POV Angela
"Angela," suara Aaron terdengar rendah, namun menusuk. "Apa maksud semua ini?"
Aku membeku, napasku tercekat. "Aaron," bisikku lirih. Aku berusaha menenangkan diri, tapi suara detak jantungku yang begitu kencang membuat semuanya semakin sulit. Lututku terasa lemas, hampir menyerah menopang tubuhku.
Rahasia yang selama ini kukubur begitu dalam, kini terbongkar. Aku tidak pernah menyangka semuanya akan terungkap seperti ini. Aku sudah cukup melukai Aaron, dan jika dia mengetahui kebenaran tentang taruhan itu... aku akan menghancurkannya sepenuhnya.
Evelyn menyeringai lebar, senyumannya lebih terlihat seperti ejekan. "Menarik sekali," katanya, matanya berpindah ke teman-temannya sejenak, lalu kembali menatapku. "Biar kutebak. Aaron belum tahu tentang taruhan kita?"
Aku memelototi Evelyn, mulutku terbuka seakan ingin membalas, tapi tak ada satu kata pun yang keluar. Pikiranku berputar liar, mencoba menemukan cara untuk menghentikan mimpi buruk ini.
"Aaron," Evelyn memulai. "Angela mendekatimu hanya karena taruhan yang kami buat. Apa kau pikir dia benar-benar tertarik pada orang miskin sepertimu?"
"Evelyn!" Aku akhirnya bersuara, meski suaraku terdengar lebih seperti bisikan putus asa daripada peringatan tegas.
"Jadi, aku hanya sekedar permainan bagimu, Angela?" tanya Aaron, suaranya pelan, tapi aku bisa merasakan luka yang menganga di baliknya.
Aku terdiam, dadaku terasa sesak oleh rasa bersalah yang begitu berat. Aku tidak bisa lagi berbohong padanya, tidak setelah semuanya sudah terbongkar seperti ini. Sesaat, dunia seolah berhenti berputar. Aku ingin menyangkalnya, tapi semua itu adalah kenyataan yang tak bisa kubuang.
Suara tawa Evelyn dan teman-temannya memecah keheningan. "Oh, Aaron. Kau benar-benar percaya pada Angela? Dia hanya mempermainkanmu selama ini."
Namun, tawa mereka mendadak terhenti ketika Aaron menatap mereka dengan tatapan tajam.
"Diam," katanya, nada suaranya rendah tapi penuh kuasa. "Pergi."
Evelyn terdiam sesaat, senyumnya memudar. Dengan angkuh, dia mengangkat bahu. "Baiklah," katanya ringan. "Kami pergi."
Dia berbalik, diikuti oleh teman-temannya, meninggalkan kami dalam keheningan yang terasa begitu menyesakkan.
Aaron mendekat perlahan. Setiap inci jarak yang dia pangkas membuat napasku kian berat. Tidak ada tempat untuk bersembunyi, dan tatapan matanya tak memberi ruang untukku untuk melarikan diri.
"Aku..." suaraku tercekat, nyaris tidak terdengar. Aku ingin berkata sesuatu, tetapi aku tahu semuanya hanya akan terdengar seperti pembelaan yang kosong. Sebab, kenyataannya memang aku telah melakukan kesalahan yang sangat besar terhadap Aaron.
"Kau mempermainkanku, Angela," potongnya, suaranya rendah. "Selama ini... aku pikir kau berbeda."
Aku terdiam, tak mampu melawan kata-katanya.
"Aku percaya padamu," lanjutnya. "Kau satu-satunya orang yang kupikir tidak akan membohongiku, apalagi mengkhianatiku. Tapi aku salah."
Aku menunduk, menggigit bibir bawah, mencoba menahan air mata yang sudah membakar di pelupuk mataku. Setiap kata yang keluar dari bibirnya menghantam hatiku tanpa ampun. Tapi, aku tahu tidak ada kata-kata yang bisa memperbaiki ini. Kepercayaan yang dia berikan padaku kini sudah hancur.
