Masuk
Udara malam terasa lembap, membalut kulit mereka yang berkeringat di dalam kamar. Lampu gantung tembaga menyinari samar dinding bata yang dingin, kontras dengan desahan hangat dua tubuh yang saling menjelajah. Rafael berdiri di pinggir ranjang dengan tatapan gelap, napasnya berat, sementara Aurora terbaring di bawahnya, rambut pirangnya berantakan di atas seprai putih.
Kemeja Rafael sudah tak beraturan, terbuka hingga dada, menampilkan lekuk otot yang tegang. Tangannya menelusuri tulang selangka Aurora, lalu naik ke rahangnya, mengangkat wajah gadis itu paksa agar menatap matanya. Aurora menahan napas, tubuhnya bergetar antara takut dan rindu akan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Rafael mendekat perlahan, mencium bibirnya dengan tekanan yang tak sepenuhnya lembut, seolah mencampur amarah dengan keinginan yang lama terkubur. Ciuman itu memabukkan membakar syarafnya. Tangannya yang kuat kini bergerak lebih berani, menyusuri tubuh Aurora seolah menandainya, seolah menuntutnya untuk tunduk. Dan ketika jemari mereka saling mencengkeram, ketika napas mereka berpadu dalam satu desahan tertahan, ketegangan di antara mereka memuncak dalam diam yang menggantung. Namun tepat saat penyatuan itu nyaris terjadi Rafael berhenti. Tubuhnya kaku. Kedua tangannya kini mengepal, dan wajahnya menjauh dari wajah Aurora, menatap ke arah jendela yang tertutup tirai tipis. Napasnya memburu, bukan karena gairah, tapi karena gelombang emosi lain yang tiba-tiba menyesakkan dadanya. Aurora membuka mata, matanya yang masih berkabut menatap Rafael dengan bingung. “Rafael? Kenapa kau berhenti?” Rafael menoleh perlahan. Matanya gelap, namun bukan lagi karena hasrat. “Aku…” Suaranya serak, nyaris tak terdengar. “Aku tak bisa. Tidak malam ini.” Ia bangkit, mengambil kemejanya yang terjatuh di lantai dan memakainya dalam diam. Aurora duduk, menarik selimut menutupi tubuhnya, berusaha memahami perubahan yang begitu tiba-tiba. “Apakah aku melakukan kesalahan?” tanyanya pelan. Rafael menggeleng. “Bukan kau.” Ia menatapnya lama, seolah mencoba berkata sesuatu yang tertahan terlalu lama. Tapi akhirnya ia hanya berkata: “Aku hanya... hampir lupa alasan kenapa aku mendekatimu.” Lalu ia melangkah keluar kamar, meninggalkan Aurora dalam keheningan yang kini berubah menjadi tanda tanya besar. *** Dua bulan lalu, di kantor perusahaannya, Rafael berdiri membeku di depan layar proyektor. Angka-angka laporan keuangan menari-nari dalam grafik yang absurd dan semuanya salah. Celah itu tak akan terlihat oleh sembarang mata, tapi Rafael adalah pria yang membangun sistem ini dari nol. Ia tahu saat sesuatu dipalsukan. Dan seseorang telah melakukannya berbulan-bulan. “Cross-check semua akun vendor dalam dua belas bulan terakhir,” perintah Rafael kepada sekretarisnya, Nadine, dengan rahang terkunci. Beberapa jam kemudian, Rafael melihat rekening bayangan yang telah ditemukan. Didalamnya terdapat transfer bertahap, uang mengalir perlahan tapi pasti ke perusahaan fiktif yang kemudian ditelusuri hingga satu nama. Edgar Marvelo. Mitra bisnisnya yang sudah ia percaya selama ini, pria berusia 50an yang berdiri bersamanya saat mereka memotong pita pembukaan gedung baru enam bulan lalu. Rafael tak percaya, sampai ia melihat rekaman email terenkripsi, dan persetujuan tanda tangan digital yang tak terbantahkan. “Kenapa?” gumam Rafael lirih, berdiri di ruang rapat kosong sambil memandangi kota yang perlahan dibungkus senja. “Kita membangun ini bersama.” Namun