Cukup lama aku mematung dengan mata yang tak beralih dari sosok di hadapanku saat ini. Wajah teduh yang selama lima tahun ini selalu hadir dalam setiap tidurku, kini berada tepat di hadapanku. Ingin rasanya aku menampar pipiku sendiri untuk memastikan jika saat ini aku tidak sedang bermimpi."Apa kabar, Pak Arkan?" Kembali kudengar suara itu. Begitu lembut terdengar di telinga, sama seperti lima tahun lalu saat dia masih tinggal bersamaku. "Baik," jawabku setengah bergumam.Ainun sedikit menipis bibirnya, hampir menyerupai sebuah senyuman. Sosoknya terlihat semakin matang dan dewasa. Penampilannya juga lebih tertutup. Ia telah mengenakan hijab dan menutup auratnya dengan sempurna. Terlihat begitu menyejukkan mata sekaligus menentramkan hati.Perasaan rindu yang selama ini kusimpan rapi di dasar hatiku, kini tiba-tiba menyeruak tak tertahankan. Hampir saja aku tak bisa menahan diri untuk menarik dan merengkuhnya ke dalam pelukanku."Maaf, saya mengganggu. Apa Pak Arkan punya waktu?" t
"Aku ingin tes DNA!" seruku lantang di hadapan seluruh keluarga. Suasana yang tadinya hangat dan penuh senda gurau, tiba-tiba menjadi sunyi. Semua mata tertuju padaku. Terutama mata kedua orang tuaku yang beberapa detik tadi terlihat sangat bahagia merayakan kelahiran bayi yang mereka yakini sebagai cucu."Arkan?" Mama menatapku dengan raut tak percaya. Perempuan yang telah melahirkan ku itu tampak terkejut dengan apa yang didengarnya tadi.Aku menatap sekeliling. Saat ini di rumahku masih ada beberapa tamu karena Mama baru saja selesai mengadakan syukuran. Sebuah acara sederhana setelah satu bulan lebih perempuan yang belum lama ini kunikahi melahirkan seorang bayi lelaki. Bayi yang katanya sangat mirip denganku disaat aku sendiri tak yakin jika dia benar-benar darah dagingku.Wajah Mama terlihat sedikit gusar. Untung saja tamu yang tersisa saat ini semuanya masih keluarga, begitu mungkin pikirnya saat aku melontarkan kalimat mengejutkan tadi."Apa maksudmu, Arkan?" Kali ini suara Pa
Ainun masuk ke dalam kamar, meninggalkan kami semua yang sedang berada di ruang keluarga. Sekali lagi aku menatap sinis kearah pintu kamar yang dia tutup barusan. Setelah beberapa bulan belakangan berhasil mengambil hati kedua orang tuaku, lihatlah tingkahnya yang jadi semakin jumawa. Berani-beraninya dia pergi begitu saja saat aku belum selesai bicara."Mama Papa bisa lihat? Sekarang menantu kesayangan yang selalu kalian bela itu sudah menjadi semakin luar biasa. Memangnya salah kalau aku ingin melakukan tes DNA? Bukannya justru aku terlalu bodoh kalau percaya begitu saja pada pengakuannya. Bagaimana pun, aku sama sekali tidak ingat kejadian malam itu. Apa memang benar aku yang sudah membuatnya hamil, atau justru orang lain?" Aku berusaha setengah mati meredam gemuruh di dadaku agar nada bicaraku terdengar normal.Mama dan Papa bergeming. Begitu pula dengan beberapa keluarga yang lain. Mereka semua yang berada di rumahku saat ini adalah orang-orang yang sudah mendorongku untuk menika
"Ainun!" Mama tergopoh-gopoh menyusul perempuan itu dan segera menahan lengannya. Ainun berhenti tanpa menoleh kearah Mama."Mau pergi kemana kamu malam-malam begini?" tanya Mama dengan wajah cemas.Ainun bergeming."Saya tidak tahu mesti pergi kemana, tapi yang jelas saya tidak bisa berada di sini lagi. Tolong biarkan saya pergi, Ma," jawabnya kemudian dengan nada memelas.Dadaku mulai bergemuruh. Perempuan itu mulai mengeluarkan jurus andalannya, terlihat sebagai istri teraniaya yang menyedihkan."Tidak, Ainun. Jangan begini. Mama tahu kalau Arkan sudah keterlaluan, tapi tolong pikirkan Farhan. Bagaimana nanti nasibnya kalau kamu membawanya pergi? Kalian mau tinggal di mana?" Mama berusaha membujuk perempuan itu. "Arkan, jangan diam saja. Bujuk dan tenangkan istrimu." Kali ini Papa yang bersuara, memintaku untuk menahan Ainun agar tidak pergi.Aku menghembuskan nafas kasar. Memang ini tujuannya, kan? Pura-pura mau pergi agar terlihat seperti orang yang tertindas dan membuatku semak
