Share

Kau Penting Bagiku

Author: Von Hsu
last update Last Updated: 2025-08-20 15:37:54

POV Angela

Aku tak tahu apa lagi yang terjadi saat aku menutup kedua mataku, tapi tiba-tiba cengkeramannya lepas dari leherku. 

Aku melihat Ian terjatuh. Sepertinya ketika Ian fokus padaku, Aaron menyerangnya dari belakang. Ian terjungkal ke lantai, mengeluarkan rintihan kesakitan. Aaron langsung menghujani pukulan ke arahnya.

Aku terbatuk-batuk, paru-paruku akhirnya mendapatkan sedikit udara segar. Lututku lemas, tubuhku goyah, dan akhirnya jatuh terduduk. Pandanganku terpaku pada Ian, tubuhnya terkulai di bawah pukulan bertubi-tubi dari Aaron.

Aaron akhirnya berhenti ketika Ian sudah tak berdaya. Dia mendekat, tatapannya terlihat sangat khawatir padaku. "Angela, kau baik-baik saja?"

Aku hanya bisa mengangguk lemah, aku tidak sanggup berbicara lagi. Hari ini, dunia terasa berputar terlalu menakutkan untukku. Aaron, seolah membaca pikiranku, menarikku ke dalam pelukannya. "Maafkan aku, Angela. Aku datang terlambat."

Kehangatan tubuhnya menenangkan badai di dalam diriku. Air mataku mengalir deras, membasahi bajunya, membawa serta semua ketakutan dan kecemasan yang kurasakan. Aku bersyukur, sangat bersyukur, karena Aaron ada di sini. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika dia tidak datang.

Dia melepaskan pelukannya dariku, lalu dengan gerakan cepat, dia melepas jaketnya dan memakaikannya padaku. "Kita pergi dari sini," bisiknya, suaranya terdengar lembut dan menenangkan.

Aku menatap matanya yang terasa hangat dan penuh kasih. 'Aaron, jika kau tahu yang sebenarnya, akankah kau masih bersikap baik padaku?' Pertanyaan itu kembali terbersit di benakku. 

"Angela," panggilnya, suaranya sedikit khawatir, membuyarkan lamunanku. "Ayo pergi dari sini." 

Aaron membantuku berdiri, tangannya menopang pinggangku. Saat kami keluar dari ruang seni, mataku menangkap sosok Ian yang terkapar tak berdaya di lantai. Dadaku sesak saat mengingat pelecehan yang hampir menimpaku tadi. Tetapi seolah menjawab kegelisahan dan ketakutanku, Aaron menggenggam tanganku, jemarinya memberiku kekuatan. Perhatiannya yang terasa hangat dan tulus, membuatku terharu. Dia memperlakukanku seolah aku adalah seseorang yang berharga untuknya. 

Ketika kami tiba di pintu masuk sekolah, Aaron mengantarku hingga ke depan mobil. Sopir pribadiku sudah menungguku di sana. 

"Terima kasih, Aaron," kataku.

"Kau harus ke rumah sakit," katanya. "Kau perlu diperiksa."

Aku menggeleng pelan, "Tidak perlu. Aku tidak apa-apa. Istirahat di rumah sudah cukup untukku. Tapi, lukamu..." Aku mengarahkan pandangan pada wajahnya yang babak belur.

"Jangan khawatir. Aku baik-baik saja." Dia menyentuh wajahnya sekilas, lalu tersenyum. "Kau sendiri harus memastikan lukamu dirawat saat pulang nanti."

Dia membantu membukakan pintu mobilku. Setelah memastikan aku duduk dengan nyaman, dia menutup pintu pelan.

Aku menatapnya melambaikan tangannya dari balik jendela. Rasa bersalah menggerogoti hatiku karena membiarkannya begitu saja. Segera, aku membuka jendela mobilku. "Aaron," panggilku.

"Ikutlah denganku. Aku akan mengantarmu pulang," kataku. Aku tahu dia naik bus sekolah, tapi bus sekolah sudah lama pergi karena keterlambatan kami keluar.

