‘Tidak! Jangan….’ Elena menyeru di hatinya.
Dia terperangkap dalam malam yang tak bisa diulang. Gaun merah yang menjuntai usai dikoyak, bagaikan kelopak mawar layu jatuh ke lantai. Hanya menyisakan tubuh yang menggigil, bukan karena dingin, tapi karena kepedihan yang menyelinap halus seperti belati beludru. Rixon seperti bayangan gelap dengan tatapan tajam seakan mampu membakar langit—menariknya ke dalam badai yang tak diminta. Tangis Elena tak bersuara, hanya mata yang berbicara, memohon pada langit yang pekat. Keheningan menjadi saksi, saat kesucian direnggut, bukan dengan cinta, tapi kekuasaan. Dan ketika pagi datang, dia bukan lagi gadis yang sama. Dalam diam, jiwanya berjalan menjauh dari tubuhnya sendiri. Batin Elena menjerit tak terima. Kesuciannya diambil dengan cara tidak terhormat dan sungguh mengenaskan. ‘Kenapa aku harus berada di sini? Kenapa aku menuruti kemauan mau Ayah? Bajingan itu! Dia tega menjualku pada iblis!’ Entah sudah berapa jam Elena harus menjadi Ruby, salah satu wanita pemuas nafsu bejat Rixon. Kesadarannya antara ada dan tiada. Hingga akhirnya dia merasakan tidak ada lagi belenggu pada kedua tangannya. Mulutnya pun terbebas dari alat penyumpal berbentuk bola plastik yang diberi tali pada kedua ujungnya. “Ayo, Nona.” Suara Alma sudah tertangkap pendengaran Elena. Dengan tubuh remuk dan lunglai, Elena dibantu Alma keluar dari kamar terkutuk itu. Dia dibawa menuju kamarnya sendiri. Mantel kamar dipakaikan padanya oleh Alma. Jalannya tertatih-tatih. Ada yang terasa sangat ngilu di bawah sana yang dia tahan sakitnya. “Nona beristirahatlah! Nanti saya akan kembali kemari.” Suara lembut keibuan Alma masih terdengar. Nona! Elena merasa panggilan itu seperti sebuah sarkasme menyakitkan untuknya. Mana bisa dia masih disebut Nona jika kondisinya sudah semacam ini? Dia tidak utuh sebagai seorang nona! Hingga di pagi hari, ketika terdengar cicit merdu burung-burung di luar jendela. Namun, bagi Elena, semesta tidak seindah yang pernah ada. Semua berubah kelam dan suram, sama seperti hidupnya. “Nona, tolong makan sedikit saja,” bujuk Alma lembut. Dia menyodorkan semangkuk bubur ayam hangat ke arah Elena yang terbaring di ranjang dalam balutan mantel tipis. Namun, Elena hanya menatap kosong ke arah dinding, seolah dunia tak lagi berarti apa-apa. Matanya sayu, basah, dan bibirnya tak sanggup mengucap sepatah kata pun. Dia hanya memalingkan wajahnya menjauh, tubuhnya meringkuk, seperti ingin menghilang dari kenyataan. “Tidak, Bu Alma. Aku tidak mau makan. Aku tidak butuh apa-apa lagi,” lirihnya pelan, nyaris tak terdengar. Alma menarik napas panjang, mencoba menahan air mata yang ingin jatuh. Perempuan paruh baya itu duduk di sisi ranjang, mengusap lengan Elena perlahan. “Nona, saya tahu ini sulit. Saya tahu semuanya terlalu berat untuk Anda. Tapi Anda harus makan. Nona masih punya ibu. Anda harus kuat demi Beliau.” Elena menutup matanya rapat-rapat. Air mata mengalir tanpa suara. “Aku tidak sanggup lagi. Semuanya terasa hancur, Bu Alma. Harga diriku, tubuhku, hidupku. Aku… aku bahkan tidak tahu siapa diriku sekarang…” Dia terisak pelan, tubuhnya bergetar. “Seandainya aku bisa mati saja tadi malam, semuanya akan selesai. Tidak perlu menanggung rasa jijik ini, tidak perlu berpura-pura kuat…” Berbagai kutukan dia berikan