Share

Bab 5. Aku Punya Harga Diri

Ned menghentikan langkahnya dan tiba-tiba berbalik. Dia sempat mendapati cibiran Qiana dan mengerutkan kening.

Qiana yang tertangkap basah buru-buru mengalihkan pandangannya pada langit-langit ruangan.

Ned melangkah mendekati Qiana, mendesak gadis itu hingga kakinya menyentuh pinggiran meja. Mata Ned menatap tepat pada sepasang manik indah di depannya. Kemudian tatapan itu jatuh pada bibir mungil di bawahnya.

Sesaat Qiana sempat berpikir lelaki itu akan menciumnya. Dia menelan ludah dengan gugup dan bersiap mendorong bahu lebar itu.

“Aku akan pergi ke luar negeri besok. Mungkin baru akan kembali seminggu kemudian. Jangan coba-coba melirik laki-laki lain apalagi selingkuh. Juga jangan coba-coba kabur dariku.” Ned memperingatkan di telinga gadis itu.

Sejenak Qiana menjadi linglung. Selain suara yang menawan itu terdengar sangat dekat, itu juga di luar ekspektasinya. Dia merasa konyol sendiri.

Ketika Ned melepaskannya dari posisi tak nyaman itu, Qiana sudah bisa menguasai dirinya.

Ingin sekali Qiana tertawa. Dia tidak mengira lelaki ini akan seserius itu. Belum beberapa jam mereka bertemu, Ned sudah melarangnya selingkuh. Astaga!

Namun tak satu pun kata yang keluar dari bibir Qiana. Dia hanya mengeluarkan suara tak jelas menanggapi ucapan Ned.

Pergilah. Pergi dan jangan kembali. Kepala Qiana dipenuhi suara-suara tak sabaran.

Sejenak Ned terdiam di depan pintu, membuat Qiana merasa lelaki itu bisa mendengar isi hatinya. Tapi kemudian Ned benar-benar berlalu setelah menatap Qiana dengan tajam.

Gadis itu merasa bulu kuduknya berdiri. Dengan bergegas Qiana menutup pintu dan menguncinya rapat.

“Qiana? Apa itu kau?” Suara ibunya terdengar dari dalam kamar.

Qiana melangkah ke kamar sambil menyahut. “Ini aku, Bu.”

Didapatinya sang ibu sedang mencoba berdiri dari duduknya di tepi tempat tidur.

“Ibu mau kemana?” Qiana membantu wanita yang terlihat masih cantik itu berdiri.

“Ibu hanya ingin ke dapur. Perut ibu terasa tidak nyaman. Mungkin ibu perlu makan sedikit. Tadi ibu melewatkan makan malam....” Ibunya melepaskan pegangan Qiana pada lengannya. “Kau pergilah bersihkan diri dulu. Ibu mau memanaskan bubur tadi siang.”

Qiana menatap ibunya yang melangkah pelan menuju dapur kecil mereka. Matanya terasa panas.

Ibu Qiana dulu terbiasa dilayani saat masih sehat. Begitu jatuh sakit, ayahnya menggaji seorang perawat untuk menjaganya dan dokter keluarga pun selalu siap menerima panggilan mereka. Sampai suatu ketika wanita asing itu datang ke rumah mereka.

Selesai mandi dan berganti pakaian, Qiana menemani ibunya makan.

"Kau sudah makan?" tanya ibunya pada Qiana yang hanya duduk memandangi.

"Aku sudah makan tadi sore, Bu." Qiana menuang segelas air lalu meminumnya. Dia hanya merasa haus sekarang.

"Kau pulang sangat larut. Kemana saja? Bukankah kau bilang hari ini libur?" Ibunya bertanya lagi dengan lembut di antara suapannya.

Hari ini Qiana memang meminta libur dari pekerjaannya di minimarket. Gara-gara Beatrice yang mengatakan padanya bahwa ada pekerjaan bagus di klub.

"Aku pergi ke klub dengan Beatrice…." Qiana berkata jujur.

