LOGINAngela Jones baru saja meraih popularitas ketika skandal besar menghancurkan karirnya. Saat kabur ke Santa Barbara, dia tanpa sengaja bertemu kembali dengan Aaron Carter, pria yang dulu pernah dia fitnah dan hancurkan. Kini Aaron bukan lagi bocah malang, melainkan miliarder dingin yang hanya punya satu tujuan : balas dendam. Dengan kendali penuh, dia menyeret Angela masuk ke dalam permainan berbahaya, memaksanya membayar semua dosa masa lalu. Angela akhirnya harus memilih, bertahan melawan dunia yang ingin menjatuhkannya, atau menyerah pada pria yang paling ingin menghancurkannya, namun juga satu-satunya yang bisa menyelamatkannya.
View MorePOV Angela
"Angela, kau dicari Ms. Miller di ruang seni," ujar salah seorang temanku, suaranya terengah-engah seperti baru saja berlari.
Ruang seni? Kenapa dia mencariku jam segini? Ini sudah saatnya pulang sekolah, dan aku harus segera menjenguk Mom di rumah sakit. Dengan rasa penasaran, aku menyusuri koridor yang sepi karena kebanyakan murid sudah pulang.
Ketika tiba di ruang seni, aku melihat pintunya sedikit terbuka. Aku melangkah masuk dengan ragu, mataku menjelajahi setiap sudut ruangan. Tapi, tak ada siapa pun di sana. Hanya terlihat deretan meja kerja yang berantakan dengan sisa-sisa peralatan melukis.
"Ms. Miller?" panggilku.
Hening. Tak ada sahutan, tak ada suara. Aku menghela napas dengan rasa frustasi. Apakah mungkin temanku salah? Atau mungkin Ms. Miller sudah pulang? Saat aku berbalik untuk pergi...
Kemudian hal itu terjadi.
Sebuah tangan menutup mulutku dari belakang, kasar dan tiba-tiba.
"Ssst."
Bisikan dan napas yang memburu dari orang itu menjalar ke tengkukku, membekukan tubuhku di tempat. Napasku tersengal, dangkal, dan putus asa.
"Jangan berisik. Aku tidak akan menyakitimu jika kau menurut," bisiknya lagi.
Jantungku berdetak kencang. Saat tangannya terlepas dari mulutku, aku berbalik dengan cepat untuk melihat siapa yang berada dalam ruangan yang sama denganku saat ini.
"Ian? Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku.
Dia tidak menjawab. Tiba-tiba, dia mengunci pintu ruangan ini dengan kunci yang dia ambil dari sakunya. Bunyi "klik" kunci yang terdengar, membuat jantungku berdetak lebih kencang.
"Apa yang kau lakukan?!" teriakku panik.
Ian berjalan mendekatiku, refleks membuatku berjalan mundur. Tatapan matanya membuatku semakin takut padanya. Aku berjalan mundur hingga tidak tersadar menabrak meja di belakangku.
"Kau terus menghindariku, Angela," katanya, nadanya dingin. "Kenapa? Aku sudah sabar selama ini, tapi yang kau lakukan hanya terus menjauh."
"Minggir," aku mencoba berjalan melewatinya, tapi tangannya segera mencengkeram lenganku dengan begitu kuat.
"Kau tidak mengerti," suaranya terdengar meninggi. "Aku lelah diabaikan."
Dorongannya datang tanpa peringatan, keras dan kuat hingga membuatku menghantam lantai. Rasa sakit menusuk ke punggungku. Sebelum aku bisa bangkit, Ian sudah berada di atasku, berat badannya menindihku.
"Kau milikku, Angela," bisiknya, napasnya hangat di telingaku.
"Lepaskan aku!" Suaraku pecah saat aku berjuang melepaskan diri di bawahnya. Jantungku berdetak kencang, setiap otot di tubuhku menegang untuk mendorongnya menjauh, tapi dia tidak bisa dihentikan.
"Berhenti melawan," desisnya, tangannya menyapu sisi wajah hingga ke leherku. "Kau membuatnya semakin sulit."
Mataku melebar panik saat dia membungkam mulutku dengan sebuah kain yang dikeluarkan dari saku celananya. Aku ingin berteriak, ingin melawan, tapi tubuhku tak berdaya. Dia menahan tubuhku, menekan dengan kuat, membuatku tak bisa bergerak.
"Diam dan nikmati saja," bisiknya lagi.
Air mata mengalir di wajahku saat aku berjuang untuk mendorongnya menjauh. Tangannya ada di mana-mana, melanggar batasan, dia juga mulai membuka kancing seragamku. Pikiranku menjerit, menolak untuk membiarkan ini terjadi padaku.
Dengan sisa kekuatan yang kumiliki, aku berhasil menendangnya hingga tubuhnya terhuyung mundur. Suara erangan kesakitannya adalah kemenangan singkat untukku.
