“Aku mau menjadi Zara seperti yang kamu mau,
tapi aku mohon jangan hentikan biaya pengobatan ibuku. Dan selain itu... aku punya permintaan lain.” Keterkejutan kembali tergambar di wajah Oliver saat mendengar ucapan Yara, tapi hanya sesaat, pria itu pandai menguasai ekspresinya. Ia berdiri, melangkah pelan keluar dari kungkungan meja kerja, bersandar di tepian meja menghadap Yara. “Permintaan?” ulang Oliver dengan ekspresi datar. “Iya.” Yara menjawab cepat. “Aku punya dua permintaan.” Oliver melirik tangan kiri Yara yang tengah saling meremas dengan tangan kanan. Lalu kembali menatap wajahnya. “Baik. Apa permintaanmu?” Yara menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. “Aku akan berpenampilan dan bersikap seperti Zara saat di hadapanmu, seperti yang kamu mau.” Ia tahu, keputusannya ini akan membuatnya menderita karena harus menjadi bayangan seseorang di mata suaminya sendiri. “Tapi beri aku ruangan khusus untukku, bukan ruangan Zara,” lanjut Yara, menyuarakan permintaannya. “Dan berikan aku kebebasan untuk menjadi diri aku sendiri saat aku nggak bersamamu. Jangan khawatir, aku tetap akan merawat Zio dengan baik.” Yara menelan saliva dengan berat. “Itu saja dua permintaan dari aku.” Oliver terdiam sejenak. Lalu, tanpa diduga-duga, pria itu mengangguk sambil berkata, “Baik. Aku akan mengabulkan dua permintaanmu itu.” Ia berdiri tegak, menatap lurus ke arah mata Yara dengan tatapan sulit diartikan. “Aku nggak ada di rumah dari jam delapan pagi sampai jam enam sore. Kadang aku lembur sampai malam. Kamu bisa melakukannya di jam itu.” Mendengar hal tersebut, hati Yara terasa jauh lebih ringan. Setidaknya ia tidak perlu selalu menjadi orang lain. Yara menghela napas lega. “Terima kasih,” gumam Yara, lalu ia menegakkan punggung dan bicara dengan tegas. “Aku berjanji akan menjadi ibu yang baik untuk Zio.” Ini demi Zio, demi ibu, dan demi Zara, lanjut Yara dalam hati. Tak ada jawaban apapun dari Oliver. Pria itu melangkah mendekati interkom, lalu berbicara, “Wanda, bawa kotak P3K ke sini. Sekarang.” Wanda benar-benar sigap. Tak sampai dua menit kemudian, wanita itu masuk sambil membawa apa yang diminta Oliver dan menyerahkannya. Wanda melirik Yara sejenak dan tersenyum ramah, lalu ia melangkah mendekati Oliver. “Tuan, dasi Anda kurang rapi. Biar saya bantu merapikannya.” Yara memperhatikan pemandangan itu dengan perasaan tidak nyaman. Wanda dengan pakaian seksinya tampak tidak canggung saat merapikan dasi Oliver. Seolah-olah itu sudah menjadi kewajiban Wanda sebagai sekretaris Oliver. Mereka berdua sempat mengobrol mengenai pekerjaan dengan akrab sejenak. Melihat kedekatan mereka, Yara jadi berpikir bahwa tidak mungkin Oliver punya hubungan khusus dengan sekretarisnya, bukan? Namun, Yara segera menepis pikiran tersebut. Yang ia tahu, Oliver sangat setia pada Zara. “Sekarang sudah rapi.” Wanda tersenyum manis sambil menurunkan tangannya dari leher Oliver. Mundur dua langkah, mengangguk sopan. “Saya pamit keluar, Tuan.” Oliver hanya mengangguk. Yara memperhatikan wanita cantik itu melenggok dengan anggun keluar dari ruangan CEO. “Duduklah!” perintah Oliver sambil mendaratkan bokongnya di sofa dan membuka kotak P3K. Yara menurut. Ia mengambil posisi di sofa seberang Oliver. Oliver membuang napas kasar. “Duduk di sampingku.” “Oh?” Yara benar-benar tak mengerti apa yang akan dilakukan Oliver. Meski begitu, ia menurut