Aaron diam sejenak, raut wajahnya sulit terbaca. Matanya menatapku, namun terasa sebuah keraguan tergurat di sana. Aku tahu dia tipe yang mandiri, yang enggan meminta bantuan meskipun keadaannya mendesak. 

"Ayolah," kataku, suaraku sedikit mendesak, "Aku tidak bisa membiarkanmu pulang sendirian dalam keadaan seperti ini."

Akhirnya dia mengangguk, dan sebuah senyuman tipis terukir di bibirnya yang terluka. "Baiklah," katanya.

Jantungku berdebar saat melihatnya duduk di sampingku. Wajahnya penuh luka, memarnya mencolok, dan sudut bibirnya berdarah. Aku tak bisa menahan diri. Jari-jariku perlahan menyentuh pipinya yang memar, membuatnya sedikit meringis.

"Apa sakit sekali?" tanyaku, cemas. 

"Aku baik-baik saja. Jangan terlalu mengkhawatirkanku," jawabnya.

Sopirku tiba-tiba memotong pembicaraan kami. "Ke mana kita, Nona?" 

"Kita pulang dulu," jawabku. 

"Baik, Nona," balas sopir itu sebelum menjalankan mobil. 

"Aaron, kau harus ke rumahku dulu. Aku akan mengobati lukamu."

"Tidak perlu. Ini hanya luka kecil, akan sembuh sendiri."

Aku mendesah, merasa frustasi dengan keras kepalanya. "Aaron Carter," panggilku. 

"Lukamu bisa infeksi kalau dibiarkan. Aku akan mengobatimu, dan itu bukan permintaan. Aku tidak ingin mendengar alasan lagi," lanjutku.

Beberapa saat kemudian, mobil berhenti di depan rumahku. Aku mengantar Aaron masuk ke dalam. 

"Duduklah di sini," ujarku, menunjuk sofa kulit cokelat tua di ruang tamu. "Aku akan ambil kotak P3K." 

Aaron hanya mengangguk. Aku berjalan cepat ke dapur, di mana aku tahu kotak itu disimpan di laci bawah, dekat wastafel. Tanganku menarik laci itu terbuka, dan aku merasa lega ketika melihat kotak putih bertanda palang merah di sana. 

Aaron masih duduk di sofa ketika aku tiba. Aku berlutut di depannya, membuka kotak P3K di atas meja. "Ini akan sedikit sakit," kataku, mencelupkan kapas ke antiseptik. 

Perlahan, aku mulai membersihkan luka di pipinya. Tanganku bergetar sedikit, meski aku mencoba untuk tetap tenang. Jarak antara kami begitu dekat sehingga aku bisa merasakan napasnya menyapu wajahku. 

"Kenapa kau harus begitu nekat?" tanyaku akhirnya, mencoba memecah ketegangan. "Ian bisa saja melukaimu lebih parah."

"Kalau itu berarti aku bisa melindungimu," katanya pelan. "Itu sepadan."

"Kau tidak perlu melakukan semua ini untukku," bisikku, menekan perban pada luka di alisnya. "Lihat dirimu sekarang. Kau terluka karena aku."

Aku menatapnya dan senyum kecil muncul di wajahnya. "Aku akan sembuh. Beberapa memar ini bukan apa-apa. Selama kau baik-baik saja, tidak ada hal lain yang lebih penting." 

Gerakanku terhenti. Aku menatapnya, benar-benar menatapnya, dan untuk sesaat dunia di sekitar kami terasa hening.

Tangannya tiba-tiba menyentuh pergelangan tanganku, aku tersentak kecil. Sentuhannya lembut, namun ada kekuatan yang membuatku sulit bernapas.

"Aaron..." suaraku nyaris berbisik.

Dia tidak berkata apa-apa. Dia hanya menatapku dalam. Dia menarik tanganku perlahan, membawanya lebih dekat ke dadanya. Aku tidak bisa bergerak, tidak bisa berpaling.

"Angela," katanya, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan. "Kau penting bagiku. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu."