pada Baskara dan Rixon. Dua pria yang telah memporak-porandakan hidupnya, meluluhlantakkan masa depan gemilang yang dia impikan. “Jangan katakan begitu, Nona.” Alma menggenggam tangan Elena dengan erat. “Saya tahu Anda merasa hancur. Tapi percayalah, yang membuat Anda tetap hidup sekarang bukan karena kebetulan. Anda masih dibutuhkan. Ibu Anda sedang berjuang untuk hidup di tempat lain. Anda satu-satunya harapan beliau.” “B-Bu Alma mengetahui mengenai ibuku yang sakit?” Mata Elena seketika membola, tak menyangka akan apa yang dibicarakan Alma. Alma mengangguk dan menjawab, “Tuan Rixon yang menceritakannya.” Elena hanya bisa menangis mendengar itu. Tak ada jawaban. Yang ada hanyalah gelombang luka yang menyesakkan di dalam dadanya. Tak berapa lama, Alma merogoh saku apron-nya dan mengeluarkan sebuah amplop. “Ini… surat dari Tuan Rixon. Dia meminta agar diberikan pada Anda setelah bangun tidur.” Dengan tangan gemetar, Elena membuka surat itu. Tulisan tangan Rixon terlihat rapi, namun tajam. “Kamu kini milikku, Ruby. Sepenuhnya. Perjanjian telah ditandatangani oleh ayahmu. Ibumu membutuhkan biaya pengobatan lebih dari Rp800 juta." Elena membaca surat tersebut dengan suara yang pelan. "Aku yang menanggung semuanya. Kamu tinggal di sini dan tunduk padaku, maka ibumu tetap hidup. Jika tidak, kamu tahu akibatnya! Tidak perlu melapor polisi. Tidak akan ada yang percaya padamu. Selamat datang di hidup barumu!" Elena menatap surat itu lama. Dunia serasa berhenti berputar. Napasnya sesak, jantungnya terasa seperti diremas kuat. Surat itu seolah membungkam seluruh harga dirinya. Tangan Elena gemetar saat meremas surat tersebut. ‘Aku ingin mati saja. Aku ingin mati!’ Dengan pikiran yang kalut dan mata membara oleh luka yang tak tertampung, Elena melirik pisau buah di atas meja nakas. Tanpa pikir panjang, dia menyambarnya. “Lebih baik aku mati!” jeritnya histeris, lalu mengangkat lengan kirinya dan mengarahkan pisau ke pergelangan tangan.“Um…” Meski ragu dan takut, Elena tetap mendekat ke Rixon.Dia tak punya daya ataupun kuasa untuk menolak. Walau hatinya menjerit tak ingin, dia harus patuh demi ibunya.“Argh!”Pekikan pelan Elena timbul saat Rixon menarik tangannya. Tak bisa dicegah, dia jatuh di pangkuan si pria bengis sesuai perintah.“Haannhh….”Elena tak mampu menahan suara erangannya begitu tangan cabul Rixon meremas dadanya. Sedangkan tangan bebas si ketua mafia sudah melingkari pinggang rampingnya.Dengan posisi membelakangi Rixon di atas pangkuan pria itu, Elena tak perlu sungkan menampilkan wajah merah cerinya.Terlebih sewaktu tangan bejat Rixon menguasai kedua aset kenyal di dada Elena.“Hnnn… Tuan….”Dia melirik ke bawah demi melihat apa yang sedang dilakukan Rixon pada kedua bongkah kenyal miliknya yang berukuran cukup besar.“Hm, menyenangkan saat dipegang.” Suara berat Rixon terdengar berbahaya di belakang telinga Elena.Hingga ketika kedua tangan pria itu terus menjajah keindahan di dadanya, Elena me