Aaron melangkah lebih dekat. Kini jarak kami hanya sejengkal. Aku bisa mendengar helaan napas beratnya. "Apa aku harus mendengar alasan darimu?"
Air mataku akhirnya jatuh, membasahi pipiku tanpa bisa kucegah. Aku ingin menjelaskan, ingin berteriak bahwa semuanya berubah sejak aku mengenalnya. Tapi, aku tahu, tak peduli seberapa keras aku berusaha, tak ada yang bisa menghapus luka yang telah kutorehkan.
Dengan tangan gemetar, aku menyeka air mata yang terus mengalir. Aku memaksakan kata-kata keluar dari bibirku. "Semua yang mereka katakan benar. Aku memang mendekatimu hanya karena taruhan."
Wajah Aaron tidak menunjukkan ekspresi apapun, namun aku bisa merasakan amarahnya yang membakar, disertai rasa sakit atas pengkhianatan dan kebohonganku.
"Akhirnya, aku bisa jujur," kataku, meskipun setiap kata yang kuucap semakin mengirisku. "Aku lega."
"Tidak ada lagi yang harus kita bicarakan," lanjutku, berusaha menahan diri agar tidak terlihat rapuh. Aku mencoba melangkah pergi, namun sebelum aku bisa melangkah jauh, tangannya dengan cepat menarikku kembali. Punggungku terhantam keras pada dinding, tubuhku terhimpit. Aaron begitu dekat, dan sorot matanya terlihat seperti ingin membunuhku.
"Kau pikir kau siapa, Angela?" bisiknya tajam. "Aku percaya dan peduli padamu. Tapi, kau menghancurkanku. Sepenuhnya."
Tatapan dinginnya membuatku merasa seperti terperangkap dalam siksaan. Aku tiba-tiba merasakan kehilangan yang teramat dalam. Aku merindukan sorot matanya yang dulu, yang terasa begitu hangat.
Aku menelan ludah, mencoba menjaga ketenanganku. "Siapa yang memintamu percaya dan peduli padaku?" ujarku, suaraku terdengar keras meski hatiku bergetar. "Jika kau cukup pintar, kau tidak akan jatuh dalam permainanku. Kau begitu bodoh, Aaron. Semua yang kulakukan... hanya demi uang."
Kata-kataku mungkin akan semakin melukainya. Namun, aku terus melanjutkan, karena aku tahu tidak ada lagi yang bisa diperbaiki. Jika aku berusaha membela diri, itu hanya akan terdengar seperti sebuah alasan. "Aku bahkan menuduhmu melakukan sesuatu yang tidak pernah kau lakukan. Keluarga Bennett adalah keluarga yang sangat berkuasa. Aku tidak akan mengorbankan diriku untuk membelamu. Aku memilih menyelamatkan diriku sendiri, Aaron."
Tatapanku jatuh pada amplop uang di lantai, hasil taruhan yang kumenangkan dari Evelyn. Aku memungutnya dan memperlihatkannya kepada Aaron. "Lihat ini. Inilah hargamu, Aaron. Taruhan itu sangat menguntungkan bagiku."
Aku menarik beberapa lembar uang dari amplop itu dan menyodorkan ke arahnya. "Apa kau ingin aku berbagi denganmu?"
Aaron tidak bergerak. Matanya hanya menatap uang itu sebelum dia menepis uang itu hingga beterbangan sebelum jatuh di lantai. Napasnya memburu dan aku merasakan amarah yang sangat besar darinya.
"Jadi, semua karena uang?" desisnya.
Tiba-tiba, tinjunya melayang ke arahku. Aku terkejut, menutup mataku, jantungku berdetak begitu kencang. Tapi tidak ada yang terjadi.
Ketika aku membuka mata, aku melihat tinjunya mengenai dinding di belakangku, bukan ke tubuhku.