Jantungku berdegup kencang. Bibirnya hanya beberapa inci dari bibirku, dan aku bisa merasakan kehangatan napasnya menerpa wajahku. Seluruh tubuhku terasa panas, dan aku tahu aku seharusnya mundur, memberi jarak. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak ingin.

Mataku perlahan terpejam, rasanya seperti dunia ini hanya ada kami berdua, seperti waktu berhenti sejenak.

Namun, tepat saat itu, deringan ponselku memecah keheningan, membuatku tersentak.

Aku segera meraih ponsel yang tergeletak di meja. Aku menatap Aaron sekilas. "Aku harus menjawab ini," kataku pelan, seperti permintaan maaf. 

Aaron hanya mengangguk, tanpa berkata apa-apa. Aku berdiri, melangkah menjauh ke sudut ruangan sebelum akhirnya menekan tombol hijau di layar.

"Halo," sapaku.

"Benar ini dengan Ms. Angela?" Suara wanita dari seberang sana terdengar tegang. "Ini dari rumah sakit. Kami ingin memberi tahu bahwa kondisi ibu Anda, Mrs. Jones, memburuk dan membutuhkan persetujuan segera untuk tindakan operasi. 

"Apa yang terjadi?" tanyaku, panik. 

"Keadaannya sangat kritis. Kami perlu bertindak sekarang."

Kata-katanya seperti petir yang menghantamku dengan keras. Hatiku terasa berat dengan kenyataan yang baru saja aku terima.

"Aku akan segera ke sana," jawabku.

Aku perlahan berjalan menuju ruang tamu dan melihat Aaron seperti tampak kebingungan melihatku. "Ada apa?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Kehancuran

    POV Angela"Angela," suara Aaron terdengar rendah, namun menusuk. "Apa maksud semua ini?"Aku membeku, napasku tercekat. "Aaron," bisikku lirih. Aku berusaha menenangkan diri, tapi suara detak jantungku yang begitu kencang membuat semuanya semakin sulit. Lututku terasa lemas, hampir menyerah menopang tubuhku.Rahasia yang selama ini kukubur begitu dalam, kini terbongkar. Aku tidak pernah menyangka semuanya akan terungkap seperti ini. Aku sudah cukup melukai Aaron, dan jika dia mengetahui kebenaran tentang taruhan itu... aku akan menghancurkannya sepenuhnya. Evelyn menyeringai lebar, senyumannya lebih terlihat seperti ejekan. "Menarik sekali," katanya, matanya berpindah ke teman-temannya sejenak, lalu kembali menatapku. "Biar kutebak. Aaron belum tahu tentang taruhan kita?"Aku memelototi Evelyn, mulutku terbuka seakan ingin membalas, tapi tak ada satu kata pun yang keluar. Pikiranku berputar liar, mencoba menemukan cara untuk menghentikan mimpi buruk ini. "Aaron," Evelyn memulai. "A

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Pengkhianatan dan Kepalsuan

    POV AngelaSeorang suster keluar dari ruang ICU. "Apakah Anda keluarga dari Mrs. Jones?"Aku segera berdiri dan mendekat. "Ya, saya putrinya. Bagaimana kondisinya?" tanyaku, cemas. "Saat ini, Dr. Smith sedang menyelesaikan catatan pasca-operasinya," jawabnya. "Dia akan menemui Anda di ruangannya sebentar lagi. Mari saya antar ke sana."Aku mengangguk dan mengikuti suster itu ke ruang dokter. "Selamat sore, Miss Jones," sapa Dr. Smith saat dia melangkah masuk ke ruangannya."Sore, Dokter," jawabku cepat. "Bagaimana keadaan Mom? Apakah operasinya berjalan lancar?""Operasi berjalan dengan lancar. Kami berhasil membuka penyumbatan di arteri utama, dan aliran darah ke jantungnya kini sudah stabil," jawab Dr. Smith, memberikan sedikit senyuman yang menenangkan. Aku menghela napas lega, meskipun kekhawatiranku belum sepenuhnya hilang. "Apakah dia akan baik-baik saja?""Masih perlu dipantau, tapi jika tak ada komplikasi, pemulihannya bisa baik. Kami akan terus memonitor selama 24 hingga 4

