Share

Mau Menikah Denganku?

Taman tempat ia sering bermain masih seperti dulu. Rumpun mawar tertata sangat cantik di tengah dan perdu-perdu berwarna-warni mengelilingi bagian yang berfungsi sebagai jalan setapat dan tempat bermain.

Aku tidak ingin kembali.

William menyugar rambutnya dengan kedua tangan. Ia enggan keluar dari mobil. Ketukan di kaca mobil membuatnya membuka mata. Ia harus keluar. Atau bisa saja diseret secara paksa nanti.

“Aku senang bisa melihatmu setelah sekian lama, Nak.”

Sayang sekali, William tidak merasakan hal yang sama. Ia juga tahu kalimat yang diucapkan ayah tirinya hanya di bibir saja. Jauh di dalam lubuk hati pria yang terpaksa dipanggil Ayah sejak umur lima tahun mengumpat, menyuruhnya mati setiap kali bertemu.

“Aku juga begitu, Papa. Aku rindu sekali dengan rumah.”

Kalimatnya begitu kontradiksi mengingat betapa ia selalu mencari alasan untuk bisa keluar dari rumah sejak umurnya sepuluh tahun.

“Ibumu sudah menunggu. Ia menjadi lebih sehat saat mendengar kamu akan datang hari ini. Ia sudah sarapan tadi pagi dan sekarang sedang menunggumu di ruang keluarga.” Kalimat-kalimat ayah tirinya terdengar riang.

William juga tak mau kalah. Ia mempertahankan senyum manisnya. Ia dengan patuh mengiringi langkah ayah tirinya ke ruang keluarga. Di sana wanita yang melahirkannya berada. Begitu melihat William di pintu, ibu William tersenyum.

“Kemarilah,” pinta ibu William sambil merentangkan tangan meminta pelukan.

William melangka cepat dan melakukan pelukan singkat yang sarat formalitas. Dulu mungkin ia sangat menyukai rentangan tangan ibunya. Tempat paling nyaman setelah menerima berbagai masalah dari sekitar. Saat usianya mencapai enam belas tahun, William sadar, pelukan itu hanya cara ibunya mengikat.

“Ibu merindukanmu.”

William masih mempertahankan senyumannya. Ia tidak menjawab dan malah duduk di kursi sofa terdekat. “Apa yang Ibu inginkan sekarang?” tanyanya lekas.

Inilah makna pertemuan orang tua anak yang ada di dalam keluarganya. Setiap kali ia dipanggil pulang, pasti ada hal yang harus diberikan.

“Ke-kenapa kamu bilang begitu. Ibu hanya rindu padamu,” sangkal wanita yang sudah melahirkan William itu.

“Yah, tentu saja rindu. Ibu membutuhkanku untuk mempertahankan pria ini, kan?” Saat ia telah dianggap dewasa, seluruh harta kekayaan milik keluarga ayah kandung dan Kakek—ayah dari Ibu—jatuh ke tangannya. Ibu hanya mewarisi rumah yang ditinggali.

“Jaga ucapanmu.”

William mengangkat alis. “Kenapa? Itu benar, kan? Kalau saja semuanya jatuh pada Ibu, kamu tidak akan meneleponku lagi. Apa gunanya anak yang tidak memiliki apa-apa?” William berdiri dan mengambil cerutu yang disimpan di lemari pajangan. Ia tidak merokok, tapi setiap kali pulang William tertantang untuk menyesap benda tersebut seperti bajingan.

William bisa melihat kekesalan tergambar di wajah ayah tirinya. Lelaki yang sudah menikahi ibunya sejak ia berusia tujuh tahun dan kemudian mengkhianati kepercayaannya dengan cepat tersebut menghentakan kaki kesal dan keluar.

“Jadi apalagi yang diinginkan pria ibu?” William tidak bisa lagi berbasa-basi setelah banyak permintaan untuk menyenangkan pria tersebut datang begitu ia mengambil alih semua anak perusahaan.

“Kamu membenci Ibu?”

William tidak bisa menyebut perasaan yang dirasakan pada ibunya sebagai benci. Ia sangat menyayangi wanita yang melahirkannya ini. Ia dan ayahnya sangat sayang sampai-sampai buta. Namun, sekarang menemui ibunya dan berbasa-basi hanya formalitas supaya wanita ini tidak sendirian saja. Ia pernah percaya jika cinta ibunya hanya untuk William saja, kemudian ia kecewa.

