“Si-siapa?” tanya Amanda tergagap.
Amanda yakin kalau matahari sama sekali belum terbit. Di luar pasti masih gelap dan ia terjaga di ruangan yang sama sekali tidak dikenal. Hal terakhir yang diingat adalah Alex yang mengajaknya ke berdansa setelah menegak minuman yang warna dan rasanya seperti jus. Hanya saja setelah berputar dalam alunan music beberapa kali, kepalanya pusing dan tubuhnya terasa sangat berat. Alex berkata akan mengantarnya ke kamar, tetapi ini bukan kamar miliknya.
“Alex, apa itu kamu?”
Amanda yakin ada seseorang yang sedang duduk di kursi dengan lengan tinggi dekat jendela kaca dengan tirai-tirai besar berwarna abu-abu—atau saat ini seperti itu yang dilihatnya. Masih belum juga ada sahutan dari yang dikiranya orang. Dengan memaksakan diri, ia mengangkat tubuhnya ke tepi tempat tidur. Ia duduk selama beberapa saat untuk mengumpulkan sisa kesadarannya yang tercecer.
“Tidak usah berdiri, tetap duduk saja di sana. Tidak ada Alex di sini.”
Seluruh tubuh Amanda menegang. Ia tidak kenal dengan suara berat dan dalam yang didengar. Ia sudah mengenal Alex bertahun-tahun. Bahkan ia kenal suara Alex saat setengah sadar.
“Si-siapa kamu?” tanya Amanda. Ia mencengkeram tepi tempat tidur erat-erat, seolah jika tidak dilakukan dirinya akan terlempar.
Lampu di meja pajangan di samping kursi menyala. Mata Amanda terpaku pada sosok yang pernah dilihatnya di pesta. Bahkan Amanda sudah berkenalan dengan pria tersebut sebelumnya. Ia ingat senyum hangat yang pria tersebut berikan saat bersalamannya. Ia bahkan menganggap kalau pria yang dikenalkan Alex tersebut sangat baik bahkan tak bisa dibandingkan dengan pacarnya yang biasa-biasa saja.
“Sepertinya kamu masih mengenaliku.”
Senyum yang ditampilkan oleh pria yang memperkenalkan diri sebagai William tersebut masih terasa sama hangatnya.
Amanda jadi kesal setengah mati karena terkecoh dengan kehangatan palsu William. Ia berteriak dan melempar bantal yang bisa digapai ke arah pria itu.
William sama sekali bergeming. Ia menatap Amanda dan tindakan penuh amarah gadis itu dengan tenang. Seperti sudah selayaknya ia melihat itu semua.
Dada Amanda naik turun menahan amarah. Ia masih belum selesai, tetapi yakin sudah saatnya behenti sekarang. Ia harus mendengarkan terlebih dahulu apa yang sebenarnya terjadi. Ia marah karena berpikir William sudah melakukan hal buruk. Namun, entah kenapa ia berpikir tak mungkin pria yang tersenyum cerah tersebut melakukan hal jahat.
“Maaf … jadi apa yang kamu lakukan di sini? Maksudku kenapa aku di sini?”
Mata Amanda nyaris tak berkedip sedikitpun. Jantungnya berdegup kencang karena takut. Lalu pencernaannya sama sekali tidak terasa nyaman. Ini sering terjadi setiap kali ia merasa cemas.
“Apalagi yang bisa kulakukan setelah melakukan malam panas denganmu.”
Amanda hanya melihat tokoh jahat yang tersenyum di salam film saja. Ia tak pernah menyangka akan menyaksikan kejadian yang sama dalam kehidupannya sendiri. Ia merasakan perasaan sangag buruk dari artis di dalam film. Rasanya saat ini dunianya sedikit demi sedikit runtuh.
“Le-luconmu sangat buruk, Will.” Amanda berusaha tertawa. Ia yakin kalau ini hanya candaan seperti yang dikatakan.
William berdiri, langkahnya yang panjang langsung memutuskan jarak yang tadi di antara dirinya dan Amanda. Jari-jarinya yang lentik menyentuh dagu gadis yang memandangnya dengan tatapan jijik. “Menurutmu sebuah lelucon ya? Bagaimana kalau kamu tidak memastikan sendiri perubahan yang ada di dirimu,” tantang William.
Amanda lekas menepis tangan William, membiarkan pemuda itu duduk di tempatnya dan menarik diri agak ke tengah ranjang. Namun, sebelum meraba tubuhnya, ia sudah melihat gaun yang dipakainya semalam berserakan di bawah kaki William. Barulah kemudian ia menunduk dan menyadari hanya memakai handuk mandi, itu pun terikat seadanya. Wajah Amanda memanas, ia jadi merasa jijik pada dirinya sendiri.
“Brengsek!” makinya. Namun, air mata Amanda mengalir membasahi pipi. Seluruh tubuhnya gemetar. Dunianya tidak hanya perlahan runtuh, tetapi meledak dan luluh lantak.
“Harusnya kamu memaki pacarmu, dia yang menjadikanmu pembayaran untuk hutangnya. Aku hanya mengambil bayaran yang seharusnya kuterima.” William berbalik dan mengambil jas yang tersampir di tangan kursi.