“Jangan, Nona!”Sebelum bilah itu menyentuh kulit pergelangan tangan Elena, Alma bergerak cepat meraih tangan Elena dengan sekuat tenaga. Dia sudah curiga sejak Elena membaca surat tadi. “Tolong jangan lakukan itu, Nona! Jangan!”Alma terus berjuang merebut pisau di tangan Elena.“Lepaskan, Bu Alma! Biarkan aku mengakhiri semuanya!” Elena berteriak, air matanya mengalir deras.Tapi Alma tak mundur. Dia justru mempertahankan bilah pisau dengan telapak tangan kosong, mencegah sisi tajam benda itu menembus kulit Elena.“Tidak, Nona! Anda tidak boleh begini! Anda tidak boleh mati!”Pisau itu kini jadi medan tarik menarik. Elena menangis sambil berusaha menguasai pisau, tangannya gemetar hebat. Tapi Alma berjuang menggenggam bilah tajam itu kuat-kuat.Crasshh!Darah mengucur dari telapak tangan tanpa bisa dihindari.“Bu Alma!” Elena terpekik kaget, tubuhnya membeku seketika.Pisau langsung dia lepaskan, jatuh ke lantai dengan dentingan dingin yang mengiris telinga.Alma terengah-engah, t
‘Tidak! Jangan….’ Elena menyeru di hatinya.Dia terperangkap dalam malam yang tak bisa diulang. Gaun merah yang menjuntai usai dikoyak, bagaikan kelopak mawar layu jatuh ke lantai. Hanya menyisakan tubuh yang menggigil, bukan karena dingin, tapi karena kepedihan yang menyelinap halus seperti belati beludru.Rixon seperti bayangan gelap dengan tatapan tajam seakan mampu membakar langit—menariknya ke dalam badai yang tak diminta.Tangis Elena tak bersuara, hanya mata yang berbicara, memohon pada langit yang pekat. Keheningan menjadi saksi, saat kesucian direnggut, bukan dengan cinta, tapi kekuasaan.Dan ketika pagi datang, dia bukan lagi gadis yang sama. Dalam diam, jiwanya berjalan menjauh dari tubuhnya sendiri.Batin Elena menjerit tak terima. Kesuciannya diambil dengan cara tidak terhormat dan sungguh mengenaskan.‘Kenapa aku harus berada di sini? Kenapa aku menuruti kemauan mau Ayah? Bajingan itu! Dia tega menjualku pada iblis!’Entah sudah berapa jam Elena harus menjadi Ruby, salah
“Lepaskan! Tolong lakukan sewajarnya saja!” Elena menatap ngeri ke arah Rixon. Dia tak menyangka hidupnya akan berujung pada kegilaan macam ini. 'Semuanya salah Baskara!' Dia mengutuk sang ayah di hatinya.“Tolong jangan!”Mata Elena membelalak terkejut ketika mulutnya sudah diberi pembekap yang memiliki bola untuk dijejalkan di mulut. Gag ball. Dia pun kesulitan bicara.“Hnnghh! Nnnghh!” Elena berusaha berteriak, tapi sia-sia. Bola pembekap di mulutnya menghalangi keleluasaan lidahnya untuk melafalkan apa yang ingin dia ucapkan.Rixon tertawa terkekeh-kekeh melihat Elena menggeliat ingin berontak. Mata selicik iblisnya menatap tajam dengan bibir membentuk seringaian. Rixon sudah tak ada bedanya dengan predator yang bersiap melahap mangsanya.Brettt!“Nnnhh!” Jeritan Elena tertahan bola pembekap di mulut saat tangan agresif Rixon merobek paksa bagian dada gaun merah tipisnya.Ini bukan hal yang dia inginkan dalam hidupnya. Elena hanya bisa meraung tak terima dalam hati ketika da
Matanya menatap ngeri ke deretan alat-alat aneh di ruangan tersebut. Diantaranya berbagai macam borgol, cambuk, tali, dan alat kesenangan dewasa lainnya.Beberapa diantaranya tergantung di sebuah rak tipis. Ada pula alat berbentuk aneh semacam pelana dari kayu berbentuk segitiga. Belum lagi palang silang besi dengan borgol di keempat sudutnya.Semua terlihat asing dan mengerikan bagi Elena.“Hehe… sepertinya kamu familiar dengan hal semacam ini, Ruby.” Tawa kekeh Rixon tertangkap pendengaran Elena. Dia mengurai beberapa manik kemejanya, sehingga dada berbulu halus bisa terlihat jelas di mata Elena.‘Jadi, di sini namaku Ruby sesuai dengan gaun tipis yang aku pakai saat ini?' Elena membatin.Sekali lagi Elena menggeleng. Dia bukannya berpengalaman dengan alat-alat itu. Tapi, dia paham kegunaan alat-alat tersebut. Dia bukan anak kecil!“Aku… aku belum pernah bersingungan dengan itu, tapi aku paham.” Elena memberikan alasan. “Jangan, kumohon jangan lakukan itu padaku! Aku sangat awam me
