MasukPOV Angela
Aku tak tahu apa lagi yang terjadi saat aku menutup kedua mataku, tapi tiba-tiba cengkeramannya lepas dari leherku.
Aku melihat Ian terjatuh. Sepertinya ketika Ian fokus padaku, Aaron menyerangnya dari belakang. Ian terjungkal ke lantai, mengeluarkan rintihan kesakitan. Aaron langsung menghujani pukulan ke arahnya.
Aku terbatuk-batuk, paru-paruku akhirnya mendapatkan sedikit udara segar. Lututku lemas, tubuhku goyah, dan akhirnya jatuh terduduk. Pandanganku terpaku pada Ian, tubuhnya terkulai di bawah pukulan bertubi-tubi dari Aaron.
Aaron akhirnya berhenti ketika Ian sudah tak berdaya. Dia mendekat, tatapannya terlihat sangat khawatir padaku. "Angela, kau baik-baik saja?"
Aku hanya bisa mengangguk lemah, aku tidak sanggup berbicara lagi. Hari ini, dunia terasa berputar terlalu menakutkan untukku. Aaron, seolah membaca pikiranku, menarikku ke dalam pelukannya. "Maafkan aku, Angela. Aku datang terlambat."
Kehangatan tubuhnya menenangkan badai di dalam diriku. Air mataku mengalir deras, membasahi bajunya, membawa serta semua ketakutan dan kecemasan yang kurasakan. Aku bersyukur, sangat bersyukur, karena Aaron ada di sini. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika dia tidak datang.
Dia melepaskan pelukannya dariku, lalu dengan gerakan cepat, dia melepas jaketnya dan memakaikannya padaku. "Kita pergi dari sini," bisiknya, suaranya terdengar lembut dan menenangkan.
Aku menatap matanya yang terasa hangat dan penuh kasih. 'Aaron, jika kau tahu yang sebenarnya, akankah kau masih bersikap baik padaku?' Pertanyaan itu kembali terbersit di benakku.
"Angela," panggilnya, suaranya sedikit khawatir, membuyarkan lamunanku. "Ayo pergi dari sini."
Aaron membantuku berdiri, tangannya menopang pinggangku. Saat kami keluar dari ruang seni, mataku menangkap sosok Ian yang terkapar tak berdaya di lantai. Dadaku sesak saat mengingat pelecehan yang hampir menimpaku tadi. Tetapi seolah menjawab kegelisahan dan ketakutanku, Aaron menggenggam tanganku, jemarinya memberiku kekuatan. Perhatiannya yang terasa hangat dan tulus, membuatku terharu. Dia memperlakukanku seolah aku adalah seseorang yang berharga untuknya.
Ketika kami tiba di pintu masuk sekolah, Aaron mengantarku hingga ke depan mobil. Sopir pribadiku sudah menungguku di sana.
"Terima kasih, Aaron," kataku.
"Kau harus ke rumah sakit," katanya. "Kau perlu diperiksa."
Aku menggeleng pelan, "Tidak perlu. Aku tidak apa-apa. Istirahat di rumah sudah cukup untukku. Tapi, lukamu..." Aku mengarahkan pandangan pada wajahnya yang babak belur.
"Jangan khawatir. Aku baik-baik saja." Dia menyentuh wajahnya sekilas, lalu tersenyum. "Kau sendiri harus memastikan lukamu dirawat saat pulang nanti."
Dia membantu membukakan pintu mobilku. Setelah memastikan aku duduk dengan nyaman, dia menutup pintu pelan.
Aku menatapnya melambaikan tangannya dari balik jendela. Rasa bersalah menggerogoti hatiku karena membiarkannya begitu saja. Segera, aku membuka jendela mobilku. "Aaron," panggilku.
"Ikutlah denganku. Aku akan mengantarmu pulang," kataku. Aku tahu dia naik bus sekolah, tapi bus sekolah sudah lama pergi karena keterlambatan kami keluar.
Aaron diam sejenak, raut wajahnya sulit terbaca. Matanya menatapku, namun terasa sebuah keraguan tergurat di sana. Aku tahu dia tipe yang mandiri, yang enggan meminta bantuan meskipun keadaannya mendesak.
