“Oliver, aku mohon.” Suara Yara kini terdengar serak, hampir seperti bisikan. Ia berdiri tertatih-tatih, bersandar pada pintu yang dingin. “Aku nggak bisa seperti ini terus. Aku bukan Zara... aku nggak bisa menjadi dirinya....”
Langkah kaki terdengar mendekat dari luar. Jantung Yara berdegup kencang. Pintu tidak terbuka, tetapi suara Oliver akhirnya terdengar, rendah dan dingin. “Kamu harus belajar, Yara. Kamu adalah pengganti Zara. Kamu tahu itu sejak awal.”
Yara tertegun, air matanya mengalir tanpa bisa ia hentikan. Pengganti Zara. Itulah dia di mata Oliver. Bukan dirinya sendiri. Hanya bayang-bayang dari seseorang yang telah pergi.
“Aku bukan Zara!” teriak Yara dengan seluruh tenaga yang tersisa. “Aku nggak akan pernah jadi dia, Oliver! Aku adalah aku! Kalau kamu nggak bisa terima itu, biarkan aku pergi!”
Ini hari ketiga Yara dikurung di kamar itu—kamar yang dulunya milik Zara, saudari kembarnya sekaligus mendiang istri Oliver. Oliver bersikeras Yara harus tinggal di sini, mengenakan pakaian Zara, menggunakan barang-barangnya, bahkan tidur di ranjang yang sama.
Ruangannya luas, megah, namun dingin. Tiap sudut kamar memancarkan aroma masa lalu. Di cermin, di lemari, bahkan di aroma parfum yang tercium samar di udara.
Mata Yara menatap lurus ke arah pintu yang terkunci rapat. Berkali-kali ia mencoba mengetuk pintu, memanggil nama Oliver dengan nada penuh harap dan amarah.
Yara memeluk dirinya sendiri, mencoba melawan dinginnya udara yang seolah menelusup hingga ke tulang. Perutnya sudah mulai terasa kosong, tetapi ia menolak makan atau minum apapun yang dikirim Oliver ke kamar ini.
Jika ini adalah caramu menghukumku, Oliver, kamu berhasil, pikirnya getir.
“Baiklah. Kalau kamu nggak mau mengikuti kemauanku, aku akan menghentikan pengobatan ibumu!” ujar Oliver dengan suara dingin di luar sana, membuat Yara terhenyak.
“Jangan...,” bisik Yara dengan suara parau. “Kumohon jangan hentikan pengobatan ibuku.”
Keheningan lagi. Yara berharap Oliver akan membuka pintu kali ini, tapi yang terdengar hanya langkah kaki Oliver yang menjauh.
Air mata Yara mulai jatuh. Ia berjalan kembali ke ranjang, duduk dengan lemas, memandangi piring makanan yang tak ia sentuh sejak pagi. Lapar mulai menggerogoti tubuhnya, tetapi rasa perih di hatinya jauh lebih besar daripada rasa kosong di perutnya.
Waktu berlalu dengan lambat. Mata Yara mulai berat, tubuhnya terasa lemah. Ia mencoba berdiri, tetapi pandangannya berkunang-kunang.
“Oliver...,” bisiknya lemah, sebelum tubuhnya ambruk ke lantai.
***
Seorang wanita berseragam merah marun adalah pemandangan pertama yang Yara dapati begitu ia membuka mata. Kepala Yara terasa pening. Dan dalam sekejap, begitu matanya mengedar ke sekeliling ruangan, ia sadar bahwa saat ini ia berada di rumah sakit.
