MasukPOV Angela
Seorang suster keluar dari ruang ICU. "Apakah Anda keluarga dari Mrs. Jones?"
Aku segera berdiri dan mendekat. "Ya, saya putrinya. Bagaimana kondisinya?" tanyaku, cemas.
"Saat ini, Dr. Smith sedang menyelesaikan catatan pasca-operasinya," jawabnya. "Dia akan menemui Anda di ruangannya sebentar lagi. Mari saya antar ke sana."
Aku mengangguk dan mengikuti suster itu ke ruang dokter.
"Selamat sore, Miss Jones," sapa Dr. Smith saat dia melangkah masuk ke ruangannya.
"Sore, Dokter," jawabku cepat. "Bagaimana keadaan Mom? Apakah operasinya berjalan lancar?"
"Operasi berjalan dengan lancar. Kami berhasil membuka penyumbatan di arteri utama, dan aliran darah ke jantungnya kini sudah stabil," jawab Dr. Smith, memberikan sedikit senyuman yang menenangkan.
Aku menghela napas lega, meskipun kekhawatiranku belum sepenuhnya hilang. "Apakah dia akan baik-baik saja?"
"Masih perlu dipantau, tapi jika tak ada komplikasi, pemulihannya bisa baik. Kami akan terus memonitor selama 24 hingga 48 jam," jelasnya.
Aku mengangguk, merasa lega meski jantungku masih berdebar. "Terima kasih, Dokter."
Setelah beberapa saat, aku diberi izin masuk ke ruang ICU. Saat kulihat Mom terbaring dengan berbagai selang medis terhubung, dadaku terasa sesak. Wajahnya terlihat begitu pucat, seperti kehilangan semua energi hidupnya. Aku mendekat dan menggenggam tangannya yang terasa dingin, mencoba memberikan kehangatan.
"Mom..." bisikku pelan. "Tolong bangun. Aku membutuhkanmu."
Aku tahu dia tidak bisa mendengar, tapi aku tetap berbicara, berharap dia merasakan keberadaanku.
***
Semalam aku hampir tidak tidur. Setelah Mom selesai dioperasi, rasanya pikiranku tak pernah berhenti berputar. Masalah perusahaan Dad, ancaman Victoria Bennett, dan sidang disiplin di sekolah besok pagi semuanya berkecamuk dalam benakku.
Pihak sekolah telah menghubungi Dad untuk memberitahu tentang kasus pelecehan yang kualami. Saat mendengar kabar itu, dia terlihat sangat khawatir. Dia memutuskan untuk menghadiri sidangku pagi ini, tapi aku berhasil meyakinkannya untuk tetap fokus pada masalah perusahaan dan ibuku.
Kini, aku duduk di ruang sidang disiplin sekolah. Principal Davies menatapku dengan sorot tajam, meja panjang di depannya memisahkanku dari semua orang.
Di sisi lain ruangan, Ian duduk dengan ibunya, Victoria Bennett, yang terlihat tenang dan percaya diri. Sementara itu, Aaron duduk di sudut lain dengan ibunya, Sarah. Luka di wajah Aaron dan Ian masih terlihat jelas.
"Angela," suara Principal Davies memecah keheningan. "Kami telah menerima laporan bahwa kamu hampir menjadi korban pelecehan. Kami perlu mendengar langsung darimu. Siapa yang melakukan ini?"
Tanganku gemetar di pangkuan. Ingatan itu kembali menghantamku, tatapan dingin Ian, tangannya yang kasar, dan rasa takut yang mencekikku. Tapi aku juga mengingat Aaron yang datang menyelamatkanku, menantang Ian tanpa ragu, bahkan ketika dirinya harus babak belur.
Aku menunduk, suaraku tercekat. Semua mata tertuju padaku, menunggu jawaban. Aku tahu apa yang akan kukatakan akan menentukan segalanya. Kebenaran, yang mungkin akan menghancurkan perusahaan ayahku dan keselamatan ibuku, atau kebohongan, yang akan menghancurkan Aaron.
Aku menatap Aaron, melihat luka-luka yang dia tanggung demi melindungiku. Namun, jika aku mengatakan yang sebenarnya, Victoria Bennett pasti tidak akan ragu untuk menghancurkan keluargaku.
Kugenggam erat kedua tanganku, memaksa diriku untuk berbicara.
