“Tuan!” Azzar, pria berusia 45 tahun menunduk saat William masuk ke kamar VVIP 3, ruangan lain yang bisa dipakai di hotel.
“Gadis dari kamar VVIP 1 sudah keluar?” tanya Wiliiam. Ia melepaskan jas dan menyampirkan di punggung kursi sebelum duduk di sofa.
Azzar menunduk kidmat. “Sudah, Tuan.”
“Sudah suruh orang untuk mengikutinya juga?”
Azzar menjawab dengan satu kata yang sama dan intonasi yang sama pula. Semua hal di diri Azzar seolah sudah terstruktur dengan baik yang tidak memberi peluang untuk William melihat kecacatan di dalam setiap tindakannya.
William mengibaskan tangannya sedikit untuk menyuruh Azzar mengurus hal kecil lainnya. Selepas pintu tertutup di belakangnya, ia merebahkan kepalanya pada undakan sofa. Semalam ia tidak tidur karena takut Amanda melarikan diri.
Lebih tepatnya ia lebih takut kehilangan kesempatan memanfaatkan apa yang ada di depan mata. Ponselnya berdering kembali. Sudah lebih dari seminggu nomor yang sama selalu menghuhungi. Sudah seperti mengkonsumsi obat dengan teratur. Lama-lama ia akan merasa stres jika terus dihubungi seperti ini.
“Sebenarnya ada keperluan apa Anda menghubungi saya lagi?” tanya William kesal.
Ia kenal betul siapa yang menghubungi dan untuk apa pembicaraan yang akan dilakukan dengannya.
“Ibumu sakit.”
Alasan menyedihkan yang sudah berulang kali disampaikan padanya. William sampai tidak memiliki humor lagi untuk membuat alasan tersebut menjadi lelucon.
“Apalagi yang kambuh sekarang? Jantung? Ginjal? Atau sarafnya?” tanyanya sakars.
Hening. Sepertinya butuh waktu untuk orang yang meneleponnya memikirkan jawaban yang sesuai. “Dia hanya butuh kamu datang ke sini.”
“Maksudmu pulang ke rumahku?” Sekali lagi William tak menyembunyikan perasaan kesalnya pada orang di dalam telepon.
“Ya, pulang dan temui ibumu.”
Setelah telepon ditutup barulah William tertawa terbahak-bahak. Ia sama sekali tidak bahagia, lebih dari rasa marah yang tidak bisa disalurkan. Dilemparnya sekuat tenaga ponsel di tangan sampai hancur berkeping-keping di dinding. Napasnya memburu dan wajah William merah kini. Ia mengatakan pada diri sendiri harus bertahan dan mengendalikan diri.
Butuh perjuangan yang tak sedikit memang untuk mengendalikan amarah yang berkumpul dan bergulung di dalam dirinya. Amarah yang tidak hanya sehari ini saja terpupuk dan pelan-pelan membesar. Awalnya ia bisa dengan mudah meredamnya dengan memikirkan banyak hal lain. Namun, sekarang ini terasa sulit untuknya. Apalagi tekanan pekerjaan saat ini dan desakan dari banyak pihak.
William sekali lagi menyuruhnya memikirkan hal lain. Lalu ia memikirkan hari di mana bertemu dengan Amanda. Gadis itu bersinar dan membuat matanya terperangkap, mengali kenangan masa kecil yang sedikit bisa menghibur. Sedikit kenangan yang diingat sampai sekarang.
Bolehkan aku meneleponnya? Bolehkan aku bertanya untuk kembali ke masa itu? Bolehkah aku berkata membutuhkannya sekarang?
Ia memandang ponselnya yang hancur di sudut dekat dinding. Bukan hanya hal itu yang menghentikannya untuk menghubungi satu-satunya gadis di dalam hati William. Masih belum saatnya, ia berkata pada diri sendiri. Sekali lagi ia menyugar rambutnya dengan kedua tangan. Mungkin, sudah saatnya juga ia pulang. Mungkin saja tempat ia pulang tersebut sudah tak lagi menyeramkan seperti sebelumnya.
***
Amanda adalah gadis yang sangat manis dan patuh. Ia begitu mencintai diri Alex. Namun, ia sama sekali tidak mencintai Amanda. Selain faktor kebutuhan akan status supaya ia tidak terus dikejar-kejar wanita, Alex tidak memiliki alasan lain untuk dekat dengan Amanda.
Akan tetapi, saat melihat gadis itu bergelayut di pundak William dan memanggil-manggil namanya ada setitik perasaan berdosa di dalam hati Alex. Ia berkata bahwa penyesalan yang dirasakan hari ini akan cepat berlalu. Ia tidak akan pernah muncul lagi di dalam kehidupan Amanda saat ini.
