“Lepaskan! Tolong lakukan sewajarnya saja!”
Elena menatap ngeri ke arah Rixon. Dia tak menyangka hidupnya akan berujung pada kegilaan macam ini. 'Semuanya salah Baskara!' Dia mengutuk sang ayah di hatinya. “Tolong jangan!” Mata Elena membelalak terkejut ketika mulutnya sudah diberi pembekap yang memiliki bola untuk dijejalkan di mulut. Gag ball. Dia pun kesulitan bicara. “Hnnghh! Nnnghh!” Elena berusaha berteriak, tapi sia-sia. Bola pembekap di mulutnya menghalangi keleluasaan lidahnya untuk melafalkan apa yang ingin dia ucapkan. Rixon tertawa terkekeh-kekeh melihat Elena menggeliat ingin berontak. Mata selicik iblisnya menatap tajam dengan bibir membentuk seringaian. Rixon sudah tak ada bedanya dengan predator yang bersiap melahap mangsanya. Brettt! “Nnnhh!” Jeritan Elena tertahan bola pembekap di mulut saat tangan agresif Rixon merobek paksa bagian dada gaun merah tipisnya. Ini bukan hal yang dia inginkan dalam hidupnya. Elena hanya bisa meraung tak terima dalam hati ketika dadanya dikuasai tangan ganas Rixon. Air mata sudah berkumpul di sudut pelupuk, siap meluncur turun kapan saja. “Hnnghh! Ennhhh….” Elena memalingkan kepala ke arah lain tanpa berani membuka mata. Elena terlalu takut dan marah untuk melihat apa yang sedang diperbuat Rixon pada dadanya. Pria itu berlaku seenaknya di sana menggunakan tangan dan juga mulut jahatnya. Elena hanya bisa merasakan nyeri beserta rasa asing pada puncak dadanya yang sedang dieksploitasi mulut lapar Rixon. “Haahh… tidak buruk! Aku suka! Heheh!” Rixon terkekeh senang. Dia serasa mendapatkan mainan baru yang menggembirakan hatinya. Ckrik! Ckrik! Telinga Elena mendengar bunyi mencurigakan. Langsung saja matanya membuka untuk memastikan. Alangkah terkejutnya Elena ketika melihat gunting besar di tangan Rixon. Sangat menakutkan dan mengancam. Karena itu, dia semakin memberontak. Dua tangan yang dibelenggu digerakkan, berharap bisa terlepas bebas. Sayang sekali, upaya Elena justru menghasilkan kekehan tawa ejekan Rixon. “Kheheheh… kamu mau bagaimana lagi kalau sudah kuikat begitu.” Elena menggeleng berulang kali. Menjerit pun percuma jika ada penyumbat di mulut. Sorot matanya menampilkan rasa takut yang tak ditutupi. Itu gunting! Dan besar! Untuk apa?! “Ssshh… tenang, Ruby! Jangan banyak bergerak begitu atau kau ingin benda tajam ini menggores kulit mulusmu? Kamu yakin ingin itu terjadi?” Suara berat Rixon terdengar bagaikan iblis penggoda. Mau tak mau, pandangan Elena terfokus pada gunting tersebut. Apa yang hendak dilakukan Rixon dengan benda besar itu? Saat gunting itu diarahkan ke bawah dirinya, Elena semakin panik. Badannya bergerak aktif untuk memberikan penolakan. “Sudah kubilang, diam!” Kali ini Rixon membentak. “Aku tak mau mengulang dua kali apa yang aku ucapkan. Kalau sampai kau berdarah-darah, itu bukan salahku! Tapi kamu yang tak bisa tenang, Ruby!” Terkejut dan takut pada bentakan sekaligus ancaman Rixon, Elena diam. Meski begitu, muncul suara isak tangis lirih. Mata basah itu kembali terpejam, menanti penyiksaan macam apa pula yang akan menghampirinya. “Nnhh!” Walaupun berusaha tegar menanti nasib pada dirinya, Elena tetap saja melonjak kaget ketika pahanya disentuh sesuatu yang dingin, dan dia tahu apa itu. “Jangan bergerak, Ruby!” tegas Rixon sekali lagi. Kress kresss! Hanya dengan dua kali gerakan, ada yang lepas dari Elena. Saat matanya dibuka, Elena melongok ke bawah sana dan