tak ada jawaban. Edgar sudah kabur ke luar negeri sebelum Rafael bisa menuntutnya. Menghilang, seperti pengecut. Meninggalkan nama baiknya, perusahaannya, dan satu-satunya warisannya di kota ini, Aurora Marvelo. *** Rumah keluarga Marvelo berdiri seperti istana yang kosong. Dinding putihnya masih bersih, halaman rumput masih terawat, namun tak ada kehidupan nyata di dalamnya selain jejak-jejak masa lalu yang tertinggal. Dan kini, satu-satunya pewarisnya kembali. Aurora berdiri di tengah ruang tamu yang luas, memandangi foto ayahnya yang tergantung di dinding. Senyum Edgar yang tenang di balik pigura emas kini terasa asing. Ia mencoba tersenyum, tapi hatinya merinding. Terlalu banyak yang berubah. Terlalu banyak pertanyaan yang belum terjawab. Sejak tiba dari Paris dua hari lalu, Aurora tak pernah sekalipun berhasil menghubungi ayahnya. Telepon mati. Email tak dibalas. Aurora tidak mengerti kenapa tiba-tiba ayahnya memutuskan pembiayaan kuliahnya di Paris. Bahkan dia pulang dengan sisa tabungan yang tak seberapa. “Ayah, kau di mana?” tanyanya, penuh kesal. Namun hari itu ia tak punya waktu untuk tenggelam dalam pikiran sendiri. Karena sesaat kemudian, suara mesin mobil terdengar di luar. Dari balik jendela, ia melihat seorang pria keluar dari mobil. Pria itu tinggi, gagah, mengenakan jas gelap dan kacamata hitam. Aurora membuka pintu sebelum bel sempat berbunyi. “Siapa ya?” tanyanya waspada. Pria itu melepas kacamatanya perlahan. Mata cokelat gelapnya langsung terkunci pada wajah Aurora. Pandangannya menusuk. Dalam. Seolah mencoba menelanjangi jiwanya. “Aurora Marvelo?” tanyanya tenang. “Ya.” “Aku Rafael Valentino.” Aurora terdiam. Nama itu familiar. Sangat familiar. Ia pernah mendengarnya dalam satu percakapan telepon ayahnya, atau mungkin dari sebuah artikel bisnis yang samar ia baca. Tapi yang ia ingat pasti Rafael Valentino bukan nama kecil. Rafael adalah pria penting. Seseorang yang punya kuasa. Dan dari tatapannya, Aurora tahu... kedatangannya bukan untuk bersilaturahmi. “Aku datang bukan untuk basa-basi,” lanjut Rafael sambil melangkah masuk tanpa diundang. “Kita perlu bicara. Tentang ayahmu.” Aurora menutup pintu perlahan, membiarkan pria itu masuk ke dalam rumahnya atau lebih tepatnya, rumah ayahnya. Ia mengikuti Rafael ke ruang tamu, lalu duduk berhadapan dengannya. “Jika kau tahu di mana ayahku, tolong katakan padaku,” ucap Aurora akhirnya. “Aku sudah mencarinya berminggu-minggu.” Rafael mendengus pelan, mengejek. “Tentu saja kau tidak akan tahu.” Aurora menatapnya bingung. “Apa maksudmu?” Rafael bersandar, menyilangkan kaki dan menatapnya tanpa senyum. “Ayahmu mencuri uangku. Meninggalkanku dengan kehancuran. Dan dia menghilang seperti pengecut. Sekarang, dia meninggalkanmu di sini di rumah mewah hasil uang kotor.” Aurora membeku. “Apa maksudmu uang kotor?” “Jangan pura-pura tidak tahu, Aurora.” Suaranya menjadi lebih tajam. “Kau wanita cerdas. Tapi jangan bodoh soal bisnis ayahmu. Dia menipuku. Mengambil jutaan dolar dari merger perusahaan kami, memalsukan dokumen, dan melarikan diri. Sekarang, dia mewariskan semua ini padamu. Termasuk... utangnya.” Aurora bangkit berdiri, suara gemetar. “Aku tidak tahu apa pun tentang itu. Aku tidak pernah terlibat dalam bisnis ayahku. Dia bahkan jarang bercerita!” “Tapi kau tetap pewarisnya.” Rafael berdiri pula, kini berhadapan langsung dengannya. Hanya beberapa inci memisahkan mereka. “Dan sebagai anak yang baik... kau akan membayarnya.” “Dengan apa?” desis