Inilah kesempatanku. Aku langsung berlari ke arah pintu, gelombang adrenalin mengalir deras dalam tubuhku. Aku menerjang ke arah pintu, jari-jariku melepaskan kain yang membungkam mulutku. Akhirnya, kain itu terlepas, membuka jalan bagiku untuk berteriak.
"Tolong! Tolong aku!" teriakku dengan putus asa. Aku menggedor-gedor pintu dengan sekuat tenaga, berharap ada yang mendengarnya. Aku harus keluar dari sini.
Tapi Ian terlalu cepat pulih. Dia mencengkeram pergelangan tanganku dengan cepat, menarikku kembali dengan kekuatan brutal.
"Kau tidak akan ke mana-mana, Angela," bisiknya.
"Brengsek! Lepaskan aku!" teriakku lantang, tanganku berusaha mencakarnya tetapi cengkeramannya tidak goyah. Dia mencondongkan tubuhnya lebih dekat padaku, berusaha menciumku tetapi aku berhasil menghindarinya. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Siapa saja, tolong aku!
"Angela, kau di sana?"
Hatiku melonjak mendengar suara Aaron di luar pintu. Rasa lega merayap dalam tubuhku, tapi tangan Ian langsung membungkam mulutku sebelum aku bisa menjawab.
"Jangan bicara," bisiknya di telingaku, tatapannya melirik ke arah pintu.
"Angela," suara Aaron memanggil lagi, lebih dekat sekarang.
Aku bisa merasakan tatapan Ian yang penuh amarah, membuatnya semakin tampak menakutkan. Tangannya menekan mulutku semakin kuat, membuatku kesulitan bernapas. Panik melandaku.
Aku menggerakkan kepalaku, mencari celah untuk melepaskan diri. Gigiku akhirnya menemukan sasaran di tangannya. Aku menggigit dengan sekuat tenaga, membuatnya meraung kesakitan hingga akhirnya menarik tangannya.
"Aaron!" teriakku, suaraku serak karena menahan napas. "Tolong aku!"
"Kau jalang!" teriak Ian. Seketika itu juga, dia menamparku dengan keras, membuat pandanganku terasa kabur, dunia terasa berputar-putar.
Rasa sakit menusuk pipiku. Ian mendekatiku lagi, tangannya kasar dan memaksa, berusaha menyentuhku kembali. Aku melawan lebih keras, mencakar dan menendang sekuat tenaga diiringi oleh tangisanku yang begitu histeris.
Tiba-tiba, terdengar suara dentuman keras dari luar, seperti seseorang yang sedang berusaha mendobrak pintu. Aku mendengar suara Aaron mengutuk di luar sana.
Tidak berapa lama, Aaron akhirnya berhasil mendobrak pintu. Mata kami bertemu. Aku tidak tahu bagaimana penampilanku saat ini di matanya. Aku pasti tampak kacau sekali.
"Brengsek!" teriak Aaron.
Aaron langsung menerjang Ian saat dia masuk, tinjunya melayang. Aaron mendaratkan pukulan yang kuat ke rahang Ian, tapi Ian membalas dengan cepat, menghantam perut Aaron dengan tinjunya.
Aku menyaksikan dengan ngeri saat perkelahian itu terjadi. Tiba-tiba, Aaron terhuyung, tubuhnya ambruk ke lantai ketika mendapatkan serangan bertubi-tubi dari Ian. Suara pukulan itu membuatku merasa ngeri.
"Tidak!" Aku menjerit, suaraku pecah. "Berhenti, Ian! Kau akan membunuhnya!"
Tapi, Ian tak menghiraukanku. Dia terus memukuli Aaron, tanpa henti. Tidak, jika ini terus berlanjut, Aaron akan mati.
Kepanikan merayap dalam diriku saat aku memindai ruangan mencari sesuatu, apa saja untuk membantu. Mataku tertuju pada sebuah kursi kayu di sana.
Aku bangkit dengan cepat. Tanpa berpikir panjang, aku meraih dan mengayunkannya sekuat tenaga. Kursi itu mengenai bahu Ian, membuatnya merintih kesakitan, dan mengeluarkan geraman marah.
"Sialan, kau jalang!" desisnya.
Dia berdiri, langkahnya cepat saat dia berjalan ke arahku. Aku berjalan mundur hingga punggungku menghantam dinding di belakangku. Aku ketakutan dan tidak tahu apa lagi yang akan dia lakukan padaku kali ini.
Ketika aku tersudut, tangan Ian langsung mencekikku, menekan tenggorokanku hingga udara seakan tersedot dari paru-paruku. Kedua tanganku berusaha memukul tangannya, tapi cekikannya semakin kuat, menguras sisa-sisa udara di tubuhku.
