Home / Romansa / Perangkap Dendam Tuan Miliarder / Pengkhianatan dan Kepalsuan

Share

Pengkhianatan dan Kepalsuan

Author: Von Hsu
last update Last Updated: 2025-08-20 15:45:32

POV Angela

Seorang suster keluar dari ruang ICU. "Apakah Anda keluarga dari Mrs. Jones?"

Aku segera berdiri dan mendekat. "Ya, saya putrinya. Bagaimana kondisinya?" tanyaku, cemas. 

"Saat ini, Dr. Smith sedang menyelesaikan catatan pasca-operasinya," jawabnya. "Dia akan menemui Anda di ruangannya sebentar lagi. Mari saya antar ke sana."

Aku mengangguk dan mengikuti suster itu ke ruang dokter. 

"Selamat sore, Miss Jones," sapa Dr. Smith saat dia melangkah masuk ke ruangannya.

"Sore, Dokter," jawabku cepat. "Bagaimana keadaan Mom? Apakah operasinya berjalan lancar?"

"Operasi berjalan dengan lancar. Kami berhasil membuka penyumbatan di arteri utama, dan aliran darah ke jantungnya kini sudah stabil," jawab Dr. Smith, memberikan sedikit senyuman yang menenangkan. 

Aku menghela napas lega, meskipun kekhawatiranku belum sepenuhnya hilang. "Apakah dia akan baik-baik saja?"

"Masih perlu dipantau, tapi jika tak ada komplikasi, pemulihannya bisa baik. Kami akan terus memonitor selama 24 hingga 48 jam," jelasnya. 

Aku mengangguk, merasa lega meski jantungku masih berdebar. "Terima kasih, Dokter."

Setelah beberapa saat, aku diberi izin masuk ke ruang ICU. Saat kulihat Mom terbaring dengan berbagai selang medis terhubung, dadaku terasa sesak. Wajahnya terlihat begitu pucat, seperti kehilangan semua energi hidupnya. Aku mendekat dan menggenggam tangannya yang terasa dingin, mencoba memberikan kehangatan.

"Mom..." bisikku pelan. "Tolong bangun. Aku membutuhkanmu."

Aku tahu dia tidak bisa mendengar, tapi aku tetap berbicara, berharap dia merasakan keberadaanku. 

***

Semalam aku hampir tidak tidur. Setelah Mom selesai dioperasi, rasanya pikiranku tak pernah berhenti berputar. Masalah perusahaan Dad, ancaman Victoria Bennett, dan sidang disiplin di sekolah besok pagi semuanya berkecamuk dalam benakku.

Pihak sekolah telah menghubungi Dad untuk memberitahu tentang kasus pelecehan yang kualami. Saat mendengar kabar itu, dia terlihat sangat khawatir. Dia memutuskan untuk menghadiri sidangku pagi ini, tapi aku berhasil meyakinkannya untuk tetap fokus pada masalah perusahaan dan ibuku. 

Kini, aku duduk di ruang sidang disiplin sekolah. Principal Davies menatapku dengan sorot tajam, meja panjang di depannya memisahkanku dari semua orang. 

Di sisi lain ruangan, Ian duduk dengan ibunya, Victoria Bennett, yang terlihat tenang dan percaya diri. Sementara itu, Aaron duduk di sudut lain dengan ibunya, Sarah. Luka di wajah Aaron dan Ian masih terlihat jelas.

"Angela," suara Principal Davies memecah keheningan. "Kami telah menerima laporan bahwa kamu hampir menjadi korban pelecehan. Kami perlu mendengar langsung darimu. Siapa yang melakukan ini?"

Tanganku gemetar di pangkuan. Ingatan itu kembali menghantamku, tatapan dingin Ian, tangannya yang kasar, dan rasa takut yang mencekikku. Tapi aku juga mengingat Aaron yang datang menyelamatkanku, menantang Ian tanpa ragu, bahkan ketika dirinya harus babak belur.

Aku menunduk, suaraku tercekat. Semua mata tertuju padaku, menunggu jawaban. Aku tahu apa yang akan kukatakan akan menentukan segalanya. Kebenaran, yang mungkin akan menghancurkan perusahaan ayahku dan keselamatan ibuku, atau kebohongan, yang akan menghancurkan Aaron.