"Apa kau sudah gila?" pekikku, panik melihat darah yang mulai mengalir dari buku-buku jarinya.
Aaron mendekatkan wajahnya padaku. "Angela," katanya. "Aku menyesal pernah mengenalmu. Aku harap kita tidak akan pernah bertemu lagi."
Kata-katanya menghantamku seperti tamparan yang tidak terlihat namun menyakitkan. Aku hanya bisa menatap punggungnya yang perlahan menjauh, setiap langkahnya seolah membawa pergi sisa-sisa harapan yang tersisa di hatiku.
Aku ingin berlari mengejarnya, meraih tangannya, dan memohon ampun. Aku ingin berteriak, menjelaskan semua hal yang tersimpan di dalam hatiku. Tapi aku tahu, tidak ada gunanya mencoba. Kata-kata tidak akan mampu membalikkan keadaan. Luka yang kubuat terlalu dalam, dan kepercayaan yang telah kubinasakan tidak mungkin pulih begitu saja.
Tubuhku terduduk di lantai. Udara terasa berat, menghimpit dadaku hingga aku kesulitan bernapas. Segala rasa sakit yang kutahan sejak tadi akhirnya tidak bisa kutahan lagi.
Tangisku pecah. Isakan itu menggema, melingkupi diriku dengan rasa bersalah dan penyesalan yang tak tertahankan. Rasanya seperti ribuan duri menusuk hatiku, lebih menyakitkan daripada luka fisik mana pun yang pernah kurasakan.
POV Angela"Angela," suara Aaron terdengar rendah, namun menusuk. "Apa maksud semua ini?"Aku membeku, napasku tercekat. "Aaron," bisikku lirih. Aku berusaha menenangkan diri, tapi suara detak jantungku yang begitu kencang membuat semuanya semakin sulit. Lututku terasa lemas, hampir menyerah menopang tubuhku.Rahasia yang selama ini kukubur begitu dalam, kini terbongkar. Aku tidak pernah menyangka semuanya akan terungkap seperti ini. Aku sudah cukup melukai Aaron, dan jika dia mengetahui kebenaran tentang taruhan itu... aku akan menghancurkannya sepenuhnya. Evelyn menyeringai lebar, senyumannya lebih terlihat seperti ejekan. "Menarik sekali," katanya, matanya berpindah ke teman-temannya sejenak, lalu kembali menatapku. "Biar kutebak. Aaron belum tahu tentang taruhan kita?"Aku memelototi Evelyn, mulutku terbuka seakan ingin membalas, tapi tak ada satu kata pun yang keluar. Pikiranku berputar liar, mencoba menemukan cara untuk menghentikan mimpi buruk ini. "Aaron," Evelyn memulai. "A
POV AngelaSeorang suster keluar dari ruang ICU. "Apakah Anda keluarga dari Mrs. Jones?"Aku segera berdiri dan mendekat. "Ya, saya putrinya. Bagaimana kondisinya?" tanyaku, cemas. "Saat ini, Dr. Smith sedang menyelesaikan catatan pasca-operasinya," jawabnya. "Dia akan menemui Anda di ruangannya sebentar lagi. Mari saya antar ke sana."Aku mengangguk dan mengikuti suster itu ke ruang dokter. "Selamat sore, Miss Jones," sapa Dr. Smith saat dia melangkah masuk ke ruangannya."Sore, Dokter," jawabku cepat. "Bagaimana keadaan Mom? Apakah operasinya berjalan lancar?""Operasi berjalan dengan lancar. Kami berhasil membuka penyumbatan di arteri utama, dan aliran darah ke jantungnya kini sudah stabil," jawab Dr. Smith, memberikan sedikit senyuman yang menenangkan. Aku menghela napas lega, meskipun kekhawatiranku belum sepenuhnya hilang. "Apakah dia akan baik-baik saja?""Masih perlu dipantau, tapi jika tak ada komplikasi, pemulihannya bisa baik. Kami akan terus memonitor selama 24 hingga 4
