Share

Perangkap Dendam Tuan Miliarder
Perangkap Dendam Tuan Miliarder
Author: Von Hsu

Jebakan di Ruang Seni

Author: Von Hsu
last update Last Updated: 2025-08-20 15:36:30

POV Angela

"Angela, kau dicari Ms. Miller di ruang seni," ujar salah seorang temanku, suaranya terengah-engah seperti baru saja berlari.

Ruang seni? Kenapa dia mencariku jam segini? Ini sudah saatnya pulang sekolah, dan aku harus segera menjenguk Mom di rumah sakit. Dengan rasa penasaran, aku menyusuri koridor yang sepi karena kebanyakan murid sudah pulang. 

Ketika tiba di ruang seni, aku melihat pintunya sedikit terbuka. Aku melangkah masuk dengan ragu, mataku menjelajahi setiap sudut ruangan. Tapi, tak ada siapa pun di sana. Hanya terlihat deretan meja kerja yang berantakan dengan sisa-sisa peralatan melukis. 

"Ms. Miller?" panggilku.

Hening. Tak ada sahutan, tak ada suara. Aku menghela napas dengan rasa frustasi. Apakah mungkin temanku salah? Atau mungkin Ms. Miller sudah pulang? Saat aku berbalik untuk pergi...

Kemudian hal itu terjadi.

Sebuah tangan menutup mulutku dari belakang, kasar dan tiba-tiba. 

"Ssst."

Bisikan dan napas yang memburu dari orang itu menjalar ke tengkukku, membekukan tubuhku di tempat. Napasku tersengal, dangkal, dan putus asa. 

"Jangan berisik. Aku tidak akan menyakitimu jika kau menurut," bisiknya lagi.

Jantungku berdetak kencang. Saat tangannya terlepas dari mulutku, aku berbalik dengan cepat untuk melihat siapa yang berada dalam ruangan yang sama denganku saat ini. 

"Ian? Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku.

Dia tidak menjawab. Tiba-tiba, dia mengunci pintu ruangan ini dengan kunci yang dia ambil dari sakunya. Bunyi "klik" kunci yang terdengar, membuat jantungku berdetak lebih kencang. 

"Apa yang kau lakukan?!" teriakku panik. 

Ian berjalan mendekatiku, refleks membuatku berjalan mundur. Tatapan matanya membuatku semakin takut padanya. Aku berjalan mundur hingga tidak tersadar menabrak meja di belakangku. 

"Kau terus menghindariku, Angela," katanya, nadanya dingin. "Kenapa? Aku sudah sabar selama ini, tapi yang kau lakukan hanya terus menjauh."

"Minggir," aku mencoba berjalan melewatinya, tapi tangannya segera mencengkeram lenganku dengan begitu kuat.

"Kau tidak mengerti," suaranya terdengar meninggi. "Aku lelah diabaikan."

Dorongannya datang tanpa peringatan, keras dan kuat hingga membuatku menghantam lantai. Rasa sakit menusuk ke punggungku. Sebelum aku bisa bangkit, Ian sudah berada di atasku, berat badannya menindihku. 

"Kau milikku, Angela," bisiknya, napasnya hangat di telingaku. 

"Lepaskan aku!" Suaraku pecah saat aku berjuang melepaskan diri di bawahnya. Jantungku berdetak kencang, setiap otot di tubuhku menegang untuk mendorongnya menjauh, tapi dia tidak bisa dihentikan. 

"Berhenti melawan," desisnya, tangannya menyapu sisi wajah hingga ke leherku. "Kau membuatnya semakin sulit."

Mataku melebar panik saat dia membungkam mulutku dengan sebuah kain yang dikeluarkan dari saku celananya. Aku ingin berteriak, ingin melawan, tapi tubuhku tak berdaya. Dia menahan tubuhku, menekan dengan kuat, membuatku tak bisa bergerak. 

"Diam dan nikmati saja," bisiknya lagi. 

