Beranda / Romansa / Perangkap Hasrat Bos Mafia / Bab 6. Menyerah Kalah

Share

Bab 6. Menyerah Kalah

Penulis: MOON SAGE
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-22 13:50:56

‘Tidak! Jangan….’ Elena menyeru di hatinya.

Dia terperangkap dalam malam yang tak bisa diulang. Gaun merah yang menjuntai usai dikoyak, bagaikan kelopak mawar layu jatuh ke lantai. Hanya menyisakan tubuh yang menggigil, bukan karena dingin, tapi karena kepedihan yang menyelinap halus seperti belati beludru.

Rixon seperti bayangan gelap dengan tatapan tajam seakan mampu membakar langit—menariknya ke dalam badai yang tak diminta.

Tangis Elena tak bersuara, hanya mata yang berbicara, memohon pada langit yang pekat. Keheningan menjadi saksi, saat kesucian direnggut, bukan dengan cinta, tapi kekuasaan.

Dan ketika pagi datang, dia bukan lagi gadis yang sama. Dalam diam, jiwanya berjalan menjauh dari tubuhnya sendiri.

Batin Elena menjerit tak terima. Kesuciannya diambil dengan cara tidak terhormat dan sungguh mengenaskan.

‘Kenapa aku harus berada di sini? Kenapa aku menuruti kemauan mau Ayah? Bajingan itu! Dia tega menjualku pada iblis!’

Entah sudah berapa jam Elena harus menjadi Ruby, salah satu wanita pemuas nafsu bejat Rixon. Kesadarannya antara ada dan tiada.

Hingga akhirnya dia merasakan tidak ada lagi belenggu pada kedua tangannya. Mulutnya pun terbebas dari alat penyumpal berbentuk bola plastik yang diberi tali pada kedua ujungnya.

“Ayo, Nona.” Suara Alma sudah tertangkap pendengaran Elena.

Dengan tubuh remuk dan lunglai, Elena dibantu Alma keluar dari kamar terkutuk itu. Dia dibawa menuju kamarnya sendiri. Mantel kamar dipakaikan padanya oleh Alma.

Jalannya tertatih-tatih. Ada yang terasa sangat ngilu di bawah sana yang dia tahan sakitnya.

“Nona beristirahatlah! Nanti saya akan kembali kemari.” Suara lembut keibuan Alma masih terdengar.

Nona!

Elena merasa panggilan itu seperti sebuah sarkasme menyakitkan untuknya. Mana bisa dia masih disebut Nona jika kondisinya sudah semacam ini? Dia tidak utuh sebagai seorang nona!

Hingga di pagi hari, ketika terdengar cicit merdu burung-burung di luar jendela. Namun, bagi Elena, semesta tidak seindah yang pernah ada. Semua berubah kelam dan suram, sama seperti hidupnya.

“Nona, tolong makan sedikit saja,” bujuk Alma lembut. Dia menyodorkan semangkuk bubur ayam hangat ke arah Elena yang terbaring di ranjang dalam balutan mantel tipis.

Namun, Elena hanya menatap kosong ke arah dinding, seolah dunia tak lagi berarti apa-apa.

Matanya sayu, basah, dan bibirnya tak sanggup mengucap sepatah kata pun. Dia hanya memalingkan wajahnya menjauh, tubuhnya meringkuk, seperti ingin menghilang dari kenyataan.

“Tidak, Bu Alma. Aku tidak mau makan. Aku tidak butuh apa-apa lagi,” lirihnya pelan, nyaris tak terdengar.

Alma menarik napas panjang, mencoba menahan air mata yang ingin jatuh.

Perempuan paruh baya itu duduk di sisi ranjang, mengusap lengan Elena perlahan.

“Nona, saya tahu ini sulit. Saya tahu semuanya terlalu berat untuk Anda. Tapi Anda harus makan. Nona masih punya ibu. Anda harus kuat demi Beliau.”

Elena menutup matanya rapat-rapat. Air mata mengalir tanpa suara. “Aku tidak sanggup lagi. Semuanya terasa hancur, Bu Alma. Harga diriku, tubuhku, hidupku. Aku… aku bahkan tidak tahu siapa diriku sekarang…”

Dia terisak pelan, tubuhnya bergetar.

“Seandainya aku bisa mati saja tadi malam, semuanya akan selesai. Tidak perlu menanggung rasa jijik ini, tidak perlu berpura-pura kuat…”

Berbagai kutukan dia berikan pada Baskara dan Rixon. Dua pria yang telah memporak-porandakan hidupnya, meluluhlantakkan masa depan gemilang yang dia impikan.

“Jangan katakan begitu, Nona.” Alma menggenggam tangan Elena dengan erat.

“Saya tahu Anda merasa hancur. Tapi percayalah, yang membuat Anda tetap hidup sekarang bukan karena kebetulan. Anda masih dibutuhkan. Ibu Anda sedang berjuang untuk hidup di tempat lain. Anda satu-satunya harapan beliau.”

“B-Bu Alma mengetahui mengenai ibuku yang sakit?”