"Ayolah," kataku, suaraku sedikit mendesak, "Aku tidak bisa membiarkanmu pulang sendirian dalam keadaan seperti ini."
Akhirnya dia mengangguk, dan sebuah senyuman tipis terukir di bibirnya yang terluka. "Baiklah," katanya.
Jantungku berdebar saat melihatnya duduk di sampingku. Wajahnya penuh luka, memarnya mencolok, dan sudut bibirnya berdarah. Aku tak bisa menahan diri. Jari-jariku perlahan menyentuh pipinya yang memar, membuatnya sedikit meringis.
"Apa sakit sekali?" tanyaku, cemas.
"Aku baik-baik saja. Jangan terlalu mengkhawatirkanku," jawabnya.
Sopirku tiba-tiba memotong pembicaraan kami. "Ke mana kita, Nona?"
"Kita pulang dulu," jawabku.
"Baik, Nona," balas sopir itu sebelum menjalankan mobil.
"Aaron, kau harus ke rumahku dulu. Aku akan mengobati lukamu."
"Tidak perlu. Ini hanya luka kecil, akan sembuh sendiri."
Aku mendesah, merasa frustasi dengan keras kepalanya. "Aaron Carter," panggilku.
"Lukamu bisa infeksi kalau dibiarkan. Aku akan mengobatimu, dan itu bukan permintaan. Aku tidak ingin mendengar alasan lagi," lanjutku.
Beberapa saat kemudian, mobil berhenti di depan rumahku. Aku mengantar Aaron masuk ke dalam.
"Duduklah di sini," ujarku, menunjuk sofa kulit cokelat tua di ruang tamu. "Aku akan ambil kotak P3K."
Aaron hanya mengangguk. Aku berjalan cepat ke dapur, di mana aku tahu kotak itu disimpan di laci bawah, dekat wastafel. Tanganku menarik laci itu terbuka, dan aku merasa lega ketika melihat kotak putih bertanda palang merah di sana.
Aaron masih duduk di sofa ketika aku tiba. Aku berlutut di depannya, membuka kotak P3K di atas meja. "Ini akan sedikit sakit," kataku, mencelupkan kapas ke antiseptik.
Perlahan, aku mulai membersihkan luka di pipinya. Tanganku bergetar sedikit, meski aku mencoba untuk tetap tenang. Jarak antara kami begitu dekat sehingga aku bisa merasakan napasnya menyapu wajahku.
"Kenapa kau harus begitu nekat?" tanyaku akhirnya, mencoba memecah ketegangan. "Ian bisa saja melukaimu lebih parah."
"Kalau itu berarti aku bisa melindungimu," katanya pelan. "Itu sepadan."
"Kau tidak perlu melakukan semua ini untukku," bisikku, menekan perban pada luka di alisnya. "Lihat dirimu sekarang. Kau terluka karena aku."
Aku menatapnya dan senyum kecil muncul di wajahnya. "Aku akan sembuh. Beberapa memar ini bukan apa-apa. Selama kau baik-baik saja, tidak ada hal lain yang lebih penting."
Gerakanku terhenti. Aku menatapnya, benar-benar menatapnya, dan untuk sesaat dunia di sekitar kami terasa hening.
Tangannya tiba-tiba menyentuh pergelangan tanganku, aku tersentak kecil. Sentuhannya lembut, namun ada kekuatan yang membuatku sulit bernapas.
"Aaron..." suaraku nyaris berbisik.
Dia tidak berkata apa-apa. Dia hanya menatapku dalam. Dia menarik tanganku perlahan, membawanya lebih dekat ke dadanya. Aku tidak bisa bergerak, tidak bisa berpaling.
"Angela," katanya, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan. "Kau penting bagiku. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu."
Jantungku berdegup kencang. Bibirnya hanya beberapa inci dari bibirku, dan aku bisa merasakan kehangatan napasnya menerpa wajahku. Seluruh tubuhku terasa panas, dan aku tahu aku seharusnya mundur, memberi jarak. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak ingin.