Aku menatap Aaron, melihat luka-luka yang dia tanggung demi melindungiku. Namun, jika aku mengatakan yang sebenarnya, Victoria Bennett pasti tidak akan ragu untuk menghancurkan keluargaku. 

Kugenggam erat kedua tanganku, memaksa diriku untuk berbicara. 

"Aaron yang menyerangku," jawabku akhirnya. 

Ruangan itu hening seketika. Aku tidak berani mengangkat wajahku, tetapi aku bisa merasakan tatapan semua orang. Ketika aku akhirnya mendongak, tatapan tidak percaya Aaron menghantamku seperti pukulan. 

Di sisi lain ruangan, senyum tipis Victoria Bennett terukir jelas, seperti dia tahu dari awal bahwa aku tidak punya pilihan lain.

Aku juga bisa melihat senyum sinis yang terukir dari bibir Ian, seolah kemenangan sudah ada di tangannya. Aku sangat ingin memukulnya, menghancurkan senyum jahatnya, tapi aku tak berdaya. Ancaman dari Victoria Bennett dan perjanjian yang bisa menyelamatkan keluargaku, telah mengikatku dalam jerat kebohongan. 

"Angela, apa yang kau katakan?!" suara Aaron terdengar pecah. "Akulah yang menyelamatkanmu dari Ian!"

Kata-katanya menusukku. Rasa bersalah semakin mencengkeramku, mencekikku dengan erat. Aku telah mengkhianati Aaron, menghancurkannya. Dia yang sebenarnya melindungiku, tapi aku telah mencoreng namanya, merusak nama baiknya.

"Aaron," Principal Davies memotong, suaranya terdengar tenang tapi tegas. "Benarkah kamu yang melakukan penyerangan itu?"

Aaron berdiri dari kursinya, tetapi sebelum dia menjawab, pintu ruangan terbuka. Seorang pria masuk. Dia adalah Jayden, salah satu temanku yang memanggilku ke ruang seni semalam.

"Maaf, saya terlambat," katanya. "Saya... ingin memberikan kesaksian."

Principal Davies menyandarkan tubuh ke depan. "Silakan, Jayden. Katakan siapa yang memintamu memancing Angela ke ruang seni? Apakah itu Aaron atau Ian?" 

Aku melihat Jayden yang terlihat ragu. Matanya melirik ke arah Ian. Ian tampak sedikit panik, senyumnya memudar. 

Namun kemudian, Jayden mengalihkan pandangan. "Aaron, Pak." 

Ruangan menjadi ricuh seketika. Senyum Victoria Bennett semakin melebar, seolah catur telah dimenangkan sepenuhnya olehnya. 

"Itu tidak benar!" Sarah berdiri, suaranya terdengar bergetar. "Aaron tidak akan melakukan hal seperti itu!"

"Angela," Sarah memandangku dengan wajahnya yang terlihat sangat putus asa. "Kau mengenalnya. Kau tahu jika ini tidak benar. Tolong, katakan yang sebenarnya."

Aku menunduk, tak berani menatap mata Sarah. Air mata yang mengalir di pipi Sarah membuatku semakin merasa bersalah.

Victoria berdiri, suaranya menggema di ruangan. "Principal Davies, saya yakin Anda tahu apa yang harus dilakukan. Aaron adalah ancaman bagi sekolah ini. Keadilan harus ditegakkan." 

Principal Davies mendesah berat sebelum berkata. "Aaron, tindakan yang kamu lakukan telah melanggar peraturan sekolah dan nilai-nilai yang kami pegang di sini. Kami tidak bisa membiarkan hal seperti ini terjadi tanpa konsekuensi."

"Karena itu, saya harus memberitahukan bahwa Aaron dikeluarkan dari sekolah ini, mulai hari ini," lanjutnya. 

"Apa?!" Sarah berteriak. "Ini tidak adil! Kalian tidak bisa menghancurkan masa depan Aaron!" Aku melihat tubuh Sarah lunglai di kursi, isak tangisnya memecah kesunyian ruangan. Aaron mencoba menenangkannya, memeluknya erat.

Ini semua salahku. Aku telah membuat Aaron mengalami semua ini. Aku tidak bisa menahan semua ini hingga akhirnya aku berlari keluar dari ruangan itu, dadaku sesak, napasku terengah-engah. 