POV AngelaAku menunduk, berusaha menyembunyikan kekacauan yang bergejolak di dadaku. Telepon dari rumah sakit itu terus terngiang di kepalaku. Mom dalam kondisi kritis. Mereka membutuhkan persetujuanku untuk operasi. Tapi aku tidak tahu bagaimana menjelaskan semua ini kepada Aaron. Aku tidak ingin membebani dia lagi setelah semua yang dia lakukan untukku hari ini."Aku baru ingat ada sesuatu yang harus kuurus," kataku cepat, memaksakan senyum yang kuharap terlihat alami. "Aku harus pergi. Kau bisa gunakan mobilku untuk pulang."Aaron menatapku, sorot matanya tajam. "Apa ada sesuatu yang terjadi?""Tidak ada. Ini hanya sedikit urusan keluargaku," jawabku. Aku bisa mendengar nada gugup yang menyelip dari suaraku."Angela."Aku mendongak, dan mata kami bertemu. Aku berusaha menahan air mata yang hendak keluar dan aku berharap dia tidak menyadarinya. "Kalau kau harus pergi, pergilah," katanya pelan. "Tapi kalau kau butuh bantuan, apa pun itu, katakan padaku."Dadaku terasa sesak. Ada be
POV AngelaAku tak tahu apa lagi yang terjadi saat aku menutup kedua mataku, tapi tiba-tiba cengkeramannya lepas dari leherku. Aku melihat Ian terjatuh. Sepertinya ketika Ian fokus padaku, Aaron menyerangnya dari belakang. Ian terjungkal ke lantai, mengeluarkan rintihan kesakitan. Aaron langsung menghujani pukulan ke arahnya.Aku terbatuk-batuk, paru-paruku akhirnya mendapatkan sedikit udara segar. Lututku lemas, tubuhku goyah, dan akhirnya jatuh terduduk. Pandanganku terpaku pada Ian, tubuhnya terkulai di bawah pukulan bertubi-tubi dari Aaron.Aaron akhirnya berhenti ketika Ian sudah tak berdaya. Dia mendekat, tatapannya terlihat sangat khawatir padaku. "Angela, kau baik-baik saja?"Aku hanya bisa mengangguk lemah, aku tidak sanggup berbicara lagi. Hari ini, dunia terasa berputar terlalu menakutkan untukku. Aaron, seolah membaca pikiranku, menarikku ke dalam pelukannya. "Maafkan aku, Angela. Aku datang terlambat."Kehangatan tubuhnya menenangkan badai di dalam diriku. Air mataku men
POV Angela"Angela, kau dicari Ms. Miller di ruang seni," ujar salah seorang temanku, suaranya terengah-engah seperti baru saja berlari.Ruang seni? Kenapa dia mencariku jam segini? Ini sudah saatnya pulang sekolah, dan aku harus segera menjenguk Mom di rumah sakit. Dengan rasa penasaran, aku menyusuri koridor yang sepi karena kebanyakan murid sudah pulang. Ketika tiba di ruang seni, aku melihat pintunya sedikit terbuka. Aku melangkah masuk dengan ragu, mataku menjelajahi setiap sudut ruangan. Tapi, tak ada siapa pun di sana. Hanya terlihat deretan meja kerja yang berantakan dengan sisa-sisa peralatan melukis. "Ms. Miller?" panggilku.Hening. Tak ada sahutan, tak ada suara. Aku menghela napas dengan rasa frustasi. Apakah mungkin temanku salah? Atau mungkin Ms. Miller sudah pulang? Saat aku berbalik untuk pergi...Kemudian hal itu terjadi.Sebuah tangan menutup mulutku dari belakang, kasar dan tiba-tiba. "Ssst."Bisikan dan napas yang memburu dari orang itu menjalar ke tengkukku, me