Aurora. “Aku tidak punya uang sebanyak itu.” Rafael menyeringai pelan, gelap dan tajam. “Ada banyak cara untuk membayar. Dan kau akan tahu satu per satu, Aurora Marvelo.” Aurora menahan napas. Matanya membulat, memandang Rafael yang kini berdiri begitu dekat. Aura lelaki itu seperti badai, dingin dan tak tertebak. Tapi Aurora bukan tipe wanita yang mudah diintimidasi, meskipun seluruh tubuhnya menggigil, ia tetap mengangkat dagu dengan penuh harga diri. “Bagaimana jika aku menolak?” tanyanya, suaranya pelan namun jelas, seperti tantangan. Rafael tidak langsung menjawab. Ia menatapnya lama, seolah ingin memastikan bahwa Aurora benar-benar tak tahu apa-apa. Lalu perlahan, senyumnya tumbuh. Tapi bukan senyum ramah. Itu adalah senyum milik seorang pria yang terbiasa menang dalam segala bentuk permainan kotor. “Kau pikir kau punya pilihan?” balas Rafael, suaranya rendah, nyaris berbisik namun menggema seperti dentuman. Ia melangkah lebih dekat hingga Aurora hampir terdorong mundur.Aurora mengedip pelan, menahan senyum.“Aku ini seorang CEO,” lanjut Rafael dengan nada penuh kepercayaan diri. “Meski kakiku seperti ini, aku tetap bisa naik ke Gunung Fuji. Percaya saja padaku.”Aurora menatapnya tak berkedip, lalu perlahan tersenyum lebar. “Enak banget ya jadi CEO… bisa tetap sombong walau kakinya lagi luka.”Rafael menyipitkan mata, lalu menjawab dengan cepat, “Lebih enak lagi jadi pacarnya CEO.”Aurora tak bisa menahan tawanya. “Oh, ya? Memangnya apa saja keuntungan jadi pacar CEO?”Rafael berpura-pura berpikir. “Pertama, bisa tidur di hotel mewah. Kedua, punya pemandangan Gunung Fuji langsung dari jendela. Ketiga, punya pemandu pribadi yang tampan, cerdas, dan—” ia menatap Aurora dengan senyum menggoda, “—sangat mencintaimu.”Aurora menahan tawa sambil mencubit pinggang Rafael. “Tampan dan cerdas boleh lah, tapi yang paling penting pemandu pribadinya harus kuat naik gunung besok pagi.”Rafael mengangguk mantap. “Tenang saja. Aku sudah atur semuanya. Kita nggak a
Rafael menggenggam tangannya, hangat dan kuat."Lihat ke sekelilingmu, Aurora. Ini nyata. Kita nyata. Dan selama aku hidup, aku tidak akan membiarkanmu kembali ke tempat yang menyakitimu."Aurora tersenyum, air matanya jatuh tapi bukan karena sedih. Ia membalik tubuh, menatap Rafael yang kini berbaring dengan mata terbuka, menatap langit yang perlahan memutih."Kau tahu apa yang aku pikirkan saat pertama kali bertemu kamu?" tanya Aurora tiba-tiba."Aku orang sombong dan menyebalkan?" tebak Rafael dengan senyum nakal.Aurora tertawa. "Iya, itu juga. Tapi aku juga merasa... seperti pernah mengenalmu entah di mana."Rafael mengangkat alis. "Seperti dejavu?""Seperti... bagian dari masa depan yang tanpa sadar sudah aku harapkan sejak lama," bisik Aurora.Rafael duduk perlahan, lalu menatap Aurora dengan keseriusan yang lembut. Ia menyelipkan rambut wanita itu ke balik telinga, lalu menyentuh pipinya yang dingin."Aku tidak tahu takdir seperti apa yang mempertemukan kita," ucapnya pelan, "
Suasana bandara di Jepang terasa ramai namun teratur, dengan pengumuman berbahasa Jepang dan Inggris bergema dari pengeras suara. Aurora berdiri di samping Rafael yang sedang menyender di tongkatnya sambil menunggu koper mereka keluar dari conveyor belt. Meski wajah Rafael terlihat lelah akibat perjalanan panjang, matanya berbinar penuh semangat. “Rasanya seperti mimpi,” gumam Aurora sambil menempelkan telapak tangannya ke kaca besar bandara yang langsung menghadap ke luar. “Lihat itu, saljunya beneran banyak.” Hamparan putih bersih terlihat menyelimuti jalanan, atap, dan pepohonan di kejauhan. Salju turun perlahan, melayang ringan seolah tidak terbebani gravitasi. Udara dingin yang menembus melalui celah-celah pintu otomatis membuat Aurora menggigil kecil. Ia merapatkan jaket yang dikenakannya, namun tampaknya bahan tipis itu tidak cukup. “Aku harusnya bawa jaket tebal kayak kamu,” keluhnya sambil memeluk tubuh sendiri. Rafael meliriknya dari ujung mata dan tertawa pelan. “Tadi k