saja apa yang diperintahkan pria itu. Yara duduk di sofa panjang yang diduduki Oliver. Seketika itu juga, Yara terkesiap saat Oliver tiba-tiba meraih tangan kirinya. Dan baru Yara sadari bahwa punggung tangannya itu berdarah, akibat jarum infus yang ia cabut tadi. Tanpa banyak bicara, Oliver membersihkan darah yang mulai mengering dari punggung tangan Yara dengan hati-hati. Yara menatap wajah Oliver yang tengah menunduk, ia merasakan debaran aneh itu hadir kembali di dalam dadanya setelah belasan tahun berlalu. Oliver mengambil plester, lalu dengan perlahan menempelkannya pada luka di tangan Yara. "Sesuai dengan perjanjian kita di awal, aku ingatkan kembali, selama menikah, jangan sampai ada perasaan di antara kita berdua. Kamu tidak boleh jatuh cinta padaku, dan aku pun tidak akan pernah jatuh cinta padamu." Yara menelan saliva dengan berat. Ucapan dan sikap Oliver tersebut membuat Yara tercenung. Oliver melarang Yara jatuh cinta padanya. Tetapi bagaimana bisa Yara tidak jatuh cinta pada Oliver, jika sikapnya seperti ini? Oliver tidak pernah tahu, bahwa Yara sudah jatuh cinta padanya sejak ia masih remaja. Bahkan, Yara yang lebih dulu jatuh cinta pada pria ini ketimbang Zara. Saat Yara tengah menatap Oliver, pria itu tiba-tiba mendongak, membuat tatapan mereka bertemu. Yara terkesiap dan seketika mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Kamu jangan khawatir, aku juga nggak akan jatuh cinta padamu," ujar Yara dengan tenggorokan tercekat. “Bagus. Sekarang bersihkan tubuhmu dan ganti pakaianmu, setelah itu kembalilah ke rumah sakit, kamu belum benar-benar sembuh,” ucap Oliver dengan nada datar. Yara menunduk, menatap penampilannya sendiri. Dan ia kembali tersadarkan bahwa tampilannya saat ini sungguh memalukan. “Ganti pakaian bagaimana? Aku nggak membawa apa-apa ke sini, apalagi pakaian ganti.” Oliver menunjuk sebuah pintu yang berada di dalam ruangannya. “Masuklah ke sana. Di dalam lemari banyak pakaian Zara, pilih saja pakaian manapun yang ingin kamu gunakan,” kata Oliver sambil merapikan kotak P3K. Mendengarnya, Yara kembali tercenung. Benar. Perhatian yang Oliver berikan barusan ia lakukan untuk ‘Zara’, bukan karena khawatir dengan kondisi Yara. Yara menghela napas pelan, debaran yang semula menguasai jantungnya kini seketika terhenti, tersadarkan oleh kenyataan. “Baiklah,” ucap Yara sambil berdiri dan mendekati pintu tersebut. Bagaimanapun, ia tidak mungkin keluar dengan penampilan seperti ini. Tangan Yara mendorong pintu yang tak dikunci itu. Rupanya, itu ruangan yang cukup luas dengan pencahayaan remang-remang dan ada ranjang di sana. Yara pikir, sepertinya ini tempat Oliver untuk beristirahat. Ia membuka lemari dan merasa cukup terkejut, karena selain ada pakaian Oliver, di dalam lemari itu banyak dress cantik milik Zara yang hampir semuanya berwarna pastel yang lembut. “Mereka pasangan suami istri yang romantis,” gumam Yara sembari tersenyum getir. Terbukti dari bagaimana Oliver menyediakan pakaian Zara di dalam ruangan pribadinya, di kantornya sendiri. Cukup lama Yara memilih pakaian, semuanya bukan seleranya. Namun ia terpaksa harus memilih salah satu, lalu pilihannya jatuh pada satu-satunya dress berwarna merah. Cerah. Sesuai kepribadiannya yang ceria. Selesai mandi dan memakai make up—yang juga, milik Zara, Yara mengenakan gaun tersebut. Ia memilih salah satu high heels berwarna senada