"Itu benar kamu!" Elena memekik, tubuhnya kaku saat menyadari siapa pria bertopeng itu sebenarnya. "Kamu... kenapa kamu di sini?!"Pria itu mematung sejenak, namun rautnya tak menunjukkan kejutan seperti Elena. Tatapannya justru berubah semakin gelap, dingin, dan tajam."Kenapa kamu pergi begitu saja malam itu? Tanpa pamit?" tanya Elena, suara gemetar namun penuh tuntutan.Entah mengapa, perasaan dikhianati muncul. Padahal mereka nyaris tidak saling mengenal.Namun pria itu tidak menggubris. Malah dengan geram, dia menindih Elena lebih erat."Berhenti bicara, wanita!" geramnya.Tubuh kekar itu menahan Elena yang kembali meronta dalam panik."Lepas! Jangan lakukan ini!" jerit Elena, namun suara dan tenaganya kalah jauh dibandingkan si pria.Tangan besar itu tiba-tiba melingkar di lehernya. Tak sampai mencekik penuh, tapi cukup membuat Elena nyaris kehabisan napas."Diam! Satu kata lagi dan aku benar-benar membuatmu tak bisa bersuara selamanya," desisnya dengan nada mengancam.Elena mem
“Berani sekali kamu tidur ketika aku datang!” geram pria bertopeng.Dia menarik pundak Elena agar gadis yang sedang lelap itu tidak lagi dalam posisi tidur menyamping. Namun alangkah kagetnya dia ketika melihat wajah Elena.“Hm? Apa? Siapa?” Elena seketika bangun terduduk dan mendapati ada orang lain di dekatnya. Yang dia lihat, seorang pria tinggi dan gagah memakai topeng perak sedang berdiri di tepi ranjang menatapnya.“Ka-kamu, siapa kamu?” Elena memasang sikap waspada.Ini adalah tempat asing dan Elena teringat bahwa dia baru saja dijual ayahnya ke mansion ini. Maka, bisa saja pria yang kini ada di dekatnya adalah orang yang disebut sebagai raja mafia.Mafia. Dalam benak Elena, dia hanya bisa membayangkan sebuah organisasi kejahatan yang melakukan banyak tindak kriminal. Karenanya, dia bergidik ngeri menatap pria yang kini kian mendekat. Sejahat apa pria di depannya?“Tu-Tuan… saya… bolehkah saya pulang saja?” Suara Elena nyaris mencicit dikarenakan takut. Segera saja dia mengg
“Ayah, jangan jual aku!” Elena Clarissa tersungkur di lantai granit putih dengan pola berlian yang mewah dan elegan. Dia berusaha menarik ujung jaket Baskara Adijaya, memohon belas kasihnya. Tapi, pria yang dipanggil Ayah tersebut bersikap acuh tak acuh.Baskara berjongkok sambil menatap Elena lekat-lekat. “Heh, jalang! Jika kamu ingin nyawa ibumu selamat, maka diam dan menurut lah!” Baskara tersenyum getir. Lalu, berdiri sambil merapikan jaketnya.Di hadapan mereka, berdiri seorang pria paruh baya, berkumis tipis dan memiliki tatapan mata yang tajam. Penampilannya cukup formal. Rambutnya tersisir rapi ke belakang. Dia adalah Butler di Mansion ini.Elena menduga, pakaian pria itu sangat mahal. Belum lagi, sepatu pantofel yang mengkilap. Membayangkan saja mampu membuat jantungnya berpacu lebih cepat.Baskara tersenyum pada Butler. Tatapannya melembut, sangat berbeda saat menatap Elena.Baskara membungkuk hormat. “Tuan Alan, dia putriku. Sesuai janjiku pada Don Rixon, dia akan kujadik