Beranda / Romansa / Perangkap Hasrat Bos Mafia / Bab 7. Biarkan Aku Mengakhiri Semua!

Share

Bab 7. Biarkan Aku Mengakhiri Semua!

Penulis: MOON SAGE
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-22 13:56:05

“Jangan, Nona!”

Sebelum bilah itu menyentuh kulit pergelangan tangan Elena, Alma bergerak cepat meraih tangan Elena dengan sekuat tenaga. Dia sudah curiga sejak Elena membaca surat tadi.

“Tolong jangan lakukan itu, Nona! Jangan!”

Alma terus berjuang merebut pisau di tangan Elena.

“Lepaskan, Bu Alma! Biarkan aku mengakhiri semuanya!” Elena berteriak, air matanya mengalir deras.

Tapi Alma tak mundur. Dia justru mempertahankan bilah pisau dengan telapak tangan kosong, mencegah sisi tajam benda itu menembus kulit Elena.

“Tidak, Nona! Anda tidak boleh begini! Anda tidak boleh mati!”

Pisau itu kini jadi medan tarik menarik.

Elena menangis sambil berusaha menguasai pisau, tangannya gemetar hebat. Tapi Alma berjuang menggenggam bilah tajam itu kuat-kuat.

Crasshh!

Darah mengucur dari telapak tangan tanpa bisa dihindari.

“Bu Alma!” Elena terpekik kaget, tubuhnya membeku seketika.

Pisau langsung dia lepaskan, jatuh ke lantai dengan dentingan dingin yang mengiris telinga.

Alma terengah-engah, tangannya bergetar dan mengucurkan darah. Meski begitu, matanya menatap Elena dengan penuh kasih, tanpa kemarahan sedikit pun.

Dikarenakan itu, Elena semakin merasa bersalah. Dia berdosa telah melibatkan orang lain hingga terluka.

“Nona, jangan pernah menyerah!" gumam Alma dengan suara serak karena menahan sakit.

“Hidup Anda masih berharga. Meski orang-orang menghancurkan Anda, Nona tetap bisa memilih untuk bangkit.”

Elena membeku, napasnya tercekat, lalu jatuh bersimpuh di lantai sambil menangis histeris.

“Maaf… maafkan aku, Bu Alma! Astaga! Aku… tak bermaksud menyakitimu, Bu. Aku hanya tak tahan…”

Suaranya terputus oleh isak tangis. Dengan tangan gemetar, Elena berdiri dan langsung mencari kotak obat yang biasanya diletakkan di lemari kamar mandi.

Tak ada gunanya menangis saja! Bagaimanapun juga dia pernah menjadi tenaga medis. Jiwa kemanusiaannya menepikan keruwetan pikirannya. Ada seseorang yang harus segera diberikan pertolongan.

Dia menemukan kotak obat dan segera berlari kembali ke sisi Alma yang duduk bersandar di sofa panjang kamar tersebut. Ada rasa bersalah di sanubari saat menatap pelayan khususnya. Harusnya dia tidak seimpulsif tadi.

“Nona, tidak apa-apa… saya baik-baik saja…” ujar Alma lirih, berusaha tersenyum walau wajahnya tampak sedikit memucat.

“Jangan bicara dulu, Bu! Biar aku bersihkan lukanya,” kata Elena cepat sambil menyeka darah dan mengoleskan antiseptik. “Ini semua salahku…”

Panggilan jiwa sebagai orang medis semakin berkobar, mengalahkan kegalauan hatinya.

Saat membalut luka di tangan Alma, air mata Elena terus menetes, membasahi tangan wanita paruh baya itu.

“Tangan ini… tangan yang menyelamatkanku… seharusnya aku yang terluka, bukan Ibu…”

Elena menatap sendu pada Alma.

Alma mengusap lembut pipi Elena dengan tangan yang bebas. “Nona… Anda tidak sendirian di sini. Selama saya masih hidup, saya akan melindungi Anda.”

Mata Elena berpadu temu dengan tatapan Alma yang penuh keyakinan. Entah kenapa, dia seakan mendapatkan suntikan kekuatan untuk menjalani hidup barunya.

Tak berapa lama, Elena selesai membalut luka sayat di telapak tangan Alma.

