Share

#1 Nona Kecil Anomen

Taman Air Mancur, nama dari ruangan seluas 418 meter itu. Bentuknya setengah lingkaran dan jarak antara lantai ke atap kira-kira delapan meter. Puluhan lampu menyinari seisi ruangan. Sesuai namanya, di pusat ruangan berdiri sebuah air mancur besar yang khas. Memang tempat yang tepat untuk bermain dan menghirup udara segar. Banyak anak-anak berkunjung ke tempat ini bersama dengan orang tua atau pengasuh mereka.

“Satu…dua…tiga…”

“Aah! Mama ngintipp! Ulang itungnya!” teriak seorang anak perempuan yang usianya masih bisa dihitung dengan jari.

“Iya.. Iya.. ulang nih ya..? Satu.. dua.. jangan jauh-jauh nyumputnya! Empat..” ujar wanita muda yang merupakan ibu kandung dari anak tersebut.

Kalo ga jauh, nanti cepet ketauan lah! balas anak itu dalam hati sambil berlari. Melewati jalan setapak berkelok-kelok, ia berhasil menemukan tempat persembunyiannya, di balik semak-semak.

Satu menit.. dua menit.. tiga menit..

Hihihi.. mama pasti susah nyarinya! batinnya kegirangan. Lalu, ia duduk di atas rerumputan yang berwarna senada dengan pakaiannya. “Uuh.. mama kok lama sih..”  gumamnya ketika menyadari bahwa waktu telah lewat beberapa saat. Ia mendongak. Terlihat seekor kupu-kupu sedang terbang agak jauh di atasnya.

“Biru langit…”

 “Visera..! Viseraa..!” teriak sang ibu yang masih mencari di sekitar tempat berdirinya tadi.

“Lihai juga ya sembunyinya..!” Pujian yang sia-sia karena tidak mungkin terdengar sampai ke tempat Visera bersembunyi.

Tu anak, dibilangin jangan jauh-jauh..  Masih aja..! Haduu.. gerutu sang ibu dalam hati. Samar-samar dari arah kirinya, terdengar suara tangisan yang terdengar familiar.

“Visera?!”

Segera ia berlari menuju sumber suara. Kemudian, dari balik semak-semak muncul Visera yang sedang menangis. Tangan kirinya menggenggam sesuatu.

“Mamaa…!!” teriak Visera berlari ke pelukan ibunya sambil terisak-isak.

“Kenapa..? Kenapa..?!” tanya sang ibu gelagapan.

“Ma… Hic! Mati…” Visera membuka tangan kirinya dan memperlihatkan seekor kupu-kupu yang sudah tidak bernyawa dengan kedua sayap yang patah.

“Hii!!” pekik sang ibu melihat itu.

“Hii!!” Visera ikut menjerit dan melempar bangkai itu ke tanah.

“Lah, cuma kupu-kupu toh.. Hahaha! Kirain mama mah apa..! Dah... jangan nangis ah..!” ucap sang ibu mengelap tangan Visera sebelum memberikan botol air minum. Kemudian ia menggandeng tangannya anaknya dan mulai berjalan.

“Ma, kenapa ada warna biru langit?”

“Hm? Ada dong.. ada biru langit, biru dongker..”

“Berarti ada merah langit, merah dongker?”

“Haha! Gaada merah langit, sayang..”

“Kenapa ga ada?”

“Karena langit itu warna biru..”

“Langit itu sebenernya apa?”

“Langit itu, ya… langit! Ahahaha..!” Mendengar jawaban itu, Visera menunjukkan wajah kusutnya.

“Su-susah dijelasinnya sih! Harus liat langsung…” Kali ini wajahnya langsung berubah seratus delapan puluh derajat.

“Bisa liat langsung..?! Dimana!?”

PATS! Secara serempak semua lampu utama meredup dan digantikan oleh lampu taman.

“Pas banget! Nah, Visera.. kalau malem kira-kira langit itu kayak begitu..” Sang ibu mendongak dan menunjuk atap ruangan. Cahaya-cahaya kecil menyala bergantian, menciptakan kerlipan-kerlipan yang indah.

“Wah….” Sepasang matanya terpaku pada satu titik.

“Lho, katanya warna biru..?”

“Haha! Kan mama bilang kalau malem, sayang… Yuk ah, cepetan! Nanti ada yang ngoceh..!” Keduanya berlari-lari kecil menyebrangi jembatan.