"Aaron yang menyerangku," jawabku akhirnya.
Ruangan itu hening seketika. Aku tidak berani mengangkat wajahku, tetapi aku bisa merasakan tatapan semua orang. Ketika aku akhirnya mendongak, tatapan tidak percaya Aaron menghantamku seperti pukulan.
Di sisi lain ruangan, senyum tipis Victoria Bennett terukir jelas, seperti dia tahu dari awal bahwa aku tidak punya pilihan lain.
Aku juga bisa melihat senyum sinis yang terukir dari bibir Ian, seolah kemenangan sudah ada di tangannya. Aku sangat ingin memukulnya, menghancurkan senyum jahatnya, tapi aku tak berdaya. Ancaman dari Victoria Bennett dan perjanjian yang bisa menyelamatkan keluargaku, telah mengikatku dalam jerat kebohongan.
"Angela, apa yang kau katakan?!" suara Aaron terdengar pecah. "Akulah yang menyelamatkanmu dari Ian!"
Kata-katanya menusukku. Rasa bersalah semakin mencengkeramku, mencekikku dengan erat. Aku telah mengkhianati Aaron, menghancurkannya. Dia yang sebenarnya melindungiku, tapi aku telah mencoreng namanya, merusak nama baiknya.
"Aaron," Principal Davies memotong, suaranya terdengar tenang tapi tegas. "Benarkah kamu yang melakukan penyerangan itu?"
Aaron berdiri dari kursinya, tetapi sebelum dia menjawab, pintu ruangan terbuka. Seorang pria masuk. Dia adalah Jayden, salah satu temanku yang memanggilku ke ruang seni semalam.
"Maaf, saya terlambat," katanya. "Saya... ingin memberikan kesaksian."
Principal Davies menyandarkan tubuh ke depan. "Silakan, Jayden. Katakan siapa yang memintamu memancing Angela ke ruang seni? Apakah itu Aaron atau Ian?"
Aku melihat Jayden yang terlihat ragu. Matanya melirik ke arah Ian. Ian tampak sedikit panik, senyumnya memudar.
Namun kemudian, Jayden mengalihkan pandangan. "Aaron, Pak."
Ruangan menjadi ricuh seketika. Senyum Victoria Bennett semakin melebar, seolah catur telah dimenangkan sepenuhnya olehnya.
"Itu tidak benar!" Sarah berdiri, suaranya terdengar bergetar. "Aaron tidak akan melakukan hal seperti itu!"
"Angela," Sarah memandangku dengan wajahnya yang terlihat sangat putus asa. "Kau mengenalnya. Kau tahu jika ini tidak benar. Tolong, katakan yang sebenarnya."
Aku menunduk, tak berani menatap mata Sarah. Air mata yang mengalir di pipi Sarah membuatku semakin merasa bersalah.
Victoria berdiri, suaranya menggema di ruangan. "Principal Davies, saya yakin Anda tahu apa yang harus dilakukan. Aaron adalah ancaman bagi sekolah ini. Keadilan harus ditegakkan."
Principal Davies mendesah berat sebelum berkata. "Aaron, tindakan yang kamu lakukan telah melanggar peraturan sekolah dan nilai-nilai yang kami pegang di sini. Kami tidak bisa membiarkan hal seperti ini terjadi tanpa konsekuensi."
"Karena itu, saya harus memberitahukan bahwa Aaron dikeluarkan dari sekolah ini, mulai hari ini," lanjutnya.
"Apa?!" Sarah berteriak. "Ini tidak adil! Kalian tidak bisa menghancurkan masa depan Aaron!" Aku melihat tubuh Sarah lunglai di kursi, isak tangisnya memecah kesunyian ruangan. Aaron mencoba menenangkannya, memeluknya erat.
Ini semua salahku. Aku telah membuat Aaron mengalami semua ini. Aku tidak bisa menahan semua ini hingga akhirnya aku berlari keluar dari ruangan itu, dadaku sesak, napasku terengah-engah.
Aku tidak ingin tahu lagi apa yang terjadi di ruangan itu. Kenapa semua hal kejam ini harus menimpaku? Aku hanya ingin bahagia dan mengatakan yang sebenarnya. Tapi kenapa? Kenapa hal itu terasa sulit sekali untukku?