Ibu Qiana menghentikan gerakan menyuapnya dan mengangkat pandangannya. "Ke klub?"

Wanita itu tiba-tiba merasa tak suka. Yang dia tahu tempat itu bukanlah sebuah tempat yang baik untuk didatangi seorang gadis.

"Kudengar ada pekerjaan bagus di sana." Qiana menjelaskan singkat. Dia tak ingin ibunya berpikiran macam-macam. "Tapi ternyata itu cuma omong kosong teman Beatrice."

Ibunya cuma menggelengkan kepala dengan sedih. Dia tahu putrinya harus bekerja keras agar mereka bisa bertahan hidup. Hanya saja dia mencemaskan Qiana.

Putrinya dulu sangat polos. Dan manja. Kini dia mulai berubah menjadi lebih berani dan pantang menyerah.

"Tapi tidak terjadi sesuatu 'kan?" Ibunya mendapati raut murung Qiana. Dia berpikir mungkin ada sesuatu yang tidak beres.

Qiana menggeleng cepat. "Tentu saja tidak, Bu. Aku tahu tempat seperti apa itu. Aku tidak akan membuat masalah."

Ibunya terdiam sesaat seperti tengah memikirkan sesuatu kemudian menghela napas. "Kau tahu Qiana, pekerjaan seperti apa saja yang mungkin ada di klub. Ibu tidak mengatakan buruk. Semua orang berjuang untuk bertahan hidup dengan caranya sendiri. Tapi jika bekerja di sana, sewaktu-waktu pasti akan bersentuhan dengan hal-hal buruk. Cepat atau lambat. Tidak semua orang sanggup bertahan."

Kata-kata ibunya jelas. Qiana memahaminya. "Jangan khawatir, Bu. Aku akan menjaga diriku baik-baik dan tidak akan mengecewakan ibu," ujar Qiana berjanji. "Aku juga punya harga diri."

Setelah membereskan piring makan ibunya, Qiana pergi ke kamarnya yang bersebelahan dengan kamar ibunya.

Tadi di depan ibunya dia berusaha terlihat setenang mungkin. Sebenarnya dia sangat cemas memikirkan uang sewa apartemen yang belum dibayar. Uang kuliahnya juga sedang menunggu untuk dilunasi. Sementara, gajian masih lama lagi.

Dengan gelisah gadis itu membolak-balikkan tubuhnya di tempat tidur. Malam sudah lewat separuhnya, tapi matanya terasa sulit untuk dipejamkan.

Hari ini memang bukan hari keberuntungannya. Bodoh sekali dia bisa percaya dengan Shein yang bahkan baru ditemuinya malam ini.

Qiana bertekad akan mencari Shein dan menagih kompensasi dari tantangan yang sudah dilakukannya. Mungkin terdengar naif. Itu seperti mengharap uang angin. Tapi apa lagi yang bisa dilakukannya.

***

Sesaat setelah menuruni tangga apartemen menuju ke lantai bawah, Ned berjalan ke arah mobil yang telah menunggunya.

Wilson membukakan pintu mobil untuk tuannya kemudian masuk ke bagian kemudi. Dia mendongak sebentar pada kaca spion seakan menunggu perintah dari tuannya.

"Hotel Phoenix," ujar Ned tanpa sedikit pun menatap pada sopirnya. Matanya tampak semakin gelap dalam cahaya samar di dalam mobil. Wajahnya pun jadi terlihat menakutkan.

Sialan sekali gadis itu! Pikir Ned dengan perasaan suram. Dia terus memprovokasiku.

Ned teringat bagaimana gadis itu mencibir padanya dengan bibir merah indahnya. Ned harus setengah mati menahan diri untuk tidak melahapnya.

Tidak, dia juga menggodaku. Berani sekali. Kalau saja bukan dia. Kalau saja bukan seseorang yang telah dicarinya sekian lama, Ned pasti sudah menelannya bulat-bulat.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Kikiw
hem hem.. siapanya Ned nih si Q
goodnovel comment avatar
Irene Rumbiak
bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
Imens Stivichi
jadi penasaean
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status