Sebelum merencanakan semuanya, Alex sudah mengajukan pindah ke anak perusahaan di kota lain. Lalu mengingat bagaimana sifat Amanda, gadis itu tidak akan memberitahu pada siapapun apa yang terjadi padanya. Itu akan sangat membantu Alex.
Alex mengumpat keras-keras ketika sesuatu membentur kepalanya. Ia mengosok kepalanya dengan kasar sebelum menoleh dan mendapati Amanda dengan bersimbah air mata menarik koper dan memegang tas tangan. Sepertinya tas tangan itu yang sudah menghantam kepalanya tadi. Alex memaki kesialannya sendiri dalam hati.
“Jangan menyalahkanku, oke,” katanya dengan santai sambil mengangkat tangan.
“Tidak … sama sekali bukan kamu yang aku salahkan. Aku yang tolol!” pekik Amanda nyaris histeris. Air mata turun dengan deras.
Alex hanya menelengkan kepala, sama sekali tak tertarik dengan reaksi macam ini. Ini yang paling tidak disukai dari seorang wanita, reaksinya terlalu berlebihan. Bahkan dunia sama sekali tak hancur hanya karena mereka tidur dengan seorang pria yang tidak dikenal satu kali.
“Jangan terlalu berlebihan. Aku akan kirimkan beberapa hadiah untukmu dari apa yang kuhasilkan kali ini.” Dalam hati Alex menambahkan bahwa ia perlu membayar seluruh hutangnya terlebih dahulu.
Gadis yang lain biasanya akan diam mendengar itu, tapi Amanda tidak. Ia malah memukul Alex lagi, kali ini sekuat tenaga. Alex merasakan pelipisnya berdenyut efek dari pukulan itu. Ia sudah tidak tahan lagi sekarang, ditangkapnya tas tangan yang melayang dan dihempaskan bersamaan dengan Amanda ke lantai. Ia tidak peduli dengan bisik-bisik yang terjadi selanjutnya di sekitar mereka.
“Kamu bisa menuntutku jika merasa dirugikan!” serunya. Alex tahu Amanda tidak akan bisa menuntut. Gadis polos ini bahkan tidak akan bisa menceritakan pada seseorang.
Ia melihat bayangan William di antara orang-orang. Namun, ketika Alex benar-benar mengangkat kepalanya, bayangan orang yang dikenali tersebut menghilang. Lalu ia berpikir kalau mungkin saja salah lihat. Ia melirik Amanda sedikit sebelum berlalu pergi dengan pongahnya. Ia sudah selesai dengan gadis itu.
Alex meninggalkan kopernya setelah sudah cukup jauh dari Amanda. Ia rasa benda tersebut tidak akan cukup berarti untuk dicuri. Didekatinya Amanda yang masih terduduk sambil menangis. Orang-orang mengelilinginya dan berbisik-bisik.
“Oh, ya, jangan cari aku,” katanya dan Alex kembali pergi.
Ia bisa merasakan tatapan Amanda yang penuh kekecewaan dan kebencian. Ia juga tahu kalau sepanjang waktu gadis itu akan mengutuknya mengalami nasib buruk. Alex sama sekali tidak peduli.
Saat akan memasuki pintu pesawat. Ia melihat William di sana. Alex yakin kalau pria yang sudah memperoleh hal manis dari Amanda itu melihatnya, tetapi dengan cepat pura-pura tidak kenal. Baginya sama sekali tidak masalah. Ia sudah memastikan bahwa menerima uang yang dikirimkan atas nama William ke rekeningnya. Karena William tidak berniat berurusan lagi dengannya, maka Alex melakukan hal yang sama, pura-pura tidak tahu.
“Untuk orang yang sudah kamu manfaatkan tanpa sepengetahuannya, sikapmu sangat buruk.”
Alex menoleh. Ia tidak menyangka ditegur oleh orang yang merusak masa depan Amanda. Lalu ia tersenyum miring. “Untuk orang yang melewati malam bersamanya tanpa perasaan simpati Anda terlalu besar. Apa saya boleh curiga Anda menyukainya lebih dalam dari sekedar semalam saja?”
Tidak ada ekspresi di wajah William, malah tanpa mengatakan apa-apa pergi begitu saja.
Alis Alex terangkat tidak percaya. Mungkin memang seperti itu sikap orang yang sudah hidup bergelimang harta sejak kecil.
