LOGINAurora menatap Rafael tajam, dadanya naik turun menahan emosi. Ia melangkah maju, berdiri di antara Rafael dan pintu keluar, menantang langsung sorot matanya.
“Kau tak bisa memaksaku begitu saja,” ucapnya tegas. “Urusanmu dengan ayahku, bukan denganku. Jadi jika kau benar-benar ingin uangmu kembali, pergilah cari dia. Bukan datang ke sini dan mengancamku.” Suasana menjadi senyap sesaat. Mata Rafael menatapnya lekat, lalu perlahan ia tertawa keras dan penuh ejekan. Tawanya menggema di seluruh ruangan yang kosong, membuat Aurora makin membeku. “Tepat sekali, Aurora Marvelo,” kata Rafael sambil berjalan menjauh darinya, ke arah jendela besar yang menghadap danau. “Aku memang harus mengambil uangku dari ayahmu...” Ia berhenti, berbalik. Tatapan matanya kini dingin, wajahnya keras. Ia mengangkat dua jarinya dan menjentikkannya sekali. “...dan karena dia pengecut yang lari seperti anjing, maka aku akan mulai dari satu-satunya warisannya.” Pintu rumah terbuka serempak. Beberapa pria berseragam hitam masuk dengan cepat, rapi, dan terorganisir. Mereka langsung bergerak dan mulai membuka lemari, mencatat barang-barang, menyegel rak-rak, menggulung karpet mahal, menurunkan lukisan keluarga. “Apa yang kalian lakukan?!” pekik Aurora panik. Ia berlari ke tengah ruangan, menghadang salah satu pria yang membawa vas antik. “Berhenti! Ini rumahku! Kalian tidak berhak!” “Atas perintah Tuan Rafael Valentino, properti ini disita,” ucap salah satu pria dingin. Aurora menghalangi mereka, tapi tubuhnya yang ramping tak sanggup menghentikan mereka semua. Salah satu dari mereka bahkan menarik koper yang masih tergeletak di tangga, koper Aurora yang belum sempat dibuka sejak ia pulang dari luar negeri. “Jangan! Itu milikku! Koper itu milikku, bukan ayahku!” teriak Aurora sambil berlari dan meraih koper itu. Namun pria berbadan besar itu mendorongnya ke belakang dengan kasar. Aurora terjatuh, kedua kopernya terlempar ke depan pintu. Nafasnya tercekat, rasa sakit menjalar di siku dan lututnya yang membentur lantai. Saat itulah Rafael berjalan tenang ke arahnya, lalu berhenti di ambang pintu, menatapnya dari atas. Ia merogoh saku jasnya, mengeluarkan sesuatu, lalu melemparkannya ke lantai sebuah kartu nama miliknya. “Kalau kau berubah pikiran, kau tahu ke mana harus menghubungiku,” ucapnya dingin, sebelum berbalik dan melangkah keluar. Aurora menatapnya dengan mata membara, penuh luka dan amarah. “Aku akan menuntutmu, Rafael. Kau akan membayar semua ini.” Rafael berhenti sejenak, lalu menoleh setengah, menyeringai. “Coba saja, Aurora. Tapi pastikan kau bisa bayar pengacara terlebih dulu.” Ia pun masuk ke dalam mobil hitamnya dan melaju pergi, meninggalkan Aurora yang terpuruk di ambang rumah, rambutnya berantakan, napas tersengal, matanya menatap penuh tekad dan dendam. Aurora menatap kartu nama itu sekilas. Ia meraihnya dengan tangan gemetar, lalu tanpa ragu merobeknya tepat di tengah, serpihannya jatuh seperti debu kehinaan yang tak ingin ia simpan lebih lama. “Kau pikir aku akan mengemis padamu? Mimpi,” desisnya lirih, penuh tekad. Masih dengan tubuh yang terasa nyeri akibat dorongan tadi, Aurora menyeret kedua kopernya keluar dari halaman rumah yang dulu menjadi tempat ia dibesarkan. Tak ada lagi pelayan yang menyambut, tak ada lagi kehangatan. Hanya dingin malam