" Elyn ... " panggilan sayang dari Bian menyentaknya kembali dari ingatan beberapa minggu lalu.
" Mohon pengertiannya, Chika meminta agar kami kembali mengasuhnya bersama-sama, dia masih terlalu dini untuk memahami kenapa kedua orangtuanya tinggal terpisah, dan kenapa dia harus memiliki dua ... Ibu. " Alasan yang tak masuk akal bagi Evelyn. Perempuan itu mendesah pelan kemudian tersenyum sinis." Bukankah dulu kamu pernah bilang? Jika Chika mempertanyakan hal itu, maka itu jadi tanggung jawabmu dan Marissa untuk menjelaskannya? " Tak ada embel-embel 'Mbak' lagi yang Evelyn sematkan untuk mantan istri suaminya itu." I-iya. Tapi ... Kami bingung cara menjelaskannya, " sahut Bian dengan cemas." Kenapa harus bingung? Tinggal jelaskan! Antara kamu dan Marissa sudah usai! Mungkin dia memang masih terlalu kecil untuk memahami ini, tapi jika kita selalu memberi pengertian padanya, bukankah dia akan paham juga? " tegas Evelyn.Lelaki didepannya mendongak sebentar, baru kali ini Evelyn berani bicara tegas dengan nada keras seperti itu padanya. Evelyn yang biasa dia kenal dengan kelembutan hatinya mendadak berubah sekarang.Bian menghirup nafas dalam sebelum kembali berbicara, dia bingung bagaimana mengungkapkan alasan sebenarnya pada sang istri." Nggak segampang itu, Lyn! " sahutnya frustasi. Evelyn mencebik melihat Bian yang seperti kehilangan akal saat bicara dengannya." Sebenarnya ... Chika ingin punya ... Adik, Lyn! " Evelyn tertawa sumbang mendengar ucapan Bian." Dan aku yang jadi korbannya? " sahut Evelyn sambil terkekeh pelan.Perempuan itu tersenyum miris, merasa selama satu tahun pernikahan mereka dia seperti sedang dipermainkan oleh suami serta mantan istrinya. Bagaimana bisa mereka berpikir sedangkal itu?" Sebenarnya ini hanya akal-akalan kalian saja, kan? Kalian ingin kembali merajut cinta yang pernah putus, tapi menganggap aku sebagai penghalang ... " Hati perempuan itu bergetar saat mengucapkan kalimat itu. " Baiklah ... Sekarang kita sudah usai, Mas! Kamu bisa kembali bebas, kalian bisa mewujudkan impian Chika. Dia ingin punya adik, bukan? Lakukanlah ... Semoga kalian bahagia, " Ada gerimis dihatinya begitu ucapan itu keluar dari bibir tipisnya. Namun dia tetap berusaha tegar, dia tak ingin Bian menganggapnya lemah hanya karena perpisahan ini.Lidah Bian mendadak kelu, tenggorokannya seperti tercekat saat mendengar kenyataan bahwa antara dia dan Evelyn sudah berakhir. Ada ribuan penyesalan dalam hatinya, apalagi mengingat pelayanan yang diberi sang istri selama ini. Segala keperluan Bian dia yang mengurus, dari ujung kaki hingga ujung rambut. Hampir tak ada kekurangan yang dia lihat dari diri Evelyn, hanya satu keinginannya yang belum bisa perempuan cantik itu berikan, Anak.Setelah mengucapkan itu, Evelyn beranjak ke kamar dan mengeluarkan koper. Biasanya mereka baru akan menggunakan koper jika sedang ingin liburan, atau jika Bian akan berangkat ke luar kota untuk pekerjaan. Namun, hari ini berbeda, koper dia keluarkan untuk mengisi pakaiannya sendiri." Elyn ... kamu mau kemana? " Ternyata Bian mengikuti langkah Evelyn hingga ke kamar." Aku akan pergi dari sini, Mas! " ucap Evelyn sembari menahan laju air mata." Jangan ... Rumah ini milikmu, aku yang akan pergi. Kamu tetap