“PRIA BRENGSEK!!” maki Prisilla keras-keras.Bahkan Amanda yang bercerita padanya menutup telinga. Ia paham dengan kekesalan sahabat karibnya ini. Prisilla kenal Alex dan sejak awal hubungan Amanda dan lelaki itu, sahabatnya menentang.“Bisa-bisanya dia brengsek!” Dari mulut Prisilla meluncur sumpah serapah untuk Alex. Amanda tidak akan menghapal satu pun sumpah serapah dari berbagai bahasa itu. Ia tidak berniat mengucapkannya, tetapi ia bersyukur ada yang mau memakai semua itu untuk menyumpahi lelaki paling brengsek dalam hidupnya. “Aku akan membunuhnya jika bertemu!” kata Prisilla sungguh-sungguh.Amanda merasa dirinya amat sangat buruk kini. Ia tidak tahu apa yang bisa dikatakan pada Prisilla. Ia memang memberitahu kalau Alex menjualnya, tetapi tidak mengatakan kalau ia sudah terjual. Ia tidak mau Prisilla menghindarinya. Amanda merasa sangat egois, tetapi ia butuh teman seperti Prisilla sekarang.&ldqu
Bolehkah William merasa senang melihat reaksi Amanda? Pupil gadis di depannya membesar dan tubuh Amanda bergetar. Walau gadis itu berusaha keras untuk menyembunyikan reaksi tubuhnya, William bisa melihatnya dengan jelas. Mengemaskan. Ia membatin. Rasanya kehidupan bersama Amanda akan sangat menarik. Setiap pagi ia akan melihat wajah cantik Amanda. Kadang-kadang melihat kilatan kemarahan di mata gadis ini. Lalu bisa jadi ia akan melihat cinta. Untuk semua hal yang bisa dilakukan, William bersedia mengorbankan apapun untuk menjadikan Amanda istri kontraknya. Amanda mendorong tubub William untuk mundur dari dirinya. Kemudian ia memeluk dirinya sendiri untuk bisa menghentikan getaran dari perasaan takut yang menjalarinya. “Kamu baik-baik saja?” tanya William mulai sedikit khawatir. Amanda memang terlihat kuat. Namun, masalah yang tumpeng tindih menimpanya bukan sesuatu yang bisa dihadapi manusia yang waras untuk tidak terguncang. “Jangan
Taman tempat ia sering bermain masih seperti dulu. Rumpun mawar tertata sangat cantik di tengah dan perdu-perdu berwarna-warni mengelilingi bagian yang berfungsi sebagai jalan setapat dan tempat bermain. Aku tidak ingin kembali. William menyugar rambutnya dengan kedua tangan. Ia enggan keluar dari mobil. Ketukan di kaca mobil membuatnya membuka mata. Ia harus keluar. Atau bisa saja diseret secara paksa nanti. “Aku senang bisa melihatmu setelah sekian lama, Nak.” Sayang sekali, William tidak merasakan hal yang sama. Ia juga tahu kalimat yang diucapkan ayah tirinya hanya di bibir saja. Jauh di dalam lubuk hati pria yang terpaksa dipanggil Ayah sejak umur lima tahun mengumpat, menyuruhnya mati setiap kali bertemu. “Aku juga begitu, Papa. Aku rindu sekali dengan rumah.” Kalimatnya begitu kontradiksi mengingat betapa ia selalu mencari alasan untuk bisa keluar dari rumah sejak umurnya sepuluh tahun. “Ibumu sudah menunggu. Ia
Kepala Amanda sakit sekali. Ia susah payah mengusir Prisilla semalam. Teman karibnya itu memaksa untuk tetap berada di kamar kosnya sampai ia menceritakan bagaimana William dan Amanda bisa bertemu. Selepas Prisilla pulang, Amanda tak lantas tidur. Pikirannya berkelana tanpa arah. Pertama-tama menyalahkan takdir pertemuannya dengan Alex. Kemudian menyalahkan dirinya yang kerasa kepala, padahal banyak orang yang sudah memperingatkannya. Selanjutnya ia mengutuk diri sendiri karena terpesona pada William. Amanda mengacak kepalanya karena frustrasi. Ia lalu merebahkan diri memandang langit-langi yang mungkin saja bisa menenangkan hatinya sedikit. “Kenapa hal seperti ini bisa terjadi? Aku punya dosa apa di masa lalu sampai dihukum seperti ini?” keluhnya sebelum menutup wajah dengan bantal. Begitu merasa sesak ia melempar benda itu ke sisi lain ranjang. Jika terus-terusan berada di rumah, Amanda tidak tahu akan sebanyak apalagi pikiran buruk datang padanya.