Mata Elena seketika membola, tak menyangka akan apa yang dibicarakan Alma.

Alma mengangguk dan menjawab, “Tuan Rixon yang menceritakannya.”

Elena hanya bisa menangis mendengar itu. Tak ada jawaban. Yang ada hanyalah gelombang luka yang menyesakkan di dalam dadanya.

Tak berapa lama, Alma merogoh saku apron-nya dan mengeluarkan sebuah amplop.

“Ini… surat dari Tuan Rixon. Dia meminta agar diberikan pada Anda setelah bangun tidur.”

Dengan tangan gemetar, Elena membuka surat itu. Tulisan tangan Rixon terlihat rapi, namun tajam.

“Kamu kini milikku, Ruby. Sepenuhnya. Perjanjian telah ditandatangani oleh ayahmu. Ibumu membutuhkan biaya pengobatan lebih dari Rp800 juta."

Elena membaca surat tersebut dengan suara yang pelan.

"Aku yang menanggung semuanya. Kamu tinggal di sini dan tunduk padaku, maka ibumu tetap hidup. Jika tidak, kamu tahu akibatnya! Tidak perlu melapor polisi. Tidak akan ada yang percaya padamu. Selamat datang di hidup barumu!"

Elena menatap surat itu lama. Dunia serasa berhenti berputar. Napasnya sesak, jantungnya terasa seperti diremas kuat.

Surat itu seolah membungkam seluruh harga dirinya.

Tangan Elena gemetar saat meremas surat tersebut.

‘Aku ingin mati saja. Aku ingin mati!’

Dengan pikiran yang kalut dan mata membara oleh luka yang tak tertampung, Elena melirik pisau buah di atas meja nakas.

Tanpa pikir panjang, dia menyambarnya.

“Lebih baik aku mati!” jeritnya histeris, lalu mengangkat lengan kirinya dan mengarahkan pisau ke pergelangan tangan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Perangkap Hasrat Bos Mafia   Bab 36. Lukisan dan Jerat

    “Aku harus kembali ke sana!” teguh Elena.Maka, di malam harinya, Elena kembali ke kamar terlarang itu—kamar yang dulu sunyi, kini terasa berdenyut dengan teka-teki.Dengan langkah ringan, dia membuka laci tempat dia menyembunyikan diary yang ditemukan sebelumnya—milik Ruby terdahulu.“Oke, kembali ke kamarku!” bisiknya sambil melangkah setengah berlari meninggalkan kamar tersebut.Di kamarnya, dia menatap sampul usang itu beberapa detik, jantungnya berdebar lebih kencang dari sebelumnya. Jemarinya gemetar saat membuka halaman pertama yang masih utuh.Tulisannya kecil dan rapi, tapi terlihat seperti ditulis dengan emosi yang meletup-letup.“Aku tahu aku seharusnya tidak mencintainya. Tapi bagaimana jika yang kulakukan ini bukan pilihan? Bagaimana jika aku jatuh, karena dia membuatku merasa hidup—meski hanya ketika dia melihatku?”Elena membaca pelan dan kemudian dahinya mengernyit. Hatinya menegang. Ini tentang Rixon?Dia membalik halaman berikutnya. Lebih banyak lagi tulisan yang tak

  • Perangkap Hasrat Bos Mafia   Bab 35. Semua Orang Tutup Mulut

    Alma mundur satu langkah. “Saya tidak boleh bicara lagi.”“Bu, tolong…” Elena hampir mencengkeram tangannya. “Aku tidak bisa tinggal di sini tanpa tahu… apa yang terjadi pada dia. Apa yang bisa terjadi juga padaku?”Alma menatapnya lama. Ada gejolak dalam sorot matanya—seperti seseorang yang pernah menyaksikan sesuatu terlalu kelam untuk diucapkan.“Ruby bukan perempuan sembarangan,” katanya pelan. “Dia punya hati. Dia berani. Dia… mencintai terlalu dalam.”“Mencintai siapa?” tanya Elena. “Ibu, bicara saja, tak apa. Ini sudah di kamarku sendiri. Pasti aman.”Dia sedikit berbisik sambil meyakinkan Alma yang tampak waspada meski sudah berada di kamar Elena.Alma menggeleng keras, seolah membuang ingatannya jauh-jauh.“Tidak, saya tidak bisa,” katanya gemetar. “Kalau saya ceritakan… saya… saya bisa ikut menghilang.”Elena surut, terlihat kecewa.“Elena…” lanjutnya, kali ini tanpa menyebut ‘nona’, suara Alma terdengar lebih seperti seorang ibu yang sedang memohon, bukan pelayan. “Percayal