lah disini, " Ada perih dihati Evelyn mendengar ucapan pergi dari mulut Bian. Bagaimana pun dia berusaha tegar, nyatanya tetap saja hatinya merasa sakit saat ini." Kamu pikir dengan aku tetap disini tidak menyakiti hatiku? Setahun terakhir ini terlalu indah untuk aku lupakan, Mas ... Jadi, biarkan aku pergi! " Ternyata perempuan itu tak mampu menyembunyikan sakitnya terlalu lama. Airmata yang sedari tadi ia tahan agar tak keluar gagal sudah. Pipi putihnya dibanjiri oleh air mata kepedihan, dia segera menyeka dan menarik nafas dalam-dalam untuk mengusir sesak didadanya." Jangan buat aku semakin merasa bersalah, Lyn! " Ada ribuan penyesalan dalam ucapannya kali ini." Tak perlu kamu merasa begitu, Mas! " ucap Evelyn sambil terus mengemas pakaian nya ke dalam koper.Bian hanya bisa menatap punggung wanita yang sudah menemani nya dalam satu tahun ini.Evelyn selesai mengemas semua barangnya, dia hanya membawa apa yang dia bawa saat pertama kali datang dulu. Semua perhiasan yang pernah Bian belikan dia taruh diatas meja rias, begitu pun dengan cincin nikah mereka. Dia melepas cincin berlian yang selama ini menghiasi jari manisnya dengan berat hati. Bukan perkara harganya, tapi alasan mengapa cincin itu berada dijarinya yang membuat Evelyn merasa sedih saat melepasnya. Kini semua sudah berakhir, kata talak sudah terucap." Lyn! Apa maksudmu dengan meninggalkan semua perhiasan serta kartu-kartu itu? Semua itu milikmu ... Ambil dan bawalah ... " ucap Bian penuh permohonan." Tidak, Mas! Semua perhiasan kamu beli dengan uangmu. Dan kartu-kartu itu berisi uang nafkahku selama ini, sekarang aku tak punya hak lagi dengan kartu itu. Kamu tak perlu lagi memberiku nafkah, terlebih lagi diantara kita tidak memiliki ikatan kuat seperti antara kamu dan Marissa, " Evelyn langsung menarik koper setelah mengucapkan kalimat itu. Dia melewati Bian yang terus menunduk sejak tadi.Bian menarik lengan perempuan yang sesungguhnya masih ia cintai itu." Lepas, Mas! Ingat! Kamu sudah menjatuhkan talak padaku, " ucap Evelyn dengan menyentak tangannya dari Bian." M-maaf ... Aku cuma mau bilang, tetaplah disini. Biarkan aku yang keluar, " ucap Bian dengan wajah memelas.Lelaki itu merasa sangat berdosa jika harus membiarkan perempuan itu keluar dari rumah yang seharusnya menjadi miliknya. Meski pun hari masih sore, tetap saja dia akan dipandang buruk oleh orang-orang." Lantas kamu akan menginap dimana? Dirumah Marissa? " tembak Evelyn. Bian tertegun mendengar ucapan Evelyn yang begitu menohok." Sudahlah, Mas! Biarkan aku pergi, kamu tidak perlu merasa bersalah. Bukan kamu yang mengusirku, tapi aku sendiri yang ingin pergi. " Evelyn terus menarik koper dan melangkahkan kaki keluar.Taksi online yang dia pesan tadi sudah menunggu diluar, lelaki paruh baya yang merupakan sang sopir bergegas menyambut koper yang ditarik Evelyn, kemudian menaruhnya di bagasi mobil. Dengan berat hati Evelyn membuka pintu mobil dan duduk disana tanpa menoleh sedikitpun kearah Bian yang sejak tadi mengikutinya. Lelaki itu hanya bisa menatap nanar pada mobil yang perlahan mulai melaju meninggalkan halaman rumah mereka." Rin, aku sedang dijalan mau kesana, jangan lupa kasih tau Ibu, ya? " Evelyn menghubungi Karina, sahabatnya." Beneran? Aaa ... Aku kangen banget! Yaudah aku kasih tau ibu dulu, sekalian beberes kamar, " Evelyn tersenyum getir mendengar sambutan antusias dari Karina.Dia segera mematikan ponsel setelah memberitahu sang sahabat tentang kepulangan nya. Baru saja Evelyn menyandarkan tubuh, ponselnya kembali berdering.Ting ...