Share

Tempat Amanda Dibesarkan

Kepala Amanda sakit sekali. Ia susah payah mengusir Prisilla semalam. Teman karibnya itu memaksa untuk tetap berada di kamar kosnya sampai ia menceritakan bagaimana William dan Amanda bisa bertemu.

Selepas Prisilla pulang, Amanda tak lantas tidur. Pikirannya berkelana tanpa arah. Pertama-tama menyalahkan takdir pertemuannya dengan Alex. Kemudian menyalahkan dirinya yang kerasa kepala, padahal banyak orang yang sudah memperingatkannya. Selanjutnya ia mengutuk diri sendiri karena terpesona pada William.

Amanda mengacak kepalanya karena frustrasi. Ia lalu merebahkan diri memandang langit-langi yang mungkin saja bisa menenangkan hatinya sedikit.

“Kenapa hal seperti ini bisa terjadi? Aku punya dosa apa di masa lalu sampai dihukum seperti ini?” keluhnya sebelum menutup wajah dengan bantal. Begitu merasa sesak ia melempar benda itu ke sisi lain ranjang.

Jika terus-terusan berada di rumah, Amanda tidak tahu akan sebanyak apalagi pikiran buruk datang padanya. Ia harus pergi keluar sebentar walau hanya berjalan-jalan di sekitar perumahan. Udara segar pasti mampu membuatnya kembali merasa lebih baik.

“Sialan!” maki Amanda begitu melihat William berdiri tegak di samping mobil di depan rumah kosnya. “Apa yang kamu lakukan di sini?” Ia mencoba bicara senormal mungkin walaupun kesal setengah mati.

“Kamu bilang “Jangan mencoba menemuimu”. Kamu tidak melarangku untuk tanpa sengaja berpapasan denganmu, kan?” William tersenyum dan membukakan pintu mobil.

“Untuk apa itu? Kamu pikir aku akan ikut denganmu?”

“Aku selalu heran pada sikap perempuan yang berubah dengan cepat. Kemarin kamu bersikap sopan dan sangat manis. Ada apa dengan hari ini?” Jawaban William bukan yang diharapkan Amanda. “Kamu akan ikut denganku.” Mata lelaki itu melirik sedikit ke samping Amanda.

Bulu kuduk Amanda merinding seketika. Ia menoleh dan menemukan pemilik kos-an sedang tersenyum di sebelahnya. “Apa hari ini calon istri Anda masih merajuk?” Kening Amanda lekas berkerut mendengar pertanyaan pemilik kos.

Ia berpaling pada William untuk minta jawaban. Bahkan Jawaban yang diberikan William merengut penguasaan Amanda terhadap tubuhnya sendiri.

“Ya, Nyonya. Dia masih saja marah padaku karena meninggalkanya liburan sendirian kemarin. Maaf, kalau aku akan sering ke sini untuk membujuknya!” William memegangi lengan Amanda dan menuntunnya naik ke dalam mobil. “Saya permisi Nyonya, hadiah permohonan maaf akan dikirimkan asisten sayang siang ini. Sekali lagi maafkan saya.” Berikutnya pintu mobil William tertutup dan Amanda tidak mendengar apa-apa lagi.

Setelah menunduk beberapa kali lagi di luar, William memutari depan mobil dan duduk di belakang kemudi. Ia tersenyum pada Amanda yang belum bisa menerima keadaan. Mobilnya melaju meninggalkan depan rumah kos Amanda dan segera memasuki jalan raya.

“Kamu tidak perlu kagum seperti itu dengan kemampuanku,” ujar William.

Perkataan pria itu menyentak Amanda kembali ke dunia nyata. Ia melihat sekeliling dan mendapati dirinya terperangkap di dalam mobil.

“Kamu menyuapnya untuk bersikap baik. Apanya yang hadiah permintaan maaf.” Otak kiri Amanda yang memiliki salah satu fungsi menghitung, langsung melakukan fungsinya dan mendapti dirinya mendapat kerugian. Tidak satu kali pun William mencoba mengirimkan hadiah permintaan maaf padanya. Bukankah harusnya lelaki brengsek ini lebih berusaha untuk membujuknya. Tidak berarti Amanda akan berubah suka pada William, hanya saja rasanya tidak adil mendengar semua usahanya membujuk pemilik kos Amanda. “Katakan padanya kalau kamu tidak akan memberi hadiah. Kenapa rasanya sikap baik pemilik kos sama sekali tidak tulus?”

William tertawa. “Sepertinya kamu terus-terusa tinggal dalam dunia yang aman. Harus kamu ketahui banyak orang yang seperti pemilik kos-mu di luar sana. Kamu hanya tidak sadar.”

Amanda bersedekap kesal. Ia tidak akan bicara pada William lagi. Bicara dengan seorang bos besar dan mendengar banyak hal dari mulut penjahat yang sedang menyetir ini menguatkan fakta betapa bodohnya Amanda saat ini. Ia bahkan tidak sadar ada penjahat paling buruk di dekatnya sampai benar-benar terlibat masalah.

“Karena kamu sudah bersikap santai padaku, bisakah aku menganggap dimaafkan.”

