“Jangan, Nona!”
Sebelum bilah itu menyentuh kulit pergelangan tangan Elena, Alma bergerak cepat meraih tangan Elena dengan sekuat tenaga. Dia sudah curiga sejak Elena membaca surat tadi. “Tolong jangan lakukan itu, Nona! Jangan!” Alma terus berjuang merebut pisau di tangan Elena. “Lepaskan, Bu Alma! Biarkan aku mengakhiri semuanya!” Elena berteriak, air matanya mengalir deras. Tapi Alma tak mundur. Dia justru mempertahankan bilah pisau dengan telapak tangan kosong, mencegah sisi tajam benda itu menembus kulit Elena. “Tidak, Nona! Anda tidak boleh begini! Anda tidak boleh mati!” Pisau itu kini jadi medan tarik menarik. Elena menangis sambil berusaha menguasai pisau, tangannya gemetar hebat. Tapi Alma berjuang menggenggam bilah tajam itu kuat-kuat. Crasshh! Darah mengucur dari telapak tangan tanpa bisa dihindari. “Bu Alma!” Elena terpekik kaget, tubuhnya membeku seketika. Pisau langsung dia lepaskan, jatuh ke lantai dengan dentingan dingin yang mengiris telinga. Alma terengah-engah, tangannya bergetar dan mengucurkan darah. Meski begitu, matanya menatap Elena dengan penuh kasih, tanpa kemarahan sedikit pun. Dikarenakan itu, Elena semakin merasa bersalah. Dia berdosa telah melibatkan orang lain hingga terluka. “Nona, jangan pernah menyerah!" gumam Alma dengan suara serak karena menahan sakit. “Hidup Anda masih berharga. Meski orang-orang menghancurkan Anda, Nona tetap bisa memilih untuk bangkit.” Elena membeku, napasnya tercekat, lalu jatuh bersimpuh di lantai sambil menangis histeris. “Maaf… maafkan aku, Bu Alma! Astaga! Aku… tak bermaksud menyakitimu, Bu. Aku hanya tak tahan…” Suaranya terputus oleh isak tangis. Dengan tangan gemetar, Elena berdiri dan langsung mencari kotak obat yang biasanya diletakkan di lemari kamar mandi. Tak ada gunanya menangis saja! Bagaimanapun juga dia pernah menjadi tenaga medis. Jiwa kemanusiaannya menepikan keruwetan pikirannya. Ada seseorang yang harus segera diberikan pertolongan. Dia menemukan kotak obat dan segera berlari kembali ke sisi Alma yang duduk bersandar di sofa panjang kamar tersebut. Ada rasa bersalah di sanubari saat menatap pelayan khususnya. Harusnya dia tidak seimpulsif tadi. “Nona, tidak apa-apa… saya baik-baik saja…” ujar Alma lirih, berusaha tersenyum walau wajahnya tampak sedikit memucat. “Jangan bicara dulu, Bu! Biar aku bersihkan lukanya,” kata Elena cepat sambil menyeka darah dan mengoleskan antiseptik. “Ini semua salahku…” Panggilan jiwa sebagai orang medis semakin berkobar, mengalahkan kegalauan hatinya. Saat membalut luka di tangan Alma, air mata Elena terus menetes, membasahi tangan wanita paruh baya itu. “Tangan ini… tangan yang menyelamatkanku… seharusnya aku yang terluka, bukan Ibu…” Elena menatap sendu pada Alma. Alma mengusap lembut pipi Elena dengan tangan yang bebas. “Nona… Anda tidak sendirian di sini. Selama saya masih hidup, saya akan melindungi Anda.” Mata Elena berpadu temu dengan tatapan Alma yang penuh keyakinan. Entah kenapa, dia seakan mendapatkan suntikan kekuatan untuk menjalani hidup barunya. Tak berapa lama, Elena selesai membalut luka sayat di telapak tangan Alma. Kemudian dia terduduk, memeluk lutut dan membenamkan wajahnya di sana. Tangisnya pecah, lebih lepas dari sebelumnya. Tapi bukan lagi tangis putus asa. Kali ini, tangis yang menyimpan sesuatu… sebuah pilihan yang berat, tapi dia tahu apa yang harus dia lakukan. Alma mendekat, memeluk Elena. “Menangislah, Nona. Tapi jangan hancur. Anda boleh lemah, tapi jangan kalah. Ibu Anda masih menunggu Anda pulang. Anda harus kuat untuknya.” Malam itu, untuk pertama kalinya sejak berada di mansion kelam itu, Elena merasa hangat oleh kasih yang tulus. Luka jiwanya belum sembuh. Tapi seseorang menunjukkan bahwa hidupnya