"Kau bisa menghentikan semua ini, Angela," desisnya. "Kalau kau mau menerimaku, semua ini tidak akan terjadi."
Air mata membanjiri mataku, mengaburkan penglihatanku. Cengkeramannya semakin mengencang di tenggorokanku. Dadaku terasa terbakar karena kekurangan udara, kekuatanku semakin memudar. Apakah aku akan mati di sini?
POV AaronAku tidak memberinya kesempatan.Aku maju dan menghantamkan bahuku ke dadanya. Benturan itu merobohkannya. Aku jatuh bersamanya, lututku menghantam aspal. Dengan tangan yang masih berfungsi, aku mencengkeram kerahnya dan menghantamkan kepalanya ke tanah.Dia terkulai dan tak bisa bangkit lagi.Aku berdiri terhuyung. Lenganku berdenyut keras, nyeri menjalar sampai bahu. Aku menggenggamnya, masih bisa digerakkan. Sakit, tapi tidak patah.“Aaron!” Angela berlari ke arahku, wajahnya terlihat pucat. “Tanganmu...”“Ke mobil,” potongku cepat. “Sekarang.”Dia ragu sepersekian detik, sebelum akhirnya berbalik dan berlari. Aku tetap berdiri, menghadap mereka.Tidak ada yang maju. Tatapan mereka berubah—bukan takut, tapi menghitung ulang.Tiba-tiba, lampu sorot menyapu persimpangan dari arah berlawanan. Empat SUV hitam masuk hampir bersamaan, berhenti membe
POV AaronAku tahu kami tidak sendirian sejak aku duduk di mobil menunggu Angela keluar. Naluri itu tak pernah salah. Tanpa ragu, aku meraih ponsel, mengetik beberapa kata singkat, lalu mengirimkannya.Begitu mobil bergerak, mobil di belakang ikut melaju. Tidak agresif. Tidak menjaga jarak terlalu dekat. Dia berada tepat di posisi aman, terlalu rapi untuk disebut kebetulan.Aku tetap mengemudi, menanggapi ocehan Angela yang mencoba memancing emosiku. Nada suaranya naik turun, tapi aku tetap berusaha tenang.Begitu ada celah, aku menekan pedal gas.Mobil melesat, kecepatan naik, cukup untuk menguji mereka.Mataku terkunci pada kaca spion.Mobil itu ikut mempercepat.Sudah jelas sekarang.Angela terus mengomel, nada frustrasinya terdengar jelas di kabin. Aku hanya diam, menunggu sampai akhirnya dia menyadari sendiri—kami sedang diikuti.Tiba-tiba, ponselnya berdering. Aku menangka
POV AngelaAku langsung mengenali dua orang yang berjalan di belakang Beth. Lauren dan Natalie. Kami pernah satu agensi. Pernah berbagi ruang tunggu casting yang sama.Beth berhenti di samping mejaku, lalu mencondongkan tubuh sedikit seperti sedikit merasa bersalah.“Angela, kau tidak keberatan, kan? Mereka ikut setelah tahu aku mau ketemu kau."Aku melirik ke arah Lauren dan Natalie.“Keberatan?” kataku. “Ayolah. Duduk.”Lauren tersenyum kepadaku. "Hai, Angela.""Hai," jawabku. "Lama gak ketemu."Natalie tertawa kecil. "Iya. Terakhir kali aku lihat kau, kita masih menunggu hasil casting yang gak pernah dikabarin itu "Lauren menyeringai. "Dan ternyata perannya jatuh ke anak produser."Aku menghela napas, setengah tertawa.Obrolan kami langsung mengalir. Tidak dipaksa. Seperti kami hanya berhenti bicara sebentar, bukan terpisah lama.Bartender datang, B
POV AngelaAku menatap layar. Nama Aaron masih menyala di sana. Ibu jariku menggantung di atasnya.Aku memutuskan untuk tidak mengangkat telepon itu hingga dering itu berhenti dengan sendirinya.Aku menghela napas perlahan, tidak yakin apa yang akan dilakukan Aaron karena aku mengabaikannya seperti ini.Aku menyalakan mesin dan terus mengemudi, tanpa tujuan.Ponselku berdering lagi.Aku mengeluarkannya dari tas dan melihat namanya muncul untuk kedua kalinya.Kali ini tanpa ragu, aku langsung menekan tolak.Layar menjadi gelap.Cengkeramanku di setir mengencang. Aku bahkan tidak tahu ke mana tujuanku sekarang.Tanpa benar-benar merencanakannya, aku berbelok.Beberapa menit kemudian, rumah ayahku muncul di ujung jalan.Aku memarkir mobil di tepi jalan dan duduk diam sejenak, menatap pintu depan. Rumah itu tampak sama seperti biasanya. Bersih. Rapi. Tak ada yang berubah.Aku tur
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.