Air mata mengalir di wajahku saat aku berjuang untuk mendorongnya menjauh. Tangannya ada di mana-mana, melanggar batasan, dia juga mulai membuka kancing seragamku. Pikiranku menjerit, menolak untuk membiarkan ini terjadi padaku. 

Dengan sisa kekuatan yang kumiliki, aku berhasil menendangnya hingga tubuhnya terhuyung mundur. Suara erangan kesakitannya adalah kemenangan singkat untukku. 

Inilah kesempatanku. Aku langsung berlari ke arah pintu, gelombang adrenalin mengalir deras dalam tubuhku. Aku menerjang ke arah pintu, jari-jariku melepaskan kain yang membungkam mulutku. Akhirnya, kain itu terlepas, membuka jalan bagiku untuk berteriak.

"Tolong! Tolong aku!" teriakku dengan putus asa. Aku menggedor-gedor pintu dengan sekuat tenaga, berharap ada yang mendengarnya. Aku harus keluar dari sini. 

Tapi Ian terlalu cepat pulih. Dia mencengkeram pergelangan tanganku dengan cepat, menarikku kembali dengan kekuatan brutal.

"Kau tidak akan ke mana-mana, Angela," bisiknya. 

"Brengsek! Lepaskan aku!" teriakku lantang, tanganku berusaha mencakarnya tetapi cengkeramannya tidak goyah. Dia mencondongkan tubuhnya lebih dekat padaku, berusaha menciumku tetapi aku berhasil menghindarinya. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Siapa saja, tolong aku!

"Angela, kau di sana?" 

Hatiku melonjak mendengar suara Aaron di luar pintu. Rasa lega merayap dalam tubuhku, tapi tangan Ian langsung membungkam mulutku sebelum aku bisa menjawab. 

"Jangan bicara," bisiknya di telingaku, tatapannya melirik ke arah pintu. 

"Angela," suara Aaron memanggil lagi, lebih dekat sekarang. 

Aku bisa merasakan tatapan Ian yang penuh amarah, membuatnya semakin tampak menakutkan. Tangannya menekan mulutku semakin kuat, membuatku kesulitan bernapas. Panik melandaku. 

Aku menggerakkan kepalaku, mencari celah untuk melepaskan diri. Gigiku akhirnya menemukan sasaran di tangannya. Aku menggigit dengan sekuat tenaga, membuatnya meraung kesakitan hingga akhirnya menarik tangannya. 

"Aaron!" teriakku, suaraku serak karena menahan napas. "Tolong aku!"

"Kau jalang!" teriak Ian. Seketika itu juga, dia menamparku dengan keras, membuat pandanganku terasa kabur, dunia terasa berputar-putar. 

Rasa sakit menusuk pipiku. Ian mendekatiku lagi, tangannya kasar dan memaksa, berusaha menyentuhku kembali. Aku melawan lebih keras, mencakar dan menendang sekuat tenaga diiringi oleh tangisanku yang begitu histeris.

Tiba-tiba, terdengar suara dentuman keras dari luar, seperti seseorang yang sedang berusaha mendobrak pintu. Aku mendengar suara Aaron mengutuk di luar sana.

Tidak berapa lama, Aaron akhirnya berhasil mendobrak pintu. Mata kami bertemu. Aku tidak tahu bagaimana penampilanku saat ini di matanya. Aku pasti tampak kacau sekali. 

"Brengsek!" teriak Aaron.

Aaron langsung menerjang Ian saat dia masuk, tinjunya melayang. Aaron mendaratkan pukulan yang kuat ke rahang Ian, tapi Ian membalas dengan cepat, menghantam perut Aaron dengan tinjunya.

Aku menyaksikan dengan ngeri saat perkelahian itu terjadi. Tiba-tiba, Aaron terhuyung, tubuhnya ambruk ke lantai ketika mendapatkan serangan bertubi-tubi dari Ian. Suara pukulan itu membuatku merasa ngeri. 

"Tidak!" Aku menjerit, suaraku pecah. "Berhenti, Ian! Kau akan membunuhnya!"