Malam semakin larut. Rafael yang tadinya duduk di sisi ranjang, kini tertidur dengan posisi setengah bersandar di sandaran tempat tidur. Nafasnya teratur, tubuhnya mulai tenggelam dalam kelelahan. Namun ketenangan itu tak bertahan lama.Sebuah suara pelan menyusup di antara sunyi kamar. Rintihan. Disertai desahan gelisah yang membuat Rafael tergerak. Alisnya mengerut sebelum akhirnya matanya terbuka, menangkap suara lirih yang berasal dari sisi ranjang.“Aurora?”Rafael langsung menoleh. Aurora terbaring dengan wajah memucat, rambutnya menempel di pelipis karena keringat yang membanjir. Napasnya memburu, dan dari mulutnya keluar kata-kata yang tak jelas, seperti sedang mengigau dalam mimpi buruk.Rafael buru-buru mendekat, menyentuh kening Aurora yang panas dan basah. Tubuhnya bergerak resah, tangan mencengkeram selimut erat-erat seolah sedang berusaha bertahan dari sesuatu.“Shh… Aurora, ini aku… Rafael,” bisiknya lembut.Dengan satu gerakan hati-hati, Rafael menarik Aurora ke dalam
Langkah Aurora terhenti lagi ketika suara itu memanggilnya.“Aurora!”Aurora menoleh dengan helaan napas pelan. Marissa, istri baru ayahnya berdiri sambil menggendong Renaldo yang masih memeluk erat lehernya, mata wanita itu tampak cemas.“Kami akan pergi,” ujar Marissa dengan suara yang sedikit lebih keras, seolah khawatir Aurora akan terus berjalan dan mengabaikannya.Aurora mengernyit. “Apa maksudmu?”Marissa menarik napas dalam, lalu menjawab, “Dua minggu lagi… kami akan naik kapal laut. Kami tidak bisa tinggal lebih lama di sini. Polisi mungkin akan menemukan kami kalau terlalu lama menetap.”Aurora mengangkat alis. “Dan kenapa kau memberitahuku?”Pertanyaannya terdengar dingin dan tajam. Ia tidak berusaha menyembunyikan luka atau kejengkelan dalam nadanya.Marissa berkata, “Aku… aku tidak tahu. Tapi mungkin ini kesempatan terakhir. Mungkin kau mau datang. Untuk melihat ayahmu. Untuk—”“Untuk apa?” potong Aurora cepat. “Untuk menjelaskan kenapa Ayah lebih memilih kalian? Untuk me
Mata Aurora membelalak, wajahnya pucat. Ia mengenali wajah mungil itu. Rambut keritingnya, matanya yang besar… terlalu mirip dengan seseorang yang ia kenal. Itu… anak ayahnya. Aurora mengerjap, seolah menolak percaya. Anak itu adalah putra dari ayahnya bersama istri barunya perempuan yang menggantikan ibunya, yang hadir setelah semua kehancuran yang menimpa keluarganya. Dunia seperti runtuh sesaat di kepalanya. “Kenapa, Aurora?” tanya Rafael heran melihat wajahnya yang mendadak panik. Aurora berusaha menenangkan diri, lalu cepat-cepat mendekat dan meraih anak itu dari pelukan Rafael. “Biar aku yang gendong. Kamu duduk saja di sana, istirahatkan kakimu.” Rafael masih terlihat bingung, tapi menuruti. Ia menyerahkan bocah itu kepada Aurora lalu berjalan perlahan kembali ke bangku taman, masih memandangi mereka dengan alis terangkat. Begitu Rafael menjauh, Aurora mendekap bocah laki-laki itu erat-erat. “Kamu kenapa bisa di sini, hm?” bisiknya lembut meski dalam hati ia kalut.