dan sepi yang menghantui langkahnya. Ia duduk sebentar di bangku halte tak jauh dari gerbang. Tangannya meraba saku kecil di jaket, menarik dompet lusuh. Isinya tipis. Tabungannya hampir habis. Rumah itu adalah satu-satunya sandaran, dan sekarang hilang begitu saja. Desahan lelah keluar dari bibirnya. Tapi ia tak menangis. Matanya tetap tajam, meski lelah jelas membayang. Beberapa jam kemudian, Aurora berhasil menemukan sebuah kamar sewa kecil di daerah pinggiran kota, murah dan sederhana. Dindingnya tipis, perabotnya tua, tapi setidaknya ia punya atap untuk bermalam. Saat ia duduk di ranjang mungilnya yang berderit, Aurora membuka ponselnya yang sejak tadi mati karena baterai habis. Setelah mencolokkan charger, layar menyala, beberapa notifikasi bermunculan. Salah satunya membuat matanya membesar. [Selamat! Anda telah diterima bekerja di RV Group . Harap hadir besok pukul 09.00 di kantor pusat kami.] Jantung Aurora melonjak. “Ya Tuhan,” bisiknya, perlahan senyum kecil merekah di wajah yang sejak tadi dipenuhi luka. “Setidaknya ada satu hal yang berjalan sesuai rencana.” Dengan cepat, ia berdiri dan membuka koper. Dikeluarkannya satu-satunya setelan formal yang masih rapi. Disetrika seadanya di kamar itu. Sementara di kepalanya, ia mulai menyusun rencana baru. Rafael boleh mengambil rumah dan nama keluarganya. Tapi masa depan? Itu miliknya. Dan ia akan merebutnya kembali dengan tangannya sendiri. *** Keesokan harinya. Langkah Aurora menyusuri koridor lantai atas RV Group, gedung kaca menjulang yang terlihat terlalu mewah untuk suasana hatinya pagi itu. Ia mengenakan blazer hitam sederhana dan rok pensil yang dijepit seadanya dengan pin, hasil modifikasi dadakan semalam. Seorang sekretaris menyambutnya di depan pintu ruangan paling ujung. "Silakan masuk. Pak Presiden Direktur sudah menunggu Anda." Aurora menarik napas panjang, memperbaiki kerah blazernya, lalu mengetuk pintu sekali sebelum membukanya. "Selamat pagi. Saya Aurora Marvelo, pegawai baru untuk bagian pemasaran. Saya diminta—" Kata-katanya terhenti seketika saat pria di kursi eksekutif itu berbalik dengan lambat, tersenyum lebar, dan menyilangkan tangan santai. "—untuk langsung melapor pada saya," potong Rafael, suaranya rendah dan penuh kemenangan. "Selamat datang, Aurora." Aurora membeku di tempat. Matanya menyipit, dadanya bergemuruh karena kejutan dan kemarahan yang mendadak kembali membuncah. "Kau? Bagaimana bisa? Kalau aku tahu ini perusahaanmu, aku tidak akan datang," katanya tajam, nyaris meludah. Rafael terkekeh pelan, lalu berdiri, mendekatinya perlahan seperti singa yang melihat rusa masuk kandang. "Sayangnya, kamu sudah datang. Dan lebih sayang lagi, kamu tidak punya pilihan lain sekarang." Aurora berbalik, hendak keluar begitu saja. Namun suara Rafael menghentikannya tepat di ambang pintu. "Perusahaan cabang kami hampir bangkrut, Aurora. Karena ulah ayahmu, Edgar Marvelo. Aku bisa bawa ini ke pengadilan, dan kamu... akan ikut diseret sebagai ahli waris." Aurora perlahan berputar, wajahnya memucat namun tetap garang. "Kau tak bisa menyalahkanku atas dosa ayahku." "Aku tak menyalahkanmu. Aku hanya membuatmu bertanggung jawab," Rafael menjawab, suaranya tenang namun dingin. "Jika kau keluar sekarang, aku pastikan tak satu pun perusahaan di industri ini akan mau menerima