Kemudian dia terduduk, memeluk lutut dan membenamkan wajahnya di sana. Tangisnya pecah, lebih lepas dari sebelumnya. Tapi bukan lagi tangis putus asa. Kali ini, tangis yang menyimpan sesuatu… sebuah pilihan yang berat, tapi dia tahu apa yang harus dia lakukan.

Alma mendekat, memeluk Elena. “Menangislah, Nona. Tapi jangan hancur. Anda boleh lemah, tapi jangan kalah. Ibu Anda masih menunggu Anda pulang. Anda harus kuat untuknya.”

Malam itu, untuk pertama kalinya sejak berada di mansion kelam itu, Elena merasa hangat oleh kasih yang tulus. Luka jiwanya belum sembuh. Tapi seseorang menunjukkan bahwa hidupnya masih bernilai, meski dunia memperlakukannya keji.

Dan kali ini, dia tidak ingin mati. Tidak sekarang. Tidak saat ada seseorang yang rela berdarah untuk menahannya pergi.

Dengan suara parau dan pelan, Elena berbisik di sela-sela isaknya, “Aku akan bertahan… demi ibuku. Baiklah, aku tidak akan mati di sini. Aku akan hidup. Sekalipun harus merangkak di dalam neraka ini…”

Langit hati Elena kelam, tapi dari reruntuhan luka itu, tumbuh secercah tekad. Meskipun tubuhnya ternoda, hatinya belum sepenuhnya mati.

Dia akan bertahan. Bukan karena ingin, tapi karena harus. Karena di luar sana, ada satu jiwa yang masih bernapas… karena cinta seorang anak untuk ibunya.

‘Ibu… bagaimana kabarmu?’ bisik sanubari Elena sambil menatap jauh ke depan.

Langit berubah warna, menunjukkan bahwa hari pun telah berganti. Semenjak pagi hingga siang, yang dilakukan Elena hanyalah bersantai di kamarnya. Membaca novel online, menonton saluran televisi seluruh dunia, dan sesekali akan meringkuk merehatkan tubuhnya di pembaringan.

Hingga tak lama ketika sore setelah dia mandi, Elena melihat Alma masuk ke kamarnya dan membawa sebuah karton.

“Apa itu, Bu?” tanya Elena saat keluar dari kamar mandi.

Sambil tersenyum, Alma menjawab, “Ini baju untuk Nona. Tuan Rixon baru saja membelinya dan meminta saya memberikan ke Anda.”

Rasa penasaran Elena membuncah saat dia membuka karton berisi gaun merah yang cantik berpotongan seksi dan pendek.

Dia membatin sedih, ‘Aku serasa wanita murahan dengan baju model seperti ini.’

Meski demikian, dia tetap harus memakai apa yang sudah disediakan, sesuai keinginan Rixon. Pria itu kejam, bengis, dan seenaknya hanya karena memiliki uang.

“Ayo, Nona! Saya antar Anda ke ruang kerja Tuan.”

Ucapan Alma mengagetkan Elena yang baru selesai menyisir rambut. Dia bergidik, teringat pengalaman buruk di ruang gila sebelumnya. Haruskah dia melayani Rixon sore ini?

Dia masih belum siap untuk dijadikan pelampiasan lagi. Dan mungkin tak akan pernah siap. Wanita mana yang sudi dijadikan alat pemuas saja?

Alma mengambil sisir di tangan Elena dan berkata, “Jangan membuang waktu lagi, Nona. Tuan tak suka menunggu. Ayo!”

Meremas tangannya sendiri, Elena berjalan mengikuti Alma. Langkahnya berat saat melewati lorong-lorong panjang bernuansa dingin seakan dia ada di kastil megah milik drakula.

Hingga kemudian Alma berhenti di depan ruangan dan mengetuk pintu yang terbuat dari kayu jati terbaik.

“Masuk!” Terdengar suara redam dari dalam ruangan.

Elena mengenali suara itu. Rixon, perenggut masa depannya.

Seakan kakinya memiliki beban ratusan kilogram, dia berat berjalan memasuki ruangan itu. Karena dia mengetahui, apa yang akan terjadi sebentar lagi padanya.

Mata Elena secara singkat memindai isi ruangan. Deretan rak tinggi menjulang dengan banyak buku yang ditata sangat rapi. Sungguh menarik minatnya untuk mengambil salah satu dan membacanya. Sepertinya ini merupakan ruang perpustakaan.