dan menata rambut semirip mungkin dengan Zara. Saat Yara melangkah keluar dari kamar ganti dengan gaun merah yang cerah, tubuhnya terasa aneh, seolah tengah memainkan peran yang bukan dirinya. Gaun itu terlihat menawan, tetapi tak bisa menghapus rasa asing yang menyelubunginya. Yara menatap bayangannya di cermin besar di ujung ruangan. Sekilas, dengan tatanan rambut yang serupa, mungkin Oliver akan melihatnya sebagai Zara. Namun hati kecil Yara tahu, itu bukanlah siapa dirinya yang sebenarnya. Yara menelan ludah, menyiapkan mental sebelum keluar dan menghadapi Oliver lagi. Saat membuka pintu, Oliver menatapnya dari balik meja kerjanya, lalu matanya sedikit menyipit, seakan mengevaluasi penampilan Yara. Yara menunggu sejenak, menanti komentar atau respon dari Oliver. ***“Siapa yang kirim bunga untuk Airell?!” seru Oliver dengan galak saat ia mendengar Lisa berbicara dengan kurir yang mengantarkan seikat bunga mawar merah dan menyebut-nyebut nama Airell.Oliver kemudian merebut seikat bunga itu dari tangan Lisa dan membaca pesan yang tertulis dalam secarik kertas.‘Bunga ini memang cantik, tapi kalah cantik sama kamu, Airell. —Ben—‘“Ben? Siapa Ben?” geram Oliver. Berani-beraninya bocah ingusan bernama Ben itu menggombali Airell!“Kenapa, Sayang?” tanya Yara yang baru saja menghampiri suaminya dengan kening berkerut.Oliver menunjukkan bunga itu. “Lihat, Sayang. Ada yang kirim bunga buat Airell. Namanya Ben. Astaga, anak jaman sekarang, pipis aja belum lurus tapi sudah berani menggombali anak orang!”“Hush!” Yara memukul pelan lengan Oliver. “Airell sudah remaja, lho. Kamu lupa?”Justru karena sudah remaja, Oliver jadi semakin protektif pada Airell, begitu pula pada Avery yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar.Oliver hendak membuang bunga itu ke te
“Sayang, kita mau nambah anak lagi nggak?”“Nggak!” jawab Yara galak. “Tiga aja cukup.”Oliver terkekeh di seberang sana. “Kali aja mau. Aku siap, kok. Kalau aku pulang nanti aku siap nambah anak lagi.”“Idih! Itu sih maunya kamu.” Yara memutar bola matanya malas, lalu ikut tertawa saat Oliver tertawa di ujung telepon.“Kamu nggak tanya kapan aku pulang, gitu? Atau maksa aku pulang?” Suara Oliver terdengar menggoda.“Memangnya kenapa? Kan sudah jelas kamu akan pulang tiga hari lagi.”Yara bangkit dari kursi kerja suaminya. Walaupun sebenarnya ia rindu pada Oliver setelah LDR hampir satu minggu. Namun Yara terlalu gengsi untuk mengakui dan memaksa Oliver pulang. Ia bahkan sering duduk di kursi kerja Oliver demi mengobati rasa rindunya pada pria itu.“Paksa aku pulang, kek. Aku kangen kamu dan anak-anak. Tapi pekerjaan di sini belum selesai.” Oliver terdengar menghela napas panjang. Saat ini ia sedang berada di luar kota untuk perjalanan kantor.Belum sempat Yara menanggapi ucapan suami
Oliver duduk dengan punggung tegak di atas sunbed, netra hitam di balik kacamata hitamnya memperhatikan Yara yang sedang mengajari Avery berjalan tanpa alas kaki di atas pasir pantai. Deburan ombak sesekali terdengar dari kejauhan, diiringi bunyi sekawanan burung camar yang sesekali melintas di udara. “Sial! Apa yang laki-laki itu lakukan?” desis Oliver pada dirinya sendiri saat melihat seorang lelaki tak dikenal menghampiri Yara dan mengajaknya mengobrol. Tidak bisa dibiarkan. Detik itu juga Oliver berdiri, dan sempat bicara pada si kembar Arthur dan Airell yang tengah bermain pasir di sebelahnya, “Arthur, Airell, tunggu di sini sebentar.” Oliver bergegas menghampiri Yara setelah mendapat anggukkan dari kedua anaknya. “Maaf, ada kepentingan apa Anda dengan istri saya?” tanya Oliver pada lelaki itu tanpa basa-basi sambil menekankan kata ‘istri saya’. Lelaki yang hanya mengenakan celana selutut itu tersenyum canggung dan tampak terintimidasi oleh tatapan tajam Oliver. “Oh, t