Lorong sekolah terasa menyesakkan. Aku terduduk di sudut, wajahku tertunduk di lutut, sementara air mataku mengalir tanpa henti. Yang kuinginkan hanyalah menghilang dari tempat ini.
Tapi tiba-tiba, aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat, pelan tapi pasti.
"Jadi kau di sini rupanya," kata suara itu, memaksaku untuk mendongak.
Aku mengangkat wajah, melihat Evelyn, Caroline, dan Brianna berdiri di hadapanku. Evelyn tersenyum, senyumnya terlihat licik.
"Hari yang berat, ya?" Evelyn berkata, nadanya terdengar penuh ejekan. "Hampir dilecehkan? Siapa yang menyangka Aaron bisa sampai melakukan hal itu?"
Aku menyeka air mataku dengan punggung tangan. "Apa yang kalian inginkan?"
Evelyn berjongkok, melemparkan sebuah amplop ke lantai di depan kakiku. "Oh, tidak banyak. Aku cuma ingin menyelesaikan taruhan kita."
Aku tetap diam, tak bergerak. Beban kata-katanya menghimpitku, membuatku sulit bernapas. Taruhan itu. Aku hampir melupakannya, tantangan bodoh yang dia ajukan agar membuat Aaron jatuh cinta padaku. Dia berhasil memprovokasiku untuk menerima taruhan itu dengan imbalan uang yang banyak.
"Selamat," Evelyn menyeringai. "Kau menang. Kau berhasil membuat Aaron jatuh cinta, cukup dalam sampai dia kehilangan akal sehat."
"Tinggalkan aku sendiri, Evelyn!" gumamku.
"Apa pria miskin itu tahu jika kau mendekatinya hanya karena taruhan? Karena itu dia marah dan hampir melecehkanmu?" tanya Evelyn.
"Taruhan? Apa maksud kalian?" Sebuah suara familiar bergema membuatku terkejut hingga berdiri.
POV AaronLyla melangkah lebih dekat, matanya masih menatap ke arah koridor, seolah ingin memastikan benar-benar tidak ada orang di sana.Aku meraih pergelangan tangannya, menariknya perlahan sampai tatapannya kembali padaku."Aku akan datang ke pesta itu," kataku, mencoba mengalihkan perhatiannya.Sudut bibir Lyla perlahan terangkat membentuk senyuman. "Kau serius?"Aku mengangguk kecil, menyelipkan satu tanganku ke saku celana. "Ya."Senyumnya melebar. "Akhirnya."Aku memberi isyarat dengan dagu ke arah sofa. "Duduklah."Dia sempat menatapku sebelum berjalan pelan ke sofa dan duduk. Sementara, aku menuju ke meja bar kecil."Kau mau minum?" tanyaku."Air putih saja," jawabnya.Aku mengambil dua botol air dari pendingin, membuka tutupnya, lalu menuangkannya ke dua gelas. Suara gelembung kecil naik dari dasar gelas, satu-satunya suara yang terdengar di ruangan.Aku meleta
POV AngelaDia berhenti di tengah langkah. Perlahan, dia berbalik. Tatapannya gelap dan dingin. Lalu dia mulai berjalan ke arahku — langkahnya pelan, mantap, tapi tiap langkah seperti memadatkan udara di antara kami.Aku mundur satu langkah tanpa sadar, tapi dia terus maju sampai jarak di antara kami nyaris hilang.Tangannya terulur, jari-jarinya mencengkeram rahangku, keras tapi terkendali."Aku terlihat lelah, hah?" suaranya rendah, nyaris seperti bisikan. "Jangan coba-coba menganalisis aku. Kau tidak tahu apa-apa tentang rasa sakitku."Dia mendekat. Suaranya turun jadi bisikan di telingaku. "Justru rasa sakit ini menjadi alasan aku untuk terus hidup."Jantungku berdetak cepat. "Aku tahu aku melukaimu," bisikku.Aaron tertawa pendek — tanpa humor, tanpa rasa. "Melukaiku?" katanya pelan. "Kau menghancurkanku, Angela.""Ya, aku tahu," suaraku nyaris bergetar, tapi aku tetap menatap matanya. "