Setelah basa-basi singkat Alma pada Rixon, Elena melirik pintu ruangan yang baru saja ditutup. Kini hanya ada dia dan si bengis Rixon. Pria itu duduk jumawa di kursi besar yang dilapisi kulit. Dia menelan saliva bagaikan sedang menelan pasir.

“Kemari!” Rixon menepuk pahanya dengan sikap bossy.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Perangkap Hasrat Bos Mafia   Bab 36. Lukisan dan Jerat

    “Aku harus kembali ke sana!” teguh Elena.Maka, di malam harinya, Elena kembali ke kamar terlarang itu—kamar yang dulu sunyi, kini terasa berdenyut dengan teka-teki.Dengan langkah ringan, dia membuka laci tempat dia menyembunyikan diary yang ditemukan sebelumnya—milik Ruby terdahulu.“Oke, kembali ke kamarku!” bisiknya sambil melangkah setengah berlari meninggalkan kamar tersebut.Di kamarnya, dia menatap sampul usang itu beberapa detik, jantungnya berdebar lebih kencang dari sebelumnya. Jemarinya gemetar saat membuka halaman pertama yang masih utuh.Tulisannya kecil dan rapi, tapi terlihat seperti ditulis dengan emosi yang meletup-letup.“Aku tahu aku seharusnya tidak mencintainya. Tapi bagaimana jika yang kulakukan ini bukan pilihan? Bagaimana jika aku jatuh, karena dia membuatku merasa hidup—meski hanya ketika dia melihatku?”Elena membaca pelan dan kemudian dahinya mengernyit. Hatinya menegang. Ini tentang Rixon?Dia membalik halaman berikutnya. Lebih banyak lagi tulisan yang tak

  • Perangkap Hasrat Bos Mafia   Bab 35. Semua Orang Tutup Mulut

    Alma mundur satu langkah. “Saya tidak boleh bicara lagi.”“Bu, tolong…” Elena hampir mencengkeram tangannya. “Aku tidak bisa tinggal di sini tanpa tahu… apa yang terjadi pada dia. Apa yang bisa terjadi juga padaku?”Alma menatapnya lama. Ada gejolak dalam sorot matanya—seperti seseorang yang pernah menyaksikan sesuatu terlalu kelam untuk diucapkan.“Ruby bukan perempuan sembarangan,” katanya pelan. “Dia punya hati. Dia berani. Dia… mencintai terlalu dalam.”“Mencintai siapa?” tanya Elena. “Ibu, bicara saja, tak apa. Ini sudah di kamarku sendiri. Pasti aman.”Dia sedikit berbisik sambil meyakinkan Alma yang tampak waspada meski sudah berada di kamar Elena.Alma menggeleng keras, seolah membuang ingatannya jauh-jauh.“Tidak, saya tidak bisa,” katanya gemetar. “Kalau saya ceritakan… saya… saya bisa ikut menghilang.”Elena surut, terlihat kecewa.“Elena…” lanjutnya, kali ini tanpa menyebut ‘nona’, suara Alma terdengar lebih seperti seorang ibu yang sedang memohon, bukan pelayan. “Percayal

  • Perangkap Hasrat Bos Mafia   Bab 34. Bayang Bayang Ruby

    “Tidak! Tidak mau!” Elena secepatnya menjawab Rixon.“Kalau begitu, cepat mendesah untukku! Keluarkan suaramu!” Rixon mengeluarkan titah absolutnya.Elena melihat binar semangat di mata pria yang menguncinya di atas. Dia menggigit bibir dan mulai merelakan suaranya keluar.“Mmhh… hmmhh….” Elena mau tak mau memunculkan suara erangan tertahannya.Dia sengaja mengatupkan mulut erat-erat agar suaranya bisa teredam. Bagaimanapun, dia masih ingin menyisakan sedikit harga dirinya untuk tidak terlalu tunduk pada Rixon.“Lebih keras! Ayo keluarkan yang benar, Ruby!” bentak Rixon. “Atau kamu ingin tanganku di lehermu?”Lekas saja Elena menggeleng. Kemudian dengan harga diri yang sudah tercabik-cabik, dia mulai membuka mulut, megeluarkan suara seperti yang diinginkan Rixon.“Ihh… hiihh….” Elena malu. Suaranya lirih saat dia mencuatkan desahannya.Namun, tentunya Rixon bukan orang yang mudah dipuaskan.“Kamu bukan tikus, kan? Kenapa mencicit? Ayo, mendesah yang benar! Mendesahkan seperti manusia

