung menjawab pertanyaan sang anak, Marissa menimpali.Bocah yang sudah duduk dikelas satu SD itu manggut-manggut." Yasudah. Kita makan dulu, yuk? " ajak Marissa. " Ayok, Mas! Tadi aku beli ayam bakar, kita makan bareng, ya? " Marissa segera bangkit dan membawa ayam bakar yang tadi dia beli ke dapur.Dia melenggang dengan santai, seolah dialah sang nyonya rumah itu. Dengan cekatan dia menyiapkan semuanya ke dalam piring masing-masing, dia juga menarik kursi dan meminta Bian agar duduk disana. Bian sendiri merasa sedikit risih dan canggung, sebab Marissa berlaku seperti istri nya saja. Dia juga sempat menolak Marissa yang akan mengambilkan lauk, tapi dengan tak tau malunya perempuan berpakaian seksi itu tetap memaksa.Mau tak mau Bian hanya bisa menuruti, dia menarik piring yang disodorkan Marissa dan mulai menikmati isinya. Meja makan kali ini terdengar ramai, sebab kehadiran Chika yang memang banyak bicara dan ceria itu. Marissa makan dengan senyum yang terkembang, sedang Bian sendiri seperti kehilangan selera makannya, dia masih mengingat Evelyn, apakah perempuan itu sudah tiba dikampung dengan selamat?" Mas? Kamu nggak denger Chika ngomong apa? " suara Marissa menyentak Bian dari pikirannya tentang Evelyn." Eh? A-apa? " tanya Bian tergagap, Marissa menyipitkan mata melihat Bian yang seperti orang linglung." Kamu kenapa? " tanya Marissa yang sudah menyudahi makannya." Aku? Kenapa? " Bian menunjuk dirinya sendiri dengan raut bingung." Iya! Kamu kenapa? Sejak tadi kamu cuma diem aja! Chika ngajak ngomong aja kamu nggak denger, kan? Kamu mikirin apa, mas? " Bian menghela nafas berat, kemudian mendorong piringnya yang belum setengah ia sentuh isinya itu." Aku nggak kenapa-kenapa, " sahut Bian yang membuat Marissa semakin menaruh curiga, jika pikiran Bian mungkin sedang berkelana entah kemana." Chika ngomong apa tadi, sayang? Maaf, ya? Papi lagi sakit kepala, makanya nggak fokus. " ucap Bian." Chika minta besok kamu yang antar jemput dia sekolah, dia pengen seperti teman-temannya. " Bukannya memberi kesempatan sang anak yang menjawab, Marissa malah menimpali.Bian menoleh dan mengerutkan kening." Kenapa? Biasanya juga berangkat sama kamu, kan? " tanya Bian.Marissa baru saja akan menjawab, namun ketukan pintu dan suara dari luar mengurungkan niatnya.Bian langsung bangkit dan berjalan keluar untuk membuka pintu, dan Marissa mengekor dibelakangnya." Siapa ... " Bian kaget begitu pintu ia buka, melihat siapa yang ada disana, begitu pun dengan Marissa yang berdiri dibelakangnya.Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa 8 bulan sudah Marissa dan Chika hidup berdua saja. Saat memilih pergi, dia sengaja memilih tinggal di pinggiran kota. Dengan berbekal uang pemberian Bu Ratih, dia mencari kontrakan dan mulai buka usaha kecil-kecilan. Dia juga melanjutkan bakat merajutnya, ilmu yang dia dapat saat menjadi tahanan dulu. Biasanya dia merajut gantungan kunci, dan akan dijual oleh Chika pada teman-teman sekolahnya. Dia juga menerima orderan untuk orang dewasa, entah itu tas, dompet atau banyak barang lain lagi.Marissa merasa hidupnya jauh lebih tenang sekarang. Dia dan Chika hidup bahagia meski jauh dari kata mewah. Sekarang ia tau, betapa sikap dan perlakuannya dulu amatlah buruk. Selama memilih menjauh, tentu saja kehidupannya tak langsung berjalan mulus. Ada tanjakan, serta jalan yang berliku yang harus ia hadapi. Tapi, berkat kesabaran dan keikhlasannya, semua pun bisa ia hadapi.Kadang dia masih sering teringat tentang Haikal. Bagaimana kabar lelaki itu sekara
Marissa masih saja bergeming ditempatnya. Tak menyangka akan kembali berjumpa dengan wanita itu lagi. Ya, yang dia temui itu adalah Bu Ratih –Mama Haikal."A-anda?" seru Marissa tergagap."Ya! Bagaimana rasanya bisa kembali menghirup udara bebas?" balas Bu Ratih tersenyum."Kenapa anda lakukan ini? Bukankah anda menginginkan saya menjauh dari Haikal, putra anda?" Marissa tak menjawab pertanyaan tadi, melainkan kembali melempar tanya pada wanita itu. Dia hanya merasa heran dengan keputusan Bu Ratih, kenapa dia harus repot-repot membebaskan Marissa?"Justru itu. Saya membebaskan mu, agar kamu bisa pergi menjauh dari kota ini." Jawaban Bu Ratih membuat Marissa tercengang. Apa maksudnya?"Apa maksud anda? Kenapa saya harus pergi dari kota ini?" Marissa tak terima. Dia merasa Bu Ratih sedang berusaha mengatur hidupnya."Haikal tak lama lagi akan menikah. Saya tak ingin dia tiba-tiba bertemu denganmu, kemudian malah menimbulkan lagi benih yang sempat tumbuh. Jadi, tolong menjauh dari kehidu