Tapi, Ian tak menghiraukanku. Dia terus memukuli Aaron, tanpa henti. Tidak, jika ini terus berlanjut, Aaron akan mati. 

Kepanikan merayap dalam diriku saat aku memindai ruangan mencari sesuatu, apa saja untuk membantu. Mataku tertuju pada sebuah kursi kayu di sana.

Aku bangkit dengan cepat. Tanpa berpikir panjang, aku meraih dan mengayunkannya sekuat tenaga. Kursi itu mengenai bahu Ian, membuatnya merintih kesakitan, dan mengeluarkan geraman marah. 

"Sialan, kau jalang!" desisnya.

Dia berdiri, langkahnya cepat saat dia berjalan ke arahku. Aku berjalan mundur hingga punggungku menghantam dinding di belakangku. Aku ketakutan dan tidak tahu apa lagi yang akan dia lakukan padaku kali ini. 

Ketika aku tersudut, tangan Ian langsung mencekikku, menekan tenggorokanku hingga udara seakan tersedot dari paru-paruku. Kedua tanganku berusaha memukul tangannya, tapi cekikannya semakin kuat, menguras sisa-sisa udara di tubuhku.

"Kau bisa menghentikan semua ini, Angela," desisnya. "Kalau kau mau menerimaku, semua ini tidak akan terjadi."

Air mata membanjiri mataku, mengaburkan penglihatanku. Cengkeramannya semakin mengencang di tenggorokanku. Dadaku terasa terbakar karena kekurangan udara, kekuatanku semakin memudar. Apakah aku akan mati di sini?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Kehancuran

    POV Angela"Angela," suara Aaron terdengar rendah, namun menusuk. "Apa maksud semua ini?"Aku membeku, napasku tercekat. "Aaron," bisikku lirih. Aku berusaha menenangkan diri, tapi suara detak jantungku yang begitu kencang membuat semuanya semakin sulit. Lututku terasa lemas, hampir menyerah menopang tubuhku.Rahasia yang selama ini kukubur begitu dalam, kini terbongkar. Aku tidak pernah menyangka semuanya akan terungkap seperti ini. Aku sudah cukup melukai Aaron, dan jika dia mengetahui kebenaran tentang taruhan itu... aku akan menghancurkannya sepenuhnya. Evelyn menyeringai lebar, senyumannya lebih terlihat seperti ejekan. "Menarik sekali," katanya, matanya berpindah ke teman-temannya sejenak, lalu kembali menatapku. "Biar kutebak. Aaron belum tahu tentang taruhan kita?"Aku memelototi Evelyn, mulutku terbuka seakan ingin membalas, tapi tak ada satu kata pun yang keluar. Pikiranku berputar liar, mencoba menemukan cara untuk menghentikan mimpi buruk ini. "Aaron," Evelyn memulai. "A

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Pengkhianatan dan Kepalsuan

    POV AngelaSeorang suster keluar dari ruang ICU. "Apakah Anda keluarga dari Mrs. Jones?"Aku segera berdiri dan mendekat. "Ya, saya putrinya. Bagaimana kondisinya?" tanyaku, cemas. "Saat ini, Dr. Smith sedang menyelesaikan catatan pasca-operasinya," jawabnya. "Dia akan menemui Anda di ruangannya sebentar lagi. Mari saya antar ke sana."Aku mengangguk dan mengikuti suster itu ke ruang dokter. "Selamat sore, Miss Jones," sapa Dr. Smith saat dia melangkah masuk ke ruangannya."Sore, Dokter," jawabku cepat. "Bagaimana keadaan Mom? Apakah operasinya berjalan lancar?""Operasi berjalan dengan lancar. Kami berhasil membuka penyumbatan di arteri utama, dan aliran darah ke jantungnya kini sudah stabil," jawab Dr. Smith, memberikan sedikit senyuman yang menenangkan. Aku menghela napas lega, meskipun kekhawatiranku belum sepenuhnya hilang. "Apakah dia akan baik-baik saja?""Masih perlu dipantau, tapi jika tak ada komplikasi, pemulihannya bisa baik. Kami akan terus memonitor selama 24 hingga 4

