LOGINAngela POV
Sepuluh Tahun Kemudian
Deburan ombak di Santa Barbara mengisi kesunyian sore. Aku duduk di kursi santai di tepi pantai, mengenakan kacamata hitam, topi lebar, dan syal yang menutupi sebagian wajahku. Aku tidak ingin siapa pun mengenali sosokku, tidak sekarang, tidak di tempat ini. Angin laut menyentuh wajahku, tetapi tidak dapat mengusir resah yang terus menggerogoti pikiranku.
Tablet di pangkuanku menyala, memperlihatkan berita yang terus menghantuiku. Judul besar itu terpampang jelas di layar: "Pendatang Baru Angela Jones Mendapatkan Peran Utama Berkat Hubungan Spesial dengan Sutradara Edward Kane."
Mataku terpaku pada foto-foto yang menyertai artikel tersebut. Foto itu diambil di sebuah restoran, memperlihatkan Edward Kane mencodongkan tubuhnya ke arahku. Tapi framing yang licik membuatnya tampak seperti kami sedang berciuman. "Kedekatan Angela Jones dan Edward Kane memunculkan spekulasi : apakah peran utama di film debutnya murni karena bakat, atau hasil hubungan terlarang?"
Aku menghela napas berat. Kepalaku terasa berdenyut hebat. Sinar matahari yang mulai tenggelam tampak indah tetapi tidak cukup menenangkan segala beban yang kurasakan.
Ini bukan sekadar gosip biasa. Ini fitnah yang bisa mematikan langkah karirku, yang bahkan belum sempat benar-benar dimulai.
Aku mematikan ponsel yang kubawa bersamaku sejak pagi tadi. Beth, manajer sekaligus satu-satunya orang yang percaya padaku di agensi kecil itu, pasti kalang kabut mencariku.
Tapi aku tidak ingin menjawab apapun untuk saat ini. Penjelasan tidak akan berguna. Foto itu cukup bagi mereka untuk membentuk opini.
Angin laut berhembus lebih dingin, membawa pikiranku kembali ke masa lalu, ke masa ketika segalanya terasa lebih sederhana dan sempurna untukku. Aku memejamkan mata dan hampir bisa mendengar suara lembut Mom yang sudah pergi meninggalkanku untuk selamanya. "Angela, hidup ini terlalu singkat. Berbahagialah dan kejar mimpimu. Tapi jangan pernah kehilangan dirimu sendiri."
Setelah operasi besar, Mom memang sempat membaik. Tapi tidak ada yang tahu kalau waktu yang dia miliki tidak akan panjang.
Sekarang, aku berhasil mendapat peran utama, impian yang selama ini kami bicarakan, tapi semuanya terasa tak berarti setelah skandal ini muncul. Aku merasa takut bahwa aku akan kehilangan segalanya yang sudah kuperjuangkan.
Aku bukan siapa-siapa di industri ini. Baru satu proyek besar, itupun langsung diwarnai skandal. Dicap sebagai perebut suami orang, wanita simpanan, pendatang baru yang "naik lewat ranjang." Tak ada yang tahu betapa keras aku bekerja untuk lolos dari audisi, betapa keras Beth melobi agar namaku dipertimbangkan. Dan sekarang semuanya runtuh begitu saja.
Seolah itu belum cukup, wajah Aaron kembali menghantui pikiranku. Wawancaranya yang kutonton beberapa waktu lalu masih terngiang jelas di telingaku. Saat itu, dia duduk dengan setelan yang sempurna, tatapannya terlihat tajam dan penuh percaya diri.
Wartawan yang duduk di hadapannya bertanya, "Tuan Carter, Anda kini dikenal sebagai salah satu pengusaha muda paling berpengaruh. Apa yang memotivasi Anda hingga mencapai titik ini?"
Aku mengingat senyuman tipis yang terukir di bibirnya, "Dendam," jawabnya dengan tenang, tetapi kata itu terasa seperti bom yang meledak di pikiranku.