mendapati tali celana bikininya sudah putus. Jadi, itu manfaat dari gunting tadi? “Heheh… kenapa?” Rixon tertawa mengejek. Elena belum sempat memikirkan hal lain ketika kejutan lain datang dari pria itu. “Erkhh!” Elena tak mengira kalau Rixon mulai menjelajahi tubuh bagian bawahnya. Rasanya aneh dan tak nyaman. Semakin pahanya berontak, Rixon akan semakin menindasnya untuk diam dan patuh. Elena hanya bisa mengerang tertahan ketika Rixon terus mengeksplorasi tubuhnya. “Hnhh! Hnnghh!” Elena menggeleng dengan tatapan mengiba ke Rixon, memohon belas kasihan. Sesiap-siapnya dia, tetap saja panik ketika miliknya yang berharga hendak direnggut bukan karena cinta. Sayang sekali, Rixon bukan orang yang mudah iba! Dia justru menyeringai. Sambil terkekeh, Rixon berujar, “Sekarang, aku akan melakukan peresmian padamu sebagai milikku, Ruby!”“Aku harus kembali ke sana!” teguh Elena.Maka, di malam harinya, Elena kembali ke kamar terlarang itu—kamar yang dulu sunyi, kini terasa berdenyut dengan teka-teki.Dengan langkah ringan, dia membuka laci tempat dia menyembunyikan diary yang ditemukan sebelumnya—milik Ruby terdahulu.“Oke, kembali ke kamarku!” bisiknya sambil melangkah setengah berlari meninggalkan kamar tersebut.Di kamarnya, dia menatap sampul usang itu beberapa detik, jantungnya berdebar lebih kencang dari sebelumnya. Jemarinya gemetar saat membuka halaman pertama yang masih utuh.Tulisannya kecil dan rapi, tapi terlihat seperti ditulis dengan emosi yang meletup-letup.“Aku tahu aku seharusnya tidak mencintainya. Tapi bagaimana jika yang kulakukan ini bukan pilihan? Bagaimana jika aku jatuh, karena dia membuatku merasa hidup—meski hanya ketika dia melihatku?”Elena membaca pelan dan kemudian dahinya mengernyit. Hatinya menegang. Ini tentang Rixon?Dia membalik halaman berikutnya. Lebih banyak lagi tulisan yang tak
Alma mundur satu langkah. “Saya tidak boleh bicara lagi.”“Bu, tolong…” Elena hampir mencengkeram tangannya. “Aku tidak bisa tinggal di sini tanpa tahu… apa yang terjadi pada dia. Apa yang bisa terjadi juga padaku?”Alma menatapnya lama. Ada gejolak dalam sorot matanya—seperti seseorang yang pernah menyaksikan sesuatu terlalu kelam untuk diucapkan.“Ruby bukan perempuan sembarangan,” katanya pelan. “Dia punya hati. Dia berani. Dia… mencintai terlalu dalam.”“Mencintai siapa?” tanya Elena. “Ibu, bicara saja, tak apa. Ini sudah di kamarku sendiri. Pasti aman.”Dia sedikit berbisik sambil meyakinkan Alma yang tampak waspada meski sudah berada di kamar Elena.Alma menggeleng keras, seolah membuang ingatannya jauh-jauh.“Tidak, saya tidak bisa,” katanya gemetar. “Kalau saya ceritakan… saya… saya bisa ikut menghilang.”Elena surut, terlihat kecewa.“Elena…” lanjutnya, kali ini tanpa menyebut ‘nona’, suara Alma terdengar lebih seperti seorang ibu yang sedang memohon, bukan pelayan. “Percayal
“Tidak! Tidak mau!” Elena secepatnya menjawab Rixon.“Kalau begitu, cepat mendesah untukku! Keluarkan suaramu!” Rixon mengeluarkan titah absolutnya.Elena melihat binar semangat di mata pria yang menguncinya di atas. Dia menggigit bibir dan mulai merelakan suaranya keluar.“Mmhh… hmmhh….” Elena mau tak mau memunculkan suara erangan tertahannya.Dia sengaja mengatupkan mulut erat-erat agar suaranya bisa teredam. Bagaimanapun, dia masih ingin menyisakan sedikit harga dirinya untuk tidak terlalu tunduk pada Rixon.“Lebih keras! Ayo keluarkan yang benar, Ruby!” bentak Rixon. “Atau kamu ingin tanganku di lehermu?”Lekas saja Elena menggeleng. Kemudian dengan harga diri yang sudah tercabik-cabik, dia mulai membuka mulut, megeluarkan suara seperti yang diinginkan Rixon.“Ihh… hiihh….” Elena malu. Suaranya lirih saat dia mencuatkan desahannya.Namun, tentunya Rixon bukan orang yang mudah dipuaskan.“Kamu bukan tikus, kan? Kenapa mencicit? Ayo, mendesah yang benar! Mendesahkan seperti manusia
