“Um…” Meski ragu dan takut, Elena tetap mendekat ke Rixon.
Dia tak punya daya ataupun kuasa untuk menolak. Walau hatinya menjerit tak ingin, dia harus patuh demi ibunya. “Argh!” Pekikan pelan Elena timbul saat Rixon menarik tangannya. Tak bisa dicegah, dia jatuh di pangkuan si pria bengis sesuai perintah. “Haannhh….” Elena tak mampu menahan suara erangannya begitu tangan cabul Rixon meremas dadanya. Sedangkan tangan bebas si ketua mafia sudah melingkari pinggang rampingnya. Dengan posisi membelakangi Rixon di atas pangkuan pria itu, Elena tak perlu sungkan menampilkan wajah merah cerinya. Terlebih sewaktu tangan bejat Rixon menguasai kedua aset kenyal di dada Elena. “Hnnn… Tuan….” Dia melirik ke bawah demi melihat apa yang sedang dilakukan Rixon pada kedua bongkah kenyal miliknya yang berukuran cukup besar. “Hm, menyenangkan saat dipegang.” Suara berat Rixon terdengar berbahaya di belakang telinga Elena. Hingga ketika kedua tangan pria itu terus menjajah keindahan di dadanya, Elena memilih memejamkan mata. Dia tak sanggup menyaksikan apa yang diperbuat Rixon pada tubuhnya. “Sepertinya aku tak perlu menyesali membelimu dengan harga mahal.” Rixon kembali bicara. “Aku mulai menyukai mainan baruku ini.” Sembari bicara, tangan Rixon semakin ganas meremas di sana. Hal demikian menyebabkan Elena menggigit bibirnya karena kesal. ‘Aku dianggap mainan…’ Ada sekelumit kesedihan di sanubari saat mendengar ucapan Rixon. Ya, hidupnya tentu akan sangat suram bagaikan langit kelabu yang tak terjamah sinar mentari. Di tangan Rixon, masa depan gemilang apa lagi yang bisa dia harapkan? Hancur. Semuanya sudah hancur baginya. Tak ada cinta, tak ada masa depan, dan hanya ada perbudakan seksual yang mengenaskan. Terlebih jika dia mengingat apa yang menjadi fetish Rixon. Permainan BDSM laknat itu! Elena membencinya. Ingin sekali dia membakar dan menghancurkan ruangan terkutuk tersebut. “Hahh!” Pekikan Elena tak bisa diredam. Tangan bejat Rixon sudah beralih ke bagian lain. Sesuatu di balik gaun tipisnya di bawah sana. Secara refleks, dia memegangi pergelangan tangan Rixon untuk menahan aktivitas memalukan di bawah sana. “Memangnya kamu bisa apa, Ruby? Hm? Menahan tanganku?” ucap Rixon disertai kekehan seculas iblis. “Ketimbang begitu, kenapa tidak membantuku saja dengan melebarkan kakimu?” Belum usai Elena mencerna ucapan Rixon, dia sudah dikejutkan dengan tindakan selanjutnya dari pria mesum itu. Secara mendadak, kedua kakinya dibentangkan lebih lebar dan ditahan oleh paha Rixon. “Hyaahh!” Elena mengatupkan matanya erat-erat saat jemari bengis Rixon sudah merangsek masuk ke kain tipis kecil yang menutupi area istimewanya. Bibir digigit kuat-kuat ketika dia merasakan sensasi aneh di bawah sana. Kakinya berulang kali gemetar saat bagian istimewanya dijamah. “Kamu mulai menyukainya, kan?” Suara berat Rixon bagaikan mengiris harga diri Elena. Tak mau takluk begitu saja, Elena menggeleng. Ini terlalu memalukan! Rupanya Rixon gemas atas penyangkalan tersebut. Dia tarik rambut Elena dari belakang. “Angh!” Elena menjerit ketika kepalanya dipaksa mendongak dikarenakan tarikan Rixon pada rambutnya. Kemudian, dia dipaksa menoleh ke wajah Rixon yang sudah menunggu untuk melumat bibirnya. “Ummhh…” Karena itu, dia hanya perlu mengatupkan matanya seketat mungkin untuk menahan amarah atas pelecehan yang dilakukan Rixon. Ketika ritme kecepatan jari Rixon pada area istimewanya semakin cepat, akhirnya Elena menyerah dan mengerang tanpa sanggup meredamnya. Ada sensasi luar biasa saat itu terjadi. ‘Apa tadi? Dorongan macam apa itu?!’ Benak Elena bertanya-tanya. ‘Jangan katakan itu… adalah apa yang disebut sebagai klimaks?’ Sebagai orang yang berkutat di dunia medis, dia memiliki pengetahuan tertulis saja mengenai proses klimaks. Tapi dia tak menyangka itu akan terjadi pada dirinya dan hanya menggunakan jari! Sungguh sebuah pengalaman baru yang dia dapatkan dengan cara tidak semestinya. Tok! Tok! Tok! Elena terkejut. Ada ketukan di pintu yang menginterupsi keduanya. “Ada apa?!” Suara kasar Rixon menguasai ruangan. Keningnya berkerut, tak suka. Di luar, suara anak buah Rixon terdengar takut, “Ma-maaf mengganggu, Bos! Ada… ada situasi gawat!” Mendengar itu, Rixon lekas mendorong Elena dari pangkuan. Pria itu berdiri dan berjalan cepat ke arah pintu untuk membukanya. Anak buahnya takkan mempertaruhkan nyawa untuk mengganggu kesenangannya dengan wanita jika bukan karena situasi khusus. Elena lekas merapikan pakainnya yang sempat kusut masai. Dia berdiri canggung di sebelah meja besar Rixon. Bahkan dia tidak menggubris apa yang sedang dibicarakan Rixon dengan anak buahnya. Ketika mendongak, dia sudah tidak menemukan Rixon di ruangan itu. “Aku selamat?” tanyanya pada diri sendiri. “Meski ini mungkin sementara, tapi setidaknya aku lega tidak disentuh oleh bajingan itu.” Ada kelegaan membuncah di hatinya mengetahui dia tak perlu melayani pria bejat itu. Namun, tiba-tiba pintu terbuka dan Rixon berjalan cepat ke arahnya. “Ikut aku!” Rixon terdengar buru-buru. “Cepat pakai!” Elena tidak sempat bertanya saat mantel jas Rixon dilemparkan ke arahnya. Di benaknya hanya ada pertanyaan, ‘Ada apa ini?’“Aku harus kembali ke sana!” teguh Elena.Maka, di malam harinya, Elena kembali ke kamar terlarang itu—kamar yang dulu sunyi, kini terasa berdenyut dengan teka-teki.Dengan langkah ringan, dia membuka laci tempat dia menyembunyikan diary yang ditemukan sebelumnya—milik Ruby terdahulu.“Oke, kembali ke kamarku!” bisiknya sambil melangkah setengah berlari meninggalkan kamar tersebut.Di kamarnya, dia menatap sampul usang itu beberapa detik, jantungnya berdebar lebih kencang dari sebelumnya. Jemarinya gemetar saat membuka halaman pertama yang masih utuh.Tulisannya kecil dan rapi, tapi terlihat seperti ditulis dengan emosi yang meletup-letup.“Aku tahu aku seharusnya tidak mencintainya. Tapi bagaimana jika yang kulakukan ini bukan pilihan? Bagaimana jika aku jatuh, karena dia membuatku merasa hidup—meski hanya ketika dia melihatku?”Elena membaca pelan dan kemudian dahinya mengernyit. Hatinya menegang. Ini tentang Rixon?Dia membalik halaman berikutnya. Lebih banyak lagi tulisan yang tak
Alma mundur satu langkah. “Saya tidak boleh bicara lagi.”“Bu, tolong…” Elena hampir mencengkeram tangannya. “Aku tidak bisa tinggal di sini tanpa tahu… apa yang terjadi pada dia. Apa yang bisa terjadi juga padaku?”Alma menatapnya lama. Ada gejolak dalam sorot matanya—seperti seseorang yang pernah menyaksikan sesuatu terlalu kelam untuk diucapkan.“Ruby bukan perempuan sembarangan,” katanya pelan. “Dia punya hati. Dia berani. Dia… mencintai terlalu dalam.”“Mencintai siapa?” tanya Elena. “Ibu, bicara saja, tak apa. Ini sudah di kamarku sendiri. Pasti aman.”Dia sedikit berbisik sambil meyakinkan Alma yang tampak waspada meski sudah berada di kamar Elena.Alma menggeleng keras, seolah membuang ingatannya jauh-jauh.“Tidak, saya tidak bisa,” katanya gemetar. “Kalau saya ceritakan… saya… saya bisa ikut menghilang.”Elena surut, terlihat kecewa.“Elena…” lanjutnya, kali ini tanpa menyebut ‘nona’, suara Alma terdengar lebih seperti seorang ibu yang sedang memohon, bukan pelayan. “Percayal