Sesampainya di halaman parkir yang luas, sang ibu menoleh kesana kemari–mencari kendaraan miliknya.

“Disini ma! Lupa ya..?!” teriak Visera berlari mendekati salah satu kendaraan yang terparkir. Kurang tepat jika menyebut kendaraan tersebut ‘melayang’ di atas tanah ketika gaya magnetlah yang bekerja. Menggunakan sistem keamaan yang ketat–sensor telapak tangan dan/atau retina sebagai cara untuk mengaksesnya, kendaraan otonom yang cukup untuk dinaiki dua sampai tiga orang ini pun telah dimiliki oleh hampir seluruh penduduk kalangan menengah ke atas.

“Mimo! Pulang ke rumah!” ujar Visera sesaat setelah pintu kendaraan tertutup.

“Perintah terkonfirmasi. Tujuan, lantai Anomen.” jawab sebuah suara mesin yang khas. Kendaraan pun mulai melaju ke arah timur laut. Setelah melewati gerbang keluar, pemandangan yang terlihat di luar jendela hanyalah jalanan menanjak berwarna abu-abu yang berporos pada satu tabung silinder besar.

“Memindai Identity Chip. Mohon jangan bergerak dalam tiga.. dua.. satu..” Sebuah suara yang sama. Namun, terdengar dari luar kendaraan.

“Pemindaian selesai. Selamat datang Nyonya dan Nona kecil Anomen.” Kemudian kendaraan kembali melaju dan berhenti tepat di depan sebuah pintu yang cukup megah.

“Kenapa aku selalu disebut nona kecil…!?” teriak Visera kala menuruni kendaraan.

“Karena Visera masih kecil..?” balas sang ibu berjalan menuju pintu. Ia mendekatkan pergelangan tangan kirinya ke sebuah mesin. Pintu pun terbuka.

“Aku bukan anak kecil lagii..! Ayo kita ubah suaranya hosiii, ayo ayo ayo..!!”

“Oho? Ada yang membuat nona kecil marah lagi sepertinya??” sahut seorang pria dari balik pintu.

“Papaa!!” Visera berlari mendekati ayahnya itu.

“Kapan aku tidak dipanggil nona kecil lagi??” lanjutnya.

“Hhmm… kapan yaa… mungkin ketika tinggimu sudah segini?” Sang ayah mengangkat telapak tangannya setinggi bahu istrinya.

“Sudah sudah, ayo mandi dulu. Yaampun.. lihat rokmu, kok bisa kotor begini..?! Aiyah, besok besok jangan duduk di tanah lagi!” celoteh ibunya yang kemudian menggandeng tangannya menuju kamar mandi.

***

“Nah.. udah bersih, wangi, ini baru anak mama-!” ujar sang ibu setelah selesai menguncir rambut anaknya itu.

“Yok kita makan!” lanjutnya.

“Bentar.. mau nulis dulu..!” balas si anak berlari ke meja belajarnya. Ia mengambil sebatang pensil dan mulai menulis di bukunya.

“Yasudah.. Jangan lama-lama, nanti papa mama tinggalin lho..!” ucapnya. Ia tahu betul bahwa anaknya itu pasti menulis pengalaman uniknya hari ini. Tanpa mendengar jawaban, ia segera keluar dari ruangan dan berjalan menuju anak tangga.

“Mana Visera?” tanya suaminya yang langsung bangkit dari duduk untuk menarik kursi miliknya.

“Biasalah… nulis.” jawabnya menduduki kursi. Kemudian tidak ada obrolan lain hingga beberapa menit berlalu dan Visera tak kunjung datang.

“Aku ke atas dulu,” ujarnya berdiri dan meninggalkan ruang makan menuju tangga. Sesampainya di atas, ia langsung membuka pintu kamarnya dan mendapati anaknya yang sedang terlelap di atas tempat tidurnya.

“Haha! Kecapekan ya..?” ujar sang ibu tertawa kecil.

“Selamat tidur, sayang..” Bersamaan dengan itu, sebuah usapan tangan yang lembut dapat ia rasakan di dahinya.

***

-Primus, wilayah tempat tinggal bintang satu-

PLAK! Sebuah tamparan terasa di pipinya.

“Nah, akhirnya bangun juga!” terdengar suara seorang laki-laki muda dari arah sampingnya.

“Huh..? Dan..?” gumamnya setengah sadar.