Dia melanjutkan dengan suara datar namun tajam, "Ketika seseorang menghancurkan hidupmu, kau punya dua pilihan. Menerima kekalahan dan terpuruk, atau membangun dirimu kembali untuk menghancurkan mereka. Saya memilih pilihan kedua."
Dia tidak menyebut namaku, tapi aku tahu dia berbicara tentangku. Aku adalah luka yang membuatnya membangun kerajaan bisnisnya. Aku adalah alasan dia menjadi sekuat sekarang.
Aku menggenggam botol air mineral di tanganku lebih erat. Tanganku gemetar. Semua rasa bersalah yang selama ini kubendung kembali mengalir deras. Aku adalah bagian dari kehancurannya dulu. Dan sekarang, ketika aku akhirnya meraih sesuatu, bahkan itu terasa seperti kutukan.
Apakah dia benar-benar akan menghancurkanku suatu hari nanti?
Aku meneguk air dari botolku, berharap cairan dingin itu bisa menenangkan kekacauan dalam diriku. Tapi tidak ada yang berubah. Itu tidak cukup memadamkan segala perasaan yang bercampur aduk di hatiku. Aku ingin mencari sesuatu yang bisa membuatku melupakan, setidaknya untuk sementara.
Saat matahari tenggelam sepenuhnya, aku berdiri dari kursi santai dengan langkah yang terasa berat. Aku meninggalkan pantai, berjalan kembali menuju hotel yang berjarak dekat dari sini. Tidak ada yang mengenaliku di tempat ini, dan itu satu-satunya hal baik yang tersisa hari ini.
Setibanya di kamar hotel, aku meletakkan tablet dan ponselku di meja. Aku menghela napas panjang sebelum akhirnya melangkah ke kamar mandi. Air hangat dari pancuran mengalir melalui rambut dan tubuhku. Untuk sesaat, air itu seperti menyapu semua pikiranku yang kacau.
Namun setelah keluar dari kamar mandi, pikiranku masih sama kacaunya. Aku tahu apa yang kubutuhkan untuk benar-benar melupakan. Sesuatu yang kuat, yang bisa membuatku mati rasa.
Aku akhirnya melangkah menuju bar kecil yang berada di lantai bawah hotel. Tempat itu remang, dipenuhi suara obrolan, tawa, dan dentingan gelas. Aku duduk di sudut, wajahku masih tertutup syal dan kacamata gelap.
Seorang bartender menghampiriku. "Apa yang bisa saya buatkan untuk Anda malam ini?"
"Sesuatu yang kuat," jawabku.
Dia mengangguk kecil, lalu menyiapkan pesananku. Aku mengamati saat dia menuangkan cairan ke dalam gelas, lalu mendorongnya ke arahku. "Ini dia."
Aku memandang cairan di dalamnya. Saat tegukan pertama, tenggorokanku terasa terbakar. Tapi sensasi itu seperti obat bagi kekacauan pikiranku.
Minuman pertama habis, dan aku memesan lagi dan lagi. Setiap tegukan terasa membakar, tetapi anehnya, aku merasa lebih ringan.
Beberapa jam berlalu, aku sudah tidak tahu berapa gelas yang habis kuteguk. Kepalaku mulai terasa berat, dan suara-suara di sekitar bar terdengar seperti dengung jauh yang tidak lagi kupahami. Aku tidak ingat lagi apa yang kukatakan atau bagaimana aku tertawa sendirian di meja.
Ketika akhirnya aku bangkit dari kursiku, langkahku terhuyung. Aku memegang meja untuk menjaga keseimbangan, lalu mulai berjalan kembali. Ketika berada di luar bar, aku merasakan tubuhku seperti menabrak seseorang.
"M-maaf..." gumamku, kata-kataku terdengar kacau, hampir tidak jelas. Aku tidak tahu siapa yang kutabrak. Aku bahkan tidak berani menatap wajahnya.