“Katakan saja apa yang diinginkannya kepada Azzar. Asistenku pasti bisa menyampaikannya dengan baik.” William sama sekali tidak punya keinginan untuk menjawab.

“Benarkah?” Wajah ibu William cerah. “Kamu mau menikah dengan Lily.”

William meletakan cerutu di asbak. Ia pasti salah dengar. Mungkin ibunya mengatakan nama mobil yang terdengar seperti Lily.

“Lily keponakan Wyatt sangat baik. Dia sering ke sini untuk menemaniku. Aku sudah menanyakan padanya, apa diam mau menikah. Dia menjawab dengan malu kemarin. Karena itu ….”

Sekarang William bisa mencernanya dengan jelas. Seluruh tubuh jadi terasa tegang. Semua yang didengar permintaan yang tidak masuk akal. Ia bahkan tidak kenal siapa gadis bernama Lily.

“Jangan katakana apapun,” pinta William memotong.

Ia kemudian menyadari, mungkin saja semua sudah diatur seperti sebelumnya.

***

Amanda susah payah mengusir Prisilla untuk pergi dari kamar kosnya. Setelah semalam ia mengalami kejadian buruk, temannya itu tak mau meninggalkan Amanda walau hanya sebentar.

“Bagaimana kalau dia datang lagi?” Prisilla memegangi daun pintu yang berusaha ditutup Amanda.

“Alex tidak akan datang ke sini!” tegas Amanda walau tidak yakin.

Hanya saja perasaan Amanda mengatakan pria brengsek tersebut tidak akan mencari masalah untuk sementara waktu. Lagi pula, pria brengsek lainnya sudah mewanti-wanti kemarin.

“Percayalah padaku,” pinta Amanda.

Permintaan tulus inilah yang akhirnya meluluhkan hati Prisillah. Gadis itu akhirnya pergi bekerja juga. Amanda sendiri masih punya beberapa hari waktu cuti lagi. Harusnya Amanda pulang dari liburan dua hari lagi. Namun, kejadian buruk itu membuatnya memutuskan untuk kembali lebih cepat.

“Tidak aka nada yang terjadi. Jangan pikirkan apapun,” bisiknya memantrai hati. Ia sering melakukan ini untuk merasa lebih baik.

Maka Amanda pikir melakukan semua hal yang bisa dilakukan akan membuatnya tetap waras. Ia baru saja selesai mandi saat pintu kamarnya diketuk.

“Prisilla kembali?” gumam Amanda keheranan. Ia akan memarahi temannya ini jika benar itu yang terjadi. Amanda baik-baik saja di kamarnya. Tidak akan ada hal buruk yang terjadi selama ia di dalam saja. “Dengar prisilla. Aku akan ….”

Amanda tak jadi menyelesaikan kalimatnya. Bukan Prisilla rupanya yang mengetuk pintu. Ia pernah bertemu dengan lelaki yang berusia awal empat puluhan tersebut. Lelaki ini yang mengantarnya keluar hotel di pagi hari setelah bermalam dengan William.

“Maaf, Nona, apa saya membuat Anda tidak nyaman?” Lelaki yang sama sekali tidak diketahu namanya oleh Prisilla berbicara dengan bahasa formal.

Prisilla bertanya dalam hati, apakah boleh membanting pintu. Hatinya lekas menjawab, kalau orang di depannya sama sekali tidak memiliki kesalahan.

“Ada keperluan apa Anda kemari?” tanya Amanda dengan bahasa formal juga.

“Saya diutus oleh Tuan William untuk menjemput Anda.”

Apa yang sebenarnya diharapkan Amanda dengan kemunculan pria di depannya. Sebuah permintaan maaf atau sesuatu yang lain. Ia rasa sudah saatnya sekarang membanting pintu.

“Silakan kembali dan katakan pada Tuan Anda kalau saya tidak tertarik bertemu dengannya.”

Amanda benar-benar membanting pintunya keras-keras sambil berharap pemilik rumah tidak akan marah padanya.

***

Seperti yang diduga Amanda, utusan William sama sekali tidak menyerah. Setelah ia mengusir dengan cara membanting pintu, pria setengah baya yang tidak ingin diketahui namanya oleh Amanda menemui ibu kostnya. Rasanya menyebalkan karena harus menahan diri saat ditemani bertemu dengan pria utusan William.