namamu di resume. Dan... polisi akan tertarik memanggilmu." Aurora menggertakkan giginya, gemetar bukan karena takut, melainkan karena kesal yang nyaris meledak. "Ini pemerasan." "Ini bisnis," Rafael menjawab dengan senyum puas. "Tapi jangan khawatir, aku tetap akan menggajimu. Setengah gaji dari standar posisi marketing senior." Aurora menahan napas. "Setengah? Itu bahkan tidak cukup untuk bayar kamar kos dan makan!" "Karena itu aku siapkan kompensasi tambahan,” katanya dengan smirk di wajahnya. Aurora menatap pria itu dengan sorot yang membara, ia tahu telah masuk ke medan perang, dan satu-satunya jalan keluar adalah menang. Bersambung ...Aurora menangis lega, tubuhnya lemas tapi senyumnya merekah. “Itu… anak kita,” suaranya bergetar. Suster dengan sigap membersihkan dan membungkus bayi itu dengan selimut hangat sebelum menyerahkannya pada Rafael. Tangan Rafael gemetar saat menerima putra kecilnya untuk pertama kali. “Halo, anakku…” ucapnya pelan, air mata bahagia membasahi wajahnya. Ia mendekat ke Aurora, menunjukkan bayi mereka. “Lihat, sayang… dia sempurna. Kau luar biasa,” Rafael mengecup kening istrinya, suaranya penuh rasa syukur. Aurora menatap bayi mungil itu dengan mata berbinar, lalu menyentuh pipi anaknya yang lembut. “Aku… aku tidak percaya dia benar-benar ada,” katanya sambil tersenyum lemah. Rafael duduk di sampingnya, merangkul Aurora dan bayi mereka sekaligus. Suara tangisan kecil si bayi memenuhi ruangan, namun bagi mereka, itu adalah melodi terindah yang pernah mereka dengar. *** Langit sore tampak cerah ketika mobil Rafael perlahan memasuki halaman rumah mereka. Aurora duduk di kursi b
Di luar, langit malam bertabur bintang, suara deburan ombak mulai terdengar samar. Rafael memeluk Aurora dengan erat menarik selimut untuk menutupi tubuh keduanya. “Aku mencintaimu, Aurora. Mulai malam ini, dan untuk selamanya.” Aurora menatapnya dengan senyum tulus, matanya berkilau. “Aku juga mencintaimu, Rafael.” Perlahan mata mereka mulai terpejam di sisa-sisa kenikmatan. Kelelahan dan kebahagiaan malam pengantin itu menambah cinta yang akan terus tumbuh. *** Satu bulan kemudian, di rumah mewah mereka Aurora tengah duduk di tepi ranjang dengan napas berdebar. Di tangannya, sebuah test pack menunjukkan dua garis merah yang jelas. Aurora terdiam beberapa detik, memastikan matanya tidak salah melihat. Saat kesadaran penuh menghampirinya, matanya membesar dan bibirnya terbuka lebar. “Ya Tuhan,” ucapnya lirih, lalu jeritan kecil penuh kebahagiaan meluncur dari bibirnya. “Rafael!” panggilnya dengan suara bergetar. Rafael, yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan hand
Mobil pengantin perlahan berhenti di depan sebuah vila mewah yang berdiri di tepi pantai. Lampu-lampu taman memancarkan cahaya lembut, memantulkan siluet pohon kelapa yang bergoyang diterpa angin malam. Suara ombak yang berdebur di kejauhan memberi suasana tenang dan intim, seolah menyambut pasangan pengantin baru itu. Rafael turun lebih dulu, mengenakan tuxedo putihnya yang kini tampak lebih santai dengan dasi kupu-kupu yang dilepaskannya. Ia segera membuka pintu untuk Aurora, yang turun dengan gaun pengantin panjang berkilauan, ujungnya tersapu angin malam. Rafael tersenyum, memandang istrinya dengan penuh cinta. “Selamat datang di tempat kita malam ini,” ucapnya sambil menggenggam tangan Aurora erat. Aurora tersenyum kecil, matanya berbinar sekaligus terasa lelah setelah seharian menjalani prosesi pernikahan. Mereka berjalan beriringan menuju pintu vila. Saat Rafael membukanya, aroma bunga segar dan wangi lilin aromaterapi langsung menyambut. Ruangan itu dihias dengan sentuhan