Aku tidak ingin tahu lagi apa yang terjadi di ruangan itu. Kenapa semua hal kejam ini harus menimpaku? Aku hanya ingin bahagia dan mengatakan yang sebenarnya. Tapi kenapa? Kenapa hal itu terasa sulit sekali untukku?

Lorong sekolah terasa menyesakkan. Aku terduduk di sudut, wajahku tertunduk di lutut, sementara air mataku mengalir tanpa henti. Yang kuinginkan hanyalah menghilang dari tempat ini. 

Tapi tiba-tiba, aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat, pelan tapi pasti. 

"Jadi kau di sini rupanya," kata suara itu, memaksaku untuk mendongak. 

Aku mengangkat wajah, melihat Evelyn, Caroline, dan Brianna berdiri di hadapanku. Evelyn tersenyum, senyumnya terlihat licik. 

"Hari yang berat, ya?" Evelyn berkata, nadanya terdengar penuh ejekan. "Hampir dilecehkan? Siapa yang menyangka Aaron bisa sampai melakukan hal itu?"

Aku menyeka air mataku dengan punggung tangan. "Apa yang kalian inginkan?"

Evelyn berjongkok, melemparkan sebuah amplop ke lantai di depan kakiku. "Oh, tidak banyak. Aku cuma ingin menyelesaikan taruhan kita."

Aku tetap diam, tak bergerak. Beban kata-katanya menghimpitku, membuatku sulit bernapas. Taruhan itu. Aku hampir melupakannya, tantangan bodoh yang dia ajukan agar membuat Aaron jatuh cinta padaku. Dia berhasil memprovokasiku untuk menerima taruhan itu dengan imbalan uang yang banyak. 

"Selamat," Evelyn menyeringai. "Kau menang. Kau berhasil membuat Aaron jatuh cinta, cukup dalam sampai dia kehilangan akal sehat."

"Tinggalkan aku sendiri, Evelyn!" gumamku. 

"Apa pria miskin itu tahu jika kau mendekatinya hanya karena taruhan? Karena itu dia marah dan hampir melecehkanmu?" tanya Evelyn. 

"Taruhan? Apa maksud kalian?" Sebuah suara familiar bergema membuatku terkejut hingga berdiri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Kehancuran

    POV Angela"Angela," suara Aaron terdengar rendah, namun menusuk. "Apa maksud semua ini?"Aku membeku, napasku tercekat. "Aaron," bisikku lirih. Aku berusaha menenangkan diri, tapi suara detak jantungku yang begitu kencang membuat semuanya semakin sulit. Lututku terasa lemas, hampir menyerah menopang tubuhku.Rahasia yang selama ini kukubur begitu dalam, kini terbongkar. Aku tidak pernah menyangka semuanya akan terungkap seperti ini. Aku sudah cukup melukai Aaron, dan jika dia mengetahui kebenaran tentang taruhan itu... aku akan menghancurkannya sepenuhnya. Evelyn menyeringai lebar, senyumannya lebih terlihat seperti ejekan. "Menarik sekali," katanya, matanya berpindah ke teman-temannya sejenak, lalu kembali menatapku. "Biar kutebak. Aaron belum tahu tentang taruhan kita?"Aku memelototi Evelyn, mulutku terbuka seakan ingin membalas, tapi tak ada satu kata pun yang keluar. Pikiranku berputar liar, mencoba menemukan cara untuk menghentikan mimpi buruk ini. "Aaron," Evelyn memulai. "A

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Pengkhianatan dan Kepalsuan

    POV AngelaSeorang suster keluar dari ruang ICU. "Apakah Anda keluarga dari Mrs. Jones?"Aku segera berdiri dan mendekat. "Ya, saya putrinya. Bagaimana kondisinya?" tanyaku, cemas. "Saat ini, Dr. Smith sedang menyelesaikan catatan pasca-operasinya," jawabnya. "Dia akan menemui Anda di ruangannya sebentar lagi. Mari saya antar ke sana."Aku mengangguk dan mengikuti suster itu ke ruang dokter. "Selamat sore, Miss Jones," sapa Dr. Smith saat dia melangkah masuk ke ruangannya."Sore, Dokter," jawabku cepat. "Bagaimana keadaan Mom? Apakah operasinya berjalan lancar?""Operasi berjalan dengan lancar. Kami berhasil membuka penyumbatan di arteri utama, dan aliran darah ke jantungnya kini sudah stabil," jawab Dr. Smith, memberikan sedikit senyuman yang menenangkan. Aku menghela napas lega, meskipun kekhawatiranku belum sepenuhnya hilang. "Apakah dia akan baik-baik saja?""Masih perlu dipantau, tapi jika tak ada komplikasi, pemulihannya bisa baik. Kami akan terus memonitor selama 24 hingga 4