Dua minggu lebih sudah berlalu sejak hari terakhir Haikal mengunjungi Marissa. Dua hari setelah kunjungan Haikal, Evelyn dan Bian juga sempat datang. Tak ada pembahasan penting selain Chika. Marissa lebih banyak bicara dengan Evelyn, sedang Bian hanya diam menyimak. Marissa meminta maaf sambil menangis. Dia menyesali semuanya. Kebohongan dan pengkhianatan ia saat bersama Bian dulu kembali membayang, mengejarnya hingga menimbulkan sesal yang teramat dalam.Dia juga mengatakan pada Evelyn dan Bian, jika mereka merasa repot harus mengurus Chika, lebih baik tinggalkan di panti asuhan saja, dan akan dia jemput setelah bebas nanti. Namun, Evelyn tentu saja menolak. Dia mengatakan akan mengurus Chika sampai saat itu tiba.Marissa merasa bersyukur karena sang putri berada di lingkungan yang orang-orangnya sangat baik. Padahal jika ingin balas dendam, bisa saja Evelyn membalas lewat Chika, entah itu menyiksanya atau membuangnya.Selama itu tak bertemu Haikal, tentu sangat menyiksa perasaan Ma
Haikal berdiri, dia menatap Marissa serius. Wanita itu malah memalingkan wajah, demi menutupi perasaannya sendiri."Apa aku punya salah?" Suara Haikal terdengar lirih, dan itu makin menambah sakit di hati Marissa. Wanita itu menggeleng cepat, tapi tak juga menatap Haikal."Tatap aku, Ris! Kenapa kamu berubah tiba-tiba begini? Aku salah apa?" Haikal mendekat dan mencengkram kuat kedua bahu Marissa, hingga wanita itu meringis pelan."Jawab, Ris! Jangan hanya diam. Aku butuh kepastian darimu. Aku butuh alasan yang menurutku masuk akal. Coba katakan, apa alasanmu?" Lagi, Haikal kembali menekankan suaranya. Dada lelaki itu terasa berdenyut."Aku harus jelaskan apa lagi? Sudah kukatakan, aku tak bisa membalas rasamu. Apalagi yang ingin kamu dengar?" balas Marissa memberanikan diri menatap Haikal."Aku tau kamu sedang bercanda, kan? Kamu nggak ingat dengan janjiku? Kita akan bersama, Ris. Jangan begini," kata Haikal. Nada bicaranya kembali melembut. Dia menatap Marissa dengan wajah memelas,
Wanita paruh baya yang terlihat cantik dengan penampilan yang elegan itu menatap Marissa dari ujung kaki hingga ujung rambut. Mendapat tatapan seperti itu tentu saja membuat Marissa risih, dia segera menunduk demi menghindari tatapan tajam dari wanita didepannya."Kamu yang bernama Marissa?" tanya wanita itu datar. Marissa hanya menoleh sekilas kemudian kembali menunduk setelah menganggukkan kepalanya."Duduklah. Saya ingin bicara," perintah wanita itu. Tanpa menunggu dua kali, Marissa langsung mengambil posisi dengan duduk didepan wanita itu."Sebelumnya perkenalkan dulu, saya Ratih Mamanya ... Haikal." Wanita bernama Ratih itu memperkenalkan dirinya. Marissa tercengang, kepala yang tadi menunduk langsung terangkat begitu mengetahui siapa wanita didepannya.Tak tau harus bereaksi seperti apa. Marissa tak menyangka saja jika ia akan kedatangan tamu tak diduga seperti ini. Apa tujuan Bu Ratih kesana? Apa ... Haikal sudah memberitahu Mamanya tentang Marissa?"Kau mengenalnya, Bukan? Mak
"Jangan ngomong gitu, Mas! Kamu ini ingin menerka-nerka takdir?" kesal Evelyn."Bukan begitu, Lyn. Tapi--coba kamu pikir, kita sudah setahun lebih menikah, tapi sampai sekarang kamu belum hamil juga. Mas rasa--memang Mas yang bermasalah," kata lelaki itu."Gimana kalau kebalikannya? Gimana kalau aku yang ternyata nggak bisa mengandung anakmu?" Bian langsung menatap istrinya, kepalanya menggeleng tak setuju."Tidak. Mas yakin bukan kamu yang bermasalah, Yank. Dari masalah ini saja sudah terbukti," sangkal Bian."Terus, kalau memang kamu yang bermasalah, kamu mau apa, Mas? Mau drama dan meminta aku meninggalkanmu dan mencari laki-laki yang bisa memberiku keturunan, begitu?" ketus Evelyn. Dia merasa kesal dengan suaminya."Eh-- tentu aja enggak, Yank! Kamu pikir Mas mau berpisah denganmu lagi, gitu? Nggak, nggak! Mas nggak mau!" "Anak itu titipan, rezeki yang Allah beri. Sewaktu-waktu kita bisa saja diberi kepercayaan oleh Allah, yang penting kita harus selalu berdo'a. Jika Allah belum