***
William berharap bukan Amanda yang menjadi pionnya. Gadis yang bertemu dengannya di ballroom restoran hotel tersebut terlalu polos dan lugu. Saking polosnya ia bahkan tidak melihat gelagat tidak baik yang terang-terangan diperlihatkan kekasihnya. Lelaki bejat itu tidak pantas mendapatkan gadis sebaik Amanda.
William masih punya kewarasan untuk menolak tawaran Alex menjadi Amanda sebagai ganti rugi hutangnya. Namun, ia akhirnya menyetujui saat tahu Alex juga menawarkan gadis itu pada teman-temannya yang lain. Lelaki bajingan yang kehidupannya berantakan.
Begitu mencekoki Amanda dengan campuran obat, Alex membawanya ke tempat William. Sambil mengedipkan mata pada William, Alex keluar. Mungkin pikirnya William sama bejat dengan dirinya.
“Ah … apa yang harus kulakukan sekarang?” keluh William pelan.
Tiba-tiba ia ingat dengan rencananya sendiri. William pikir mungkin Amanda bisa membantu. Namun, sebelum itu ia harus memberi pengertian pada gadis yang tak sadarkan diri itu.
William menekan tombol intercom, meminta salah satu pegawainya untuk datang dan membawakan pakaian ganti untuk dirinya dan Amanda. Tak butuh waktu lama seorang wanita sampai, membawa tas yang terbut dari kertas yang berisi pakaian ganti.
Untung sekali kamar hotel yang dipilih adalah jenis VVIP, dalam satu ruangan selain ruang tamu ada dua kamar yang bisa di tempati. William hanya perlu berpindah kamar untuk berganti pakaian. Wanita yang datang dengan membawa pakaian ganti Amanda dimintai tolong untuk membilas gadis itu juga. Selepas itu ia duduk menunggu Amanda sadar dari pengaruh obat bius.
William pasti tertidur selama beberapa saat. Suara Amanda yang bertanya padanya dengan menyebut nama Alex menariknya kembali ke dunia nyata. Dari amarah yang diperlihatkan Amanda padanya, William tahu kalau apapun yang dikatakannya, gadis itu tak akan menerima. Kemarahan Amanda akan menelan semua penjelasan William.
“Harusnya kamu memaki pacarmu karena yang menjadikanmu pembayaran atas hutangnya.”
Hal pertama yang William lakukan adalah memastikan Amanda membenci Alex. Ia akan membuat gadis polos ini tidak akan bisa dimanfaatkan bajingan seperti Alex lagi.
“Aku … kita?” Amanda tidak selesai mengucapkan kata-katanya. Air matanya mengalir lebih dulu dari kata-kata yang akan diucapkan. “Dia baik padaku,” katanya lirih kemudian.
“Hal baik yang terjadi padamu adalah bersamaku malam ini. Kamu tidak akan tahu jika aku menolak, entah pada siapa Alex akan menjualmu.” William berharap Amanda paham apa yang dikatakannya.
“Kamu brengsek!”
Ia memang akan menjadi lelaki brengsek, tetapi dirinya juga akan memastikan Amanda bergelimang harta. “Aku punya penawaran untukmu.”
Mata Amanda berkilat. Ia sepertinya tidak mengerti apa yang ditawarkan William. “Aku tidak mau mendengarkan apapun. Biarkan aku pergi.”
Kuburan Wyatt terletak di dekat makan Anna. Nama Wyatt terpampang jelas di sana. William sangat keberatan dengan kedatangan William ke makan Wyatt. Menurutnya tak perlu melakukan hal yang berlebihan menunjukkan rasa hormat yang tak seharusnya tak diterima Wyatt. “Usia kandunganku sekarang tiga bulan! William sangat tidak suka saat aku mengusulkan ke sini! Tapi, aku harus pergi ke sini!” Amanda bermonolog sendiri. Ia berhenti dan menoleh ke arah jalan masuk tempat ia datang. Ada Azzar di sana dan juga Inel. Ia berhasil menyuruh dua orang itu berhenti di pintu masuk. Jadi ia bisa mengatakan apa yang ingin dikatakan di sini. “Aku sama sekali tidak merasa sedih karena kematianmu! Hubungan kita tidak sampai seperti itu, bukan! Kamu tidak menyukaiku, aku juga tidak!” Ia lalu meletakan salah satu buket bunga yang dibawa di makam Wyatt dan satunya lagi di tempat Anna. “Ibu menceritakan padaku seperti apa Anna. Kami berhasil menemukan salah satu foto tua wanita yang kamu cintai itu. Dia .