Mataku perlahan terpejam, rasanya seperti dunia ini hanya ada kami berdua, seperti waktu berhenti sejenak.
Namun, tepat saat itu, deringan ponselku memecah keheningan, membuatku tersentak.
Aku segera meraih ponsel yang tergeletak di meja. Aku menatap Aaron sekilas. "Aku harus menjawab ini," kataku pelan, seperti permintaan maaf.
Aaron hanya mengangguk, tanpa berkata apa-apa. Aku berdiri, melangkah menjauh ke sudut ruangan sebelum akhirnya menekan tombol hijau di layar.
"Halo," sapaku.
"Benar ini dengan Ms. Angela?" Suara wanita dari seberang sana terdengar tegang. "Ini dari rumah sakit. Kami ingin memberi tahu bahwa kondisi ibu Anda, Mrs. Jones, memburuk dan membutuhkan persetujuan segera untuk tindakan operasi.
"Apa yang terjadi?" tanyaku, panik.
"Keadaannya sangat kritis. Kami perlu bertindak sekarang."
Kata-katanya seperti petir yang menghantamku dengan keras. Hatiku terasa berat dengan kenyataan yang baru saja aku terima.
"Aku akan segera ke sana," jawabku.
Aku perlahan berjalan menuju ruang tamu dan melihat Aaron seperti tampak kebingungan melihatku. "Ada apa?"
POV AaronLyla melangkah lebih dekat, matanya masih menatap ke arah koridor, seolah ingin memastikan benar-benar tidak ada orang di sana.Aku meraih pergelangan tangannya, menariknya perlahan sampai tatapannya kembali padaku."Aku akan datang ke pesta itu," kataku, mencoba mengalihkan perhatiannya.Sudut bibir Lyla perlahan terangkat membentuk senyuman. "Kau serius?"Aku mengangguk kecil, menyelipkan satu tanganku ke saku celana. "Ya."Senyumnya melebar. "Akhirnya."Aku memberi isyarat dengan dagu ke arah sofa. "Duduklah."Dia sempat menatapku sebelum berjalan pelan ke sofa dan duduk. Sementara, aku menuju ke meja bar kecil."Kau mau minum?" tanyaku."Air putih saja," jawabnya.Aku mengambil dua botol air dari pendingin, membuka tutupnya, lalu menuangkannya ke dua gelas. Suara gelembung kecil naik dari dasar gelas, satu-satunya suara yang terdengar di ruangan.Aku meleta
POV AngelaDia berhenti di tengah langkah. Perlahan, dia berbalik. Tatapannya gelap dan dingin. Lalu dia mulai berjalan ke arahku — langkahnya pelan, mantap, tapi tiap langkah seperti memadatkan udara di antara kami.Aku mundur satu langkah tanpa sadar, tapi dia terus maju sampai jarak di antara kami nyaris hilang.Tangannya terulur, jari-jarinya mencengkeram rahangku, keras tapi terkendali."Aku terlihat lelah, hah?" suaranya rendah, nyaris seperti bisikan. "Jangan coba-coba menganalisis aku. Kau tidak tahu apa-apa tentang rasa sakitku."Dia mendekat. Suaranya turun jadi bisikan di telingaku. "Justru rasa sakit ini menjadi alasan aku untuk terus hidup."Jantungku berdetak cepat. "Aku tahu aku melukaimu," bisikku.Aaron tertawa pendek — tanpa humor, tanpa rasa. "Melukaiku?" katanya pelan. "Kau menghancurkanku, Angela.""Ya, aku tahu," suaraku nyaris bergetar, tapi aku tetap menatap matanya. "