Tiba-tiba, perutku terasa tidak enak, seperti ada sesuatu yang mendesak ingin keluar. Sebelum aku bisa menahan diri, aku akhirnya memuntahkan isi perutku, langsung mengenai orang itu.
"Sial!" aku mendengar samar-samar suara pria yang mengumpat tapi kakiku semakin melemah untuk menopang tubuhku, dan pandanganku mulai buram. Tubuhku jatuh ke lantai, dan aku tidak ingat apa-apa lagi setelah itu.
***
Aku terbangun keesokan paginya dengan kepala yang berdenyut hebat. Perlahan aku membuka mata, menyadari aku berada di tempat tidur.
Aku duduk perlahan, memegangi kepalaku, berusaha menahan rasa pusing yang tak kunjung reda. Selimut tebal membungkus tubuhku, terasa hangat, tetapi tidak mengurangi rasa cemas yang tiba-tiba menyelimuti diriku. Aku menatap sekeliling ruangan. Ini tampak seperti kamar hotel, tapi ini bukan kamarku.
"Apa yang terjadi?" gumamku.
POV AaronLyla melangkah lebih dekat, matanya masih menatap ke arah koridor, seolah ingin memastikan benar-benar tidak ada orang di sana.Aku meraih pergelangan tangannya, menariknya perlahan sampai tatapannya kembali padaku."Aku akan datang ke pesta itu," kataku, mencoba mengalihkan perhatiannya.Sudut bibir Lyla perlahan terangkat membentuk senyuman. "Kau serius?"Aku mengangguk kecil, menyelipkan satu tanganku ke saku celana. "Ya."Senyumnya melebar. "Akhirnya."Aku memberi isyarat dengan dagu ke arah sofa. "Duduklah."Dia sempat menatapku sebelum berjalan pelan ke sofa dan duduk. Sementara, aku menuju ke meja bar kecil."Kau mau minum?" tanyaku."Air putih saja," jawabnya.Aku mengambil dua botol air dari pendingin, membuka tutupnya, lalu menuangkannya ke dua gelas. Suara gelembung kecil naik dari dasar gelas, satu-satunya suara yang terdengar di ruangan.Aku meleta
POV AngelaDia berhenti di tengah langkah. Perlahan, dia berbalik. Tatapannya gelap dan dingin. Lalu dia mulai berjalan ke arahku — langkahnya pelan, mantap, tapi tiap langkah seperti memadatkan udara di antara kami.Aku mundur satu langkah tanpa sadar, tapi dia terus maju sampai jarak di antara kami nyaris hilang.Tangannya terulur, jari-jarinya mencengkeram rahangku, keras tapi terkendali."Aku terlihat lelah, hah?" suaranya rendah, nyaris seperti bisikan. "Jangan coba-coba menganalisis aku. Kau tidak tahu apa-apa tentang rasa sakitku."Dia mendekat. Suaranya turun jadi bisikan di telingaku. "Justru rasa sakit ini menjadi alasan aku untuk terus hidup."Jantungku berdetak cepat. "Aku tahu aku melukaimu," bisikku.Aaron tertawa pendek — tanpa humor, tanpa rasa. "Melukaiku?" katanya pelan. "Kau menghancurkanku, Angela.""Ya, aku tahu," suaraku nyaris bergetar, tapi aku tetap menatap matanya. "
POV AngelaTunggu... Apa?Mataku bergerak cepat menelusuri layar.Sudah kuduga. Dia tidak kelihatan seperti tipe begitu. Rekaman CCTV membuktikannya.Foto-foto itu palsu. Diedit.Edward Kane yang seharusnya minta maaf.Maaf sudah menilaimu.Dia tidak pantas diperlakukan begitu.Jangan menyerah, Angela.Aku menggulir lebih cepat, jantungku berdegup kencang. Semua postingan isinya sama. Dukungan. Simpati. Kepercayaan."Apa-apaan ini..." bisikku.Aku mengetuk salah satu tautan berita yang memenuhi inbox-ku. Judulnya langsung menohok mataku."Bukti Baru Membersihkan Nama Angela Jones — Rekaman CCTV Membuktikan Tidak Ada Perselingkuhan."Artikel itu menjelaskan semuanya — rekaman restoran, sudut kamera, dan bagaimana "ciuman" itu sebenarnya hanya saat Edward mencondongkan tubuh untuk mengambil gelas. Satu detik, satu