[ Bagaimana rasanya dicampakkan? Bukankah sudah kubilang? Mas Bian tidak benar-benar mencintaimu. Lihat! Hanya mengandalkan Chika saja mampu membuatnya melepaskan mu, kan? ]Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa 8 bulan sudah Marissa dan Chika hidup berdua saja. Saat memilih pergi, dia sengaja memilih tinggal di pinggiran kota. Dengan berbekal uang pemberian Bu Ratih, dia mencari kontrakan dan mulai buka usaha kecil-kecilan. Dia juga melanjutkan bakat merajutnya, ilmu yang dia dapat saat menjadi tahanan dulu. Biasanya dia merajut gantungan kunci, dan akan dijual oleh Chika pada teman-teman sekolahnya. Dia juga menerima orderan untuk orang dewasa, entah itu tas, dompet atau banyak barang lain lagi.Marissa merasa hidupnya jauh lebih tenang sekarang. Dia dan Chika hidup bahagia meski jauh dari kata mewah. Sekarang ia tau, betapa sikap dan perlakuannya dulu amatlah buruk. Selama memilih menjauh, tentu saja kehidupannya tak langsung berjalan mulus. Ada tanjakan, serta jalan yang berliku yang harus ia hadapi. Tapi, berkat kesabaran dan keikhlasannya, semua pun bisa ia hadapi.Kadang dia masih sering teringat tentang Haikal. Bagaimana kabar lelaki itu sekara
Marissa masih saja bergeming ditempatnya. Tak menyangka akan kembali berjumpa dengan wanita itu lagi. Ya, yang dia temui itu adalah Bu Ratih –Mama Haikal."A-anda?" seru Marissa tergagap."Ya! Bagaimana rasanya bisa kembali menghirup udara bebas?" balas Bu Ratih tersenyum."Kenapa anda lakukan ini? Bukankah anda menginginkan saya menjauh dari Haikal, putra anda?" Marissa tak menjawab pertanyaan tadi, melainkan kembali melempar tanya pada wanita itu. Dia hanya merasa heran dengan keputusan Bu Ratih, kenapa dia harus repot-repot membebaskan Marissa?"Justru itu. Saya membebaskan mu, agar kamu bisa pergi menjauh dari kota ini." Jawaban Bu Ratih membuat Marissa tercengang. Apa maksudnya?"Apa maksud anda? Kenapa saya harus pergi dari kota ini?" Marissa tak terima. Dia merasa Bu Ratih sedang berusaha mengatur hidupnya."Haikal tak lama lagi akan menikah. Saya tak ingin dia tiba-tiba bertemu denganmu, kemudian malah menimbulkan lagi benih yang sempat tumbuh. Jadi, tolong menjauh dari kehidu
Dua minggu lebih sudah berlalu sejak hari terakhir Haikal mengunjungi Marissa. Dua hari setelah kunjungan Haikal, Evelyn dan Bian juga sempat datang. Tak ada pembahasan penting selain Chika. Marissa lebih banyak bicara dengan Evelyn, sedang Bian hanya diam menyimak. Marissa meminta maaf sambil menangis. Dia menyesali semuanya. Kebohongan dan pengkhianatan ia saat bersama Bian dulu kembali membayang, mengejarnya hingga menimbulkan sesal yang teramat dalam.Dia juga mengatakan pada Evelyn dan Bian, jika mereka merasa repot harus mengurus Chika, lebih baik tinggalkan di panti asuhan saja, dan akan dia jemput setelah bebas nanti. Namun, Evelyn tentu saja menolak. Dia mengatakan akan mengurus Chika sampai saat itu tiba.Marissa merasa bersyukur karena sang putri berada di lingkungan yang orang-orangnya sangat baik. Padahal jika ingin balas dendam, bisa saja Evelyn membalas lewat Chika, entah itu menyiksanya atau membuangnya.Selama itu tak bertemu Haikal, tentu sangat menyiksa perasaan Ma