“Hah?” Elena berbalik cepat ke sumber suara di ambang pintu. Di sana berdiri Rixon, tubuhnya membaur dengan bayangan lorong, wajahnya setengah gelap, setengah terlihat oleh cahaya temaram dari dalam kamar.Elena memeluk buku harian tua ke dadanya, napasnya masih tak stabil. “Siapa yang menulis ini, Tuan?”Pria itu melangkah masuk. Langkahnya pelan namun berat, seperti sedang menghormati ruangan yang telah terkunci oleh waktu. “Itu bukan pertanyaan yang perlu dijawab sekarang.”“Tidak perlu?” Nada suara Elena meninggi, antara takut dan frustrasi. “Seseorang—wanita ini—memiliki nama yang sama seperti yang Anda berikan pada saya. Ruby. Kenapa?”Rixon tak menjawab segera. Matanya menatap lurus ke arah lukisan di dinding. Sorotnya tajam, namun bukan marah—lebih seperti menyimpan perang batin yang tak pernah benar-benar reda. “Sudah kubilang tak perlu ada jawaban untuk itu!” Suara Rixon terdengar tak sabar.Mata Elena membelalak ketika dia menyaksikan Rixon mulai melepas jasnya, lalu kem
“Kenapa kesannya Anda menginginkan ini menjadi sebuah survival game untuk kami para wanita Anda?” Dahi Elena berkerut.Dia kurang setuju dengan kalimat yang baru saja disampaikan Rixon. Seakan-akan dia dan dua wanita lainnya harus bertanding untuk memenangkan tempat di mansion.Setelah beberapa waktu hidup nyaris gila di mansion ini, Elena mulai mengikis ketakutannya pada Rixon dan berusaha bisa menyampaikan apa yang ada di kepala.“Jangan mengajari aku. Cukup ketahui saja posisimu.” Tatapan Rixon menghujam ke netra Elena.Sementara itu, Golda ada di balik tembok, mendengarkan percakapan di balik pintu dengan telinga tajam. Onix berdiri tak jauh darinya, tampak gelisah.“Dia bawa Ruby ke ruang kerjanya. Sendirian,” bisik Onix. “Apa dia percaya wanita itu?”Golda mengerucutkan bibir, lalu mengeluarkan ponselnya dan membuka galeri foto. Di dalamnya, ada foto surat dari istri Rixon terdahulu. Isinya samar, tapi cukup menyiratkan bahwa wanita itu pernah merasa terancam... oleh seseorang y
‘Apa pria ini akan memberikan hukuman padaku?’ Hati Elena bertanya penuh akan waspada.Ingatan mengenai apa saja yang ada di Lunatic Pleasure masih belum terhapus dari memorinya. Bagaikan mimpi buruk.“Kalian tak usah ikut.” Rixon bicara tegas pada Golda dan Onix yang masih mematung di sana.Elena terdiam sejenak. Tapi dengan tenang, dia berjalan mengikuti Rixon, meninggalkan Golda dan Onix yang langsung saling pandang.Langkah-langkah Elena menggema pelan di sepanjang koridor, mengikuti punggung Rixon yang tegap dan dingin. Tidak ada kata yang terucap selama perjalanan. Hanya detak sepatu di marmer dan jantung Elena yang berdentam tanpa irama.Rixon membawanya ke ruang kerja pribadinya, lalu menutup pintu.Netra Elena berkeliling ke penjuru ruangan sambil membatin, “Sungguh ruangan yang dipenuhi aura dominasi.”Elena tidak berlebihan. Di sana sarat akan aroma kulit dari sofa mahal, buku-buku tua, dan aroma khas cerutu mahal bercampur di udara. Ruangan itu seperti perpanjangan dari so