masih bernilai, meski dunia memperlakukannya keji. Dan kali ini, dia tidak ingin mati. Tidak sekarang. Tidak saat ada seseorang yang rela berdarah untuk menahannya pergi. Dengan suara parau dan pelan, Elena berbisik di sela-sela isaknya, “Aku akan bertahan… demi ibuku. Baiklah, aku tidak akan mati di sini. Aku akan hidup. Sekalipun harus merangkak di dalam neraka ini…” Langit hati Elena kelam, tapi dari reruntuhan luka itu, tumbuh secercah tekad. Meskipun tubuhnya ternoda, hatinya belum sepenuhnya mati. Dia akan bertahan. Bukan karena ingin, tapi karena harus. Karena di luar sana, ada satu jiwa yang masih bernapas… karena cinta seorang anak untuk ibunya. ‘Ibu… bagaimana kabarmu?’ bisik sanubari Elena sambil menatap jauh ke depan. Langit berubah warna, menunjukkan bahwa hari pun telah berganti. Semenjak pagi hingga siang, yang dilakukan Elena hanyalah bersantai di kamarnya. Membaca novel online, menonton saluran televisi seluruh dunia, dan sesekali akan meringkuk merehatkan tubuhnya di pembaringan. Hingga tak lama ketika sore setelah dia mandi, Elena melihat Alma masuk ke kamarnya dan membawa sebuah karton. “Apa itu, Bu?” tanya Elena saat keluar dari kamar mandi. Sambil tersenyum, Alma menjawab, “Ini baju untuk Nona. Tuan Rixon baru saja membelinya dan meminta saya memberikan ke Anda.” Rasa penasaran Elena membuncah saat dia membuka karton berisi gaun merah yang cantik berpotongan seksi dan pendek. Dia membatin sedih, ‘Aku serasa wanita murahan dengan baju model seperti ini.’ Meski demikian, dia tetap harus memakai apa yang sudah disediakan, sesuai keinginan Rixon. Pria itu kejam, bengis, dan seenaknya hanya karena memiliki uang. “Ayo, Nona! Saya antar Anda ke ruang kerja Tuan.” Ucapan Alma mengagetkan Elena yang baru selesai menyisir rambut. Dia bergidik, teringat pengalaman buruk di ruang gila sebelumnya. Haruskah dia melayani Rixon sore ini? Dia masih belum siap untuk dijadikan pelampiasan lagi. Dan mungkin tak akan pernah siap. Wanita mana yang sudi dijadikan alat pemuas saja? Alma mengambil sisir di tangan Elena dan berkata, “Jangan membuang waktu lagi, Nona. Tuan tak suka menunggu. Ayo!” Meremas tangannya sendiri, Elena berjalan mengikuti Alma. Langkahnya berat saat melewati lorong-lorong panjang bernuansa dingin seakan dia ada di kastil megah milik drakula. Hingga kemudian Alma berhenti di depan ruangan dan mengetuk pintu yang terbuat dari kayu jati terbaik. “Masuk!” Terdengar suara redam dari dalam ruangan. Elena mengenali suara itu. Rixon, perenggut masa depannya. Seakan kakinya memiliki beban ratusan kilogram, dia berat berjalan memasuki ruangan itu. Karena dia mengetahui, apa yang akan terjadi sebentar lagi padanya. Mata Elena secara singkat memindai isi ruangan. Deretan rak tinggi menjulang dengan banyak buku yang ditata sangat rapi. Sungguh menarik minatnya untuk mengambil salah satu dan membacanya. Sepertinya ini merupakan ruang perpustakaan. Setelah basa-basi singkat Alma pada Rixon, Elena melirik pintu ruangan yang baru saja ditutup. Kini hanya ada dia dan si bengis Rixon. Pria itu duduk jumawa di kursi besar yang dilapisi kulit. Dia menelan saliva bagaikan sedang menelan pasir. “Kemari!” Rixon menepuk pahanya dengan sikap bossy.“Um…” Meski ragu dan takut, Elena tetap mendekat ke Rixon.Dia tak punya daya ataupun kuasa untuk menolak. Walau hatinya menjerit tak ingin, dia harus patuh demi ibunya.“Argh!”Pekikan pelan Elena timbul saat Rixon menarik tangannya. Tak bisa dicegah, dia jatuh di pangkuan si pria bengis sesuai perintah.“Haannhh….”Elena tak mampu menahan suara erangannya begitu tangan cabul Rixon meremas dadanya. Sedangkan tangan bebas si ketua mafia sudah melingkari pinggang rampingnya.Dengan posisi membelakangi Rixon di atas pangkuan pria itu, Elena tak perlu sungkan menampilkan wajah merah cerinya.Terlebih sewaktu tangan bejat Rixon menguasai kedua aset kenyal di dada Elena.“Hnnn… Tuan….”Dia melirik ke bawah demi melihat apa yang sedang dilakukan Rixon pada kedua bongkah kenyal miliknya yang berukuran cukup besar.“Hm, menyenangkan saat dipegang.” Suara berat Rixon terdengar berbahaya di belakang telinga Elena.Hingga ketika kedua tangan pria itu terus menjajah keindahan di dadanya, Elena me