POV AngelaKata-kata itu masih bergema di kepalaku. "Kau ada di sini karena izinku. Bukan karena kau berarti."Sialan dia. Benar-benar dingin dan tak berperasaan.Aaron keluar begitu saja dari mobil tanpa menoleh. Aku turun beberapa detik kemudian, membanting pintu sedikit lebih keras. Garasinya bersih tanpa cela — lantai beton mengilap, semuanya tertata rapi. Tiga mobil berjejer seperti pajangan di pameran.Dia berjalan di depan tanpa peduli apakah aku mengikutinya atau tidak.Pintu samping langsung mengarah ke dalam rumah. Begitu aku melangkah masuk, langkahku terhenti.Tempat itu tampak seperti halaman depan majalah arsitektur. Dinding kaca dari lantai ke langit-langit, garis-garis tajam, tanpa sedikit pun sentuhan pribadi. Tak ada foto, tak ada barang kecil yang menunjukkan siapa pemiliknya. Tempat itu terasa seperti dirinya. Dingin, terkontrol, dan tak tersentuh."Berapa lama kau mau berdiri di situ?
POV AaronAku melirik ke bawah, pada tangan Angela yang masih menempel di lenganku."Lepaskan," kataku datar.Dia ragu sejenak, lalu perlahan melepaskan genggaman. Tangannya turun, tapi matanya tetap menatapku. "Kau berdarah."Aku menatap garis merah di buku jariku, sisa dari perkelahian tadi."Kau mungkin harus mengobatinya," katanya.Aku menatapnya dingin. "Jangan berpura-pura peduli, Angela.""Aku tidak berpura-pura," sahutnya. "Hanya mengatakan apa yang kulihat.""Aku tahu cara mengurus diriku sendiri."Dia tidak berkedip. "Oke, kalau begitu. Tapi bukan berarti kau harus berdarah buat membuktikannya.""Kau bicara terlalu banyak untuk seseorang yang seharusnya tidak ikut campur urusanku."Tatapannya tak bergeser. "Aku hanya memperhatikan apa yang terjadi di sekitarku. Bukan berarti aku ikut campur. Aku akan melakukan hal yang sama untuk siapa saja, bukan cuma untukmu."Itu
POV AaronAku memelintir pergelangan tangan Bennett sampai uratnya menonjol di bawah kulit. Dia meraung, keras dan serak, tapi aku tidak mengendurkan cengkeramanku, justru semakin menguatkannya.Wajahnya menegang, rahangnya mengeras, tapi matanya masih menyimpan kesombongan. "Kau pikir kau cukup besar buat menantangku, Carter?" desisnya tajam, napas tersengal menahan sakit.Aku menatapnya datar. Suaraku tenang dan dingin. "Kau pikir nama Bennett membuatmu kebal? Nama keluargamu mungkin berarti sesuatu di atas kertas. Tapi kau tidak lebih dari bajingan pengecut yang hidup dari nama itu."Lalu aku melepaskannya dengan satu hentakan cepat. Dia terhuyung ke belakang, wajahnya memerah menahan amarah.Aku menoleh ke arah Angela yang masih terpaku di dekat pagar paddock. "Masuk mobil," kataku datar.Dia sempat ragu sepersekian detik, tapi akhirnya menurut. Pintu mobil tertutup di belakangnya, meninggalkan aku berdua dengan Bennett