Di tengah sorakan dan tepuk tangan, mereka berdua berjalan menuruni altar dengan tangan yang saling menggenggam erat. Senyum merekah di wajah keduanya. Menjadi tanda kebahagiaan yang akan selalu hadir dalam pernikahan mereka. *** Ballroom hotel mewah itu dipenuhi cahaya keemasan dari lampu kristal yang berkilauan, menciptakan suasana yang elegan sekaligus hangat. Meja-meja bundar berlapis taplak putih berhiaskan vas bunga mawar dan lilin beraroma lembut, sementara musik klasik mengalun pelan, menemani para tamu menikmati pesta resepsi yang baru saja dimulai setelah akad nikah yang mengharukan. Aurora menatap sekeliling, matanya berkaca-kaca melihat begitu banyak orang yang datang merayakan kebahagiaan mereka. “Aku masih tidak percaya semua ini nyata,” bisiknya pada Rafael. Rafael tersenyum lembut, menepuk tangan istrinya. “Ini nyata, Aurora. Kamu istriku sekarang, dan mulai hari ini, kita akan memulai hidup baru.” Mereka berjalan beriringan menyapa para tamu. Marissa, yang k
Tamu-tamu undangan mulai berdiri, menoleh ke arah pintu besar ballroom yang tertutup rapat. Detik-detik penuh harap terasa begitu panjang. Lalu, perlahan pintu besar itu terbuka, memperlihatkan sosok Aurora. Aurora berdiri di depan pintu, anggun bagaikan seorang putri dari negeri dongeng. Gaunnya panjang berkilauan, terbuat dari satin putih dengan detail payet yang memantulkan cahaya. Roknya menjuntai anggun, dengan ekor gaun yang mengikuti setiap langkahnya. Rambutnya diatur rapi dengan gelombang lembut, dihiasi mahkota kecil yang berkilau di bawah cahaya lampu. Di tangannya, ia menggenggam buket bunga mawar putih bercampur lily sederhana namun elegan. Senyumnya lembut, namun matanya berkilat penuh emosi, mencerminkan kebahagiaan yang ia rasakan. Sorakan kagum terdengar dari para tamu. Marissa yang datang bersama dengan Reynaldo menitikkan air mata melihat betapa anggun dan bahagianya Aurora malam itu. Aurora menarik napas panjang, menenangkan degup jantungnya yang berdebar cepat.
Panggilan keberangkatan untuk penerbangan mereka terdengar dari pengeras suara, membuat suasana semakin nyata. Marissa menggandeng Rey, yang melambaikan tangan kecilnya sambil tersenyum tipis. “Dadah, Kakak Aurora… Om Rafael.” Aurora melambaikan tangan dengan mata sembab, Rafael berdiri di sampingnya dengan ekspresi serius namun matanya menyiratkan emosi yang sama. Mereka berdua melihat Marissa dan Rey berjalan menjauh, melewati pemeriksaan, hingga akhirnya menghilang di balik pintu keberangkatan. Aurora menghela napas panjang, merasakan kehampaan saat sosok kecil Rey tak lagi terlihat. Rafael meraih tangannya, menggenggamnya erat. “Mereka akan baik-baik saja,” ucap Rafael tenang. Aurora menoleh padanya, matanya masih berkaca. “Aku tahu… Tapi rasanya sulit melepas mereka begitu saja.” Rafael menarik Aurora ke dalam pelukannya. “Kita sudah melakukan yang terbaik. Sekarang, saatnya mereka mendapatkan ketenangan.” Aurora menutup mata, membiarkan dirinya larut dalam pelukan Rafae