“Saya akan meninggalkan kalian, ya,” kata pemilik rumah indekos tempat Amanda menyewa. Ia mengangguk hormat pada Pak tua yang duduk canggung di depan Amanda.

“Saya benar-benar tidak ingin bertemu dengan tuan Anda.” Amanda mengungkapkan apa yang ada di pikirannya.

“Tuan saya hanya ingin bertemu dengan Anda sebentar, Nona. Saya akan terus ke sini sampai Anda menyetujuinya.”

Membiarkan pria tua ini ke sini setiap hari menjadi ancaman menganggu ketenangan Amanda. Ia akan terus-terus direcoki oleh pemilik rumah kosnya sampai menemui pria di depannya. Ia benar-benar hanya ingin ketenangan, bukan hal lain. Bertemu dengan William bukan cara untuk mendapatkan ketenangan.

“Jika saya menemuinya, dia akan berhenti menganggu saya seperti ini?”

Amanda butuh jaminan jika William tidak akan menganggunya lagi. Ia menunggu sampai pria tua di depannya mengangguk.

“Apa Anda mau bertemu dengan Tuan William?”

Amanda membuang napas berat dan mengangguk perlahan.

***

William memesan restoran di hotel ini secara khusus. Aneh memang saat ia bersiap untuk menemui seorang gadis yang dianggap alat untuk kesusksesannya seperti ini. Perasaan aneh yang dirasakan seketika ditepis dengan banyak alasan, salah satunya adalah fungsi Amanda yang sangat penting dalam rencana yang sudah disiapkan.

Pesan lain masuk dari Azzar, saat ini Amanda telah sampai di lobi dan dalam perjalanan ke dalam restoran. William penasaran seperti apa penampilan gadis itu hari ini. Saat pertama kali bertemu di kafe terbuka milik hotel, Amanda seperti seorang peri. Ia bersinar di antara gadis lainnya, membuat William ingat pada gadis yang sudah menaut hatinya saat kecil. Ketika ia telah kembali ke kota Jakarta dan terpaksa harus ikut dalam pesta yang diselengarakan rekan bisnisnya. William melihat seorang bunga yang menawan semua mata. Gadis itu berubah di setiap pertemuan mereka.

Begitu pintu restoran terbuka, musik yang secara khusus di pesan mengalun. Ia tidak berpikir kalau itu bisa memikat Amanda. Di balik kepolosan yang ditampilkan gadis yang beberapa hari tidur di ranjangnya, tersimpan kekeraskepalaan yang mengalahkan William.

“Senang bisa bertemu denganmu lagi.” William tersenyum dan berdiri. Ia memutari meja dan menarik kursi untuk Amanda duduk.

Gadis itu tersenyum miring, tidak menyembunyikan perasaan tak sukanya. Sekelebat William bisa melihat ketakutan di sana juga. Ia bergeser dan tidak duduk di kursi yang ditarik William. Amanda malah menarik kursi dari meja lain dan duduk di sana.

William tertawa dan kembali duduk di kursinya sendiri. “Aku selalu takjub dengan apapun yang kamu lakukan,” pujinya.

Tak sedikit pun Amanda berterima kasih atas pujian tersebut.

“Saya benar-benar tidak senang bertemu dengan Anda. Bisakah Anda tidak menganggu hidup saya lagi? Saya berusaha melupakan semua kejadian buruk waktu itu.” Amanda tidak memandang William saat bicara.

Tindakan Amanda, memancing William untuk mengodanya. Ia bersandar dan mengosok rahang dengan tangan. “Sayang sekali aku tidak ingin melupakannya. Kamu suka pada tindakanmu malam itu.”

Wajah Amanda memerah seketika. Matanya kini sudah berkaca-kaca. William mulai menebak-nebak apa yang akan terjadi, gadis di depannya akan mengamuk atau menangis. Manapun dari kedua pilihan yang terjadi sudah diantisipasinya. Ia bisa melihat setetes air mata Amanda lolos yang langsung dihapus dengan punggung tangan. Suara gadis itu bergetar saat bicara selanjutnya.