  • Perangkap Hasrat Bos Mafia   Bab 34. Bayang Bayang Ruby

    “Tidak! Tidak mau!” Elena secepatnya menjawab Rixon.“Kalau begitu, cepat mendesah untukku! Keluarkan suaramu!” Rixon mengeluarkan titah absolutnya.Elena melihat binar semangat di mata pria yang menguncinya di atas. Dia menggigit bibir dan mulai merelakan suaranya keluar.“Mmhh… hmmhh….” Elena mau tak mau memunculkan suara erangan tertahannya.Dia sengaja mengatupkan mulut erat-erat agar suaranya bisa teredam. Bagaimanapun, dia masih ingin menyisakan sedikit harga dirinya untuk tidak terlalu tunduk pada Rixon.“Lebih keras! Ayo keluarkan yang benar, Ruby!” bentak Rixon. “Atau kamu ingin tanganku di lehermu?”Lekas saja Elena menggeleng. Kemudian dengan harga diri yang sudah tercabik-cabik, dia mulai membuka mulut, megeluarkan suara seperti yang diinginkan Rixon.“Ihh… hiihh….” Elena malu. Suaranya lirih saat dia mencuatkan desahannya.Namun, tentunya Rixon bukan orang yang mudah dipuaskan.“Kamu bukan tikus, kan? Kenapa mencicit? Ayo, mendesah yang benar! Mendesahkan seperti manusia

  • Perangkap Hasrat Bos Mafia   Bab 33. Tak Ada Waktu Untuk Lolos

    “Hah?” Elena berbalik cepat ke sumber suara di ambang pintu. Di sana berdiri Rixon, tubuhnya membaur dengan bayangan lorong, wajahnya setengah gelap, setengah terlihat oleh cahaya temaram dari dalam kamar.Elena memeluk buku harian tua ke dadanya, napasnya masih tak stabil. “Siapa yang menulis ini, Tuan?”Pria itu melangkah masuk. Langkahnya pelan namun berat, seperti sedang menghormati ruangan yang telah terkunci oleh waktu. “Itu bukan pertanyaan yang perlu dijawab sekarang.”“Tidak perlu?” Nada suara Elena meninggi, antara takut dan frustrasi. “Seseorang—wanita ini—memiliki nama yang sama seperti yang Anda berikan pada saya. Ruby. Kenapa?”Rixon tak menjawab segera. Matanya menatap lurus ke arah lukisan di dinding. Sorotnya tajam, namun bukan marah—lebih seperti menyimpan perang batin yang tak pernah benar-benar reda. “Sudah kubilang tak perlu ada jawaban untuk itu!” Suara Rixon terdengar tak sabar.Mata Elena membelalak ketika dia menyaksikan Rixon mulai melepas jasnya, lalu kem

  • Perangkap Hasrat Bos Mafia   Bab 32. Seakan Ruangan Ini Tahu Siapa Dia

    “Kenapa kesannya Anda menginginkan ini menjadi sebuah survival game untuk kami para wanita Anda?” Dahi Elena berkerut.Dia kurang setuju dengan kalimat yang baru saja disampaikan Rixon. Seakan-akan dia dan dua wanita lainnya harus bertanding untuk memenangkan tempat di mansion.Setelah beberapa waktu hidup nyaris gila di mansion ini, Elena mulai mengikis ketakutannya pada Rixon dan berusaha bisa menyampaikan apa yang ada di kepala.“Jangan mengajari aku. Cukup ketahui saja posisimu.” Tatapan Rixon menghujam ke netra Elena.Sementara itu, Golda ada di balik tembok, mendengarkan percakapan di balik pintu dengan telinga tajam. Onix berdiri tak jauh darinya, tampak gelisah.“Dia bawa Ruby ke ruang kerjanya. Sendirian,” bisik Onix. “Apa dia percaya wanita itu?”Golda mengerucutkan bibir, lalu mengeluarkan ponselnya dan membuka galeri foto. Di dalamnya, ada foto surat dari istri Rixon terdahulu. Isinya samar, tapi cukup menyiratkan bahwa wanita itu pernah merasa terancam... oleh seseorang y

  • Perangkap Hasrat Bos Mafia   Bab 31. Pion atau Ratu

    ‘Apa pria ini akan memberikan hukuman padaku?’ Hati Elena bertanya penuh akan waspada.Ingatan mengenai apa saja yang ada di Lunatic Pleasure masih belum terhapus dari memorinya. Bagaikan mimpi buruk.“Kalian tak usah ikut.” Rixon bicara tegas pada Golda dan Onix yang masih mematung di sana.Elena terdiam sejenak. Tapi dengan tenang, dia berjalan mengikuti Rixon, meninggalkan Golda dan Onix yang langsung saling pandang.Langkah-langkah Elena menggema pelan di sepanjang koridor, mengikuti punggung Rixon yang tegap dan dingin. Tidak ada kata yang terucap selama perjalanan. Hanya detak sepatu di marmer dan jantung Elena yang berdentam tanpa irama.Rixon membawanya ke ruang kerja pribadinya, lalu menutup pintu.Netra Elena berkeliling ke penjuru ruangan sambil membatin, “Sungguh ruangan yang dipenuhi aura dominasi.”Elena tidak berlebihan. Di sana sarat akan aroma kulit dari sofa mahal, buku-buku tua, dan aroma khas cerutu mahal bercampur di udara. Ruangan itu seperti perpanjangan dari so

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status