Haikal berdiri, dia menatap Marissa serius. Wanita itu malah memalingkan wajah, demi menutupi perasaannya sendiri."Apa aku punya salah?" Suara Haikal terdengar lirih, dan itu makin menambah sakit di hati Marissa. Wanita itu menggeleng cepat, tapi tak juga menatap Haikal."Tatap aku, Ris! Kenapa kamu berubah tiba-tiba begini? Aku salah apa?" Haikal mendekat dan mencengkram kuat kedua bahu Marissa, hingga wanita itu meringis pelan."Jawab, Ris! Jangan hanya diam. Aku butuh kepastian darimu. Aku butuh alasan yang menurutku masuk akal. Coba katakan, apa alasanmu?" Lagi, Haikal kembali menekankan suaranya. Dada lelaki itu terasa berdenyut."Aku harus jelaskan apa lagi? Sudah kukatakan, aku tak bisa membalas rasamu. Apalagi yang ingin kamu dengar?" balas Marissa memberanikan diri menatap Haikal."Aku tau kamu sedang bercanda, kan? Kamu nggak ingat dengan janjiku? Kita akan bersama, Ris. Jangan begini," kata Haikal. Nada bicaranya kembali melembut. Dia menatap Marissa dengan wajah memelas,
Wanita paruh baya yang terlihat cantik dengan penampilan yang elegan itu menatap Marissa dari ujung kaki hingga ujung rambut. Mendapat tatapan seperti itu tentu saja membuat Marissa risih, dia segera menunduk demi menghindari tatapan tajam dari wanita didepannya."Kamu yang bernama Marissa?" tanya wanita itu datar. Marissa hanya menoleh sekilas kemudian kembali menunduk setelah menganggukkan kepalanya."Duduklah. Saya ingin bicara," perintah wanita itu. Tanpa menunggu dua kali, Marissa langsung mengambil posisi dengan duduk didepan wanita itu."Sebelumnya perkenalkan dulu, saya Ratih Mamanya ... Haikal." Wanita bernama Ratih itu memperkenalkan dirinya. Marissa tercengang, kepala yang tadi menunduk langsung terangkat begitu mengetahui siapa wanita didepannya.Tak tau harus bereaksi seperti apa. Marissa tak menyangka saja jika ia akan kedatangan tamu tak diduga seperti ini. Apa tujuan Bu Ratih kesana? Apa ... Haikal sudah memberitahu Mamanya tentang Marissa?"Kau mengenalnya, Bukan? Mak
"Jangan ngomong gitu, Mas! Kamu ini ingin menerka-nerka takdir?" kesal Evelyn."Bukan begitu, Lyn. Tapi--coba kamu pikir, kita sudah setahun lebih menikah, tapi sampai sekarang kamu belum hamil juga. Mas rasa--memang Mas yang bermasalah," kata lelaki itu."Gimana kalau kebalikannya? Gimana kalau aku yang ternyata nggak bisa mengandung anakmu?" Bian langsung menatap istrinya, kepalanya menggeleng tak setuju."Tidak. Mas yakin bukan kamu yang bermasalah, Yank. Dari masalah ini saja sudah terbukti," sangkal Bian."Terus, kalau memang kamu yang bermasalah, kamu mau apa, Mas? Mau drama dan meminta aku meninggalkanmu dan mencari laki-laki yang bisa memberiku keturunan, begitu?" ketus Evelyn. Dia merasa kesal dengan suaminya."Eh-- tentu aja enggak, Yank! Kamu pikir Mas mau berpisah denganmu lagi, gitu? Nggak, nggak! Mas nggak mau!" "Anak itu titipan, rezeki yang Allah beri. Sewaktu-waktu kita bisa saja diberi kepercayaan oleh Allah, yang penting kita harus selalu berdo'a. Jika Allah belum