“Kak Zio!”“Yeay! Kak Zio datang! Aku kangen Kak Zio!”Arthur dan Airell berlari menghampiri Zio. Zio berjongkok, merentangkan kedua tangan dan memeluk si kembar secara bersamaan.“Aku juga kangen kalian,” ucap Zio sambil tertawa bahagia.Arthur yang pertama kali melepaskan diri dari pelukan itu. “Kak Zio, ayo lihat adik aku. Avery cantik, lho!”Mendengar ucapan Arthur, Airell pun cemberut. “Memangnya aku tidak cantik?”“Cantik, sih. Tapi sedikit.” Arthur tertawa jahil.“Arthur...!” rengek Airell dengan bibir yang semakin memberengut.Zio tersenyum dan menggenggam tangan Airell. “Kamu cantik, Airell. Nggak ada yang ngalahin cantiknya kamu.”Mata Airell seketika berbinar-binar. “Sungguh?”“Hm! Aku serius.” Zio mengangguk. “Kalau begitu ayo kita lihat Avery. Di mana dia sekarang?”Airell tersenyum ceria, ia menarik tangan Zio sambil berkata, “Avery lagi sama Daddy. Ayo!”Melihat interaksi mereka bertiga, Yara pun tersenyum penuh haru. Tak bisa dipungkiri bahwa ia pun merindukan Zio.“Zi
“Oliver, kamu baik-baik saja?” Marshall menelengkan kepala, menatap wajah sepupunya yang terdapat lingkaran hitam di bawah matanya. “Kamu sepertinya kurang tidur.”Oliver mengembuskan napas panjang. Ia duduk dengan tegap di sofa, tepat di hadapan Marshall. “Menurutmu aku bisa tidur nyenyak? Setiap malam Avery selalu bangun dan saat siang dia tidur nyenyak.”Avery William adalah nama untuk anak ke tiga Yara dan Oliver. Nama itu Oliver sendiri yang memberikannya.Mendengar keluhan Oliver, Marshall tertawa puas. “Gimana dengan Yara?”“Aku membiarkan dia tidur kalau malam. Lagian Avery selalu ingin bersamaku. Seolah-olah dia tahu kalau dulu ayahnya nggak menemani kakak-kakak dia waktu masih bayi.” Oliver tersenyum kecil, hatinya berdenyut nyeri kala membayangkan Yara melewati masa-masa mengurus bayi kembar sendirian.“Mengurus satu bayi saja sudah repot, apalagi dua,” timpal Marshall, “kamu tahu maksudku?”Oliver mengembuskan napas. “Aku tahu. Kamu nggak perlu menambah rasa bersalahku kar
Oliver terduduk lemas di kursi yang ada di koridor rumah sakit. Wajahnya pucat pasi. Rambutnya acak-acakan. Dan kedua lengannya tampak merah, dipenuhi bekas gigitan dan cakaran. Oliver melamun. Seakan-akan sibuk dengan dunianya sendiri, hingga Oliver mengabaikan keadaan di sekitarnya.Jingga keluar dari ruangan bersalin. Ia prihatin melihat kondisi Oliver yang tampak terguncang. Lalu menghampirinya.“Oliver, kenapa kamu diam di sini? Yara dan bayi kalian menunggu di dalam,” ucap Jingga dengan lembut.Ya, Yara sudah melahirkan beberapa saat yang lalu ditemani Oliver. Setelah bayinya berhasil dilahirkan dengan selamat dan sempurna, Oliver pun keluar dari ruangan itu dan duduk termenung sendirian.“Oliver...,” panggil Jingga saat Oliver tidak merespons ucapannya.Oliver tetap bergeming. Melamun dengan tangan gemetar.Jingga menghela napas panjang. Ia duduk di samping putranya, lalu menggenggam tangannya yang terasa dingin.Saat itulah Oliver keluar dari lamunannya dan menatap Jingga deng