“Tidak! Tidak mau!” Elena secepatnya menjawab Rixon.“Kalau begitu, cepat mendesah untukku! Keluarkan suaramu!” Rixon mengeluarkan titah absolutnya.Elena melihat binar semangat di mata pria yang menguncinya di atas. Dia menggigit bibir dan mulai merelakan suaranya keluar.“Mmhh… hmmhh….” Elena mau tak mau memunculkan suara erangan tertahannya.Dia sengaja mengatupkan mulut erat-erat agar suaranya bisa teredam. Bagaimanapun, dia masih ingin menyisakan sedikit harga dirinya untuk tidak terlalu tunduk pada Rixon.“Lebih keras! Ayo keluarkan yang benar, Ruby!” bentak Rixon. “Atau kamu ingin tanganku di lehermu?”Lekas saja Elena menggeleng. Kemudian dengan harga diri yang sudah tercabik-cabik, dia mulai membuka mulut, megeluarkan suara seperti yang diinginkan Rixon.“Ihh… hiihh….” Elena malu. Suaranya lirih saat dia mencuatkan desahannya.Namun, tentunya Rixon bukan orang yang mudah dipuaskan.“Kamu bukan tikus, kan? Kenapa mencicit? Ayo, mendesah yang benar! Mendesahkan seperti manusia
“Hah?” Elena berbalik cepat ke sumber suara di ambang pintu. Di sana berdiri Rixon, tubuhnya membaur dengan bayangan lorong, wajahnya setengah gelap, setengah terlihat oleh cahaya temaram dari dalam kamar.Elena memeluk buku harian tua ke dadanya, napasnya masih tak stabil. “Siapa yang menulis ini, Tuan?”Pria itu melangkah masuk. Langkahnya pelan namun berat, seperti sedang menghormati ruangan yang telah terkunci oleh waktu. “Itu bukan pertanyaan yang perlu dijawab sekarang.”“Tidak perlu?” Nada suara Elena meninggi, antara takut dan frustrasi. “Seseorang—wanita ini—memiliki nama yang sama seperti yang Anda berikan pada saya. Ruby. Kenapa?”Rixon tak menjawab segera. Matanya menatap lurus ke arah lukisan di dinding. Sorotnya tajam, namun bukan marah—lebih seperti menyimpan perang batin yang tak pernah benar-benar reda. “Sudah kubilang tak perlu ada jawaban untuk itu!” Suara Rixon terdengar tak sabar.Mata Elena membelalak ketika dia menyaksikan Rixon mulai melepas jasnya, lalu kem
“Kenapa kesannya Anda menginginkan ini menjadi sebuah survival game untuk kami para wanita Anda?” Dahi Elena berkerut.Dia kurang setuju dengan kalimat yang baru saja disampaikan Rixon. Seakan-akan dia dan dua wanita lainnya harus bertanding untuk memenangkan tempat di mansion.Setelah beberapa waktu hidup nyaris gila di mansion ini, Elena mulai mengikis ketakutannya pada Rixon dan berusaha bisa menyampaikan apa yang ada di kepala.“Jangan mengajari aku. Cukup ketahui saja posisimu.” Tatapan Rixon menghujam ke netra Elena.Sementara itu, Golda ada di balik tembok, mendengarkan percakapan di balik pintu dengan telinga tajam. Onix berdiri tak jauh darinya, tampak gelisah.“Dia bawa Ruby ke ruang kerjanya. Sendirian,” bisik Onix. “Apa dia percaya wanita itu?”Golda mengerucutkan bibir, lalu mengeluarkan ponselnya dan membuka galeri foto. Di dalamnya, ada foto surat dari istri Rixon terdahulu. Isinya samar, tapi cukup menyiratkan bahwa wanita itu pernah merasa terancam... oleh seseorang y
‘Apa pria ini akan memberikan hukuman padaku?’ Hati Elena bertanya penuh akan waspada.Ingatan mengenai apa saja yang ada di Lunatic Pleasure masih belum terhapus dari memorinya. Bagaikan mimpi buruk.“Kalian tak usah ikut.” Rixon bicara tegas pada Golda dan Onix yang masih mematung di sana.Elena terdiam sejenak. Tapi dengan tenang, dia berjalan mengikuti Rixon, meninggalkan Golda dan Onix yang langsung saling pandang.Langkah-langkah Elena menggema pelan di sepanjang koridor, mengikuti punggung Rixon yang tegap dan dingin. Tidak ada kata yang terucap selama perjalanan. Hanya detak sepatu di marmer dan jantung Elena yang berdentam tanpa irama.Rixon membawanya ke ruang kerja pribadinya, lalu menutup pintu.Netra Elena berkeliling ke penjuru ruangan sambil membatin, “Sungguh ruangan yang dipenuhi aura dominasi.”Elena tidak berlebihan. Di sana sarat akan aroma kulit dari sofa mahal, buku-buku tua, dan aroma khas cerutu mahal bercampur di udara. Ruangan itu seperti perpanjangan dari so