"Entahlah, tarifmu masih terlalu mahal hahaha, aku tak tau, hanya ini yang bisa aku lakukan sementara.""Aku akan mengembalikan uangmu," ucapku."Ini bisnis, kamu tak akan mengerti, dan kalau aku tak sangup lagi membayarmu, maafkan aku.""Kenapa kau begitu baik padaku, kenapa kau mau membantuku?" tanyaku, padanya. Mataku tiba-tiba kembali mengembun."Jangan menangis, aku tak suka melihatnya, jangan juga tanya mengapa, aku sendiri tak mengerti, kenapa repot-repot membantumu." Bara mengusap air mataku denga ibu jarinya. Sebuah kecupan dia berikan di keningku."Maaf, aku buru-buru. Sore aku akan menjemputmu." Pria itu menepuk pelan pipiku, dan kembali mengecup keningku. Aku memaksakan senyumku. Sebuah kecupan aku berikan di pipi pria itu, sebelum aku turun.Seperti apapun dia, Bara malaikatku sekarang. Hanya padanya bergantung sedikit asa yang masih tersisa. Dirinya lah tempatku mengadu dan berkeluh kesah, padanya juga aku mulai berani bermanja.Siang ini, pikiranku masih tenang, bayanga
"Kamu benar-benar rela melakukannya?" tanyanya padaku. Aku mengangguk pasti."Maafkan aku," ucapnya lagi."Tak perlu meminta maaf, memang sudah seharusnya seperti ini."Bara membalikkan badanya, akupun mengikutinya, kami duduk bersila dan saling berhadapan."Apa kamu percaya pada sebuah cinta?" tanyanya padaku. Aku mengelengkan kepalaku, aku tak percaya cinta itu ada."Kenapa?" tanyanya lagi."Kalau memang cinta itu ada, aku tak mungkin berada di sini. Aku akan hidup bahagia bersama kedua orang tuaku," jawabku."Kamu benar," ucapnya lagi."Dulu aku tak serapuh ini, sekarang hal kecil saja sangup membuatku menangis," ucapku lagi."Oh ya," ucapnya sambil mengusap air mataku yang tiba-tiba mengalir saat menyebutkan kata orang tua."Dulu aku tak pernah peduli dengan orang lain, tapi dirimu, membuatku berbeda. Aku peduli padamu, aku ingin melindungimu, tapi apa dayaku, aku hanya seorang pecundang. Hanya seorang pria bejat yang tak berani menghadapi dunia."Aku tersenyum dan mengeleng, dia
"Padamu untuk pertama kalinya, aku berbagi kisah hidupku. Pria bejat ini ternyata masih memiliki hati, kerasnya hidup membekukan empati, semua hanya demi nafsu duniawi. Andai saja aku mampu, membawamu pergi. Tapi, aku hanya pria pengecut tak bernyali."Pria itu menangis, kisahnya tak jauh berbeda denganku. Ayahnya menjual ibunya ke tempat pelacuran karena gila judi dan suka mabuk-mabukkan. Dunia hitam itu akhirnya menyeret kakak dan juga dirinya sendiri.Almarhum suami Mami Erna seorang mucikari besar, dengan pelangan kalangan atas. Selepas suaminya meninggal Mami Erna yang mengurus segalanya. Itu sepenggal kisah yang dia bagi padaku.Aku pikir hanya aku yang punya luka, dia pun memiliki kisah yang hampir sama. Tanganku mengusap wajah basah itu. Dia meraih dan kemudian mengecup jemariku.Matanya terpejam beberapa saat."Aku akan merindukanmu," ucapnya lagi. "Aku senang telah mengenalmu, mungkin saat bersamamulah, saat yang paling bahagia untukku," ucap Bara, bibir itu mencoba tersenyu
"Lihat aku!" ucap Bara kemudian mengangkat wajahku, dengan ibu jarinya dia mengusap pipi basahku. "Tuhan begitu baik padamu, mengirimkan mereka untuk menebusmu. Ini kesempatanmu keluar dari sini. Perlihatkan wajah tercantikmu, jangan memberi mereka wajah jelek ini," lanjut Bara lagi.Bara memaksakan senyumnya, dia memaksaku tersenyum juga dengan menarik pipiku. Mata kami sesaat beradu, bulir bening itu terus memaksa keluar dari mataku. Mata pria itu mengembun, ada rasa nyeri tertahan disana."Kenapa kau begitu baik padaku?" tanyaku lagi untuk kesekian kalinya, aku belum puas dengan semua jawabanya untukku. Kenapa aku ingin dia mengatakan hal lainnya."Aku tak tau, aku hanya tak ingin melihat kesedihanmu, tak suka melihatmu menangis," ucapnya."Lalu kenapa kamu sekarang menangis?" tanyaku, jemariku mengusap pipi basah itu. Bara mengalihkan pandanganya dariku, bibirnya tersenyum masam. Dia mendongakkan wajahnya, melihat langit-langit kamar."Kenapa?" tanyaku lagi."Kenapa kau bawel sek