“Itu bukan kejadian baik yang terjadi pada saya. Saya memohon pada Anda untuk melupakan semua itu. Anggap saja semua tidak pernah terjadi. Saya mohon.”

“Bagaimana kalau aku ingin bertanggung jawab?” tanya William. Ia mendorong tubuhnya jauh hingga begitu dekat melewati separuh meja kecil yang membatasi mereka.

“Bertanggung jawab?” Suara Amanda seperti mengejek, getaran masih ada di nadanya. “Apa Anda pikir semua hal bisa dibeli dengan uang? Saya tidak seperti itu!”

Karena semua hal yang sudah terjadi, wajar jika Amanda salah paham tentang pertemuan ini. Amanda pasti berpikir kalau ia datang untuk menutup mulut gadis itu.

“Saya tidak menginginkan uang Anda. Saya juga tidak bermimpi menceritakan kejadian buruk tersebut pada siapapun. Jadi Anda tidak perlu menemui saya seperti ini. Sekali lagi saya mohon, jangan menyuruh orang Anda datang ke tempat saya. Saya akan berusaha tidak pernah muncul dalam kehidupan Anda apapun yang terjadi.” Amanda berdiri dan hendak pergi.

William akan menyesal jika kehilangan gadis seperti Amanda. Ia harus menangkap gadis itu bagaimanapun caranya. Saat ini pernikahan adalah cara paling baik untuk menangkap Amanda di sisinya.

“Bagaimana kalau aku datang menawarkan pernikahan padamu?”

Amanda berhenti, ia memutar tubuhnya dan memandang William melalui bahunya. “Pernikahan bukan sebuah candaan.”

“Siapa yang bercanda? Aku memang berniat menikah denganmu.” William mendorong kursi dan melangkah mendekati Amanda. Ia meraih jemari gadis itu dan mengecupnya lama. Ia menunduk dengan jemari Amanda di tangannya. “Apa kamu mau menikah denganku?”

***

Ini lelucon yang sangat memuakkan. William sudah bercanda saat berada di Bali. Sekarang pria tampan seperti malaikat, tetapi berperangai layak iblis ini bercanda lagi. Seluruh tubuh Amanda bergetar menahan amarah. Ia bisa saja meludahi dan menendang pria yang sedang berjongkok di depannya kini. Hal yang akan dilakukannya pasti mampu mencoreng kepercayaan diri William. Akan tetapi, tindakan itu tidak bisa dilaksanakan.

Begitu mereka menoleh karena suara garpu yang terjatuh ke lantai, Amanda melihat Prisilla menutup mulut menahan pekikan. Ia bertanya-tanya apa yang didengar teman baiknya itu. Ia berharap Prisilla tidak mendengar semuanya.

“Sepertinya kamu tidak bisa menolakku di depan pelayan itu, ya?”

Amanda mendorong tubuh William dan mundur karena kaget. Jantungnya melompat-lompat di dada dan telinga Amanda terasa cukup panas karena napas William.

“Sepertinya kamu bisa makan dengan temanmu di sini hari ini. Lagi pula restoran ini sudah kupesan semua. Selamat menikmatinya, aku akan menghubungimu lagi.”

“Tu-tunggu! Hei!” Amanda berteriak memanggil William. Ia melupakan kesopanan yang dijaga sejak tadi.

William terus berjalan seolah-olah tidak mendengar perkataannya. Ia hanya melambai dan Azzar langsung muncul mengirim langkahnya. Amanda berdoa supaya William tersandung dan jatuh dengan wajah lebih dulu mencium lantai.

“Astaga, Amanda! Apa yang kudengar tadi!” Prisilla muncul dengan berisik. Wajahnya sangat bahagia dan setiap kali ia berkata, pekikan kecil juga muncul di mulutnya.

“Tenang dulu,” pinta Amanda. Ia akan menjelaskan pada Prisilla apa yang terjadi—mungkin mentiadakan cerita tidur di ranjang William dan semua hal yang dilupakan. “Begini, dengarkan aku.”

“Kamu tidak tahu berapa banyak orang yang ingin berpapasan dengan dia. Kamu kenal dia, kan? Pebisnis muda yang cemerlang!” Prisilla terpekik lagi. “Sekarang dia melamarmu! Melamar temanku! Ya Tuhan!”

Amanda mengernyit sepertinya akan butuh waktu untuk membuat Prisilla mau mendengar perkataannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status