“Kenapa? Gasuka kalau dibangunin? Mohon maaf nona, tapi kalau bulan ini mau makan kenyang, kita harus cepet-cepet pergi sekarang. Ayo, cepat!” ujar lelaki bernama Dan itu melemparkan sebuah jaket kuning dan langsung berlari keluar ruangan. Tanpa babibu, Visera langsung mengenakan jaket, menarik ranselnya, dan mulai berlari menyusul Dan keluar rumah. Begitu sampai di jalanan setapak depan rumah, keduanya berdesak-desakkan dengan warga lain yang juga menuju tempat tujuan yang sama dengan mereka, balai desa. Terlihat lima antrian panjang di halaman depan balai desa. Dari anak-anak hingga lansia, semuanya masuk ke dalam barisan.

“Harap antri dengan tenang..! Se-semuanya pasti kebagian!  A-antri dengan tenang…!” teriak petugas berseragam yang mulai kewalahan dalam mengkondisikan antrian.

“Woi! Jangan dorong-dorong!”

“Antri yang bener dikit bisa ga sih?!”

“Hoi, siapa tadi yang injek kaki gua..?!”

“Itu yang di depan cepetan dikit napa?!”

Berisik…

DOOM! Suara hantaman yang keras membungkam setiap mulut yang berbicara. Seluruh mata langsung menuju ke arah sumber suara. “Mohon antri dengan tenang.” ucap seorang pria berseragam khusus yang berdiri di depan pintu masuk. Suaranya terdengar dengan jelas dan lantang meskipun ia tidak berteriak. Berkat itu, antrian menjadi lebih rapi dan kondusif.

“Silahkan Nona, pilihlah sesuai yang anda perlukan!” sambut seorang petugas menyodorkan sebuah tablet elektronik berisi produk-produk makanan.

“Hmm.. beras yang paling penting.. lalu garam.. gula..” Dengan lincah jemari Dan menekan gambar produk satu demi satu.

“Kentang jangan lupa.. telur.. selada.. Kau mau yang mana, Vis?” Mendengar itu, Visera langsung menekan salah satu gambar.

PIP! PIP.. PIP.. PIP..!

***

Di bagian samping gedung balai desa, terlihat banyak para warga berjalan meninggalkan tempat dengan barang bawaan mereka masing-masing.

“Dan… kuat?” tanya Visera dalam perjalanan pulang.

“Segini sih kuat. Untung kau bawa ranselmu, kalau tidak aku terpaksa meminjam troli dan kembali ke sana lagi nanti..” jawab Dan yang memanggul dua buah karung besar.

“Kau sendiri.. berat ga?” lanjutnya. Visera menggeleng. Ia mengeluarkan sepotong ubi ungu dari kantung kertas yang dipegangnya sedari tadi dan mulai memakannya, hingga ia menyadari bahwa sepasang mata memperhatikan ubi miliknya sedari tadi.

“Nih, makan,” ujar Visera menyodorkan ubinya ke Dan.

“Eh engga, kau saja yang ma-”

Kruyukk… Bunyi kontraksi dinding lambung dan usus halus milik Dan.

“Makan.” paksa Visera.

“Iya, iya..” jawab Dan yang kemudian melahap ubi dalam satu gigitan besar.

“Enak?” Dan mengangguk.

“Lagi?” Dan menggeleng.

Dia ini sengaja atau bagaimana sih..??!! teriak Dan dalam hati.

“Dan..” Dan langsung menoleh.

“Bunyi yang keras tadi itu.. bunyi apa?”

“Hmm... kau ingat petugas yang tinggi dan besar tadi?”  Visera mengangguk.

“Itu suara hentakan kakinya.”

“Hentakan kaki... seperti ini?” DAK! Visera menghentakkan kakinya ke lantai.

“Iya, seperti itu..!” Dan menyeringai.

“Tapi kenapa bunyinya tidak mirip?”

“Karena…”

“Oh, kakinya sudah diganti jadi robot ya?”

“Kau menyebutnya robot?”

“Memangnya sebutannya apa?”

“Kalau kaki doang sih.. Advanced Meta Armored Part of Body namanya..! AMAPOB!”

“Kepanjangan. Kaki robot saja.”

“Haha! Yaa, ya.. baiklah, terserah anda, Nona.”

Tak berapa lama hingga keduanya sampai di depan rumah. Setelah menata barang-barang bawaan, keduanya bersiap untuk memasak makan siang. “Dan,” sahut Visera. “Kenapa lagi..” jawab Dan dari balik pintu lemari.

“Garamnya… ketinggalan.”

---------------

Bersambung…

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status