POV AngelaTunggu... Apa?Mataku bergerak cepat menelusuri layar.Sudah kuduga. Dia tidak kelihatan seperti tipe begitu. Rekaman CCTV membuktikannya.Foto-foto itu palsu. Diedit.Edward Kane yang seharusnya minta maaf.Maaf sudah menilaimu.Dia tidak pantas diperlakukan begitu.Jangan menyerah, Angela.Aku menggulir lebih cepat, jantungku berdegup kencang. Semua postingan isinya sama. Dukungan. Simpati. Kepercayaan."Apa-apaan ini..." bisikku.Aku mengetuk salah satu tautan berita yang memenuhi inbox-ku. Judulnya langsung menohok mataku."Bukti Baru Membersihkan Nama Angela Jones — Rekaman CCTV Membuktikan Tidak Ada Perselingkuhan."Artikel itu menjelaskan semuanya — rekaman restoran, sudut kamera, dan bagaimana "ciuman" itu sebenarnya hanya saat Edward mencondongkan tubuh untuk mengambil gelas. Satu detik, satu
POV AngelaKata-kata itu masih bergema di kepalaku. "Kau ada di sini karena izinku. Bukan karena kau berarti."Sialan dia. Benar-benar dingin dan tak berperasaan.Aaron keluar begitu saja dari mobil tanpa menoleh. Aku turun beberapa detik kemudian, membanting pintu sedikit lebih keras. Garasinya bersih tanpa cela — lantai beton mengilap, semuanya tertata rapi. Tiga mobil berjejer seperti pajangan di pameran.Dia berjalan di depan tanpa peduli apakah aku mengikutinya atau tidak.Pintu samping langsung mengarah ke dalam rumah. Begitu aku melangkah masuk, langkahku terhenti.Tempat itu tampak seperti halaman depan majalah arsitektur. Dinding kaca dari lantai ke langit-langit, garis-garis tajam, tanpa sedikit pun sentuhan pribadi. Tak ada foto, tak ada barang kecil yang menunjukkan siapa pemiliknya. Tempat itu terasa seperti dirinya. Dingin, terkontrol, dan tak tersentuh."Berapa lama kau mau berdiri di situ?
POV AaronAku melirik ke bawah, pada tangan Angela yang masih menempel di lenganku."Lepaskan," kataku datar.Dia ragu sejenak, lalu perlahan melepaskan genggaman. Tangannya turun, tapi matanya tetap menatapku. "Kau berdarah."Aku menatap garis merah di buku jariku, sisa dari perkelahian tadi."Kau mungkin harus mengobatinya," katanya.Aku menatapnya dingin. "Jangan berpura-pura peduli, Angela.""Aku tidak berpura-pura," sahutnya. "Hanya mengatakan apa yang kulihat.""Aku tahu cara mengurus diriku sendiri."Dia tidak berkedip. "Oke, kalau begitu. Tapi bukan berarti kau harus berdarah buat membuktikannya.""Kau bicara terlalu banyak untuk seseorang yang seharusnya tidak ikut campur urusanku."Tatapannya tak bergeser. "Aku hanya memperhatikan apa yang terjadi di sekitarku. Bukan berarti aku ikut campur. Aku akan melakukan hal yang sama untuk siapa saja, bukan cuma untukmu."Itu
POV AaronAku memelintir pergelangan tangan Bennett sampai uratnya menonjol di bawah kulit. Dia meraung, keras dan serak, tapi aku tidak mengendurkan cengkeramanku, justru semakin menguatkannya.Wajahnya menegang, rahangnya mengeras, tapi matanya masih menyimpan kesombongan. "Kau pikir kau cukup besar buat menantangku, Carter?" desisnya tajam, napas tersengal menahan sakit.Aku menatapnya datar. Suaraku tenang dan dingin. "Kau pikir nama Bennett membuatmu kebal? Nama keluargamu mungkin berarti sesuatu di atas kertas. Tapi kau tidak lebih dari bajingan pengecut yang hidup dari nama itu."Lalu aku melepaskannya dengan satu hentakan cepat. Dia terhuyung ke belakang, wajahnya memerah menahan amarah.Aku menoleh ke arah Angela yang masih terpaku di dekat pagar paddock. "Masuk mobil," kataku datar.Dia sempat ragu sepersekian detik, tapi akhirnya menurut. Pintu mobil tertutup di belakangnya, meninggalkan aku berdua dengan Bennett