“Kenapa kamu muncul di sini lagi? Astaga!” Stefani terpekik di depan pintu. Kepala William muncul kembali. Kalau Amanda tak salah hitung itu sudah terjadi sebanyak tiga kali dengan intensitas sepuluh menit sekali. Amanda yang mengetahui perbuatan William hanya berpura-pura saja tak mendengar dan tetap fokus pada riasannya yang sedang dikerjakan. “Apa riasannya sudah selesai?” tanya William datar. “Kalau dia sudah selesai, aku akan mengantarnya ke depan pintu! Pergilah dari sini atau aku akan membawa kabur istrimu!” Ancaman keluar dari mulut Stefani. Saat wanita yang menjadi perancang busana itu menutup pintu dengan dibanting keras, ia masih saja merungut panjang pendek. “Lihat bagaimana pria menyebalkan itu menjadi posesif pada apa yang dimilikinya!” tambahnya sambil menyentak-nyentak ujung gaun Amanda sehingga semakin cantik jatuhnya. “Maafkan dia!” pinta Amanda mewakili William. “Pastikan dia membayar dua kali lipat. Biaya jasa dan permintaan maaf karena sudah menganggu!” seru
Amanda memandangi bayangannya di cermin. Tak menyangka akan bersama William semalam. Mereka berdua bahkan melupakan makan malam. Lalu pagi tadi, William bangun di sampingnya tersenyum dan mengucapkan kata “pagi” dengan senyum cerah.“Jantungku tidak akan kuat!” keluh Amanda.Mengingat bagaimana William begitu menginginkannya saja sudah membuat Amanda meledak karena senang. Benar seperti ini, kan, rasanya dicintai?” Tanya Amanda di dalam hati.Suara ketukan di pintu kamar menyentak lamunan Amanda. Ia menoleh. “Siapa?” tanyanya. Dalam hati ia menebak, Jangan-jangan itu William?Setelah selesai mandi, William bergegas pergi. Amanda sempat melihat Azzar ada di pintu tadi. Ia akan memarahi Azzar nanti saat hanya ada mereka berdua saja.“Ini Inel, Nyonya! Sarapannya mau di kamar atau di ruang makan saja?” tanya Inel.“Ruang makan saja!” seru Amanda.Ia benar
“Astaga ... Pak Azzar! Kenapa berdiri di depan pintu!” seru Amanda kaget.Ia menutup pintu dengan sangat hati-hati supaya tidak terdengar sampai ke dalam kamar mandi. Tetapi, malah hampir menabrak Azzar yang entah bagaimana telah berdiri di sana. Amanda yakin kalau saat ia masuk beberapa saat lalu, tidak ada siapapun di sana. Bahkan saat Inel pelayan yang membantu Amanda membuka pintu, masih tidak ada siapa-siapa.“Tuan William mengirimi saya pesan untuk berada di sekitar sini jika ada apa-apa!” Setelah mengatakan itu Azzar berdehem. Ia sepertinya sedikit malu dengan perintah yang diberikan padanya. Amanda jadi penasaran apa isi perintah sebenarnya. “Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” tanya Azzar pada Amanda.“Prisilla sebentar lagi akan datang!”Jika William bahkan menempatkan Azzar di depan pintu, maka sepertinya pembicaraan yang akan dilakukan suaminya itu begitu penting.“Jadi?” tanya
“Maafkan aku!” Esme hampir terjatuh karena membungkuk untuk minta maaf pada Amanda.Sementara itu Amanda sama sekali tidak mengerti kenapa wanita yang menjadi ibu suaminya itu minta maaf. Tetapi, Amanda berhasil menyambut tubuh Esme dan membantunya duduk dengan benar kembali.“Jangan lakukan hal yang berbahaya, Bu!” William terdengar memperingatkan dengan kesal.Di telinga Amanda walau terdengar ketus, peringatan William terdengar tulus. Suara dingin setiap kali berbicara pada ibunya yang keras didengar Amanda sudah tidak lagi ada. Ia benar-benar senang mendapati perubaha selama dirinya tak ada.“Ibu mau minum teh denganku di taman?” tanya Amanda.Ia telah banyak tidur di atas pesawat dan penerbangan yang tak sampai dua jam tersebut sama sekali tidak memberinya efek buruk seperti mabuk. Dilihatnya Esme menoleh dahulu pada William.“Tidak ....”Sebelum William selesai mengatakan penolakan
Amanda menatap awan-awan tipis yang ada di bawahnya. Beberapa saat lalu ia melihat hamparan berwarna biru yang diyakini sebagai laut. Kini ada pepohonan dan rumah-rumah yang seperti kotak korek api. Walau Amanda tidak pernah suka dengan getaran yang dirasakan saat pesawat pertama kali naik dan mendarat. Semua terbayarkan dengan apa yang dilihat sekarang.“Kamu menyukainya?” tanya William.Amanda menoleh dan mengangguk senang. Sejak tadi pipinya ia tersenyum dan rahangnya akan mencapai batasnya sebentar lagi. Ia bisa merasakan sentakan rasa ngilu pada persendian rahang. Akan tetapi, ia merasa sangat senang bisa bersama William, bergenggaman tangan, dan tak harus bersikap tak tertarik pada pria yang menjadi suaminya itu. Ia bahkan siap membayar dengan apapun yang dimiliki karena sudah melangar kontrak.“Apa lagi yang kamu sukai?” tanya William selanjutnya.Senyum Amanda tak lantas menghilang walau saat ini ia sedang berpikir. “