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Ancaman Keluarga Bennett

    POV AngelaAku menunduk, berusaha menyembunyikan kekacauan yang bergejolak di dadaku. Telepon dari rumah sakit itu terus terngiang di kepalaku. Mom dalam kondisi kritis. Mereka membutuhkan persetujuanku untuk operasi. Tapi aku tidak tahu bagaimana menjelaskan semua ini kepada Aaron. Aku tidak ingin membebani dia lagi setelah semua yang dia lakukan untukku hari ini."Aku baru ingat ada sesuatu yang harus kuurus," kataku cepat, memaksakan senyum yang kuharap terlihat alami. "Aku harus pergi. Kau bisa gunakan mobilku untuk pulang."Aaron menatapku, sorot matanya tajam. "Apa ada sesuatu yang terjadi?""Tidak ada. Ini hanya sedikit urusan keluargaku," jawabku. Aku bisa mendengar nada gugup yang menyelip dari suaraku."Angela."Aku mendongak, dan mata kami bertemu. Aku berusaha menahan air mata yang hendak keluar dan aku berharap dia tidak menyadarinya. "Kalau kau harus pergi, pergilah," katanya pelan. "Tapi kalau kau butuh bantuan, apa pun itu, katakan padaku."Dadaku terasa sesak. Ada be

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Kau Penting Bagiku

    POV AngelaAku tak tahu apa lagi yang terjadi saat aku menutup kedua mataku, tapi tiba-tiba cengkeramannya lepas dari leherku. Aku melihat Ian terjatuh. Sepertinya ketika Ian fokus padaku, Aaron menyerangnya dari belakang. Ian terjungkal ke lantai, mengeluarkan rintihan kesakitan. Aaron langsung menghujani pukulan ke arahnya.Aku terbatuk-batuk, paru-paruku akhirnya mendapatkan sedikit udara segar. Lututku lemas, tubuhku goyah, dan akhirnya jatuh terduduk. Pandanganku terpaku pada Ian, tubuhnya terkulai di bawah pukulan bertubi-tubi dari Aaron.Aaron akhirnya berhenti ketika Ian sudah tak berdaya. Dia mendekat, tatapannya terlihat sangat khawatir padaku. "Angela, kau baik-baik saja?"Aku hanya bisa mengangguk lemah, aku tidak sanggup berbicara lagi. Hari ini, dunia terasa berputar terlalu menakutkan untukku. Aaron, seolah membaca pikiranku, menarikku ke dalam pelukannya. "Maafkan aku, Angela. Aku datang terlambat."Kehangatan tubuhnya menenangkan badai di dalam diriku. Air mataku men

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Jebakan di Ruang Seni

    POV Angela"Angela, kau dicari Ms. Miller di ruang seni," ujar salah seorang temanku, suaranya terengah-engah seperti baru saja berlari.Ruang seni? Kenapa dia mencariku jam segini? Ini sudah saatnya pulang sekolah, dan aku harus segera menjenguk Mom di rumah sakit. Dengan rasa penasaran, aku menyusuri koridor yang sepi karena kebanyakan murid sudah pulang. Ketika tiba di ruang seni, aku melihat pintunya sedikit terbuka. Aku melangkah masuk dengan ragu, mataku menjelajahi setiap sudut ruangan. Tapi, tak ada siapa pun di sana. Hanya terlihat deretan meja kerja yang berantakan dengan sisa-sisa peralatan melukis. "Ms. Miller?" panggilku.Hening. Tak ada sahutan, tak ada suara. Aku menghela napas dengan rasa frustasi. Apakah mungkin temanku salah? Atau mungkin Ms. Miller sudah pulang? Saat aku berbalik untuk pergi...Kemudian hal itu terjadi.Sebuah tangan menutup mulutku dari belakang, kasar dan tiba-tiba. "Ssst."Bisikan dan napas yang memburu dari orang itu menjalar ke tengkukku, me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status