POV AngelaTunggu... Apa?Mataku bergerak cepat menelusuri layar.Sudah kuduga. Dia tidak kelihatan seperti tipe begitu. Rekaman CCTV membuktikannya.Foto-foto itu palsu. Diedit.Edward Kane yang seharusnya minta maaf.Maaf sudah menilaimu.Dia tidak pantas diperlakukan begitu.Jangan menyerah, Angela.Aku menggulir lebih cepat, jantungku berdegup kencang. Semua postingan isinya sama. Dukungan. Simpati. Kepercayaan."Apa-apaan ini..." bisikku.Aku mengetuk salah satu tautan berita yang memenuhi inbox-ku. Judulnya langsung menohok mataku."Bukti Baru Membersihkan Nama Angela Jones — Rekaman CCTV Membuktikan Tidak Ada Perselingkuhan."Artikel itu menjelaskan semuanya — rekaman restoran, sudut kamera, dan bagaimana "ciuman" itu sebenarnya hanya saat Edward mencondongkan tubuh untuk mengambil gelas. Satu detik, satu
POV AngelaKata-kata itu masih bergema di kepalaku. "Kau ada di sini karena izinku. Bukan karena kau berarti."Sialan dia. Benar-benar dingin dan tak berperasaan.Aaron keluar begitu saja dari mobil tanpa menoleh. Aku turun beberapa detik kemudian, membanting pintu sedikit lebih keras. Garasinya bersih tanpa cela — lantai beton mengilap, semuanya tertata rapi. Tiga mobil berjejer seperti pajangan di pameran.Dia berjalan di depan tanpa peduli apakah aku mengikutinya atau tidak.Pintu samping langsung mengarah ke dalam rumah. Begitu aku melangkah masuk, langkahku terhenti.Tempat itu tampak seperti halaman depan majalah arsitektur. Dinding kaca dari lantai ke langit-langit, garis-garis tajam, tanpa sedikit pun sentuhan pribadi. Tak ada foto, tak ada barang kecil yang menunjukkan siapa pemiliknya. Tempat itu terasa seperti dirinya. Dingin, terkontrol, dan tak tersentuh."Berapa lama kau mau berdiri di situ?
POV AaronAku melirik ke bawah, pada tangan Angela yang masih menempel di lenganku."Lepaskan," kataku datar.Dia ragu sejenak, lalu perlahan melepaskan genggaman. Tangannya turun, tapi matanya tetap menatapku. "Kau berdarah."Aku menatap garis merah di buku jariku, sisa dari perkelahian tadi."Kau mungkin harus mengobatinya," katanya.Aku menatapnya dingin. "Jangan berpura-pura peduli, Angela.""Aku tidak berpura-pura," sahutnya. "Hanya mengatakan apa yang kulihat.""Aku tahu cara mengurus diriku sendiri."Dia tidak berkedip. "Oke, kalau begitu. Tapi bukan berarti kau harus berdarah buat membuktikannya.""Kau bicara terlalu banyak untuk seseorang yang seharusnya tidak ikut campur urusanku."Tatapannya tak bergeser. "Aku hanya memperhatikan apa yang terjadi di sekitarku. Bukan berarti aku ikut campur. Aku akan melakukan hal yang sama untuk siapa saja, bukan cuma untukmu."Itu
POV AaronAku memelintir pergelangan tangan Bennett sampai uratnya menonjol di bawah kulit. Dia meraung, keras dan serak, tapi aku tidak mengendurkan cengkeramanku, justru semakin menguatkannya.Wajahnya menegang, rahangnya mengeras, tapi matanya masih menyimpan kesombongan. "Kau pikir kau cukup besar buat menantangku, Carter?" desisnya tajam, napas tersengal menahan sakit.Aku menatapnya datar. Suaraku tenang dan dingin. "Kau pikir nama Bennett membuatmu kebal? Nama keluargamu mungkin berarti sesuatu di atas kertas. Tapi kau tidak lebih dari bajingan pengecut yang hidup dari nama itu."Lalu aku melepaskannya dengan satu hentakan cepat. Dia terhuyung ke belakang, wajahnya memerah menahan amarah.Aku menoleh ke arah Angela yang masih terpaku di dekat pagar paddock. "Masuk mobil," kataku datar.Dia sempat ragu sepersekian detik, tapi akhirnya menurut. Pintu mobil tertutup di belakangnya, meninggalkan aku berdua dengan Bennett