“Jangan, Nona!”Sebelum bilah itu menyentuh kulit pergelangan tangan Elena, Alma bergerak cepat meraih tangan Elena dengan sekuat tenaga. Dia sudah curiga sejak Elena membaca surat tadi. “Tolong jangan lakukan itu, Nona! Jangan!”Alma terus berjuang merebut pisau di tangan Elena.“Lepaskan, Bu Alma! Biarkan aku mengakhiri semuanya!” Elena berteriak, air matanya mengalir deras.Tapi Alma tak mundur. Dia justru mempertahankan bilah pisau dengan telapak tangan kosong, mencegah sisi tajam benda itu menembus kulit Elena.“Tidak, Nona! Anda tidak boleh begini! Anda tidak boleh mati!”Pisau itu kini jadi medan tarik menarik. Elena menangis sambil berusaha menguasai pisau, tangannya gemetar hebat. Tapi Alma berjuang menggenggam bilah tajam itu kuat-kuat.Crasshh!Darah mengucur dari telapak tangan tanpa bisa dihindari.“Bu Alma!” Elena terpekik kaget, tubuhnya membeku seketika.Pisau langsung dia lepaskan, jatuh ke lantai dengan dentingan dingin yang mengiris telinga.Alma terengah-engah, t
‘Tidak! Jangan….’ Elena menyeru di hatinya.Dia terperangkap dalam malam yang tak bisa diulang. Gaun merah yang menjuntai usai dikoyak, bagaikan kelopak mawar layu jatuh ke lantai. Hanya menyisakan tubuh yang menggigil, bukan karena dingin, tapi karena kepedihan yang menyelinap halus seperti belati beludru.Rixon seperti bayangan gelap dengan tatapan tajam seakan mampu membakar langit—menariknya ke dalam badai yang tak diminta.Tangis Elena tak bersuara, hanya mata yang berbicara, memohon pada langit yang pekat. Keheningan menjadi saksi, saat kesucian direnggut, bukan dengan cinta, tapi kekuasaan.Dan ketika pagi datang, dia bukan lagi gadis yang sama. Dalam diam, jiwanya berjalan menjauh dari tubuhnya sendiri.Batin Elena menjerit tak terima. Kesuciannya diambil dengan cara tidak terhormat dan sungguh mengenaskan.‘Kenapa aku harus berada di sini? Kenapa aku menuruti kemauan mau Ayah? Bajingan itu! Dia tega menjualku pada iblis!’Entah sudah berapa jam Elena harus menjadi Ruby, salah
“Lepaskan! Tolong lakukan sewajarnya saja!” Elena menatap ngeri ke arah Rixon. Dia tak menyangka hidupnya akan berujung pada kegilaan macam ini. 'Semuanya salah Baskara!' Dia mengutuk sang ayah di hatinya.“Tolong jangan!”Mata Elena membelalak terkejut ketika mulutnya sudah diberi pembekap yang memiliki bola untuk dijejalkan di mulut. Gag ball. Dia pun kesulitan bicara.“Hnnghh! Nnnghh!” Elena berusaha berteriak, tapi sia-sia. Bola pembekap di mulutnya menghalangi keleluasaan lidahnya untuk melafalkan apa yang ingin dia ucapkan.Rixon tertawa terkekeh-kekeh melihat Elena menggeliat ingin berontak. Mata selicik iblisnya menatap tajam dengan bibir membentuk seringaian. Rixon sudah tak ada bedanya dengan predator yang bersiap melahap mangsanya.Brettt!“Nnnhh!” Jeritan Elena tertahan bola pembekap di mulut saat tangan agresif Rixon merobek paksa bagian dada gaun merah tipisnya.Ini bukan hal yang dia inginkan dalam hidupnya. Elena hanya bisa meraung tak terima dalam hati ketika da