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Ancaman Keluarga Bennett

    POV AngelaAku menunduk, berusaha menyembunyikan kekacauan yang bergejolak di dadaku. Telepon dari rumah sakit itu terus terngiang di kepalaku. Mom dalam kondisi kritis. Mereka membutuhkan persetujuanku untuk operasi. Tapi aku tidak tahu bagaimana menjelaskan semua ini kepada Aaron. Aku tidak ingin membebani dia lagi setelah semua yang dia lakukan untukku hari ini."Aku baru ingat ada sesuatu yang harus kuurus," kataku cepat, memaksakan senyum yang kuharap terlihat alami. "Aku harus pergi. Kau bisa gunakan mobilku untuk pulang."Aaron menatapku, sorot matanya tajam. "Apa ada sesuatu yang terjadi?""Tidak ada. Ini hanya sedikit urusan keluargaku," jawabku. Aku bisa mendengar nada gugup yang menyelip dari suaraku."Angela."Aku mendongak, dan mata kami bertemu. Aku berusaha menahan air mata yang hendak keluar dan aku berharap dia tidak menyadarinya. "Kalau kau harus pergi, pergilah," katanya pelan. "Tapi kalau kau butuh bantuan, apa pun itu, katakan padaku."Dadaku terasa sesak. Ada be

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Kau Penting Bagiku

    POV AngelaAku tak tahu apa lagi yang terjadi saat aku menutup kedua mataku, tapi tiba-tiba cengkeramannya lepas dari leherku. Aku melihat Ian terjatuh. Sepertinya ketika Ian fokus padaku, Aaron menyerangnya dari belakang. Ian terjungkal ke lantai, mengeluarkan rintihan kesakitan. Aaron langsung menghujani pukulan ke arahnya.Aku terbatuk-batuk, paru-paruku akhirnya mendapatkan sedikit udara segar. Lututku lemas, tubuhku goyah, dan akhirnya jatuh terduduk. Pandanganku terpaku pada Ian, tubuhnya terkulai di bawah pukulan bertubi-tubi dari Aaron.Aaron akhirnya berhenti ketika Ian sudah tak berdaya. Dia mendekat, tatapannya terlihat sangat khawatir padaku. "Angela, kau baik-baik saja?"Aku hanya bisa mengangguk lemah, aku tidak sanggup berbicara lagi. Hari ini, dunia terasa berputar terlalu menakutkan untukku. Aaron, seolah membaca pikiranku, menarikku ke dalam pelukannya. "Maafkan aku, Angela. Aku datang terlambat."Kehangatan tubuhnya menenangkan badai di dalam diriku. Air mataku men

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Jebakan di Ruang Seni

    POV Angela"Angela, kau dicari Ms. Miller di ruang seni," ujar salah seorang temanku, suaranya terengah-engah seperti baru saja berlari.Ruang seni? Kenapa dia mencariku jam segini? Ini sudah saatnya pulang sekolah, dan aku harus segera menjenguk Mom di rumah sakit. Dengan rasa penasaran, aku menyusuri koridor yang sepi karena kebanyakan murid sudah pulang. Ketika tiba di ruang seni, aku melihat pintunya sedikit terbuka. Aku melangkah masuk dengan ragu, mataku menjelajahi setiap sudut ruangan. Tapi, tak ada siapa pun di sana. Hanya terlihat deretan meja kerja yang berantakan dengan sisa-sisa peralatan melukis. "Ms. Miller?" panggilku.Hening. Tak ada sahutan, tak ada suara. Aku menghela napas dengan rasa frustasi. Apakah mungkin temanku salah? Atau mungkin Ms. Miller sudah pulang? Saat aku berbalik untuk pergi...Kemudian hal itu terjadi.Sebuah tangan menutup mulutku dari belakang, kasar dan tiba-tiba. "Ssst."Bisikan dan napas yang memburu dari orang itu menjalar ke tengkukku, me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status