  • Perangkap Hasrat Bos Mafia   Bab 33. Tak Ada Waktu Untuk Lolos

    “Hah?” Elena berbalik cepat ke sumber suara di ambang pintu. Di sana berdiri Rixon, tubuhnya membaur dengan bayangan lorong, wajahnya setengah gelap, setengah terlihat oleh cahaya temaram dari dalam kamar.Elena memeluk buku harian tua ke dadanya, napasnya masih tak stabil. “Siapa yang menulis ini, Tuan?”Pria itu melangkah masuk. Langkahnya pelan namun berat, seperti sedang menghormati ruangan yang telah terkunci oleh waktu. “Itu bukan pertanyaan yang perlu dijawab sekarang.”“Tidak perlu?” Nada suara Elena meninggi, antara takut dan frustrasi. “Seseorang—wanita ini—memiliki nama yang sama seperti yang Anda berikan pada saya. Ruby. Kenapa?”Rixon tak menjawab segera. Matanya menatap lurus ke arah lukisan di dinding. Sorotnya tajam, namun bukan marah—lebih seperti menyimpan perang batin yang tak pernah benar-benar reda. “Sudah kubilang tak perlu ada jawaban untuk itu!” Suara Rixon terdengar tak sabar.Mata Elena membelalak ketika dia menyaksikan Rixon mulai melepas jasnya, lalu kem

  • Perangkap Hasrat Bos Mafia   Bab 32. Seakan Ruangan Ini Tahu Siapa Dia

    “Kenapa kesannya Anda menginginkan ini menjadi sebuah survival game untuk kami para wanita Anda?” Dahi Elena berkerut.Dia kurang setuju dengan kalimat yang baru saja disampaikan Rixon. Seakan-akan dia dan dua wanita lainnya harus bertanding untuk memenangkan tempat di mansion.Setelah beberapa waktu hidup nyaris gila di mansion ini, Elena mulai mengikis ketakutannya pada Rixon dan berusaha bisa menyampaikan apa yang ada di kepala.“Jangan mengajari aku. Cukup ketahui saja posisimu.” Tatapan Rixon menghujam ke netra Elena.Sementara itu, Golda ada di balik tembok, mendengarkan percakapan di balik pintu dengan telinga tajam. Onix berdiri tak jauh darinya, tampak gelisah.“Dia bawa Ruby ke ruang kerjanya. Sendirian,” bisik Onix. “Apa dia percaya wanita itu?”Golda mengerucutkan bibir, lalu mengeluarkan ponselnya dan membuka galeri foto. Di dalamnya, ada foto surat dari istri Rixon terdahulu. Isinya samar, tapi cukup menyiratkan bahwa wanita itu pernah merasa terancam... oleh seseorang y

  • Perangkap Hasrat Bos Mafia   Bab 31. Pion atau Ratu

    ‘Apa pria ini akan memberikan hukuman padaku?’ Hati Elena bertanya penuh akan waspada.Ingatan mengenai apa saja yang ada di Lunatic Pleasure masih belum terhapus dari memorinya. Bagaikan mimpi buruk.“Kalian tak usah ikut.” Rixon bicara tegas pada Golda dan Onix yang masih mematung di sana.Elena terdiam sejenak. Tapi dengan tenang, dia berjalan mengikuti Rixon, meninggalkan Golda dan Onix yang langsung saling pandang.Langkah-langkah Elena menggema pelan di sepanjang koridor, mengikuti punggung Rixon yang tegap dan dingin. Tidak ada kata yang terucap selama perjalanan. Hanya detak sepatu di marmer dan jantung Elena yang berdentam tanpa irama.Rixon membawanya ke ruang kerja pribadinya, lalu menutup pintu.Netra Elena berkeliling ke penjuru ruangan sambil membatin, “Sungguh ruangan yang dipenuhi aura dominasi.”Elena tidak berlebihan. Di sana sarat akan aroma kulit dari sofa mahal, buku-buku tua, dan aroma khas cerutu mahal bercampur di udara. Ruangan itu seperti perpanjangan dari so

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status