“Mbak Yara sudah bangun? Bagaimana perasaannya sekarang? Perutnya masih sakit?” tanya wanita berseragam itu sambil melanjutkan pekerjaannya mengganti botol infus. “Suster?” tanya Yara dengan suara serak alih-alih menjawab pertanyaan perawat barusan, ia masih bingung dengan keadaan yang dialaminya. “Kenapa saya bisa ada di sini?” Perawat itu menatap Yara dengan pandangan prihatin. “Mbak Yara pingsan karena kelelahan dan dehidrasi akibat tidak makan dan minum selama tiga hari.” Yara mencoba mencerna penjelasan itu, tapi pikirannya terasa berat. Tentu saja ia ingat bahwa Oliver mengurungnya di kamar Zara. Tiga hari yang penuh dengan kesunyian dan rasa hampa, hingga tubuhnya tak lagi kuat menahan beban emosional maupun fisik. Memori pernikahannya dengan Oliver yang baru berjalan empat hari yang lalu terputar kembali di benak Yara. Hari-hari yang seharusnya menjadi awal bahagia malah berubah menjadi mimpi buruk. Oliver, pria berusia 30 tahun yang kejam kepada Yara itu adalah mantan suami Zara—yang sudah meninggal dunia enam bulan lalu. Yara dan Zara merupakan saudara kembar identik. Oliver belum bisa melupakan Zara, hingga pria itu menikahi Yara demi egonya. Sementara Yara terpaksa menerima Oliver karena ia butuh biaya pengobatan ibunya yang sakit kanker, juga demi Zio—anak Oliver dan Zara, yang berusia 2 tahun dan membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Yara tidak pernah menyangka bahwa Oliver akan memaksanya menjadi bayang-bayang Zara. Oliver memaksa Yara untuk bersikap dan berpenampilan seperti Zara. Yara sempat menolak, lalu Oliver marah dan mengurungnya di kamar Zara supaya Yara dapat belajar bagaimana menjadi Zara. “Siapa yang membawa saya ke sini, Suster?” tanya Yara setelah ia keluar dari lamunannya. “Apa Oliver—maksud saya suami saya, yang membawa saya ke sini? Lalu di mana dia sekarang?” “Pak Oliver nggak datang kemari. Dan yang mengantar Mbak Yara ke sini adalah Pak Lucas.” Yara tercenung. Mendengar nama Oliver disebut, hati Yara kembali terguncang. Ia tak tahu harus merasa marah atau sedih mendengar bahwa Oliver sama sekali tidak memperdulikannya. Selepas kepergian perawat, tiba-tiba Yara teringat dengan ucapan terakhir Oliver yang ia dengar sebelum pingsan tadi malam. ‘Baiklah, kalau kamu nggak mau mengikuti kemauanku, aku akan menghentikan biaya pengobatan ibumu.’ Suara bariton pria itu masih terngiang jelas di telinga Yara, membuat tubuh Yara seketika menegang dan semakin pucat. Yara memaksakan dirinya bangkit dari tempat tidur dan mengabaikan pening di kepala. Ia turun dan hendak berlari, lalu memekik saat merasakan sakit di punggung tangan karena jarum infus yang tertarik. ‘Aku harus menemui Oliver sekarang juga!’ batin Yara sambil mencabut jarum infusan dari punggung tangannya. Ia khawatir Oliver telah membatalkan biaya pengobatan untuk ibunya. Jika itu terjadi, Yara tidak bisa memaafkan diri sendiri, karena ibunya adalah segalanya baginya. Dengan masih mengenakan seragam pasien, Yara setengah berlari keluar dari rumah sakit dan mengabaikan rasa sakit di tangan, juga seruan para perawat yang melarangnya pergi. Di depan lobi ia menghentikan taksi, lalu naik dan berkata, “Ke New Pacific Group ya, Pak?” Sang sopir mengangguk. Sebagian besar orang di kota ini, atau mungkin di negeri ini, tidak ada yang tidak tahu New Pacific Group. Perusahaan raksasa yang telah memiliki cabang di banyak kota itu adalah milik keluarga Oliver, yang kini dipimpin olehnya. Taksi berhenti di depan lobi sebuah gedung pencakar langit. Melihat argometer, Yara seketika sadar bahwa ia tidak membawa apapun termasuk uang. Akhirnya, dengan mengesampingkan rasa malu, Yara meminjam sejumlah uang pada satpam yang berjaga di pintu lobi. Sang satpam terkejut melihat Yara, karena siapapun tahu bahwa istri sang bos telah meninggal dunia, tapi kini ada di hadapannya. “Saya mau ketemu Oliver,” kata Yara setelah ia membayar taksi dan masuk ke lobi. “Di mana dia sekarang?” Satpam itu terlihat masih kaget. Yara bisa membaca keterkejutan di wajah lelaki