Malam itu Ainun benar-benar pergi. Dengan menaiki sebuah taksi, perempuan itu meninggalkan rumah, disaksikan seluruh kekuatan besarku. Tak dihiraukannya isak tangis Mama yang memintanya untuk tidak pergi. Tampaknya dia ingin aku sendiri yang membujuknya, bukan orang lain. Tapi dia harus kecewa kali ini karena aku tidak akan mengabulkan keinginannya itu.Terus terang aku terganggu dengan tangisan Mama yang tak mau berhenti setelah kepergian Ainun. Apa bagusnya perempuan itu sampai Mama terlihat begitu sedih. Berulang kali aku membuang nafas kasar karena merasa kesal.Setelah drama yang cukup membuatku jengah, akhirnya seluruh keluarga besarku bubar dan pulang ke rumah mereka masing-masing. Hanya Mama dan Papa yang masih tinggal dan terlihat masih ingin membicarakan sesuatu denganku."Kenapa tidak kamu hentikan Ainun, Arkan? Kemana dia mau pergi malam-malam begini? Benar-benar tega kamu! Di mana hati nuranimu?" Mama mulai mencercaku lagi dengan kata-kata yang selama ini tak pernah terlo
Tiga hari sudah Ainun pergi. Jelas ada yang aku rasakan sejak kepergian perempuan itu. Hening, suasana itulah yang mendominasi setiap sudut rumah. Hanya ada suara Bik Minah, asisten rumah tangga, yang terkadang bertanya tentang beberapa hal. Perempuan paruh baya yang bekerja sejak aku menikah dengan Ainun itu tampak sedikit kesulitan mengerjakan pekerjaannya sejak Ainun tidak ada. Banyak benda yang Bik Minah tidak tahu di mana letaknya hingga aku sedikit kesal dibuatnya. Memangnya apa saja kerjanya selama ini jika sedikit-sedikit bilang Ainun yang biasanya mengurus ini dan itu.Kupandangi sekeliling rumah dengan perasaan yang sulit dijabarkan. Rumah ini adalah hasil kerja kerasku. Awalnya aku mempersiapkan rumah ini untuk kutinggali bersama Reina selepas kami menikah. Tapi kemudian, aku justru menikah dengan Ainun dan tinggal di rumah ini bersama perempuan itu.Sejak awal pindah kesini, rasanya sudah seperti berada di neraka. Dadaku seringkali terasa sesak karena harus tinggal satu a
Hari demi hari terlewati, dan Ainun benar-benar tak kembali. Aku menikmati kesendirianku tanpa berusaha untuk keluar dari rasa sepi.Beberapa kali tanpa sadar aku masuk ke kamar yang dulu ditempati Ainun. Biasanya hal itu kulakukan saat mataku tak kunjung terpejam, sedangkan malam semakin larut. Tak jarang aku justru tertidur di sana dan baru tersadar dengan hal konyol yang telah kulakukan saat pagi telah tiba. Entah apa yang mendasari ku melakukan hal itu. Rindukah aku pada Ainun? Aku langsung membuang jauh-jauh pertanyaan itu tanpa berniat mencari tahu kebenaran atas isi hatiku sendiri.Semakin hari, aku semakin tak banyak berbicara. Aku lebih suka diam dan menenggelamkan diri ke dalam duniaku sendiri. Hampir seluruh waktuku kuhabiskan untuk bekerja. Secara bersamaan, beberapa rekan sesama pengacara berencana untuk mendirikan firma hukum dan mengajak ku untuk bergabung. Akupun setuju bergabung bersama mereka dan memulai perjuangan baru kami. Kesibukanku itu cukup membuat rasa kesepi
"Ini salah Mama. Harusnya Mama tidak terlalu banyak bicara sama Ainun. Harusnya Mama tidak mengatakan ini dan itu ... hiks ... hiks ...." Mama masih menangis terisak di sampingku.Aku melirik Mama sekilas, lalu kembali fokus menyetir. Pagi ini terpaksa aku tidak pergi bekerja karena kedatangan Mama yang tak terduga. Mama tampak masih sangat emosional sejak datang ke rumah tadi, hingga akhirnya aku pun menuruti keinginan Mama untuk mencari Ainun, meski aku sendiri tidak tahu mesti mencari kemana. Tujuan pertamaku saat ini adalah mendatangi kediaman kedua orang tua Ainun untuk mencari tahu siapa saja teman yang akrab dengannya. Jika menemui teman-temannya, siapa tahu salah satu dari mereka ada yang punya informasi tentang Ainun.Memang tidak banyak yang kuketahui tentang Ainun, selain siapa kedua orang tuanya dan di mana mereka tinggal. Selama hidup satu atap, aku tak pernah mempedulikannya. Bahkan berbicara padanya pun hanya sesekali, itupun seringkali pembicaraan yang kurang mengenaka