Di dalam ruangan besar itu, nampak dua orang sedang duduk di dalamnya. Seorang pria dewasa dan ada Kenzi juga. Pria dewasa seumuran Tuan Bram itu memindaiku. Aku hanya menunduk memandangi lantai.Tuan Bram memintaku duduk di sofa, di samping Kenzi, berhadapan dengan Pria dewasa yang terus memperhatikanku sedari tadi."Siapa namamu?" tanya Pria itu kemudian."Zanna." Belum sempat aku menjawab Kenzi terlebih dahulu menyahutnya. Pria dewasa itu menganggukkan kepalanya dan tersenyum."Baiklah, Bram, kamu sudah menjelaskan apa saja tugasnya?" Pria dewasa itu terdengar bertanya pada Tuan Bram."Belum, Tuan. Akan saya jelaskan sekarang juga," jawab Tuan Bram kemudian melihat ke arahku."Baiklah nona, akan aku jelaskan apa saja yang menjadi tugasmu, dan bagaimana kesepakatan antara nona dan keluarga Hadi Pranata. Tuan Pranata menebusmu, atas permintaan Tuan Muda Kenzi. Nona akan terikat kontrak pernikahan dengan Tuan Muda selama satu tahun. Selama satu tahun, nona harus membuat Tuan Kenzi men
Hanya satu tahun, setelah itu mereka akan membuangku ... "Kamu sudah makan?" tanya Kenzi padaku, pria mudah itu mendekat dan berdiri di depanku."Aku tidak lapar," jawabku padanya."Matamu bengkak, apa kamu baru saja menangis?" Aku menatapnya sesaat kemudian melepas pandanganku ke arah lain. Ingatanku kembali pada Bara, aku tak bisa lagi menghubunginya mulai dari sekarang. Tuan Bram telah menganti ponselku. "Hanya menangis haru," jawabku pelan."Kita bisa berteman mulai sekarang, bukankah kita tim yang hebat," ucap Kenzi mencoba memecah suasana canggung yang tercipta.Aku memaksakan senyum, dan mengangguk. Semua sudah terjadi, dan harus tetap dijalani, seperih apapun luka, sesakit apapun aku rasa, semua harus diterima dengan ikhlas dan lapang dada."Aku pergi dulu, sebentar lagi akan ada pelayan yang akan membawakan makanan untukmu, setelah itu bersiaplah untuk acara kita," ucap Kenzi kemudian."Acara kita?""Iya, Om Bram sudah menyiapkan semua, kita akan menikah, sesuai perminta
Aku menoleh ke arah Kenzi yang masih tidur di sofa, di atasku berbalut selimut. Pria muda itu membuka matanya melihat ke arahku juga. Dia membuka selimutnya dan kemudian ikut duduk di sampingku."Aku sudah siapkan kegiatan untukmu," ucap Kenzi kumdian, sebuah senyum manis terukir di bibir itu."Oh, ya?" tanyaku, Kenzi mengangguk cepat."Kamu akan mengikuti beberapa kursus, jadi aku pastikan kamu tak akan bosan seharian." Kenzi memberi penjelasan padaku."Kursus?" tanyaku kemudian belem mengerti dengan apa yang Kenzi maksudkan."Iya, aku sudah meminta Om Bram mengaturnya. Jadi kamu tidak perlu khawatir akan merasa bosan atau apa selama aku tidak berada di rumah," ucap Kenzi lagi.Aku tersenyum mendengarnya, merasa senang dia memikirkan aku juga. Paling tidak dengan kegiatan seperti itu aku tidak merasa jenuh. Aku juga akan bisa belajar lebih banyal lagi hal hal yang tidak aku pahami."Kamu mau apa?" itu pertanyaan yang selalu terlontar saat aku mendekati Kenzi, pria mudah itu terlihat g
Sudah seminggu lebih, tak banyak kemajuan, Kenzi masih menutup diri, dia tidur di sofa, aku tidur di ranjang. Mulai besok kursusku di mulai, tak terlalu paham dengan yang pria itu sampaikan, aku hanya mengiyakan."Mulai besok kamu tak akan bosan lagi," ucap Kenzi malam itu. Kami baru saja menyelesaikan makan malam. Sebenarnya aku tak terlalu bosan, banyak hal yang bisa kulakukan di dalam kamar, mulai dari menonton drama sampai senam. Aku sudah sangat terbiasa terkurung, jadi bukan masalah sebenarnya.Yang jadi masalah, aku bisa berinteraksi dengan orang, dan selama di sini hanya bicara dengan Bi Nur yang pendiam itu, serta Kenzi."Apakah itu seperti sekolah?" tanyaku kemudian."Bisa jadi.""Aku tak punya alat tulis," ucapku."Sudah disiapkan," kata Kenzi, aku tersenyum. "Tidurlah!""Kau tak ingin mencoba kembali malam ini?" tanyaku padanya. Raut wajah itu berubah tegang seperti biasa. Pria itu mengangguk pelan. Dia tak menolakku, namun tetap dingin seperti biasanya."Maafkan aku," uc