“Kamu pasti bermimpi. Karena aku berusaha bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa, bukan berarti yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Aku hanya ingin melupakan fakta bahwa pernah berbagi kamar denganmu.”

“Kamu menyesal?” Nada suara William terdengar sedih.

Amanda merasa seperti sedang dicekik sekarang. Namun, ia tetap saja bicara. Ia mau William merasa berdosa. “Aku selalu bermimpi buruk sejak saat itu.” Ia sama sekali tidak berbohong. Lingkaran hitam di matanya adalah bukti.

“Kamu tidak akan menyesal ikut denganku sekarang.”

“Tergantung. Aku bisa saja memilih meloncat keluar dari mobil ini dan celaka dibanding ikut denganmu.”

Tangan William sudah mengenggam jemari Amanda erat-erat. Pria itu memandangnya memperingatkan. “Jangan coba-coba melakukan hal berbahaya saat bersama denganku. Kamu pikir aku akan membiarkannya begitu saja?”

Tatapan William membuat jantung Amanda melompat-lompat. Ia merasa dikhianati tubuhnya sendiri.

***

Tanpa diperintahkan, Azzar sudah menyelidiki asal-usul Amanda. Gadis itu yatim piatu dan dibesarkan di panti asuhan. Ia keluar dari sana satu bulan sebelum masuk kuliah dan selama menjadi mahasiswa, Amanda bekerja paruh waktu untuk membiayai kehidupannya.

Dari semua catatan yang ada di kertas laporan Azzar, Amanda adalah gadis yang pintar. Namun, karena dibesarkan di panti asuhan sifatnya yang mudah percaya terhadap orang lain tertanam begitu kuat. Semua anak yatim piatu memiliki sifat itu, cerminan bahwa mereka menginginkan kasih sayang tanpa hubungan darah.

Hari ini ke panti tempat Amanda dibesarkanlah tujuan William. Amanda pasti juga tahu. Karena ia mampir sebulan sekali ke sana untuk berkunjung.

“Aku tidak akan terharu sekarang,” ujar Amanda saat mereka bergabung dalam keriuhan anak-anak yang berebutan mainan dan makanan. Ulah siapa lagi hal tersebut kalau bukan William.

“Aku tidak ingin membuatmu terharu. Aku hanya memberi hadiah kepada tempat di mana calon istriku dibesarkan.” Jemari William masih mengenggam tangan Amanda. Ia hanya melepaskan genggamannya saat turun dari mobil. Setelah itu tak sekalipun jari-jari lentik Amanda dilepaskan. “Aku jadi mengerti dari mana asal harga dirimu yang tinggi.”

Itu pujian. Amanda tahu dan tidak mau mengucapkan terima kasih. Ia bertekad membenci William karena sudah mengambil keuntungan darinya.

Bocah kecil bernama Freya berjingkat mendekati mereka. Amanda sudah bertemu sekitar belasan kali dengan gadis kecil ini. Ia sudah hampir dua tahun berada di panti asuhan dan masih berharap kedua orang tuanya menjemput. Hal yang tidak mungkin terjadi. Dari kepala panti Amanda tahu bahwa kedua orang tua bocah kecil ini bunuh diri bersama. Freya juga sebenarnya bisa saja mati, kalau pintu kediaman mereka tidak didobrak dari luar oleh penagih hutang yang datang.

“Hai Freya!” sapa Amanda ramah walau gadis kecil itu sama sekali tidak mau bersikap ramah padanya.

Freya memalingkan wajah dan menatap William dengan mata berbinar. “Tuan benar-benar akan menikah dengan Amanda.”

Amanda pikir panti asuhan harus memperkerjakan seseorang yang mengajari sopan santun. Semakin ke sini anak-anak kecil makin kurang ajar padanya. Amanda lebih tua hampir 20 tahun, bisa-bisanya dipanggil tanpa embel-embel.

“Ya.” William menyahut singkat. Raut wajah Freya berubah murung. “Apa dia sudah berjanji menikah dengan orang lain?” tanya William.

Freya mengeleng. “Kalau Amanda menikah, dia mungkin tidak akan ke sini lagi. Banyak anak-anak yang akan sedih.” Freya menunduk dan menendang tanah dengan kakinya. “Tidak bisakah Tuan menikahi orang lain?”

“Kamu mau mengantikan Amanda?”

Freya tampak terkejut, tetapi wajahnya memerah. “Aku masih kecil,” cicitnya pelan.

“Aku rasa masih bisa menunggu sekitar 20 tahun lagi.” William semakin ingin mengoda.

Sebagai balasan ia mendapatkan sikutan tepat di hulu hati dari Amanda. “Jangan jadi pedofil. Kamu sudah punya cukup banyak dosa untuk masuk neraka,” sindir gadis itu.

Sambil mengosok bekas sikutan Amanda, William menimpali, “Aku tidak masalah masuk neraka asal bersamamu.”

Sekali lagi ia mendapat hukuman, kali ini tendangan mendarat di tulang keringnya. William berpikir harus mendaftar tindak kekerasan yang dilakukan Amanda. Sepertinya suatu saat daftar itu akan menjadi senjata untuknya menkalukan Amanda.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status