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Ancaman Keluarga Bennett

    POV AngelaAku menunduk, berusaha menyembunyikan kekacauan yang bergejolak di dadaku. Telepon dari rumah sakit itu terus terngiang di kepalaku. Mom dalam kondisi kritis. Mereka membutuhkan persetujuanku untuk operasi. Tapi aku tidak tahu bagaimana menjelaskan semua ini kepada Aaron. Aku tidak ingin membebani dia lagi setelah semua yang dia lakukan untukku hari ini."Aku baru ingat ada sesuatu yang harus kuurus," kataku cepat, memaksakan senyum yang kuharap terlihat alami. "Aku harus pergi. Kau bisa gunakan mobilku untuk pulang."Aaron menatapku, sorot matanya tajam. "Apa ada sesuatu yang terjadi?""Tidak ada. Ini hanya sedikit urusan keluargaku," jawabku. Aku bisa mendengar nada gugup yang menyelip dari suaraku."Angela."Aku mendongak, dan mata kami bertemu. Aku berusaha menahan air mata yang hendak keluar dan aku berharap dia tidak menyadarinya. "Kalau kau harus pergi, pergilah," katanya pelan. "Tapi kalau kau butuh bantuan, apa pun itu, katakan padaku."Dadaku terasa sesak. Ada be

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Kau Penting Bagiku

    POV AngelaAku tak tahu apa lagi yang terjadi saat aku menutup kedua mataku, tapi tiba-tiba cengkeramannya lepas dari leherku. Aku melihat Ian terjatuh. Sepertinya ketika Ian fokus padaku, Aaron menyerangnya dari belakang. Ian terjungkal ke lantai, mengeluarkan rintihan kesakitan. Aaron langsung menghujani pukulan ke arahnya.Aku terbatuk-batuk, paru-paruku akhirnya mendapatkan sedikit udara segar. Lututku lemas, tubuhku goyah, dan akhirnya jatuh terduduk. Pandanganku terpaku pada Ian, tubuhnya terkulai di bawah pukulan bertubi-tubi dari Aaron.Aaron akhirnya berhenti ketika Ian sudah tak berdaya. Dia mendekat, tatapannya terlihat sangat khawatir padaku. "Angela, kau baik-baik saja?"Aku hanya bisa mengangguk lemah, aku tidak sanggup berbicara lagi. Hari ini, dunia terasa berputar terlalu menakutkan untukku. Aaron, seolah membaca pikiranku, menarikku ke dalam pelukannya. "Maafkan aku, Angela. Aku datang terlambat."Kehangatan tubuhnya menenangkan badai di dalam diriku. Air mataku men

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Jebakan di Ruang Seni

    POV Angela"Angela, kau dicari Ms. Miller di ruang seni," ujar salah seorang temanku, suaranya terengah-engah seperti baru saja berlari.Ruang seni? Kenapa dia mencariku jam segini? Ini sudah saatnya pulang sekolah, dan aku harus segera menjenguk Mom di rumah sakit. Dengan rasa penasaran, aku menyusuri koridor yang sepi karena kebanyakan murid sudah pulang. Ketika tiba di ruang seni, aku melihat pintunya sedikit terbuka. Aku melangkah masuk dengan ragu, mataku menjelajahi setiap sudut ruangan. Tapi, tak ada siapa pun di sana. Hanya terlihat deretan meja kerja yang berantakan dengan sisa-sisa peralatan melukis. "Ms. Miller?" panggilku.Hening. Tak ada sahutan, tak ada suara. Aku menghela napas dengan rasa frustasi. Apakah mungkin temanku salah? Atau mungkin Ms. Miller sudah pulang? Saat aku berbalik untuk pergi...Kemudian hal itu terjadi.Sebuah tangan menutup mulutku dari belakang, kasar dan tiba-tiba. "Ssst."Bisikan dan napas yang memburu dari orang itu menjalar ke tengkukku, me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status