“Jadi dia menolak keponakanku?” Ayah tiri William meremas kertas yang menjadi bulatan-bulatan kecil dan menjentikannya kembali ke atas meja.Ia baru saja selesai menjamu keponakannya yang patuh dan cantik. Kembali mengatakan pada gadis berusia 23 tahun tersebut kalau anak tirinya akan menyetujui rencana pertunangan tersebut. Kini ia mendapatkan kabar yang bisa menghancurkan rencananya dengan cepat.“Dia tidak punya hubungan dengan seorang gadis bukan?” tanya Wyatt pada mata-mata yang ditempatkan di dekat William.Pemuda yang menjadi sopir pribadi William itu memberi hormat terlebih dahulu sebelum menjawab, “Saya mengantarkan seorang gadis dari hotel tempat menginap Tuan William di Bali. Gadis itu pergi dengan tergesa-gesa di pagi hari. Tuan Azzar meminta saya mengantarkan gadis itu ke bandara dengan selamat.Wyatt mendesah. Ada-ada saja yang berusaha mengagalkan rencananya. Awalnya ia ingin memanfaatkan Esme, untuk mengekang
“Bersumpahlah padaku kamu tidak akan memberitahu siapapun!”Mata Amanda lekat memandang Prisilla. Gadis itu balas menatapnya bingung. Mungkin tidak menyangka alih-alih mendengar kabar gembira, Prisilla malah diminta bersumpah.“Tunggu sebentar, sebenarnya ada apa?” Prisilla jelas tak mau begitu saja disumpah untuk sesuatu yang tidak dimengerti.Amanda mulai menimbang-nimbang untuk jujur. Jika ia ingin kepercayaan dari Prisilla, dirinya tentu juga harus mengatakan semuanya. Mana mungkin ada seseorang yang percaya tanpa pikir panjang.“Ada sesuatu yang tidak kuceritakan padamu.” Amanda memulainya. Namun, ia tetap gelisah karena merasa akan mencoreng arang ke keningnya.“Ada apa, Amanda? Jangan buat aku penasaran!” pekik Prisilla akhirnya karena Amanda tidak kunjung bicara.Amanda malah meremas-remas jemarinya. Matanya menatap gelisah dan tidak fokus di satu tempat saja. “Kamu pasti ingat pa
Mobil yang membawa Amanda melewati perbukitan dan kemudian menghamparkan pemandangan laut, berhenti di perhentian terakhir sekitar lima belas menit lalu. Karena baru pertama kali berada di tempat itu, jujur Amanda memang kebingungan apa yang harus dilakukan. Ia memang sudah mendapatkan nomor kakaknya Prisilla, tapi apa yang akan dikatakannya saat menelepon? Aku sudah sampai? Siapa memang dirinya sampai berkata seperti itu.“Sebaiknya kutunggu saja.”Diedarkan pandangan ke sekitar terminal bus kecil tersebut dan melihat beberapa warung makan yang masih buka. Barulah kini Amanda menyadari jika dirinya merasa lapar. Ia mengangkat tas kain yang berisi beberapa helai pakaian ganti menju warung bertuliskan nasi soto.“Silakan duduk, Nak, mau makan apa?” tanya seorang ibu yang memakai kebaya.Amanda memperhatikan menu yang ada di dinding yang dilengkapi dengan gambar, bukan hanya soto saja yang dihidangkan di warung kecil ini. Ad
Prisilla anak bungsu dari lima bersaudara. Rumah mereka terletak tak jauh dari pantai. Tiga kakak laki-laki Prisilla di atas Agus sudah menikah. Agus sendiri juga sudah diburu pertanyaan “Kapan nikah?” oleh orang-orang di sekitarnya. Namun, kakak Prisilla tersebut tidak terlalu memikirkan dan sibuk dengan pekerjaannya sebagai satpam.“Oh … kamu di sini?”Amanda menoleh dan menemukan Agus berdiri dua meter dari kursi kayu di tepi pantai tempat ia menghabiskan waktu.“Ada sesuatu?” tanya Amanda yang langsung berdiri.Ia sudah hampir seminggu tinggal di rumah Prisilla. Keluarga temannya tersebut membiarkannya menggunakan kamar Prisilla yang kosong untuk waktu yang lama. Bahkan mereka senang dengan keberadaannya. Malahan, belakangan ia dijodohkan dengan Agus, kakak Prisilla yang belum menikah.“Tidak. Hanya Ibu memintaku untuk melihat di mana kamu berada. Prisilla mewanti-wanti kami untuk menjagamu tetap