itu. Ia buru-buru berkata, “Saya bukan Zara, tapi kembarannya, kalau-kalau Bapak kaget melihat saya.” “Ah, begitu.” Satpam akhirnya tersenyum ramah. “Saya baru tahu kalau Nyonya Zara memiliki kembaran. Tunggu sebentar, saya akan mengonfirmasi apakah Tuan Oliver ada di ruangannya atau tidak.” Satpam mendekati resepsionis dan berbicara dengannya. Resepsionis wanita itu kemudian menelepon seseorang, mungkin sekretaris Oliver, pikir Yara. Yara duduk di sofa lobi sambil menghiraukan tatapan orang-orang yang menatapnya dengan pandangan tak percaya. Yara tidak heran jika tidak banyak orang yang tahu bahwa Zara memiliki kembaran. Karena selama ini Yara jarang berada di Indonesia. Satpam menghampiri Yara, mempersilahkannya bertemu dengan Oliver dan memberinya petunjuk di mana letak ruangan sang CEO. Yara bergegas menumpangi lift menuju lantai 23. Wanda, sekretaris Oliver, menyambutnya dengan tatapan yang hampir sama dengan satpam tadi. Namun Wanda lebih khawatir dengan kondisi Yara yang mengenakan seragam pasien dan wajah pucat. Ia lebih kaget lagi saat melihat punggung tangan kiri Yara yang berdarah. “Aku ingin ketemu Oliver. Sekarang,” kata Yara, tegas tapi ramah. Ketergesa-gesaan Yara membuat Wanda akhirnya membawanya masuk ke ruangan sang CEO. Yara melihat seorang pria berjas hitam sedang fokus pada laptop di hadapannya, duduk di kursi kebesarannya yang membelakangi dinding kaca. Ruangan beraroma woody itu tampak luas tapi dingin. “Tuan, Nona Yara sudah datang,” kata Wanda, membuat kepala Oliver langsung mendongak dan menutup laptop. Yara berdiri kaku di hadapan pria itu yang kini tengah menatapnya. Yara bisa melihat keterkejutan yang tergambar di wajah Oliver, saat pria itu menatap tubuh Yara dari atas sampai bawah. “Baik. Kamu boleh keluar,” katanya pada Wanda, tanpa mengalihkan tatapannya dari Yara. Rahang Oliver mengeras. “Ada apa? Bukankah seharusnya kamu berada di rumah sakit?” tanya Oliver dengan suara dingin. “Sekarang, kenapa kamu ke sini dengan berpenampilan seperti itu dan—“ “Aku mau menjadi Zara seperti yang kamu mau!” ***“Siapa yang kirim bunga untuk Airell?!” seru Oliver dengan galak saat ia mendengar Lisa berbicara dengan kurir yang mengantarkan seikat bunga mawar merah dan menyebut-nyebut nama Airell.Oliver kemudian merebut seikat bunga itu dari tangan Lisa dan membaca pesan yang tertulis dalam secarik kertas.‘Bunga ini memang cantik, tapi kalah cantik sama kamu, Airell. —Ben—‘“Ben? Siapa Ben?” geram Oliver. Berani-beraninya bocah ingusan bernama Ben itu menggombali Airell!“Kenapa, Sayang?” tanya Yara yang baru saja menghampiri suaminya dengan kening berkerut.Oliver menunjukkan bunga itu. “Lihat, Sayang. Ada yang kirim bunga buat Airell. Namanya Ben. Astaga, anak jaman sekarang, pipis aja belum lurus tapi sudah berani menggombali anak orang!”“Hush!” Yara memukul pelan lengan Oliver. “Airell sudah remaja, lho. Kamu lupa?”Justru karena sudah remaja, Oliver jadi semakin protektif pada Airell, begitu pula pada Avery yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar.Oliver hendak membuang bunga itu ke te
“Sayang, kita mau nambah anak lagi nggak?”“Nggak!” jawab Yara galak. “Tiga aja cukup.”Oliver terkekeh di seberang sana. “Kali aja mau. Aku siap, kok. Kalau aku pulang nanti aku siap nambah anak lagi.”“Idih! Itu sih maunya kamu.” Yara memutar bola matanya malas, lalu ikut tertawa saat Oliver tertawa di ujung telepon.“Kamu nggak tanya kapan aku pulang, gitu? Atau maksa aku pulang?” Suara Oliver terdengar menggoda.“Memangnya kenapa? Kan sudah jelas kamu akan pulang tiga hari lagi.”Yara bangkit dari kursi kerja suaminya. Walaupun sebenarnya ia rindu pada Oliver setelah LDR hampir satu minggu. Namun Yara terlalu gengsi untuk mengakui dan memaksa Oliver pulang. Ia bahkan sering duduk di kursi kerja Oliver demi mengobati rasa rindunya pada pria itu.“Paksa aku pulang, kek. Aku kangen kamu dan anak-anak. Tapi pekerjaan di sini belum selesai.” Oliver terdengar menghela napas panjang. Saat ini ia sedang berada di luar kota untuk perjalanan kantor.Belum sempat Yara menanggapi ucapan suami