Matanya menatap ngeri ke deretan alat-alat aneh di ruangan tersebut. Diantaranya berbagai macam borgol, cambuk, tali, dan alat kesenangan dewasa lainnya.Beberapa diantaranya tergantung di sebuah rak tipis. Ada pula alat berbentuk aneh semacam pelana dari kayu berbentuk segitiga. Belum lagi palang silang besi dengan borgol di keempat sudutnya.Semua terlihat asing dan mengerikan bagi Elena.“Hehe… sepertinya kamu familiar dengan hal semacam ini, Ruby.” Tawa kekeh Rixon tertangkap pendengaran Elena. Dia mengurai beberapa manik kemejanya, sehingga dada berbulu halus bisa terlihat jelas di mata Elena.‘Jadi, di sini namaku Ruby sesuai dengan gaun tipis yang aku pakai saat ini?' Elena membatin.Sekali lagi Elena menggeleng. Dia bukannya berpengalaman dengan alat-alat itu. Tapi, dia paham kegunaan alat-alat tersebut. Dia bukan anak kecil!“Aku… aku belum pernah bersingungan dengan itu, tapi aku paham.” Elena memberikan alasan. “Jangan, kumohon jangan lakukan itu padaku! Aku sangat awam me
"Itu benar kamu!" Elena memekik, tubuhnya kaku saat menyadari siapa pria bertopeng itu sebenarnya. "Kamu... kenapa kamu di sini?!"Pria itu mematung sejenak, namun rautnya tak menunjukkan kejutan seperti Elena. Tatapannya justru berubah semakin gelap, dingin, dan tajam."Kenapa kamu pergi begitu saja malam itu? Tanpa pamit?" tanya Elena, suara gemetar namun penuh tuntutan.Entah mengapa, perasaan dikhianati muncul. Padahal mereka nyaris tidak saling mengenal.Namun pria itu tidak menggubris. Malah dengan geram, dia menindih Elena lebih erat."Berhenti bicara, wanita!" geramnya.Tubuh kekar itu menahan Elena yang kembali meronta dalam panik."Lepas! Jangan lakukan ini!" jerit Elena, namun suara dan tenaganya kalah jauh dibandingkan si pria.Tangan besar itu tiba-tiba melingkar di lehernya. Tak sampai mencekik penuh, tapi cukup membuat Elena nyaris kehabisan napas."Diam! Satu kata lagi dan aku benar-benar membuatmu tak bisa bersuara selamanya," desisnya dengan nada mengancam.Elena mem
“Berani sekali kamu tidur ketika aku datang!” geram pria bertopeng.Dia menarik pundak Elena agar gadis yang sedang lelap itu tidak lagi dalam posisi tidur menyamping. Namun alangkah kagetnya dia ketika melihat wajah Elena.“Hm? Apa? Siapa?” Elena seketika bangun terduduk dan mendapati ada orang lain di dekatnya. Yang dia lihat, seorang pria tinggi dan gagah memakai topeng perak sedang berdiri di tepi ranjang menatapnya.“Ka-kamu, siapa kamu?” Elena memasang sikap waspada.Ini adalah tempat asing dan Elena teringat bahwa dia baru saja dijual ayahnya ke mansion ini. Maka, bisa saja pria yang kini ada di dekatnya adalah orang yang disebut sebagai raja mafia.Mafia. Dalam benak Elena, dia hanya bisa membayangkan sebuah organisasi kejahatan yang melakukan banyak tindak kriminal. Karenanya, dia bergidik ngeri menatap pria yang kini kian mendekat. Sejahat apa pria di depannya?“Tu-Tuan… saya… bolehkah saya pulang saja?” Suara Elena nyaris mencicit dikarenakan takut. Segera saja dia mengg
“Ayah, jangan jual aku!” Elena Clarissa tersungkur di lantai granit putih dengan pola berlian yang mewah dan elegan. Dia berusaha menarik ujung jaket Baskara Adijaya, memohon belas kasihnya. Tapi, pria yang dipanggil Ayah tersebut bersikap acuh tak acuh.Baskara berjongkok sambil menatap Elena lekat-lekat. “Heh, jalang! Jika kamu ingin nyawa ibumu selamat, maka diam dan menurut lah!” Baskara tersenyum getir. Lalu, berdiri sambil merapikan jaketnya.Di hadapan mereka, berdiri seorang pria paruh baya, berkumis tipis dan memiliki tatapan mata yang tajam. Penampilannya cukup formal. Rambutnya tersisir rapi ke belakang. Dia adalah Butler di Mansion ini.Elena menduga, pakaian pria itu sangat mahal. Belum lagi, sepatu pantofel yang mengkilap. Membayangkan saja mampu membuat jantungnya berpacu lebih cepat.Baskara tersenyum pada Butler. Tatapannya melembut, sangat berbeda saat menatap Elena.Baskara membungkuk hormat. “Tuan Alan, dia putriku. Sesuai janjiku pada Don Rixon, dia akan kujadik