Oliver duduk dengan punggung tegak di atas sunbed, netra hitam di balik kacamata hitamnya memperhatikan Yara yang sedang mengajari Avery berjalan tanpa alas kaki di atas pasir pantai. Deburan ombak sesekali terdengar dari kejauhan, diiringi bunyi sekawanan burung camar yang sesekali melintas di udara. “Sial! Apa yang laki-laki itu lakukan?” desis Oliver pada dirinya sendiri saat melihat seorang lelaki tak dikenal menghampiri Yara dan mengajaknya mengobrol. Tidak bisa dibiarkan. Detik itu juga Oliver berdiri, dan sempat bicara pada si kembar Arthur dan Airell yang tengah bermain pasir di sebelahnya, “Arthur, Airell, tunggu di sini sebentar.” Oliver bergegas menghampiri Yara setelah mendapat anggukkan dari kedua anaknya. “Maaf, ada kepentingan apa Anda dengan istri saya?” tanya Oliver pada lelaki itu tanpa basa-basi sambil menekankan kata ‘istri saya’. Lelaki yang hanya mengenakan celana selutut itu tersenyum canggung dan tampak terintimidasi oleh tatapan tajam Oliver. “Oh, t
“Kak Zio!”“Yeay! Kak Zio datang! Aku kangen Kak Zio!”Arthur dan Airell berlari menghampiri Zio. Zio berjongkok, merentangkan kedua tangan dan memeluk si kembar secara bersamaan.“Aku juga kangen kalian,” ucap Zio sambil tertawa bahagia.Arthur yang pertama kali melepaskan diri dari pelukan itu. “Kak Zio, ayo lihat adik aku. Avery cantik, lho!”Mendengar ucapan Arthur, Airell pun cemberut. “Memangnya aku tidak cantik?”“Cantik, sih. Tapi sedikit.” Arthur tertawa jahil.“Arthur...!” rengek Airell dengan bibir yang semakin memberengut.Zio tersenyum dan menggenggam tangan Airell. “Kamu cantik, Airell. Nggak ada yang ngalahin cantiknya kamu.”Mata Airell seketika berbinar-binar. “Sungguh?”“Hm! Aku serius.” Zio mengangguk. “Kalau begitu ayo kita lihat Avery. Di mana dia sekarang?”Airell tersenyum ceria, ia menarik tangan Zio sambil berkata, “Avery lagi sama Daddy. Ayo!”Melihat interaksi mereka bertiga, Yara pun tersenyum penuh haru. Tak bisa dipungkiri bahwa ia pun merindukan Zio.“Zi
“Oliver, kamu baik-baik saja?” Marshall menelengkan kepala, menatap wajah sepupunya yang terdapat lingkaran hitam di bawah matanya. “Kamu sepertinya kurang tidur.”Oliver mengembuskan napas panjang. Ia duduk dengan tegap di sofa, tepat di hadapan Marshall. “Menurutmu aku bisa tidur nyenyak? Setiap malam Avery selalu bangun dan saat siang dia tidur nyenyak.”Avery William adalah nama untuk anak ke tiga Yara dan Oliver. Nama itu Oliver sendiri yang memberikannya.Mendengar keluhan Oliver, Marshall tertawa puas. “Gimana dengan Yara?”“Aku membiarkan dia tidur kalau malam. Lagian Avery selalu ingin bersamaku. Seolah-olah dia tahu kalau dulu ayahnya nggak menemani kakak-kakak dia waktu masih bayi.” Oliver tersenyum kecil, hatinya berdenyut nyeri kala membayangkan Yara melewati masa-masa mengurus bayi kembar sendirian.“Mengurus satu bayi saja sudah repot, apalagi dua,” timpal Marshall, “kamu tahu maksudku?”Oliver mengembuskan napas. “Aku tahu. Kamu nggak perlu menambah rasa bersalahku kar
Oliver terduduk lemas di kursi yang ada di koridor rumah sakit. Wajahnya pucat pasi. Rambutnya acak-acakan. Dan kedua lengannya tampak merah, dipenuhi bekas gigitan dan cakaran. Oliver melamun. Seakan-akan sibuk dengan dunianya sendiri, hingga Oliver mengabaikan keadaan di sekitarnya.Jingga keluar dari ruangan bersalin. Ia prihatin melihat kondisi Oliver yang tampak terguncang. Lalu menghampirinya.“Oliver, kenapa kamu diam di sini? Yara dan bayi kalian menunggu di dalam,” ucap Jingga dengan lembut.Ya, Yara sudah melahirkan beberapa saat yang lalu ditemani Oliver. Setelah bayinya berhasil dilahirkan dengan selamat dan sempurna, Oliver pun keluar dari ruangan itu dan duduk termenung sendirian.“Oliver...,” panggil Jingga saat Oliver tidak merespons ucapannya.Oliver tetap bergeming. Melamun dengan tangan gemetar.Jingga menghela napas panjang. Ia duduk di samping putranya, lalu menggenggam tangannya yang terasa dingin.Saat itulah Oliver keluar dari lamunannya dan menatap Jingga deng